Situasi Konsumsi Dan Peluang Pasar Pangan Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) Di Kabupaten Ngawi.

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh :

MOH. SUBIYANTO NPM. 0864020029

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL” VETERAN “ JAWA TIMUR

SURABAYA 2010


(2)

SITUASI KONSUMSI DAN PELUANG PASAR PANGAN MELALUI PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

DI KABUPATEN NGAWI

Yang dipersiapkan dan disusun oleh : MOH. SUBIYANTO

NPM. 0864020029

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 16 Juni 2010 dan telah

memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Dr.Ir.H.Sudiyarto,MM Dr.Ir. Eko Nurhadi, MS

Pembimbing Pendamping Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

Ir. Sri Widayanti, MP Ir. Setyo Parsudi, MP

Surabaya, 16 Juni 2010

UPN “Veteran”JawaTimur ProgramPascasarjana

Direktur


(3)

dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ”SITUASI KONSUMSI DAN PELUANG PASAR PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KABUPATEN NGAWI”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sudiyarto, MM, selaku Pembimbing Utama dan Ir. Sri Widayanti, MP, selaku Pembimbing Pendamping. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas akhir guna mencapai derajat sarjana S-2 pada Program Studi ”Magister Manajemen Agribisnis” Program Pascasarjana UPN ”Veteran ” Jawa Timur.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur. 2. Direktur beserta staf dan seluruh Dosen Program Pascasarjana

Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur.

3. Bupati Ngawi yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Pembangunan ”Veteran” Jawa Timur.

4. Kepala BKP & P3K Kabupaten Ngawi yang telah membantu dalam penyediaan data untuk penelitian ini dan segala bentuk dorongan


(4)

yang diberikan untuk menyelesaikan studi penulis ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Pembangunan ”Veteran” Jawa Timur. 5. Secara khusus isteri dan anak-anakku yang senantiasa memberi

dukungan dan doa.

6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tak dapat kami sebutkan satu per satu.

Karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, Tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap semoga dapat memberikan manfaat dalam keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.

Surabaya, Juli 2010.

Penulis


(5)

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

RINGKASAN... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH... 4

1.3. Perumusan Masalah... 5

1.4.Tujuan Penelitian... 10

1.5. KegunaanPenelitian... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Penelitian Terdahulu ... 13

2.2.Landasan Teori... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 36

3.1.Kerangka Pemikiran... 36

IV. METODE PENELITIAN... 36

4.1. Tempat dan Waktu... 48

4.2. Penentuan Populasi dan Pengambilan Sampel... 48

4.3. Metode Pengumpulan Data... 49

4.4. Proses Pengumpulan Data... 51


(6)

4.5.2. Analisis Data... 56

4.6. Batasan Istilah... 69

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 72

5.1. Gambaran umum wilayah penelitian... 72

5.2. Kondisi Sosio Demografi Responden………. 81

5.3. Situasi Konsumsi Pangan………. 83

5.4. Proyeksi Konsumsi, Penyediaan Pangan Dan PPH Sasaran………... 107

5.5. Peluang Pasar………. 112

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 116

6.1. Kesimpulan……….. 116

6.2. Saran………. 118

DAFTAR PUSTAKA………... 119


(7)

1. Contoh Susunan PPH Nasional (Data Susenas 2004)... 60

2. Jumlah Penduduk Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 73

3. Jumlah Kelahiran Dan Kematian Tahun 2005-2008... 74

4. Jumlah Penduduk Menurut Agama Tahun 2005-2008... 75

5. Jumlah Siswa Di Tingkat Pendidikan 2005-2008... 75

6. Jumlah Sarana Kesehatan Tahun 2005-2008... 76

7. Jumlah Kelahiran Menurut Penolong Kelahiran 2005-2008... 76

8. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Alat Kontrasepsi... 77

9. Produksi Pangan Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 78

10. Konsumsi Dan Kecukupan Energi Penduduk... 85

11. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Padi-padian... 87

12. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Umbi-umbian... 90

13. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Hewani... 92

14. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Minyak Dan Lemak... 94

15. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Buah/Biji Berminyak.... 96

16. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Kacang-kacangan... 97

17. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Gula... 98

18. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Sayur Dan Buah... 98

19. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Lain-lain... 100

20. Konsumsi Energi Menurut Karakteristik Wilayah... 101

21. Konsumsi Protein Dan Kecukupan Protein... 104

22. Skor Pola Pangan Harapan... 107

23. Proyeksi Konsumsi Pangan 2010-2020... 109

24. Target Penyediaan Pangan 2010-2020... 110

25. Sasaran Skor PPH Tahun 2020... 111


(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Dan Alur Pemikiran ... 46

2. Prinsip Dasar Untuk Menghitung Bobot PPH... 64

3. Tingkat Pendidikan Responden KK... 81

4. Kondisi Umur Responden KK... 82


(9)

1. Blanko Kuesioner Responden... 123

2. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Dan Angka Kecukupan Gizi Nasional... 124

3. Daftar Komposisi Bahan Makanan Terpilih (DKBM)... 125

4. Daftar Konversi Ukuran Rumah Tangga (DKURT)... 126

5. Analisis Pola Konsumsi Pangan Dan Tingkat Kecukupan Gizi... 133

6. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Hari... 134

7. Analisis Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Menurut Wilayah Ekonomi... 138

8. Analisis Skor Pola Pangan Harapan Aktual... 140

9. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Tahun... 144

10. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Hari... 148

11. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Bulan... 152

12. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Tahun... 156

13. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Hari... 160

14. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Minggu... 164

15. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Bulan... 168


(10)

SUMMARY

MOH. SUBIYANTO. Program of Pascasarjana University National Development " Veteran" East Java, 16 June 2010. Situation Consume And Opportunity Of Market Food With Approach Of Pattern Food Expectation ( PPH) [In] Sub-Province of Ngawi; Especial Counsellor [of] Dr. Ir. Sudiyarto, MM, and Second Counsellor Of Ir. Sri Widayanti, MP

Food represent a[n requirement of fundamental / elementary to human being which must fulfill by society and government by together. Government as society and fasilitator carry out production process and is ready, commerce, distribution and also personate rightful claimant consumer obtain;get food which enough in number, quality of is, peaceful, nutritious, immeasurable, flatten and reached by their purchasing power. *****Fufilled* requirement of the food can be seen from its availability. Availibility of food which enough not yet guaranteed protected of resident from problem of and food of gizi. Besides its availability also require to be paid attention from pattern aspect consume contribution balance or household among consumed food type, so that can fulfill standard of gizi suggested

This research aim to to : 1). To analysing situation consume resident food base on expectation food pattern ( PPH); 2). Analysing situation consume resident food [in] economic region go forward, middle and left behind; 3). Analysing projection consume and ready goals [of] resident food with approach of expectation food pattern ( PPH).

This Research [is] [done/conducted] [by] Sub-Province region of Ngawi, [at] 9 district, every district 3 countryside and each countryside 10 household sampel, so that the amount of responder 270 household, taking place from April up to May 2010. Technique determination of region of sampel use regional characteristic [of] economics ( go forward, middlely, left behind). Data analysed to use Sofware Application Computer " Analysis SituationConsume Regional Food [of] Sub-Province" which [in] program by Heryatno ( 2005) and developed by Martianto, Baliwati, Heryatno and of Herawati ( 2009).

Result of research show consumption of energi aktual by totally 2505,2 kkal/kap/hr, exceeding Sufficiency of Energi resident ( 2036,2 kkal/kap/hr) and also fomentation of WKPNG VIII ( 2004) equal to 2000 kkal/kap/hr. Consume excessive energi there are [at] grain food group ( 1419,9 kkal/kap/hr)/AKE ( 1018,1 kkal/kap/hr), fruit / oily seed ( 84,7 kkal/kap/hr)/AKE ( 61,1 kkal/kap/hr), legume ( 490,7 kkal/kap/hr)/AKE ( 101,8 kkal/kap/hr) and vegetable / fruit ( 147,9 kkal/kap/hr)/AKE ( 122,2 kkal/kap/hr) but consumption of energi other food group exactly below/under number sufficiency of resident like umbi-umbian ( 48,1 kkal/kap/hr)/AKE ( 122,2 kkal/kap/hr), hewani ( 154,9 kkal/kap/hr)/AKE (


(11)

able to live healthyly, productive and active.

Consumption of Energi [at] economic region go forward ( 2365,6 kkal/kap/hr) lower compared to with middle economic region ( 2390,9 kkal/kap/hr) and economic region [of] left behind ( 2758,9 kkal/kap/hr), but still higher with AKE ( 2007,6 kkal/kap/hr), but consume energi [at] economic region go forward more coming near with number recommend national ( 2000 kkal/kap/hr). This matter show economic consumption pattern go forward better compared to with middle economics and left behind.

Mean consume protein ( 85,9 gram/kap/hr)/160,5%, exceeding number sufficiency of protein ( 52,9 gram/kap/hr) also above AKP fomentation of WKPNG 2004 ( 52 gram/kap/hr), height consume protein caused [by] participation height consume legume food group ( soybean cake / tempe). Excess of protein consumption of AKP will have no use for body as source of constructor Iihat vitamin, but will be thrown to replace as source of power ( energi) which less than consume other food materials.

With growth of resident of Sub-Province of Ngawi equal to 0,78 / year, hence ready goals analysis [of] requirement of year food 2010 (453.906 ton / year) and can be targeted ready 100 % year 2020 totally food 334.605 ton / year. In this ready goals [is] each food group there [is] which go down there [is] also which must be boosted up, so that will be created [by] opportunity of food market

Keyword: Analysis Situation Consume Food, Pattern Food of

Expectation (PPH), Opportunity Of Market Food Based on PPH.


(12)

RINGKASAN

MOH. SUBIYANTO. Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 16 Juni 2010. Situasi Konsumsi Dan Peluang Pasar Pangan Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) Di Kabupaten Ngawi; Pembimbing Utama Dr. Ir. Sudiyarto, MM Dan Pembimbing Pendamping Ir. Sri Widayanti, MP.

Pangan merupakan suatu kebutuhan pokok/dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka. Terpenuhinya kebutuhan pangan tersebut dapat dilihat dari ketersediaannya. Ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. Selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan dari aspek pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan.

Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH); 2). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di wilayah ekonomi maju, menengah dan tertinggal; 3). Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).

Penelitian ini dilakukan diwilayah Kabupaten Ngawi, pada 9 kecamatan, tiap kecamatan 3 desa dan masing-masing desa 10 sampel rumah tangga, sehingga jumlah responden 270 rumah tangga, berlangsung dari bulan April sampai dengan Mei 2010. Teknik penentuan wilayah sampel menggunakan karakteristik wilayah ekonomi (maju, menengah, tertinggal). Data dianalisis menggunakan Sofware Aplikasi Komputer “Analisis Situasi Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten” yang di program oleh Heryatno (2005) dan dikembangkan oleh Martianto, Baliwati, Heryatno dan Herawati (2009).

Hasil penelitian menunjukkan konsumsi energi aktual secara menyeluruh 2505,2 kkal/kap/hr, melebihi Kecukupan Energi penduduk (2036,2 kkal/kap/hr) maupun anjuran WKPNG VIII (2004) sebesar 2000 kkal/kap/hr. Konsumsi energi berlebih terdapat pada kelompok pangan padi-padian (1419,9 kkal/kap/hr)/AKE (1018,1 kkal/kap/hr), buah/biji berminyak (84,7 kkal/kap/hr)/AKE (61,1 kkal/kap/hr), kacang-kacangan (490,7 kkal/kap/hr)/AKE (101,8 kkal/kap/hr) dan sayur/buah (147,9 kkal/kap/hr)/AKE (122,2 kkal/kap/hr) tetapi konsumsi energi kelompok pangan yang lain justru dibawah angka kecukupan energi penduduk seperti umbi-umbian (48,1 kkal/kap/hr)/AKE (122,2 kkal/kap/hr), hewani (154,9 kkal/kap/hr)/AKE (244,3 kkal/kap/hr), minyak dan lemak (123,9 kkal/kap/hr)/AKE (203,6 kkal/kap/hr), gula (33,0 kkal/kap/hr)/AKE (101,8


(13)

produktif.

Konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju (2365,6 kkal/kap/hr) lebih rendah dibanding dengan wilayah ekonomi menengah (2390,9 kkal/kap/hr) dan wilayah ekonomi tertinggal (2758,9 kkal/kap/hr), tetapi masih lebih tinggi dengan AKE (2007,6 kkal/kap/hr), namun konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju lebih mendekati dengan angka rekomendasi nasional (2000 kkal/kap/hr). Hal ini menunjukkan pola konsumsi ekonomi maju lebih baik dibanding dengan ekonomi menengah dan tertinggal.

Rata-rata konsumsi protein (85,9 gram/kap/hr)/160,5%, melebihi angka kecukupan protein (52,9 gram/kap/hr) juga diatas AKP anjuran WKPNG 2004 (52 gram/kap/hr), tingginya konsumsi protein disebabkan tingginya partisipasi konsumsi kelompok pangan kacang-kacangan (tahu/tempe). Kelebihan konsumsi protein dari AKP akan tidak bermanfaat bagi tubuh sebagai sumber zat pembangun, tetapi akan dibuang untuk menggantikan sebagai sumber tenaga (energi) yang kurang dari konsumsi bahan pangan lain.

Dengan pertumbuhan penduduk Kabupaten Ngawi sebesar 0,78/tahun, maka analisa target penyediaan kebutuhan pangan tahun 2010 (453.906 ton/tahun) dan dapat ditargetkan penyediaan 100 % dan menjadi sehat, aktif dan produktif tahun 2020 dengan total pangan 334.605 ton/tahun. Dalam target penyediaan ini masing-masing kelompok pangan ada yang turun ada pula yang harus dinaikkan, sehingga akan tercipta peluang pasar pangan.

Kata kunci:Analisis Situasi Konsumsi Pangan, Pola Pangan Harapan (PPH), Peluang Pasar Pangan Berdasar PPH.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan suatu hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan adalah merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dalam Undang-Undang tersebut diamanatkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Ketahanan Pangan (PP Nomor 68 Tahun 2002), adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, serta terjangkau. Beberapa hasil kajian menunjukkan persediaan pangan yang secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Martianto dan Ariani (2004), menunjukkan bahwa walaupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun


(15)

jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap provinsi masih tinggi yakni 18%. Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Pada kondisi buruk penurunan produktifitas perorangan diperkirakan lebih dari 10% dari potensi pendapatan seumur hidup dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2-3 persen. Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (konsensus Kopenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan ekonomi (economic returns) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17 alternatif investasi pembangunan lainnya. Dalam PP tersebut juga disebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan keseluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin distribusi pangan. Disamping itu untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan serta kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang. PP tersebut juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan, teknologi bidang pangan serta penyuluhan di bidang pangan. Kerjasama internasional dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan,


(16)

3

cadangan pangan, pencegahan dan penenggulangan masalah pangan juga riset dan teknologi pangan. Beberapa alasan substansial perlunya perencanaan pangan untuk pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi dan harmoni yaitu subsistem kretersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Berkaitan dengan itu sebagai dasar untuk perencanaan dan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan berbagai upaya dibidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu parameter yang memadai. Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini juga menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumah tangga.

Jumlah, keragaman dan mutu gizi pangan secara sederhana dapat diamati dari suatu susunan atau pola ketersediaan dan konsumsi pangan, salah satu parameter sederhana yang dapat dipakai untuk menilai tingkat keanekaragaman dan mutu gizi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi, akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa,


(17)

daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli (Hardinsyah, 1996).

1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH.

Pola Konsumsi Pangan dapat diterapkan baik untuk tingkat Nasional, Regional (propinsi dan kabupaten), dan keluarga tergantung keperluannya, sedangkan penilaiannya dapat dilakukan melalui sisi kualitas dan sisi kuantitas.

Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal (skor PPH 100) memerlukan upaya yang harus benar-benar diperhitungkan oleh semua sektor. Upaya tersebut tidak cukup pada sisi penyediaan saja, tetapi juga peningkatan pendapatan dan peningkatan pengetahuan tentang perbaikan gizi yang mempengaruhi perbaikan mutu gizi masyarakat. Status gizi merupakan muara dari sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik-buruknya ketahanan pangan suatu daerah.

.Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satupun jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan cukup dalam jumlah jenisnya. Semakin tinggi skor mutu pangan yang dihitung menggunakan pendekatan PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik/berimbang, sehingga konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal sebagai Angka


(18)

5

Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKPNG VIII 2004).

1.3. Perumusan Masalah.

Beberapa kebijakan-kebijakan di atas ternyata belum memberikan hasil optimal dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan. Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh skor pola pangan harapan (PPH) dan rapuhnya ketahanan pangan. Berdasarkan data susenas tahun 2005 skor PPH baru mencapai 78,2 yang mana skor idealnya adalah 100. Sedangkan indikator lemahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga diindikasikan oleh (a). Jumlah penduduk rawan pangan (konsumsinya < 90% dari AKG) yang masih cukup besar yaitu 52,33 juta jiwa pada tahun 2002. Dari jumlah tersebut 15,48 juta jiwa diantaranya merupakan penduduk sangat rawan (konsumsinya <70% AKG); (b). Balita kurang gizi masih cukup besar yaitu 5,02 juta pada tahun 2002 dan 5,12 juta pada tahun 2003 (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).

Permasalahan dan kondisi tersebut apabila dibiarkan akan berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya manusia. Berbagai data menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada anak-anak sebagai akibat rendahnya konsumsi pangan akan berdampak terhadap pertumbuhan fisik, mental dan intelektual. Sebagai ilustrasi kekurangan energi protein yang diakibatkan kekurangan makanan bergizi dan infeksi berdampak


(19)

pada kehilangan 5-10 IQ poin (UNICEFF, 1997). Diperkirakan Indonesia kehilangan 330 juta IQ point akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI., 2005). Kondisi di atas juga berdampak pada rendahnya pencapaian indeks pembangunan manusia (human development index = HDI) di Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Hasil penelitian UNDP (2004) menempatkan HDI Indonesia pada urutan ke 111 dari 174 negara yang dinilai.

Fakta di atas mengindikasikan bahwa keanekaragaman konsumsi pangan penduduk sebagai upaya meningkatkan status gizi harus terus diupayakan. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah harus didasarkan pada faktor-faktor yang dapat mempengauhi pola konsumsi makan.

Forum kerja penganekaragaman (2003) dan Monek (2007) mengatakan hambatan dalam penganekaragaman pangan diantaranya dikarenakan (a) Tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia terutama kelas menengah ke bawah relatif rendah, (b) Budaya makan adalah kebiasaan yang sulit untuk diubah, (c) Beras diposisikan sebagai makanan unggulan dan (d) Inovasi dalam bidang aneka pangan relatif terlambat. Selain faktor produksi, ketersediaan, dan budaya, pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, pendidikan, gaya hidup, pengetahuan, aksessibilitas dan sebagainya.


(20)

7

Faktor prestise dari pangan kadang kala menjadi sangat menonjol sebagai faktor penentu daya terima pangan (Martianto dan Ariani, 2004).

Dilihat dari perjalanan program diversifikasi selama ini, belum optimalnya pencapaian diversifikasi konsumsi pangan diduga karena (a) minimnya implementasi di lapangan dalam memasarkan dan mempromosikan pentingnya diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini tidak seperti pemasaran sosial tentang KB yang bisa merubah pola pikir masyarakat yaitu keluarga sejahtera cukup dengan dua anak, dan (b) Penerimaan konsumen atas produk yang relatif rendah. Kondisi ini menyangkut tentang citra, nilai sosial ekonomi, dan mutu gizi pangan sumber karbohidrat non beras yang selama ini dianggap inferior. Hak atas pangan bagi rakyat seharusnya menjadi perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia.

Kelaparan dan kekurangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab akibat dari suatu kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan juga menjadi perhatian dunia, yang dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan dunia.


(21)

Sejalan dengan sistem otonomi, pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan dan atau pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan diwilayahnya masing-masing. Selanjutnya penyelenggaraan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi dan sasaran ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.

Memperhatikan uraian di atas maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kajian tentang situasi konsumsi pangan yang dicerminkan oleh perubahan kuantitas dan keanekaragaman konsumsi pangan di masyarakat akibat faktor sosial ekonomi yang berbeda. Keberhasilan dalam kajian tersebut diharapkan dapat mempercepat pengembangan penganekaragaman di daerah dengan tetap memperhati-kan kekhasan daerah dan dapat memberikan kontribusi terhadap pem-bangunan ketahanan pangan regional maupun nasional.

Kabupaten Ngawi memiliki sumber keragaman pangan yang cukup tinggi. Beberapa komoditas penting pendukung sistem ketahanan pangan banyak berkembang di sini, misal untuk tanaman sumber karbohidrat : padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar. Untuk tanaman sumber protein adalah: kedelai, kacang tanah, kacang hijau. Sebaran komoditas tanaman pangan terdapat di hampir seluruh kecamatan (19 kecamatan). (BPS Kabupaten Ngawi, 2009). Ternak dan ikan sumber protein hewani


(22)

9

yang banyak berkembang diantaranya adalah: ayam ras dan buras, sapi kambing, ikan: gurami, tawes, nila, mujahir, lele.

Konsep PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep triguna pangan. Keseimbangan jumlah antara kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Konsep gizi seimbang juga tergantung pada keseimbangan antara asupan (konsumsi) zat gizi dan kebutuhannya maupun jumlahnya antara waktu makan. Selain PPH, konsep gizi seimbang terdapat dalam slogan “Empat Sehat Lima Sempurna” maupun slogan “Panganku Beragam Bergizi, Berimbang dan Aman” (3B). Dengan adanya perkembangam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) diperlukan pesan-pesan gizi agar masyarakat tetap dapat mewujudkan derajat kesehatan dengan optimal.

Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan sejalan dengan kebijakan dan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan Kabupaten Ngawi salah satunya adalah melakukan perencanaan kebutuhan konsumsi maupun ketersediaan pangan dengan menggunakan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) sehingga pembangunan ketahanan pangan yang berbasis sumber daya lokal dapat terwujud.

Dalam konteks pembangunan ketahanan pangan harus senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup, bermutu dan aman sepanjang waktu bagi setiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Informasi


(23)

mengenai pangan yang dikonsumsi, frekwensi konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan status gizi penduduk. Sejarah mencatat pengumpulan data konsumsi pangan telah digunakan sejak pertengahan abad ke-18 untuk mempelajari hubungan antara konsumsi bahan pangan tertentu dengan kejadian suatu penyakit. Dari uraian diatas permasalahan-permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah konsumsi pangan penduduk sudah memenuhi anjuran untuk hidup sehat dan produktif?.

2. Apakah ada perbedaan pola konsumsi pangan menurut karakteristik wilayah ekonomi?.

3. Berapakah jumlah penyediaan bahan pangan pada 10 tahun yang akan datang?.

1.4. Tujuan Penelitian.

Bertitik tolak dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH)..

2. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di wilayah ekonomi maju, menengah dan tertinggal.


(24)

11

3. Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).

1.5. Kegunaan Penelitian.

A. Pemerintah.

Pola Pangan Harapan (PPH) berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan penduduk yang berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. Disamping itu juga sebagai basis perhitungan skor PPH yang digunakan untuk indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan.

Membantu pejabat/aparat dinas/instansi dalam menganalisis situasi, proyeksi konsumsi, kebutuhan pangan penduduk dan target penyediaan pangan wilayah dalam rangka merumuskan kebijakan, strategi, program pangan dan gizi wilayah.

B. Akademisi

Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai fungsi mengarahkan menuju gizi seimbang hal ini diperlukan peningkatan pengetahuan sumberdaya manusia dalam program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan, pemberian muatan pangan dan gizi pada pendidikan formal dan non formal.


(25)

Peningkatan kerja sama dan kemitraan antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi, maka pengembangan ketahanan pangan dengan alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian akan menciptakan inovasi-inovasi baru dalam rangka pemantapan ketahanan pangan.

C. Masyarakat.

Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutitional adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability). Suharjo (1992) menyatakan bahwa dengan adanya PPH, maka perencanaan produksi dan penyediaan pangan dapat didasarkan pada patokan imbangan komoditas seperti yang telah dirumuskan dalam PPH untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk. PPH yang disajikan dalam bentuk kelompok pangan memberi keleluasaan untuk menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan potensi setempat.


(26)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian terdahulu.

Rata-rata konsumsi energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hari atau mencapai 95% dari angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII 2004) sebesar 2000 kkal/kap/hari, protein sebesar 62,30 gram/kap/hari atau mencapai 119,81% dari angka kecukupan protein (AKP) sebesar 52 gram/kap/hari, skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 78 dari nilai skor maksimal 100 yang diharapkan tercapai pada tahun 2020. Pola konsumsi pangan penduduk Jawa Timur tahun 2005 masih belum memenuhi Pola Pangan Harapan Ideal, hal ini tercermin dari data Susenas 2005 yang mengisyaratkan masih tingginya konsumsi kelompok padi-padian dominan beras, masih rendahnya konsumsi kelompok pangan umbi-umbian (53,40%), kelompok pangan hewani (47,20%) serta kelompok pangan sayur dan buah (82,12%). (BKP. Jatim, 2006).

Akmal (2003), menganalisis hubungan antara kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap pola konsumsi. Data diambil dari survei terhadap responden 170 keluarga dengan teknik pengambilan sampel acak berstratifikasi dan dianalisa menggunakan statistik inferensial dan diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan


(27)

total keluarga. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus dengan pendapatan total keluarga,

(2) Kelompok jenis pekerjaan sebagai buruh yang umumnya tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi namun membutuhkan proporsi alokasi konsumsi pangan relatif lebih besar daripada jenis pekerjaan yang tidak banyak membutuhkan kekuatan otot, (3) Semakin tinggi tingkat pendidikan maka proporsi alokasi konsumsipangan akan semakin berkurang atau dengan kata lain proporsi konsumsi pangan berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan.

Kajian dari Tri Bastuti dan Mewa Ariani (2007), yang mengkaji pola pengeluaran dan konsumsi pangan rumah tangga petani padi. Data yang digunakan PATANAS 2007 dengan jumlah contoh sekitar 350 petani padi di 5 provinsi (Jawa dan Luar Jawa). Analisis dilakukan secara diskriptif kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1). Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan di Provinsi yang lainnya; 2). Pengeluaran rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani; 3). Beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38-63 persen di Jawa dan 53-94 persen di luar Jawa; 4). Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi antar desa, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Dan sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian (44-69%).


(28)

15

A. Ayiek Sih Sayekti (2002), dalam penelitiannya tentang konsumsi pangan rumah tangga pada wilayah yang berbeda historis makanan pokok (beras dan non beras) di Provinsi Sumatra Barat, Kalimantan Timur dan Papua. Data yang digunakan SUSENAS 1999 dan 2002, dianalisis dengan tabel dan grafik terhadap 11 kelompok pangan untuk Indonesia, Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Terdapat perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah historis konsumsi beras dan non beras daerah pedesaan dan perkotaan pada berbagai strata pendapatan; 2). Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian pada wilayah historis beras lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis konsumsi non beras; 3). Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian (beras) pada wilayah historis makanan pokok beras di daerah perkotaan lebih rendah daripada di perdesaan dan di wilayah historis non beras lebih tinggi di perkotaan; 4). Konsumsi karbohidrat umbi-umbian pada wilayah historis makanan pokok non beras lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis konsumsi beras; 5). Konsumsi sumber karbohidrat umbi-umbian untuk sebagian besar jenis umbi pada wilayah historis makanan pokok beras dan non beras, di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan; 6). Konsumsi sumber protein nabati yaitu kacang-kacangan dan sumber protein hewani yaitu daging, telur dan susu lebih tinggi di wilayah historis konsumsi makanan pokok non beras dibandingkan di wilayah historis beras, sedangkan kelompok lainnya bervariasi; 7). Pada seluruh wilayah, semakin tinggi pendapatan semakin rendah konsumsi pangan sumber


(29)

karbohidrat padi-padian dan semakin tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur dan susu serta makanan dan ninuman jadi, sedangkan untuk kelompok pangan lain bervariasi.

Rahayu Relawati (2003), dalam penelitannya yang berjudul “Perilaku konsumsi dan tingkat kecukupan gizi masyarakat desa dan kota”. Jumlah sampel masing-masing 50 rumah tangga (total 100 rumah tangga), analisis menggunakan cara deskriptif dan inferensia (uji t). Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut : Perilaku konsumsi masyarakat desa dan kota masih memprioritaskan karbohidrat, meskipun jika dibandingkan antara masyarakat desa dan kota konsumsi protein dan lemak lebih baik pada masyarakat kota. Kecukupan gizi pada masyarakat kota juga relatif baik pada masyarakat kota, terutama untuk masyarakat desa standar kalori dan lemak masih belum memenuhi standar Pola Pangan Harapan (PPH) nasional. Jika dibandingkan antara kelompok pendapatan rendah dan tinggi, hampir semua sumber gizi (kalori, protein dan lemak) berbeda secara signifikan baik di desa maupun di kota. Untuk masyarakat desa hanya lemak yang tidak berbeda, sedangkan untuk masyarakat kota hanya kalori yang tidak berbeda.

2.2 Landasan Teori. A. Ketahanan Pangan.

Pada era kemerdekaan, peraturan perundangan yang secara eksplisit mengatur kebijakan ketahanan pangan nasional adalah


(30)

Undang-17

Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalam undang-undang tersebut dirumuskan secara khusus tentang konsep ketahanan pangan dan upaya mewujudkannya. Sejalan dengan evolusi pemikiran tentang pangan dan ketahanan pangan, definisi ketahanan pangan juga dirumuskan secara beragam dan berkembang sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing, baik pada tataran global maupun nasional (Suryana 2003b; Wiganda 2003; Arifin 2004). Hal ini disebabkan ketahanan pangan (food security) mencakup banyak aspek, mulai dari penyediaan, distribusi hingga konsumsi (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

Para ahli ekonomi pembangunan telah membahas adanya keterkaitan yang erat antara kemiskinan (poverty) dan ketidaktahanan pangan (food insecurity). Deklarasi World Food Summit, five years later

menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan agar kelaparan dan kemiskinan di dunia dapat dihapuskan (FAO 2002). Hal ini didasari kenyataan bahwa 70% penduduk miskin tinggal di pedesaan dengan sumber utama pendapatan dari sektor pertanian. Sejalan dengan deklarasi ini, International Food Policy Research Institute (IFPRI 2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pencapaian ketahanan pangan di masing-masing negara. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut harus disertai dengan kemampuan masing-masing negara untuk memanfaatkannya yang dapat memberi manfaat


(31)

bagi orang miskin, atau disebut pro-poor growth. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi yang disertai pemberdayaan masyarakat dan penyediaan pelayanan publik yang efektif merupakan fondasi bagi upaya pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari aspek ketahanan pangan secara makro di dalam suatu wilayah. Hasil dari sektor pertanian akan secara langsung berdampak pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan primer masyarakat agar sehat dan bergizi baik. Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Ketahanan pangan dapat diartikan bahwa (1) pangan yang cukup yang ditunjukkan oleh ketersediaan pangan yang bukan hanya beras melainkan pangan yang berasal dari pangan nabati dan hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (2) pangan yang tersedia aman untuk dikonsumsi berarti bebas dari bahan kimia, mikroba, dan zat-zat lainnya yang merugikan kesehatan masyarakat dan memenuhi persyaratan halal; (3) pangan dengan kondisi


(32)

19

yang merata dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air; dan (4) pangan dengan kondisi terjangkau diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau (Suryana, 2003). Selanjutnya, Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi dan terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan interaksi antar ketiga subsistem tersebut yang merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input yaitu sumberdaya alam, kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan akan berjalan efisien dengan partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah.

Subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Jumlah penduduk yang cukup besar, membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar yang tentunya memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk memenuhinya. Subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah, waktu, dan individu serta stabilitas harga. Subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh


(33)

pangan dalam jumlah, mutu, keamanan, dan keragaman sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya (Suryana, 2003). Pengembangan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (1). akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2). proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3). ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional (Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP, 2000)). Selain itu ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan pangan. Dalam hal ini, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga yang mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).

Pencapaian sasaran tersebut didukung oleh adanya pergeseran manajemen pembangunan dari pola sentralistis menjadi desentralistis. Undang-undang No 32 Tahun 2004 pasal 14 mengamanatkan bahwa “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi antara lain : a) penanganan bidang kesehatan; b) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya yang


(34)

21

diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pasal 22 mengamanatkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah antara lain mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Situasi ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan pembangunan ketahanan pangan bersama dengan masyarakat sesuai dengan sumberdaya, budaya dan kebiasaannya.

Sub sistem distribusi pangan berfungsi untuk mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan baik jumlah maupun kualitas sepanjang waktu. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga dan daya beli. Akses pangan menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja sub sistem distribusi. Harga (terutama pangan pokok) yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial.

Perencanaan penyediaan pangan yang semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif sehingga tujuan-tujuan pemantapan ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih


(35)

terakomodasi. Dalam konteks ini penyediaaan data pola pangan harapan (PPH) di masing-masing daerah menjadi semakin penting.

Sub sistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman, keseimbangan gizi, keamanan dan halal. Sub sistem ini menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang naik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, berimbang dan aman secara optimal.

Kinerja ketiga subsistem dalam system ketahanan pangan tersebut akan baik apabila tersedia input yang memadai, berupa sumber daya alam (lahan, air, perairan), kelembagaan, budaya, dan teknologi. Ketersediaan input saja tidak cukup untuk menggerakkan proses dalam suatu sistem apabila tidak ditunjang oleh pengaturan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Fasilitasi pemerintah dapat berupa kebijakan ekonomi makro, kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional, pelayanan/ fasilitasi fisik dan nonfisik, intervensi dan pengelolaan pasar terkendali, serta pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, peran masyarakat terutama berkaitan dengan kegiatan produksi, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa pelayanan pangan; peningkatan kesadaran gizi masyarakat; dan pengembangan solidaritas sosial.

Sinergi yang baik antara input, proses, peran pemerintah dan masyarakat akan menghasilkan output sistem ketahanan pangan, berupa: a). pemenuhan HAM atas pangan; b). pengembangan SDM berkualitas;


(36)

23

c). ketahanan pangan, dan d). ketahanan nasional berupa stabilitas ekonomi dan politik.

Dalam sistem ketahanan pangan nasional, ketahanan pangan dimulai pada tingkat rumah tangga, wilayah, dan terakhir nasional. Ada tiga komponen utama pembentukan ketahanan pangan rumah tangga, yaitu produksi sendiri (production), cadangan pangan (stock), dan pendapatan (income). Apabila pendapatan rumah tangga cukup besar sehingga seluruh kebutuhan pangannya dapat secara leluasa dipenuhi dari pasar, maka rumah tangga tersebut termasuk ke dalam rumah tangga tahan pangan, walaupun mereka tidak memproduksi pangan.

B. Pola Konsumsi Pangan.

Konsumsi pangan merupakan subsistem ketahanan pangan yang komprehensip berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek informasi kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein) dan kuantitas bahan pangan yang dikonsumsi.

Walaupun upaya-upaya sudah dirintis sejak dasa warsa 60an, namun sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.


(37)

Konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100% kecuali untuk Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu berkisar 80% (Ariani dan Ashari, 2003). Data Susenas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi yakni 105,2 kg/kapita/tahun.

Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga sangat erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah dengan kendala dalam distribusi pangan antar daerah, menyebabkan pola konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain. Seperti diketahui bahwa Indonesia terbagi kedalam wilayah-wilayah yang secara historis mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, dan wilayah yang mengkonsumsi biji-bijian lain atau umbi-umbian sebagai makanan pokok. Dalam hal ini selain faktor-faktor tersebut diatas, maka faktor kebiasaan (habit) yang berkaitan dengan unsur sosial budaya, lingkungan ekonomi dan kebutuhan biologis yang mempengaruhi seseorang melakukan pemilihan jenis makanan yang mereka konsumsi. Pentingnya kebiasaan makan dapat dilihat dari kondisi dimana makin beragam jenis makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, maka makin baiklah kondisi ini mendukung kebijakan diversifikasi pangan yang merupakan faktor penting dalam pemecahan masalah beras yang merupakan barometer ketahanan pangan nasional.


(38)

25

Terdapat dugaan bahwa pola konsumsi sangat berkaitan erat dengan pola produksi setempat, maka menyebabkan munculnya penelitian-penelitian yang membandingkan tingkat partisipasi konsumsi pangan dengan misalnya tipe agroekosistem daerah (Sudaryanto dan Sayuti, 1999), karena variasi daerah menurut tipe agroekosistem menunjukkan perbedaan sistem usahataninya. Ali (2002), membedakan wilayah historis konsumsi makanan pokok beras dan non beras untuk menganalisa pola konsumsi beras di Indonesia. Dengan perbedaan wilayah-wilayah tersebut ingin diketahui apakah juga ada perbedaan dalam pola konsumsi pangannya. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah dan strata pendapatan yang berbeda untuk beberapa kelompok pangan.

C. Perilaku Konsumen.

Perkembangan menarik perilaku konsumen dalam mengkonsumsi pangan pokok adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok di pedesaan maupun perkotaan yang mengarah kepada bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah maupun mie instan. Pada masa sekarang peranan mie instan sangat dominan disetiap rumah tangga mengkonsumsi makanan ini.

Kecenderungan yang demikian karena kuatnya peranan pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada industri pengolahan tepung terigu dan kemudahan fasilitas lainnya, sehingga


(39)

masyarakat dari belum kenal mie sampai menyenangi makanan tersebut. Selain itu juga gencarnya media massa dalam mempromosikan makanan tersebut dan hingga digemari oleh semua kalangan maupun semua golongan umur. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu justru mengalami peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar 19,2%, untuk makanan mie dan makanan lain berbahan baku terigu 7,9% pada periode 1999-2004 (BKP Provinsi Jawa Timur, 2006).

Produk olahan ini mudah didapat, mudah dimasak dan terjangkau oleh sebagian besar konsumen. Apabila dikaitkan dengan salah satu tujuan program diversifikasi pangan yaitu mengurangi konsumsi ketergantungan pada beras, fenomena ini menciptakan ketergantungan impor gandum. Ketergantungan impor gandum yang semakin besar yaitu 3,5 juta ton pada tahun 2001 dan 3,8 juta ton pada tahun 2002 merupakan hal yang berlawanan dengan tujuan pembangunan pertanian dan konsumsi berkelanjutan (BKP Deptan, 2005).

Diperlukan strategi nasional untuk mengembalikan konsumen pada produk-produk pangan lain seperti ketela pohon, ubi jalar, jagung, sagu dan garut yang merupakan pangan lokal dan diproduksi dari sistem pertanian berkelanjutan. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara ke dua setelah China sebagai produsen terbesar dunia ubi jalar. Bahkan bersama Brasil dan Malaysia memiliki keanekaragaman talas terbesar di dunia.


(40)

27

D. Penawaran dan permintaan

Pasar pangan sudah masuk dalam tataran ketahanan pangan wilayah. Pasar pangan dibentuk dari produksi pangan wilayah, impor, dan instrumen perdagangan. Pasar pangan, bersama produksi nasional, cadangan pangan masyarakat, dan bantuan pangan mendukung ketahanan pangan wilayah. Uraian di atas melukiskan: (1) ada perbedaan dalam hal susunan variabel dan keterkaitannya dalam membangun ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan tingkat agregasi di atasnya (wilayah, nasional), dan (2) yang menghubungkan antara sistem ketahanan pangan rumah tangga dengan sistem ketahanan pangan wilayah dan nasional adalah pasar. Berkaitan dengan hal itu, pengelolaan pasar pangan terkendali menjadi salah satu faktor kunci dalam pencapaian ketahanan pangan nasional. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat agar mampu memasuki pasar tenaga kerja produktif (pertanian maupun non pertanian) sehingga individu dan rumah tangga memperolehpendapatan yang cukup, merupakan salah satu faktor penentu dalam menciptakan ketahanan pangan rumah tangga. Bersamaan dengan itu, penciptaan lapangan kerja produktif menjadi prasyarat bagi tercapainya ketahanan pangan, baik di tingkat rumah tangga maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan dan terus menerus, agar dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan ketahanan pangan itu sendiri. Berkaitan dengan aspek ketersediaan,


(41)

sumberdaya alam sangat berperan untuk peningkatan produksi, maka perlu inovasi-inovasi teknologi guna mendapatkan efek yang luas. Dan pandangan ini melihat dari sisi suplai (supply side).

Bila dilihat dari potensi sumberdaya dalam upaya untuk menyediakan bahan pangan dan hasil pertanian pada umumnya bagi konsumen maka potensi dapat dilihat dari sisi demand (demand side). Dari sisi demand maka potensi sektor pertanian perlu adanya pasar, sarana prasarana transportasi dan juga komunikasi. Dengan terpadunya elemen ini maka potensi akan memiliki spektrum luas dalam pembangunan wilayah.

Garis besarnya adalah dalam aspek ketersediaan, potensi yang ada merupakan kekuatan untuk melakukan pembangunan yang lebih terarah. Kekuatan ini masih muncul karena keunggulan komparatif yang dimliki Jawa Timur, sehingga diperlukan upaya-upaya dalam peningkatan mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantage) menuju pada keunggulan kompetitif (competittive advantage) yang lebih baik dengan wilayah maupun negara lain.

Potensi sumberdaya alam yang merupakan keunggulan komparatif memerlukan manajemen lebih mendalam sehingga pemanfaatan sumberdaya melalui perencanaan yang layak dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, kesejahteraan dan pemerataan. Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya juga harus mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang efektif dan efisien serta berwawasan keberlanjutan.


(42)

29

Evaluasi dilakukan terus menerus untuk menjaga agar penyimpangan atas perencanaan dapat ditangani untuk mendapatkan output yang telah ditetapkan.

Disisi lain tingginya produktivitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input secara optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh baik itu menekan kehilangan hasil pasca panen, handling produk (misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan tata guna air.

E. Pola Pangan Harapan

Sejak diperkenalkannya konsep Pola Pangan Harapan (PPH) dan skor PPH pada awal dekade 90an di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan dalam kebijakan pembangunan pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan dan diversifikasi pangan.

Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau skor PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan. Pada prinsipnya tatacara perhitungan untuk penilaian keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama, yang membedakannya adalah data yang digunakan.


(43)

Untuk penilaian keragaman ketersediaan dengan instrumen PPH digunakan data ketersediaan pangan yang disajikan dalam Neraca Bahan Makanan (NBM) dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKE) pada tingkat penyediaan 2200 kkal/kapita/hari (nasional). Sedangkan untuk penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan dengan instrumen PPH digunakan data konsumsi pangan dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKE) pada tingkat konsumsi 2000kkal/kapita /hari. Oleh karena itu keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan menghitung skor PPH. Sebaiknya diupayakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi terkini dari keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan. (PSKPG, IPB dan BBKP, Deptan, 2002, 2005).

FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Dengan demikian PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dan berbagai kelompok pangan untuk memenuhi gizi baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya, dan agama.

Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH maka konsumsi pangan semakin beragam


(44)

31

dan seimbang. Pangan yang dikonsumsi secara beragam dan jumlah cukup dan seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Keanekaragaman pangan tersebut mencakup kelompok: 1). padi-padian; 2). umbi-umbian; 3). pangan hewani; 4). minyak dan lemak; 5). buah/biji berminyak; 6). kacang-kacangan; 7). gula; 8). sayur dan buah; 9). lain-lain. Kinerja subsistem konsumsi pangan antara lain tercermin dalam pola konsumsi masyarakat dan rumahtangga.

Secara garis besar pola pikir perencanaan pangan daerah dengan menggunakan pendekatan PPH perlu memperhatikan beberapa aspek yaitu sebagai berikut :

1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi pangan saat ini didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan dan tren konsumsi pangan dan gizi.

2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, gizi dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi. 3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi serta agroekologi juga turut

menentukan. Kondisi tersebut meliputi pendapatan keluarga, potensi agroekologi untuk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk.


(45)

maupun lokal, turut menentukan.

F. Pengaruh Perlakuan Pangan Terhadap Gizi

1. Masalah gizi di masyarakat saling berhubungan di seluruh siklus hidup dan atau antargenerasi, mulai dari dalam kandungan, bayi, anak balita, anak sekolah, remaja, orang dewasa, dan seterusnya. Masalah gizi ini akan terus memburuk kalau tidak ada intervensi untuk memutus siklus masalah tersebut.

2. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi situasi pangan dan gizi masyarakat. Berbagai faktor tersebut saling terkait dan biasanya sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut adalah kemampuan produksi, penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, daya beli rumah tangga, pendidikan, pola asuh dalam keluarga, kesadaran gizi, dan keadaan kesehatan. Faktor-faktor tersebut biasanya selalu berkembang seiring dengan perkembangan keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di masyarakat.

3. Secara nasional ketersediaan energi dan protein selama lima tahun terakhir sudah mencukupi meskipun masih diperlukan peningkatan produksi pangan mengingat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Sedangkan konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan, tetapi konsumsi protein sudah mencukupi. Analisis terhadap konsumsi energi lebih lanjut menunjukkan bahwa di semua


(46)

33

provinsi terdapat rumah tangga yang tergolong rawan pangan, yaitu sekitar 23 persen rumah tangga mengalami rawan pangan.

4. Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan berbagai bahan makanan atau kelompok bahan makanan yang didasarkan pada sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk, baik kuantitas maupun keragamannya, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa.

5. Masyarakat Indonesia di semua siklus hidup masih menghadapi masalah gizi. Masalah gizi paling berat dihadapi oleh anak balita dan ibu hamil.

6. Secara teoritis ada berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah gizi adalah: a). peningkatan ketersediaan pangan; b). perbaikan ekonomi; c). perbaikan pendidikan; d). perbaikan konsumsi pangan; e). perbaikan keadaan kesehatan.

G. Prinsip-prinsip Kecukupan Gizi

Ada pergeseran konsep standar gizi yang digunakan pada masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu hanya dibuat satu standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi yang dianjurkan (recommended dietary allowances,


(47)

RDA) untuk keperluan berbagai tujuan. Pada masa kini standar gizi dibuat tidak tunggal lagi, tergantung tujuan penggunaannya, yaitu kebutuhan rata-rata (estimated average requirement, EAR), asupan gizi yang cukup (Adequate Intake, AI), kecukupan gizi (recommended dietary allowances, RDA), dan batas atas asupan (Tolerable Upper Intake Level, UL). Untuk keperluan di Indonesia hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 menetapkan tiga standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi (AKG), batas atas asupan (UL), dan acuan label gizi (ALG). Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali simpangan baku (2 SD). Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan adalah sebagai berikut: 1). untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan; 2). untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk perencanaan institusi; 3). untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional; 4). untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan; 5). untuk bahan pendidikan gizi.


(48)

35

Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut: 1). tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh; 2). ukuran dan komposisi tubuh; 3). jenis kelamin; 4). keadaan kesehatan tubuh; 5). keadaan fisiologis tubuh; 6). kegiatan fisik; 7). lingkungan; 8). mutu makanan; 9). gaya hidup.

Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin C, tiamin, riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor. Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000 kkal dan taraf persediaan 2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein tingkat nasional pada taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57 gram. Kecukupan gizi untuk pelabelan produk makanan yang dikemas disebut dengan acuan label gizi (ALG). Hasil diskusi kelompok kerja II pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 menetapkan bahwa acuan label gizi (ALG) dibuat untuk berikut ini: 1). Makanan/pangan yang dikonsumsi untuk umum; 2). Makanan untuk bayi usia 0-6 bulan; 3). Makanan untuk anak usia 7-23 bulan; 4). Makanan untuk anak usia 2-5 tahun dan 5). Makanan untuk ibu hamil dan menyusui.


(49)

Perencanaan pembangunan produksi dan penyediaan pangan selama ini lebih menekankan pada sisi suplai atau mengejar target ketersediaan. Faktor teknis, ekonomis dan seringkali politis dijadikan landasan utama dalam perencanaan penyediaan pangan bagi masyarakat. Yang dimaksud dengan pangan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Rumusan kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2006-2009 tertuang dalam dokumen yang diterbitkan Dewan Ketahanan Pangan (2006). Dalam dokumen tersebut dinyatakan secara jelas bahwa ketahanan pangan akan terwujud bila terpenuhinya dua aspek sekaligus, yaitu: (1) pangan tersedia secara cukup dan merata untuk seluruh penduduk, dan (2) setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi atas pangan untuk hidup sehat dan produktif.

Persoalan mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan terfokus pada dua hal pokok. Pertama, adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat daripada pertumbuhan produksi


(50)

37

pangan domestik. Kedua, besarnya proporsi kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan (Suryana 2000).

Arah pembangunan ketahanan pangan yaitu: (1) mewujudkan kemandirian pangan guna menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan tersebut merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta. Pada dasarnya, pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro (rumah tangga serta individu) dan di tingkat makro (nasional).

Urutan pencapaian tujuan ini mempunyai makna strategis, karena secara eksplisit pendekatan ini menetapkan pembangunan ketahanan pangan yang ingin dicapai adalah pada tingkat mikro/rumah tangga.

Salah satu dari 13 pesan dari Pedoman Umum Gizi Seimbang, ”Makanlah Aneka Ragam Makanan”. Tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif. Oleh karena itu, setiap orang perlu mengkonsumsi anekaragam makanan; kecuali bayi umur 0-6 bulan yang cukup mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-6 bulan, ASI adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam proses tumbuh kembang dirinya secara wajar dan sehat.

Hal ini membawa konskuensi bahwa setiap rumah tangga dan anggotannya mempunyai akses untuk memenuhi kebutuhan pangan


(51)

sehingga mampu menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik maupun intelegensia akan menjadi tulang punggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun politik

Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut Departemen Pertanian menetapkan beberapa langkah strategis untuk mencapai sasaran ketahanan pangan di atas antara lain dengan cara : 1). Mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi potong; 2). Merenovasi dan memperluas infrastruktur fisik dengan merehabilitasi jaringan irigasi lama dan membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di luar Jawa serta membuka lahan pertanian baru, khususnya lahan kering di


(52)

39

luar Jawa; 3). Menahan laju konversi lahan sawah di Jawa melalui penetapan ”lahan abadi” untuk usaha pertanian; 4). Mempercepat penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas, teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca panen serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah; 5). Mempercepat pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas tersebut untuk meningkatkan daya saingnya; 6). Membangun sistem perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut; 7). Memberikan subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan proteksi kepada kelima komoditas tersebut; 8). Merevitalisasi sistem penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani; 9). Mengembangkan sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu mendistribusikan produk dan return/keuntungan secara efisien dan adil; 10). Mengembangkan sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan mikro pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber permodalan/pembiayaan pertanian; 11). Memberikan insentif berinvestasi di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk menyederhanakan proses perizinan investasi di sektor pertanian; 12). Memperjuangkan komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis (SP) dalam perundingan W.T.O.

Dalam realitasnya untuk mewujudkan program ketahanan pangan yang efektif dan efisien di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini erat kaitannya


(53)

dengan aspek sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang saat ini belum menggembirakan. Sebagai gambaran misalnya program ketahanan pangan di Kabupaten Ngawi masih dihadapkan pada beberapa masalah yang mendasar, beberapa permasalahan yang kerap kali muncul antara lain dikarenakan : 1). Tingginya penduduk miskin di Ngawi yang berpotensi besar terjadi rawan pangan dan gizi; 2). Belum tergalinya potensi pangan lokal yang dapat mensubstitusi beras dan terigu; 3). Belum optimalnya pencapaian produktivitas dan kualitas produk produk pertanian; 4). Distribusi pangan di tingkat masyarakat belum merata, padahal produksi pertanian cukup tinggi; 5). Fluktuasi harga gabah di tingkat petani pada saat panen raya; 6). Belum adanya kelembagaan ketahanan pangan yang bersifat struktural dan operasional di tingkat kabupaten serta peran dan fungsi dewan ketahanan pangan yang belum optimal; 7). Penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil produksi pertanian yang belum optimal; 8). Masih banyak ditemukan pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi baik pada proses budidaya maupun pada saat pengolahan; 9). Terbatasnya sarana dan prasarana, permodalan, akses pergudangan/penyimpanan pengolahan dan jaringan pemasaran; 10). Masih tingginya hama penyakit dan bencana alam yang mengganggu terhadap produksi serta kenaikan harga bbm yang berdampak besar pada daya beli masyarakat dan struktur biaya produksi pertanian.


(54)

41

Dari gambaran tersebut, efektifitas kinerja program ketahanan

pangan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan sektor pertanian, baik primer maupun sekunder (produk olahan). Oleh karenanya revitalisasi pertanian di berbagai daerah akan banyak membantu keberhasilan program ketahanan pangan ini. Tidak ada satu bangsapun yang dapat membangun perekonomiannya tanpa menyelesaikan masalah pangan terlebih dahulu, oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidaktahanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun keamanan sehingga tidak kondusif untuk melaksanakan pembangunan.

Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas SDM, yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga dan individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap level pemerintahan baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembangunan ketahanan pangan.

Secara operasional, perencanaan kebutuhan pangan dapat didasarkan pada pendekatan pemenuhan gizi seimbang. Artinya, perencanaan kebutuhan pangan dilakukan berdasarkan AKG (Angka Kecukupan Gizi) dan PPH (Pola Pangan Harapan). Pendekatan lain dalam perencanaan pangan adalah berdasarkan kebutuhan aktual.


(55)

Artinya, perencanaan kebutuhan pangan ditujukan untuk menjamin ketersediaan pangan sesuai dengan permintaan aktual masyarakat sebagai cerminan pendapatan, harga pangan, preferensi pangan, nilai sosial pangan dan budaya pola konsumsi pangan. Dengan demikian paradigma yang digunakan dalam perencanaan penyediaan pangan adalah dengan memperhatikan keanekaragaman pangan dan keseimbangan gizi yang sesuai dengan daya beli, preferensi konsumen dan potensi sumberdaya lokal. Salah satu acuan/pendekatan yang dapat digunakan untuk itu adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini pertama kali dilontarkan oleh FAO Kantor Wilayah Asia Fasifik (FAO-RAPA) pada tahun 1988. Pendekatan PPH merupakan pelengkap dua pendekatan sebelumnya (Hardinsyah, et. al, 2001).

Pembangunan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1). Akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; 2). Proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; 3). Ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan nasional. (Badan Urusan Ketahanan Pangan, 2000).

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan persediaan dan konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah diperlukan suatu parameter. Pola persediaan dan konsumsi pangan penduduk dapat merupakan


(56)

43

gambaran umum dari pola ketahanan pangan. Gambaran ketahanan pangan yang ditinjau dari aspek produksi dan konsumsi secara keseluruhan akan mampu mengindikasikan permasalahan dalam konsumsi pangan di suatu daerah. Hal tersebut disebabkan pada pola produksi pangan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat produksi kegiatan usaha tani yang dilakukan di daerah tersebut, konversi lahan, menurunnya tingkat produktifitas dan adanya distribusi pangan yang terkendali dengan baik, sedangkan pada pola konsumsi dipengaruhi oleh pola budaya, kemampuan masyarakat atau tingkat daya beli masyarakat, selera dan harga dari pangan itu sendiri.

Tingginya produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input secara optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh baik itu menekan kehilangan hasil pasca panen, penyimpanan maupun dalam aspek tata guna air.

Ketergantungan pada satu jenis pangan akan sangat berbahaya bagi ketahanan pangan dalam jangka panjang, sehingga diversifikasi pangan perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan bidang pangan. Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat positif bila pangan lokal dikembangkan kembali dan upaya dibangkitkan dari potensi lokal sehingga mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi atas pangan lokal dapat dikenalkan teknologinya, sehingga masyarakat dapat mengakses peluang usaha produktif baru dan dapat dikembangkan


(57)

sebagai sumber pendapatan keluarga. Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan produksi ini harus bersifat market driven dan mendasar pada preferensi konsumen.

Dasar pemantapan ketahanan pangan yang tertuang dalam dokumen Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2009 adalah percepat-an pengpercepat-anekaragampercepat-an konsumsi ppercepat-angpercepat-an berbasis sumberdaya lokal. Dalam lampiran dokumen tersebut dinyatakan bahwa lebih 90 persen masalah kesehatan terkait dengan makanan. Faktor penentu mutu makanan adalah keanekaragaman jenis pangan, keseimbangan gizi dan keamanan pangan. Ketidakseimbangan gizi akibat konsumsi pangan yang tidak beranekaragam telah membawa dampak pada munculnya masalah gizi ganda di Indonesia, yaitu gizi kurang maupun gizi lebih.

Indikator untuk mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan masyarakat adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang ditunjukkan dengan nilai 95 dan diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015. Sesuai dengan kewenangan masing-masing kabupaten/kota ikut bertanggung jawab dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengendalian Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, untuk mewujudkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman yang berkoordinasi dengan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten. Dari uraian tersebut maka gambaran pola konsumsi,


(58)

45

produksi dan ketahanan pangan dapat dijadikan sebagai dasar per-imbangan dari pembangunan bidang ketahanan pangan.

Di sisi lain dengan adanya peningkatan jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya jumlah konsumsi pangan dan menurunnya produksi akibat peralihan fungsi lahan produktif menjadi perumahan, sehingga dari kondisi dan uraian tersebut diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


(59)

Gambar 1: Bagan dan Alur Pemikiran

P P H

TARGET PENYEDIAAN

PANGAN

KABUPATEN NGAWI

POLA PANGAN BERAGAM BERGIZI BERIMBANG DAN

AMAN

KONSUMSI PANGAN

KETERSEDIAAN PANGAN

DISTRIBUSI PANGAN


(60)

BAB. IV. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu.

Penelitian tingkat kabupaten/kota ini dilaksanakan terhadap 9 (sembilan) kecamatan, masing-masing kecamatan terdiri dari 3 (tiga) desa pada bulan April sampai dengan Mei 2010 di wilayah kabupaten Ngawi. Teknik penentuan wilayah sampel berdasarkan Klasifikasi Fungsi Wilayah yang terbagi dalam Karakteristik Wilayah Ekonomi Maju, Sedang dan Tertinggal, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana keragaman kecukupan pangan di suatu daerah pada kurun waktu tertentu. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan kombinasi area sampling (area sampling technique). Teknik ini bertujuan untuk melakukan kajian pada suatu wilayah yang memiliki karakteristik yang heterogen. Karena pertimbangan keterbatasan sumberdaya dan prinsip keterwakilan angka kecukupan gizi keluarga, maka perlu dilakukan penyesuaian pada tahap pengambilan contoh keluarga, dimana dalam penentuan keluarga yang dijadikan sampel pada tingkat desa sebagai unit wilayah terkecil dilakukan secara purposive. Batasan-batasan dalam penelitian pola konsumsi pangan adalah sebagai berikut:

1. Wilayah survey konsumsi pangan adalah wilayah Kabupaten Ngawi. 2. Struktur wilayah yang dijadikan sampling frame wilayah adalah


(61)

3. Karakteristik wilayah yang digunakan sebagai basis pengelompokan wilayah adalah karakteristik wilayah ekonomi adalah tingkat kecamatan yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok.

4.2 Penentuan Populasi dan Pengambilan Sampel.

Penentuan populasi survei pola konsumsi pangan adalah seluruh rumah tangga yang secara de facto dan de jure tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi. Sedangkan pengambilan sampel atau pemilihan rumah tangga sampel adalah sebagai berikut :

1. Mengelompokkan setiap kecamatan berdasarkan karakteristik agroekonomi ke dalam kelompok fungsi wilayah ekonomi maju, wilayah ekonomi menengeh dan wilayah ekonomi tertinggal.

2. Memilih secara acak sebanyak 3 (tiga) kecamatan pada masing-masing kelompok karakteristik agroekonomi wilayah, sehingga akan terpilih sebanyak 3 X 3 karakteristik = 9 kecamatan sampel.

3. Memilih secara acak sebanyak 3 (tiga) desa yang mewakili karakteristik kecamatan, desa yang bersangkutan berada pada masing-masing kecamatan terpilih, sehingga secara keseluruhan akan terpilih sebanyak 3 X 9 kecamatan = 27 desa.

4. Memilih sebanyak 10 (sepuluh) rumah tangga di setiap desa, sehingga total jumlah sampel adalah sebanyak 270 rumah tangga sampel.


(62)

49

4.3 Metode Pengumpulan Data.

Pengumpulan data konsumsi pangan rumah tangga menggunakan metode recall 24 jam. Jenis data yang diperoleh dengan recall 24 jam bersifat kuantitatif karena akan diperoleh data jumlah pangan dari setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Metode ini mempunyai kelebihan yaitu murah, mudah, cepat dan respon dari responden umumnya baik, dapat mengcover sampel dalam jumlah banyak dan dapat digunakan pada seluruh lapisan masyarakat termasuk responden yang buta huruf. Sampel survei konsumsi pangan adalah rumah tangga, responden dalam survei adalah ibu rumah tangga (biasanya mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi anggota rumah tangga).

Adapun data yang dikumpulkan untuk survey konsumsi pangan berupa data karakteristik rumah tangga serta konsumsi pangan rumah tangga yang meliputi:

1. Karakteristik Lokasi dan Waktu Survey yaitu nama kabupaten, kecamatan fungsi wilayah ekonomi kecamatan, alamat lengkap sampel dan waktu survei.

2. Karakteristik rumahtangga terdiri dari nama anggota keluarga, status dalam rumah tangga, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan.

3. Recall Konsumsi Pangan terdiri dari nama dari seluruh jenis pangan dan olahannya serta ukuran rumah tangga (URT) dan gram pangan yang dikonsumsi.


(63)

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah melalui wawancara. Wawancara dilakukan menggunakan kuesionair yang telah disiapkan (lampiran 2), langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Pewawancara menanyakan dan mencatat identitas keluarga contoh yang meliputi nama anggota rumah tangga, status dalam rumah tangga, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan.

1. Pewawancara menanyakan dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden secara spesifik selama kurun waktu 24 jam yang lalu dengan menggunakan alat bantu URT (piring, gelas, sendok, ikat, potong dll) atau contoh pangan/food model. Misalnya, pewawancara datang pada 07.00 (saat itu) dan mundur kebelakang hingga pukul 07.00 pagi hari sebelumnya. Untuk membantu responden mengingat apa yang dimakan, perlu diberi penjelasan waktu kegiatannya seperti waktu baru bangun, setelah sembahyang, pulang dari sekolah/bekerja, sesudah tidur siang dan sebagainya. Selain ditanyakan makanan utama (pagi, siang dan sore), maka perlu juga menanyakan makanan kecil atau jajanan termasuk makanan yang dimakan diluar rumah seperti di restoran, kantor, rumah teman atau saudara.

2. Pewawancara melakukan konversi jenis dan satuan pangan menjadi satuan dan jenis komoditas yang terdapat pada kelompok pangan di Pola Pangan Harapan (PPH) dengan menggunakan Daftar Konversi Ukuran Rumah Tangga (DKURT).


(1)

(Kal) (Gr) (%) 1. Padi-padian

Beras Giling 360,0 6,8 100,0

Jagung Kuning 361,0 8,7 100,0

Terigu 365,0 8,9 100,0

2. Umbi-umbian

Singkong 146,0 1,2 100,0

Ubi Jalar 123,0 1,8 86,0

Kentang 83,0 2,0 85,0

Tales 98,0 1,9 85,0

Garut (tepung) 355,0 0,7 100,0

3. Pangan Hewani

Daging Sapi 207,0 18,8 100,0

Daging Kambing 154,0 16,6 100,0

Ayam 302,0 18,2 58,0

Telur Ayam 162,0 12,8 90,0

Susu Skim 36,0 3,5 100,0

Susu Kental Manis 336,0 8,2 100,0

Ikan Asin Kering 193,0 42,0 70,0

Ikan Segar 113,0 17,0 80,0

4. Minyak dan Lemak

Minyak Kelapa 870,0 1,0 100,0

Minyak Sawit 902,0 0,0 100,0

5. Buah/Biji Berminyak

Kelapa 359,0 3,4 53,0

Kemiri 635,0 19,0 100,0

6. Kacang-kacangan

Tempe Kedelai 149,0 18,3 100,0

Kacang Tanah 452,0 25,3 100,0

Kacang Hijau 345,0 22,2 100,0

7. Gula

Gula Pasir 364,0 0,0 100,0

Gula Merah 356,0 0,4 100,0

Gula Aren 368,0 0,0 100,0

8. Sayuran dan Buah

Kangkung 29,0 3,0 70,0

Kacang Panjang 44,0 2,7 75,0

Bayam 36,0 3,5 71,0

Buncis 35,0 2,4 90,0

Mangga Gadung 44,0 0,7 65,0

Pisang Raja 120,0 3,0 70,0

Rambutan 11,0 0,0 40,0

Pepaya 46,0 0,5 75,0

Jambu Air 46,0 0,6 90,0

Keterangan : Kandungan Gizi (per 100 gram Bahan Pangan) Sumber : Pusat Konsumsi & Keamanan Pangan BKP Deptan 2005 Lampiran 4. Daftar Konversi Ukuran RumahTangga (DKURT) GOLONGAN I


(2)

BAHAN MAKANAN SUMBER KARBOHIDRAT

Bahan-bahan ini umumnya digunakan sebagai makanan pokok.

Satusatuan penukar mengandung 175 kalori, 4 gram protein dan 40 gram Karbohidrat

Keterangan:

Bahan makanan yang ditandai *) kurang mengandung protein, sehingga perlu ditambah ½ satuan penukar bahan makanan sumber protein

Lampiran 4. lanjutan GOLONGAN II


(3)

BAHAN MAKANAN SUMBER PROTEIN HEWANI

Umumnya digunakan sebagai lauk: satu satuan penukar mengandung 95 kalori 10 gram protein dan 6 gram lemak.

GOLONGAN III

BAHAN MAKANAN SUMBER PROTEIN NABATI

Umumnya digunakan sebagai lauk: satu satuan penukar mengandung 80 kalori 6 gram protein dan 3 gram lemak dan 8 karbohidrat.

Lampiran 4. lanjutan GOLONGAN IV


(4)

SAYURAN

Merupakan sumber vitamin dan mineral terutama karotin, vitamin C, zat kapur, zat fospor. Hendaknya digunakan campuran dari daun-daunan seperti bayam, kangkung, daun singkong dengan kacang panjang, buncis, wortel, labu kuning, dsb. 100 gram sayuran campur adalah + 1 gelas (setelah dimasak dan ditiriskan), mengandung 50 kalori, 3 gram protein dan 10 gram karbohidrat.


(5)

GOLONGAN V BUAH-BUAHAN

Merupakan sumber vitamin terutama karoten, vitamin A, B6, C dan sumber mineral. Satu-satuan penukar, mengandung 40 kalori dan 10 gr karbohidrat.


(6)

GOLONGAN VI SUSU

Merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin (terutama vitamin A dan niacin), serta mineral (zat kapur dan fasfor). Satu-satuan penukar mengandung 130 kalori, 7 gr protein, 7 gr lemak dan 9 gr karbohidrat.

*) Untuk melengkapi lemaknya,perlu ditambah 1½ satuan penukar minyak.

GOLONGAN VII MINYAK

Bahan makanan ini hampir seluruhnya terdiri dari lemak. Satu satuan penukar mengandung 45 Kalori dan 5 gram lemak.