BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penduduk Indonesia yang sebagian besar jumlahnya adalah perempuan. Perempuan merupakan sumber daya manusia yang berpotensi yang merupakan salah
satu faktor dinamika masyarakat dalam pembangunan. Namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa potensi perempuan yang jumlahnya cukup besar tersebut
perannya sebagai sumber tenaga dan sumber daya manusia belum sepenuhnya berfungsi dalam proses partisipasi di bangsa ini. http:rakyat miskin. Word press.
Com, diakses 03 April 2008 Perempuan mempunyai tiga kategori peran dan posisi. Pertama, perempuan
sebagai anak. Kedua, perempuan sebagai istri. Ketiga, perempuan sebagai warga Negara. Sebagai anak, seorang perempuan dinilai sejajar dengan kaum laki-laki.
Sebagai istri, seorang perempuan bertanggung jawab secara adil terhadap keluarga. Sebagai warga negara, seorang perempuan mendapat hak-hak dan tanggung jawab
yang setara dengan kaum laki-laki. Dan dalam hal ini pemiskinan tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya tetapi sudah memasuki wilayah politik kekuasaan.
Kemiskinan yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh dua hal yaitu, kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak pada perempuan dan kuatnya budaya
patriarkhi dalam masyarakat yang merambah pada wilayah politik, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendiksriminasikan dan menindas perempuan.
Universitas Sumatera Utara
D:perempuanberpolitik_menanti partisaipasi politik perempuan.htm, diakses 03 April 2008.
Perempuan dan politik merupakan dua hal yang masih sulit dibayangkan, terutama pada negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan manusia telah dibentuk
oleh budayanya masing-masing yang menekankan bahwa kedudukan atau peranan perempuan berkisar dalam lingkungan keluarga seperti mengurus suami, anak-anak,
memasak, dan sebagainya. Sedangkan politik yang digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan power atau kekuasaan, dari sejak dahulu adalah bidang yang selalu
dikaitkan dengan dunia laki-laki. Sosialisasi dalam keluarga, baik masyarakat Barat maupun Timur, selama berabad-abad, telah menempatkan perempuan di luar
masalah-masalah yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Di indonesia, UUD 1945 menjamin persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan yang dinyatakan pada pasal 27 UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi konvensi segala bentuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
Convention on The Elemination of all forms of Discrimination Against Women melalui UU No. 7 tahun 1984 dan konvensi hak-hak politik perempuan melalui UU
No. 68 Tahun 1958. Kenyataan yang ada memperlihatkan, bahwa jaminan persamaan hak yang seperti tertuang dalam konvensi maupun konstitusi, tidak berlaku dalam
kenyataan sehari-hari.Sihite Romany, 2007:34-40 Di bidang politik, konvensi perempuan mengaturnya dalam pasal 7, yang
antara lain memuat ketentuan: 1.
Hak untuk dipilih dan memilih.
Universitas Sumatera Utara
2. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan
implementasinya. 3.
Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.
4. Hak untuk berpartisipasi dalam perkumpulan non pemerintah yang
berhubungan dengan kehidupan berpolitik negara. Bukan tidak banyak perundang-undangan yang telah ada dalam pengaturan
peran politik perempuan, para aktivis gerakan feminis di Indonesia telah berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis fiminisme
Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan.
Quota 30 dalam UU No. 12 pada tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia. Walaupun
keberadaan UU No. 12 tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum
bisa menerima sepenuhnya.. Oleh karena itu tidak sedikit kalangan aktivis feminisme menganggap UU No. 12 tahun 2003 sebagai kebijakan setengah hati. Sekalipun
sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung dipentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Adanya quota 30 bukan sebagai jawaban dari persoalan yang selama ini terjadi, quota tersebut yang pada akhrinya nanti jusrtu akan jadi bumerang sendiri
bagi perempuan karena ternyata kemampuan mereka dilembaga politik formal masih
Universitas Sumatera Utara
rendah, bahkan belum ada keterkaitan yang jelas antara keterwakilan perempuan di DPR dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan.
Keterlibatan politk perempuan Indonesia dalam politik, sebenarnya bukan hal yang baru, karena mereka telah turut serta aktif dalam pengesahan kebangsaan.
Sebelum datangnya kolonialisme, telah beberapa nama yang terlibat dalam sejarah politik bangsa, seperti Sultanah Seru ratu Safiatuddin Johan Berdaulat yang
dinobatkan dan memerintah pada tahun 1641-1675 di Aceh, Siti Aisyah We Tenriole dari Ternate, Sanggramawijaya Dharmaprasosdotunggadewi yang menjadi tangan
kanan Erlangga. Dan sampai pada akhirnya lahir Sumpah Pemuda pada bulan Oktober 1928 membawa pengaruh yang besar terhadap gerak dari kaum perempuan,
hingga sampai gerakan kesadaran politik perempuan yang melahirkan kesadaran kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta pada 23 Desember 1928.
kongres demi kongres terus berlangsung sampai Indonesia merdeka. Keterlibatan perempuan Indonesia secara langsung dalam politik dirintis antara lain Nyonya
Emma Puradiredja dari Bandung, Nona Sri Umati dari Cirebon. Mereka memperjuangkan hak pilih dalam kongresnya yang ke-2 dan kongres tersebut
menghasilkan”passief kiesrecht” untuk kaum perempuan. Kemajuan perempuan Indonesia harus diakui saat ini telah maju pesat, namun
pada berbagai kasus dalam kehidupan perempuan masih terdapat kurangnya kesadaran yang salah satunya adalah keikutsertaan perempuan dalam politik. Hal ini
disebabkan oleh kondisi lingkungan dengan norma budaya patriarkhi yang masih tebal melekat pada sebagian besar masyrakat Indonesia, yang menempatkan
perempuan dipinggirkan sebagai obyek. Keadaan ini, memebuat kaum perempuan
Universitas Sumatera Utara
kurang mampu mengaktualisasikan dirinya dan kurang menikmati hasil pembangunan, sehingga kehidupannya jauh tertinggal dan mengalami ketidakadilan.
Perempuan Indonesia sejak dahulu aktif dalam kegiatan ekonomi dan sosial sebagai petani, pedagang, pekerja sektor informal dan sebagai ibu rumah tangga dan
jarang sekali mau menggabungkan dirinya dalam ranah politik. Hal ini disebabkan karena dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dengan
laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya dimana mayoritas masyarakat kental dengan ideologi patriarkhinya seperti yang telah
disebutkan terlebih dahulu, budaya patriarkhinya memposisikan perempuan pada peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara
laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Pemandangan terhadap politik yang terkait dengan kesewenangan, kekerasan,
pengerahan massa dan kompetisi yaang tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Daulay Harmona, 2007:40
Rendahnya partisipasi perempuan dibidang tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan sebagaimana disinggung diatas, yakni dispemahaman gender
kesalahan dalam memahami gender dan subordinasi perempuan dalam politik, budaya politik patriarki, hambatan individual, hambatan kelembagaan dan struktural.
Jadi tidak heran jika perempuan masih ditempatkan pada golonganmasyarakat kelas dua dikancah perpolitikan Indonesia.
Hal ini lebih mendukung dengan adanya persepsi bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal milik laki-laki dan kotor sehingga perempuan
menjadi tidak tertarik memasuki gelanggang politik sering menjadi faktor penyebab
Universitas Sumatera Utara
rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik, selain itu kurang atau tidak adanya akses informasi yang dapat menjangkau perempuan serta akses masuk partai politik
juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan di dunia politik. Persepsi dan kondisi ini membuat rakyat apalagi perempuan merasa
tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik. http;www.sinar harapan.co.id, diakses 10 April 2008.
Pemahaman yang dibangun oleh idiologi patriarki menyatakan bahwa perempuan tidak seharusnya terlibat dalam urusan-urusan politik. Politikpun telah
mempunyai defenisinya sendiri, sebagai sebuah dunia di luar rumah, permainan kotor untuk mendapatkan kekuasaan, penuh intrik dan hanya cocok untuk laki-laki.
Akibatnya, masyarakat dan terutama kaum perempuan sendiri tidak lagi menyadari bahwa sesungguhnya masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa ini
juga merupakan masalah perempuan, sebaliknya, masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan adalah permasalahan masyarakat dan bangsa ini juga, sehingga
perempuan harus menjadi pembuat kebujakan karena laki-laki tidak mampu melihat bentuk-bentuk permasalahan dari perempuan.
Kaum perempuan yang luput dari pertimbangan dan terlupakan, bahkan di dalam kelompok yang tidak beruntung dalam suatu masyarakat, akibatnya perempuan
semakin mengalami kemiskinan yang lebih parah dibanding laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang ia
lakukan, sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya. Mahatma Gandhi, 2002:6. Kaum perempuan tidak berperan bukan karena keterbatasan kemampuan
atau perhatian mereka tetapi karena ada upaya sengaja untuk mengucilkan mereka,
Universitas Sumatera Utara
sekalipun perempuan berperan namun kebanyakan situasi sosial kurang mendapatkan penghormatan dan di subordinasikan pada peranan laki-laki. George Ritzer,
2004:405. Perkembangan pelaksanaan politik perempuan memperlihatkan jalannya
tesendat, dan kemajuannya sangat terbatas, selama delapan 8 kali pemilu pada orde baru dan masa reformasi, tidak banyak perempuan yang memilih secara rasional.
Perempuan memilih bukan karena pilihan yang mandiri tetapi ikut suami, ikut atasan, atau ikut teman. Perempuan lebih banyak dilihat sebagai pelengkap dan sebagian
besar tidak mandiri melakukan pilihannya. Soetjipto, 2000:18. Permasalahan ketidakmampuan perempuan dalam ranah politik lebih terlihat jelas pada perempuan
pedesaan, yang buta akan politik, budaya patriakhat yang kental, dan pengucilan akan perempuan dalam politik menjadikan perempuan pedesaan lebih tidak mempunyai
kemandirian atau rasionalitas terhadap pilihannya bila dibandingkan dengan perempuan kota. Perempuan pedesaan menjadi sangat tabu, menjadi suatu perbuatan
yang tidak baik kalau terlibat dalam urusan politik dan fenomena inilah yang juga terjadi bagi perempuan di desa Jambu Bellang dikabupaten Pakpak Barat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Data Perbandingan Perempuan Wilayah Dairi dan Pakpak Barat dalam
Partisipasi Politik 2008
No Nama Nama Partai
Wilayah
1. Hotasi
PIP Dairi
2. Riris Berutu
HANURA Pakpak Barat
3. Rate
Sinamo PDS Pakpak
Barat 4.
Melda PELOPOR
Dairi 5.
Elfitri PKPI
Dairi 6.
Mardi Sihotang Damai Sejahtera
Dairi 7.
Monika Silaban
Hanura Dairi
8. Serenda
Sitanggang PDK
Dairi 9.
Nuriah Sidabutar PDK Dairi
10. Tiurmaida
Sitanggang PDK
Dairi 11.
Ratna Siahaan
PDK Dairi
12. Derma
Manik PPRN
Pakpak Barat
13. Rosmawati Banurea
PDS Pakpak Barat
14. Firmauli limbong
PDS Pakpak Barat
15. Rouli
Manurung Golkar
Dairi 16.
Rusliani Pemuda
Pakpak Barat
Universitas Sumatera Utara
17. Tinnen
PKDI Pakpak
Barat 18.
Rismawaty Republikan
Pakpak Barat
19. Friskawati
Hanura Dairi
20. Siti
Limbong Barnas
Dairi 21.
Lambas Sihombing
PDIP Dairi
22. Santa
silalahi PDIP
Dairi 23.
Pasria Pardede
Golkar Dairi
24. Nurlela
Ginting Buruh
Dairi 25.
Romina Barnas
Dairi 26.
Jusrianda Nainggolan
Buruh Dairi
27. Esrauli
Simbolon Pelopor
Dairi 28.
Nurhaida Manik
Demokrat Dairi
Sumber: Dari Pesada 2008
Dari tabel satu 1 diatas yang dapat kita lihat terdapat adanya perbedaan perempuan Pakpak Barat yang sangat signifikan antara perempuan Dairi, dimana
perempuan yang ada di Dairi yang mendominasi, dan sedikit sekali perempuan Pakapak Bharat masuk dan berpartisipasi di politik.
Berdasarkan fenomena-fonomena dilematis yang dihadapi perempuan terutama perempuan pedesaan saat ini tentu tidak harus dibiarkan perlu adanya
program atau upaya-upaya untuk meningkatkan peranan perempuan dalam politik, karena Pertama, tanpa disadari dengan memfokuskan perhatian pada peranan
Universitas Sumatera Utara
perempuan dalam politik akan menempatkan perempuan Indonesia di bawah suatu dominasi baru yakni pembangunan politik itu sendiri. Keadaan akan muncul dimana
pembangunan politik bukan lagi untuk perempuan melainkan perempuan untuk pembangunan politik. Hardjito Notopuro, SH, 1990:29. Untuk itu salah satu cara
yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan perempuan adalah pemberdayaaan politik perempuan. Pemberdayaan ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah
kemasyarakatan dan politik, LSM, tokoh dan pemuka masyarakat dan agama dalam upaya proses pembangunan perempuan, dimana perempuan akan mempunyai sumber
daya manusia untuk ikut sertanya dalam proses politik. Melihat persoalan-persoalan perempuan dalam politik maka PESADA
Perkumpulan Sada Ahmo sebagai lembaga sosial masyarakat yang bergerak dalam penguatan perempuan ikut berperan dalam melakukan serta mendorong memecahkan
persoalan-persoalan yang dialami perempuan Indonesia khususnya para perempuan di pedesaan. Perkumpulan ini merupakan organisasi non pemerintah yang konsern pada
penguatan perempuan dan anak dengan bentuk penguatan ekonomi, politik, hukum perlindungan, kesehatan reproduksi dan lain-lain menjadi suatu tempat untuk
pemberdayaan perempuan. Perkumpulan ini didirikan pada tahun 1990 dengan berkomitmen untuk
“mewujudkan kembali nilai-nilai kehidupan dari corak spritual, yang senantiasa membentuk seluruh aspek kehidupan masyarakat dan didalamnya terkandung nilai-
nilai kehudupan sebagai berikut; ketaatan, persekutuan dan pengabdian menuju masyarakat bercirikan keadilan dan persekutuan”. Organisasi ini merupakan dibawah
naungan negara Belanda, Inggris, Prancis,. dan Spanyol. Perkumpulan ini berpusat di
Universitas Sumatera Utara
jalan Ahmad Yani No. 187 Sidikalang kabupaten Dairi dan telah memiliki anak cabang yakni kantor cabang di Nias dan Medan. Pesada indosat.net.id, diakses 18
April 2008.
1.2. Perumusan Masalah