Marah dalam Studi Fenomenologi

20

D. Marah dalam Studi Fenomenologi

1. Marah yang dialami secara jasmani Eatough dan Smith 2006 melakukan penelitian tentang marah dan agresi lalu memutuskan untuk mengubah penelitian tersebut dan berfokus pada pengalaman marah seorang partisipan. Hal ini terjadi karena partisipan tersebut dapat menceritakan pengalaman marahnya secara lengkap dan mendalam. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana partisipan mengalami dan merasakan kemarahannya, karakteristik apa yang terjadi saat kemarahan berlangsung dan bagaimana pola-pola tersebut berubah ketika terjadi perubahan hidup. Partisipan penelitian ini adalah wanita berumur 30 tahun, ia tinggal di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara semi terstruktur dalam jangka waktu 3 minggu dan menghasilkan 4 jam data wawancara. Metode analisis yang digunakan adalah Interpretative Phenomenological Analysis. Dalam penelitian ini marah merupakan pengalaman “which is lived through the body”. Partisipan menggambarkan perasaan marah yang kuat sebagai panas mendidih, amukan, dan berwarna merah. Ia juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya ketika ia marah, yaitu ia merasa berubah menjadi pribadi yang liar dan tidak bisa dikendalikan. Partisipan mengarahkan kemarahan dan agresinya kepada orang- orang di sekitarnya. Ketika partisipan menjadi seorang ibu ia menyadari 21 bahwa ia harus lebih dewasa dan bertanggung jawab sehingga ia mengendalikan ekspresi kemarahannya. Maka saat ia merasa marah ia mengekspresikannya dengan menangis dan menarik diri dari situasi yang menyebabkan marah. Akan tetapi perilaku menangis ini juga menandakan adanya rasa frustrasi karena tidak dapat mengekspresikan kemarahannya secara leluasa. Penelitian Eatough, Smith, dan Shaw 2008 tentang marah secara khusus dan marah yang berkaitan dengan agresi tetap dilanjutkan walau mereka sempat mengubah fokus penelitian. Penelitian ini berfokus pada konteks kehidupan dan dimensi relasi dari perasaan marah dan perilaku agresif. Partisipan penelitian ini adalah 5 orang wanita berumur 28-32 tahun yang hidup di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dan dianalisis dengan metode interpretive phenomenology. Dalam penelitian ini marah dialami sebagai pengalaman jasmani. Saat marah partisipan merasakan hal-hal seperti serangan panas di seluruh tubuh, keadaan sekitar yang terlihat berwarna merah, berkeringat, gemetar, dorongan yang memuncak, dan kekacauan di dalam tubuh. Selain itu kemarahan wanita juga disertai dengan tangisan sebagai tanda ketidakberdayaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengekspresikan marah atau karena merasa dipermalukan. Perasaan marah juga tidak menjadi emosi tunggal namun disertai juga dengan perasaan bersalah, takut dan senang. 22 Emosi marah juga dimaknai sebagai penilaian bahwa mereka diperlakukan tidak adil, ada orang yang melanggar peraturan yang mereka miliki dan terancamnya integritas mereka. Penilaian ini memiliki tujuan tertentu dan sudah terbentuk secara kognitif karena sudah melekat lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu penilaian ini kadang terlihat dilakukan secara sadar dan reflektif walaupun tidak menutup kemungkinan penilaian ini terlihat spontan dan natural. Wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya. Pada orang yang tidak dikenal ekspresi kemarahan berupa agresi fisik secara langsung. Dalam hubungan yang akrab agresi verbal merupakan bentuk yang paling sering digunakan dalam mengekspresikan kemarahan. Agresi tidak langsung dilakukan ketika seseorang merasa lebih lemah daripada objek kemarahannya. Selain itu wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya dengan berfantasi secara agresif yaitu untuk membunuh objek kemarahan mereka. Dalam kedua penelitian tersebut marah dialami sebagai pengalaman jasmani. Partisipan menggambarkan perasaan marah yang kuat sebagai panas mendidih, amukan, keadaan sekitar yang terlihat berwarna merah, berkeringat, gemetar, dorongan yang memuncak dan kekacauan di dalam tubuh. Pengalaman ini dimaknai sebagai perubahan diri menjadi pribadi yang liar dan tidak bisa dikendalikan. Pengalaman marah terjadi karena ada orang yang melanggar peraturan yang mereka miliki dan mengancam 23 integritas mereka. Kemarahan diekspresikan secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya seperti kedekatan hubungan atau kuat lemahnya sumber kemarahan. 2. Esensi pengalaman marah de Rivera 2006 membentuk esensi pengalaman marah dengan kasus kemarahan miliknya yang kemudian dipertemukan dengan kasus kemarahan partner penelitian sampai kasus tersebut membentuk sebuah esensi yang akurat dan tidak memerlukan revisi lebih lanjut. Sehingga akhirnya ditemukan esensi marah sebagai berikut : “anger is one way in which we humans attempt to cope with the discrepancy between what is and what ought to be . . . . anger is an embodied organic whole that involves a perception of a challenge to what ought to exist and an impulse to remove that challenge.” p. 242 Marah adalah cara manusia untuk mengatasi adanya jarak antara kenyataan yang ada dan apa yang ia anggap seharusnya terjadi. Marah adalah emosi alamiah yang melibatkan persepsi adanya ancaman terhadap apa yang seharusnya terjadi dan dorongan untuk menghilangkan ancaman tersebut. de Rivera 2006 mengemukakan bahwa marah adalah cara yang dilakukan manusia untuk membuat suatu situasi terjadi sebagaimana yang seharusnya. Menurut Heider 1958 ketika situasi tersebut tidak terjadi sebagaimana yang seharusnya maka seseorang akan mengalami tekanan yang besar. Akan tetapi tekanan ini bukan berasal dari dirinya sendiri. “. . . it is not a particular somebody that is felt to want or command people to do x, but some suprapersonal objective order. It may also be experienced as a supernatural being who personifies this objective order.” p. 219 24 Dengan kata lain, ada suatu aturan objektif yang melebihi pribadi orang tersebut atau suatu keberadaan gaib yang melambangkan peraturan objektif tertentu. Akan tetapi keinginan dari suprapersonal objective order ini juga dirasakan oleh orang tersebut, seperti yang dikatakan dalam Heider 1958. “but the desire has its source, or is located, in only a part of environment, that is, that part which consists of a person . . .” p. 219 Heider 1958 mengatakan bila ought harus adalah sesuatu hal yang diinginkan oleh objective order, maka value nilai adalah sesuatu hal yang disukai oleh objective order. Suatu keharusan bisa mengacu pada nilai-nilai tertentu dan bisa juga mengacu pada ukuran pribadi. Oleh karena itu suatu keharusan bisa bersifat lebih pribadi dan situasional dibandingkan nilai- nilai yang mungkin berlaku dalam lingkungan sosial. Nilai akan membuat seseorang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilakunya sesuai dengan keharusan, seperti juga yang dikemukakan oleh Lewin 1944 dalam Heider 1958 bahwa “. . . the individual does not try to “reach” the values of fairness but fairness is “guiding” his behavior.” p. 14 Sebagai contoh, A memegang nilai Kristiani dalam kehidupannya bahwa ia tidak boleh membunuh. Maka A akan mengarahkan perilakunya kepada keharusan untuk tidak membunuh. Akan tetapi A dirampok dan untuk membela diri, A membunuh si perampok. Dalam hal ini keharusan bersifat situasional dan mengacu pada ukuran pribadi. Menurut de Rivera 2006, perbedaan konsep “nilai” dan “harus” antara setiap orang inilah yang membuat seseorang merasa marah, bahwa 25 kemarahan terjadi bukan sekedar karena keinginannya tidak terpenuhi, tapi bahwa orang lain harus bertindak secara berbeda, bahwa ada yang salah tentang aturan dasar suatu keberadaan tertentu dan perlu dibenarkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keharusan ataupun nilai yang dimiliki seseorang akan mengarahkan perilakunya dan juga membuatnya mengarahkan perilaku orang lain sesuai keharusan ataupun nilai yang ia miliki. Menurut de Rivera 2006 cara yang digunakan seseorang agar orang lain bertindak sesuai apa yang ia inginkan adalah marah. Akan tetapi menurut de Rivera 2006 konsep “harus” tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Konsep ini hanya bisa diterapkan kepada orang-orang dalam satu unit tertentu. Unit bisa terdiri dari dua orang atau sekelompok orang seperti teman, pasangan, keluarga, sekumpulan orang di dalam bis, seluruh warga negara dan lain sebagainya. Unit ini bisa terbentuk apabila orang-orang di dalamnya memiliki satu set nilai yang sama. Oleh karena itu orang yang marah merasa ia memiliki pengaruh tertentu terhadap orang lain karena orang tersebut dialami sebagai satu unit dengannya dan berbagi nilai yang sama. Seseorang bisa merasa marah ketika “keharusan” dilanggar oleh orang lain yang berada dalam unit-nya namun ada kalanya perasaan marah tidak muncul akibat kejadian tersebut. de Rivera 2006 menganggap hal ini terjadi karena orang tersebut dianggap sebagai “tidak bertanggung- jawab” atas perilakunya misalnya karena mabuk, gila, masih anak kecil, 26 status orang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penantang misalnya orang asing, wanita, berbeda kasta dan karakter orang lain dianggap tidak kuat untuk menjadi anggota unit misalnya tidak tulus, tidak menyenangkan, atau tidak mampu.

E. Marah dalam Kekristenan