Marah dalam Studi Sosial

18 Akan tetapi seseorang yang mengekspresikan kemarahannya ke dalam akan lebih mungkin menghadapi emosi negatif seperti depresi dan rasa malu sebagai konsekuensi kemarahannya. Emosi negatif ini juga menjadi konsekuensi bagi mereka yang mengekspresikan marahnya dengan meninggalkan permasalahan. Ekspresi kemarahan yang terkontrol dan berfokus pada penyelesaian masalah menunjukkan adanya penurunan terhadap semua konsekuensi tersebut.

C. Marah dalam Studi Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh van Daalen-Smith 2008 mencoba memberikan pemahaman baru bahwa kemarahan harusnya dianggap sebagai sebuah emosi yang dapat membuat seseorang lebih memahami dirinya. Selama ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa marah adalah dosa, tanda kegilaan, atau sesuatu yang patologis. Begitu juga dengan tanggapan negatif dari lingkungan terhadap kemarahan seseorang, yang akhirnya membuat seseorang menekan kemarahan mereka dan berujung pada pemberian obat antidepresan dan antikecemasan. Diharapkan lewat penelitian ini kemarahan bisa diterima dan disikapi dengan lebih baik. van Daalen-Smith 2008 melakukan penelitian pada wanita berumur 14-24 tahun dengan latar belakang ras, status, dan kecenderungan seksual yang berbeda. Penelitian ini dilakukan karena semakin meningkatnya pemberian obat antidepresan dan antikecemasan kepada wanita muda atas kemarahan, kesedihan dan kecemasan mereka. Penelitian ini mencoba untuk 19 mencari tahu apa yang dialami oleh wanita muda ini sampai-sampai mereka harus dibawa ke dokter dan berakhir dengan obat-obatan untuk mengekang emosi mereka dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan saat mereka dalam keadaan emosional. Dalam penelitian ini grounded-theory dipilih sebagai metode dan prinsip-prinsip feminis digunakan sebagai panduan penelitian. Data diperoleh dengan melakukan focused group discussion dan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa tekanan, ketidakadilan dan hak-hak yang ditolak menyebabkan mereka merasa marah. Saat mereka menceritakan pengalaman marah tersebut kepada teman, keluarga ataupun orangtua maka kebanyakan respon yang didapat adalah mereka tidak dianggap dan tidak didengarkan. Mengekspresikan dan tidak mengekspresikan kemarahan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif, termasuk didalamnya kehilangan hubungan dan self-silencing sehingga mereka tidak bisa menjelaskan pengalaman marah mereka dan hanya memiliki sedikit pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kemarahan. Dari hal tersebut mereka belajar untuk tidak marah dan hidup seperti bunglon; beradaptasi, membiarkan, mengalihkan, dan menekan diri mereka yang sebenarnya, untuk berbaur agar kemarahan tidak mengarahkan mereka pada penolakan. 20

D. Marah dalam Studi Fenomenologi