Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim Di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

(1)

3 TAHUN 2006

(Analisis Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

Eka Dita Martiana NIM: 1110044100032

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

Eka Dita Martiana,1110044100032, Fakultas Syariah dan Hukum, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pengangkatan anak, pelaksanaan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri khususnya pengangkatan anak bagi warga muslim pasca Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena pada saat ini, masyarakat kurang mengetahui dan memahami tentang kewenangan peradilan dalam pengangkatan

Penelietian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dan apabila jenisnya termasuk dengan penelitian hukum normatif. Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder, primer dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, studi dokumen, wawancara. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model secara non statistik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkatan anak yang memutuskan hubungan darah(nasab) diharamkan dalam hukum Islam, maka yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian, pemeliharaan, pengasuh anak, yang diperbolehkan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung. Sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa pengangkatan anak merupakan pengalihan hak dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Proses pengangkatan anak bagi warga muslim berdasarkan hukum Islam dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dengan dasar SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengangkatan anak di Indonesia dan atas dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembaharuan hukum di bidang pengangkatan anak di Indonesia, sedangkan implikasi praktiknya yaitu memberi informasi kepada berbagai pihak yang terkait dengan pengangkatan anak serta masyarakat pada umumnya.

Kata Kunci : Pengangkatan Anak , Kewenangan Peradilan Agama. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H.,M.A.


(5)

i

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Nur Halimah dan Ayahanda H. Agus Cahyono, Eko Wiyono yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Phil JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

ii

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM yang telah membantu membimbing dalam

mengoreksi penulisan skripsi ini.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Bapak Sarwono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Ibu Femina Mustikawati, S.H., MH., selaku Hakim yang memutus perkara yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.

9. Bapak Bawon, S.H., selaku Wakil Panitera di Pengadilan Negeri Wonosobo yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing penulis.


(7)

iii

penulis dapat menyelesaikan skripsi.

11. Sahabat sahabat seperjuangan penulis Defi Uswatun Hasanah, Arini Zidna, dan Eka Kurnia Maulida

12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Serta terima kasih kepada calon imamku Muhammad Dail Makky yang telah memberikan support dan selalu membantu agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 28 April 2014


(8)

(9)

ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 8

E. Review Studi ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak ... 16

B. Sejarah Singkat... 20

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 22

D. Tujuan Pengangkatan Anak ... 27

E. Tata Cara Pengangkatan Anak ... 29

F. Lembaga Pengangkatan Anak ... 32


(10)

A. Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia ... 38

B. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri di Indonesia ... 40

C. Sejarah Singkat Pengadilan Negeri ... 42

D. Profil Pengadilan Negeri ... 44

BAB IV PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN A. Duduk perkara ... 46

B. Bentuk Kewenangan Peradilan Pasca Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ... 49

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menetapkan Perkara No.151/Pdt.P/2013/PN. Wnsb... 53

D. Dampak Hukum Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Wonosobo ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing

2. Surat Permohonan Data/ Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo 3. Surat Keterangan Pengadilan Negeri Wonosobo dan HasilWawancara 4. Lembar Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb


(11)

1 A.Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan salah satu cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan, serta melangsungkan kehidupan manusia.1

Dalam suatu hadist diterangkan salah satu tujuan pernikahan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Habban, yang menganjurkan kaum laki-laki untuk menikahi perempuan-perempuan yang dicintai dan yang subur, karena perempuan yang subur akan menghasilkan keturunan.2

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan masa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.3

Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu pula dilakukan upaya

1

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1995, Cet. Pertama), h.42.

2

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007, Cet.2), h. 44.

3

Lihat ketentuan umum mengenai penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


(12)

perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.4

Melihat tingginya frekuensi perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang dilakukan dalam masyarakat merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan, jadi seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. 5

Memang semula yang mempunyai kewenangan absolut dalam memberikan penetapan pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri hal ini didasari oleh SEMA Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan tionghoa melalui notaris tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan.6

Umat Islam melakukan hubungan-hubungan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Fitrahnya ketika umat Islam melakukan hubungan tersebut tidak akan terlepas atau keluar dari keluarga hukum Islam, oleh karena itu bagi orang yang beragama Islam yang ingin melakukan hubungan-hubungan horizontal dalam hal ini ialah melakukan pengangkatan anak yang sesuai dengan pandangan dan kesadaran hukumnya yaitu berdasarkan hukum Islam. Sesuai dengan penafsiran Prof. Hazairin terhadap Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa negara republik Indonesia wajib

4

Soefyanto, Perlindungan Anak dalam Pengadilan Anak, (Jakarta: Universitas Islam Negeri, 2007), h.1.

5

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986, Cet. III), h. 275.

6

Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: kencana, 2008), h. 56.


(13)

menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas hukum agama yang dipeluk bangsa Indonesia sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan penyelenggaraan negara.7 Dalam penafsiran tersebut demi mendapatkan kepastian hukum mengharuskan orang yang beragama Islam dengan memulai mengajukan permohonan pengangkatan anak tersebut kepada peradilan agama. Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, serta dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu dan tidak mencakup seluruh perdata Islam.8

Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, menyatakan:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan...”.9

Penjelasan huruf a Pasal 49 ini, antara lain, menyatakan:

Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam

atau berdasarkan Undnag-Undang mengenai perkawinan yang berlaku

yang dilakukan menurut Syari’ah antara lain...penetapan asal-usul

anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;...”

Dalam Peraturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dalam pasal 49 bahwa yang dimaksud dengan pengangkatan anak

7

Abdul Jamil, Print Out Mata Kuliah Peradilan Agama Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta: 2012)

8

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta:Amzah, 2012), h.7. 9

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006, h. 20.


(14)

berdasarkan hukum Islam disini adalah bahwa tata cara pengangkatan yang ada di Peradilan Agama berdasarkan hukum Islam yang akibat hukumnya tidak menasabkan atau tidak memberi status anak tersebut menjadi anak kandung dan merupakan ketentuan yang sesuai dengan hukum Islam.

Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pengangkatan

anak menurut hukum Islam. Memberikan pengertian bahwa” anak angkat adalah anak

yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.10

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ruang lingkup kewenangan absolute Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dan dalam hal ini pun termasuk masalah pengangkatan anak. Akan tetapi sejak lahirnya Undang-Undang tersebut masih ada masyarakat atau pegawai pengadilan negeri yang masih menerima bahkan telah memberikan putusan/penetapan kepada orang yang beragama Islam termasuk hal permohonan pengangkatan anak, padahal itu sudah tidak berlaku lagi untuk Pengadilan Negeri.

Oleh karena itu, berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh dengan melakukan penelitian dengan mengangkat judul

10

Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf h.


(15)

Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Analisis Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.

B.Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Studi ini difokuskan pada kajian peran Peradilan Umum terhadap pengangkatan anak, serta di mana letak persinggungan wewenang Peradilan Umum dengan Peradilan Agama terhadap pengangkatan anak. Khususnya pasca lahirnya Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Studi ini difokuskan untuk mencoba menjelaskan tentang kewenangan Peradilan Agama setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dalam hal ini lebih khusus mengenai kewenangan menangani perkara pengangkatan anak. Yang dimaksud kewenangan disini adalah kewenangan mengenai memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara antar orang-orang yang beragama Islam atau orang dan badan hukum yang dengan sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kompetensi absolut peradilan agama sesuai dengan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


(16)

2. RumusanMasalah

Menurut Peraturan bahwa pengangkatan anak merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama, akan tetapi kenyataan di lapangan, masih ada Peradilan Negeri mengambil hak absolut Peradilan Agama tentang Pengangkatan Anak.

Berdasarkan rumusan tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam perkara pengangkatan anak pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ?

b. Apa landasan hukum yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama islam ?

c. Bagaimana dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam pengangkatan

anak, pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


(17)

b. Untuk mengetahui landasan hukum sebagai pertimbangan hukum yang digunakan hakim Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam.

c. Untuk mengetahui dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo.

2. ManfaatPenelitian

Manfaat dari penelitian ini di kualifikasi menjadi dua manfaat yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a Menambah wawasan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang hukum keluarga mengenai konsep pengangkatan anak di dalam Islam.

b. Memiliki gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan dari pengangkatan anak dan akibat hukumnya melalui Pengadilan.

c. Memberikan konsepsi teoritis mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan hukum permasalahan pengangkatan anak.

d. Menjadikan konstruksi pengangkatan anak dan varianya sebagai dialog intelektual akademis.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang hukum dan ilmu perundang-undangan di Indonesia.


(18)

b. Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

c. Sebagai bahan acuan bagi masyarakat umum untuk mewujudkan kepastian hukum dalam pengangkatan anak di Pengadilan Agama.

D.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi dan perilaku yang dapat diamati11, untuk penganalisaan data secara non- statistik.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif yakni dengan kajian perundang-undangan (statute approach). Dengan

pendekatan ini dilakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian ini.12

3. Sumber data

11

Nurul Zuhriah, Metedologi penelitian Sosial dan Pendidikan :Teori- Aplikasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Hal. 92.

12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295 dan 302.


(19)

Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier.13 Data

primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

b. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

d. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

e. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam

f. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran No. 2 tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.

g. Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo (Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.) Data sekunder14 bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu hasil karya dari para

13

Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil symposium mmutakhir yang berkaitan dengna topic penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang member petunjuk atau penjelasan terhadap ban\han hukum primer dan juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 144-146.

14


(20)

akademisi hukum, makalah, seminar, majalah, kamus, ensiklopedia, artikel hukum serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya.

Adapun data tersier yang digunakan pada penelitian ini yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Wonosobo. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb terkait dengan pengangkatan anak dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu maka respondennya adalah hakim Pengadilan Negeri Wonosobo.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul data sebagai berikut;

a. Studi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundang-undangan terkait dan bahan-bahan yang mengikat. Dalam hal ini berupa putusan Pengangkatan Anak dengan nomor perkara 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb , maupun bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji seputar peraturan perundang-undangan tersebut, serta bahan tersier berupa kamus hukum.


(21)

b. Wawancara, berupa indeept interview (wawancara yang mendalam) terhadap beberapa orang informan yang hal ini dilakukan pada hakim yang menangani langsung perkara Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.

6. Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Deskriptif yaitu metode analisa dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa secara deduktif, yakni suatu bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini (self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus.15 Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa kaedah-kaedah hukum. Sedangkan metode kualitatif adalah metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan keberadaannya, yang terdiri dari dua variable. Pertama mengenai Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 . Kedua, landasan hukum dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosobo kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

E.Review Studi Terdahulu

15

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 4


(22)

NO IDENTITAS SUBSTANSI PERBEDAAN

1. Usman

(108044100044) Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

Judul Skripsi:

“Problem Sengketa

Kewenangan Penetapan Pengangkatan Anak

(Analisa Kasus Kajian

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

dan Pengadilan

Negeri Kediri) ”.

 Menganalisa

mengenai penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam oleh peradilan agama

 Menganalisa mengenai akibat hukum penetapan anak dalam lingkup Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri

 Penulis menganalisa mengenai

pengangkatan anak bagi warga muslim di Pengadilan Negeri pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

 Menganalisa tentang penetapan

Pengadilan Negeri Wonosobo Nomor Nomor 151

/Pdt.P/2013/PN.

2. M. Haris Barkah (105044101372) Konsentrasi Ahwal

 Mengenai batasan atas kewenangan

Pengadilan Agama

 Mengenai batasan atas kewenangan Pengadilan Negeri


(23)

Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2010 dengan

judul “ Kewenangan Peradilan Agama dalam Penetapan Pengangkatan Anak

(Studi Krisis

Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama dan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang

Kewarganegaraan

dalam bidang penetapan

pengangkatan anak yang bukan hanya berada dalam lingkup kesamaan agama Islam

 Mengenai

pengangkatan anak yang melibatkan anatar negara maka perkara tersebut tidak lagi menjadi

kewenangan Pengadilan Agama melainkan Pengadilan Negeri, walaupun yang menjadi anak angkat ataupun orang tua angkat sama-sama beragama Islam.

dalam pengangkatan anak bagi warna muslim pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

 Mengenai

pengangkatan anak yang melibatkan antar warga muslim maka perkara tersebut tidak lagi menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Melainkan kewenangan Pengadilan Negeri, walaupun yang menjadi anak angkat atau orang tua angkat sama-sama


(24)

Republik Indonesia)”. beragama Islam.

3. Reyza Amalia

(103044228122) Konsentrasi Ahwal

Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2007 dengan

judul “ Pengangkatan Anak dalam UU No. 3

Tahun 2006 dan Akibat Hukumnya.

 Menganalisa mengenai prosedur pengangkatan anak yang berlaku di Pengadilan Negeri dengan melihat sebelum dan sesudah adanya Undang-Undang No.3 Tahun 2006, dimana pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan anak berdasarkan hukum Islam  Menganalisa mengenai prosedur pengangkatan anak yang berlaku di Pengadilan Negeri Wonosobo sesudah adanya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili permohonan anak berdasarkan hukum Islam pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam


(25)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, di mana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab pertama berisikan pendahuluan menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, teori konseptual dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang pengangkatan anak yang meliputi pengertian, sejarah singkat, tujuan pengangkatan anak, dasar hukum pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak dan pengangkatan anak menurut lembaga yang berwenang dalam permohonan pengangkatan anak.

Bab ketiga menguraikan tentang profil terhadap peradilan negeri Wonosobo. Bab keempat didalam bab ini akan menjelaskan tentang hasil penelitian dan pembahasan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, yang berisikan analisis Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo dengan nomor perkara 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb, dan analisis akibat hukum penetapan pengangkatan anak serta analisis penulis.

Bab kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang di dalamnya akan berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran yang bersifat kontribusi membangun bagi dunia akademis sebagai bab penutup.


(26)

16

PENGANGKATAN ANAK

A.Pengertian Pengangkatan Anak 1. Secara Etimologis

Istilah “Pengangkatan Anak” bukan hanya berkembang di Indonesia, namun dalam masyarakat Arab, kini pengangkatan anak sudah menjadi tradisi, yang dikenal

dengan istilah “ىَِّبَتلَا“yang berarti mengambil anak.1

Dalam kamus al-Munawir, istilah tabani diambil dari kata al-Tabanni yang berasal dari bahasa arab يََّبَت – يَِّبَتَي - اًِّيَبَت , mempunyai arti mengambil,mengangkat

anak atau mengadopsi. Sedangkan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, tabanni disebut

dengan “adopsi” yang berarti “pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang

lain”.2

Pengangkatan anak sering diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata

Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya

pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut

adoption of a child.3

1

Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 95. 2

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta : Ichtiar baru Van Hoeve, 1996), h. 28.

3

Jhon M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981), h. 13.


(27)

Tabanni diartikan mengambil anak. Sedangkan di dalam kamus bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri.4Maksud dari pengangkatan anak disini adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri secara hukum di hadapan masyarakat.

2. Secara Terminologis.

Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian pengangkatan anak sebagai mana berikut:

a. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak )tabanni) “Pengambilan anak yang dilakukan oleh seorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu dinasab-kan kepada dirinya.”5

b. Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua pengertian

“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh

dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya; hanya diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi

4Depdikbud, “

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 11.

5

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhal-Islami wa al-Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1997, Cet. IV), Juz 9 h. 271.


(28)

harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.6

c. Surojo Wignjodipuro, Konsepsi pengangkatan anak menurutnya didasarkan kepada hukum adat.7

d. Muderis Zaeni, yang mengatakan bahwaAdopsi adalah cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan dan untuk mendapat pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai keturunan atau anak.8

Berdasarkan pengertian tersebut, adopsi lebih cenderung kepada pengertian anak asuh dalam rangka membantu orang tua kandung si anak. Boleh juga karenaorang tua angkatnya dengan alasan tidak mempunyai keturunan dan belas kasihan kepada anak karena orang tua tidak mampu membiayai anaknya.9 Tujuan

6

Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 21.

7

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h.118.

8

Muderis Zaeni, Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h .4. Lihat juga Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak , (Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984), h. 44.

9

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990, Ed.1. Cet. 1), h. 36.


(29)

mengangkat disini adalah untuk mendidik agar menjadi anak berguna di masa depan.10

3. Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia

Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dalam Pasal 47 ayat (1) Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.11Bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.12

4. Pengertian Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam Pengangkatan Anak adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung

10

Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 251-252.

11

Pengertian atau Batasan Pengangkatan Anak tersebut sama dengan pengertian atau batasan anak angkat yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, bahwa Anak Angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keptusan atau penetapan pengadilan.

12

Musthofa, Pengangkatan Anak kewenangan Peradilan Agama, )Jakarta: Kencana, 2008), h. 17.


(30)

kepadanya dan tidak menimbulkan akibat hukum diantara keduanya seperti hak pewarisan dan perwalian. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam itu sendiri yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah serta hasil Ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.13

. B.Sejarah Singkat

Tradisi pengangkatan anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno.14Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun temurun.15

Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah, tetapi kemudian tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Harisah) melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Nabi Muhammad SAW. Mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia

13

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2003), h.94.

14

Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 22. 15


(31)

mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.16

Setelah Nabi Muhammad SAW. menjadi Rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4, ayat 5, dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui peristiwa asbab an-nuzul ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi Muhammad SAW.telah mempraktikannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT. Telah menyatakannya dalam

Al-Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi Muhammad

SAW.dalam peristiwa selanjutnya, ternyata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pernikahan dengan bekas istri anak angkatnya menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandungnya, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya.17

16

Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 29-30.

17

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer,


(32)

Adopsi yang telah dikenal jauh pada masa Nabi Seperti Nabi Ilyas as, Nabi Musa as. serta masa pra Islam. Pada masa Pra Islam Masyarakat jahiliyah sudah lebih dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya.18

Tradisi Arab jahiliyah juga memiliki kebiasaan, yaitu jika seorang ibu tidak mampu menyusui anaknya sendiri, maka dicarikan pengganti (inang penyusu), Nabi Muhammad saw pun diserahkan kepada seorang inang penyusu, yaitu sayyidah Halimah setalah ibunya (aminah) tidak mampu menyusui anaknya. Hal itu dalam masyarakat arab sering disebut dengan pengangkatan anak.19

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak 1. Peraturan Perundang-undangan

a. Pasal 2 Ayat 3 dan 4.20 Pasal 12 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 21

b. Pasal 55 dan 57 Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

c. Pasal 2, 9, dan 49 Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

18

Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, (Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-1), h. 132.

19

Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, h. 54. 20

Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-IV), h. 98.

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, h. 101.


(33)

d. Pasal 5 Ayat 2 dan Pasal 21 ayat 2 Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.22

e. Pasal 1 angka 9, 6, dan Pasal 39 ayat 1,2,3,4,dan 5, Pasal 40,41, dan 42 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.23 f. Pasal 47,48, dan 90 Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang

Admnistrasi Kependudukan.24

g. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami Aceh dan Nias.25

h. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.

i. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.26

22

Republik Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-III), h. 4.

23

Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006), h. 113.

24

Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 22.

25

Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan (JDI-HUKUM), Edisi 2005 No 32, h.363.

26

Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan (JDI-HUKUM), Edisi 2005 No 32, h.365.


(34)

j. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW, dan khusus berlaku untuk golongan masyarakat keturunan Tionghoa.27

2. Hukum Islam

Dalam Islam Istilah Tabbani memang sudah ada hal ini berdasarkan pada kejadian pada masa Nabi Muhammad SAW tanpa menasabkan kepada orang tua angkatnya, akan tetapi implikasi terhadap peraturan perundangan yang ada di Indonesia atau hukum positif bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk perlindungan anak di mata hukum.

a. Al- Quran Adapun landasan hukum yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah adalah sebagai berikut:

Allah SWT telah mencantumkan dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 :

                     



                 

 Artinya :

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar28 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)

27

Musthofa ,Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 10. 28

Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).


(35)

                                          Artinya :

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.29 Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b. Petunjuk Rasulullah SAW yaang tertuang dalam Al Sunnah adalah sebagai berikut:30

Hadis Muslim dan Bukhari

- Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah maula Rasullulah SAW.dan kami memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat : Panggillah mereka dengan nama ayah (kandungnya ), maka itulah yang lebih

adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda ; “ engkau adalah Zaid bin Harisah”.31

29

Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.

30

Hadits-hadits tersebut penulis kutip dari Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia halaman 333.Oleh MUI Hadits tersebut dijadikan dasar hukum fatwanya mengenai Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam.

31

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al Bukhari, (Ttp : Dar Thauqatunnajah, 1422 H), Nomor. 5088, Juz.7, h.7.


(36)

- Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia mendengar Rasullulah SAW.Bersabda “ tidak seorangpun yang mengakui ( membangsakan diri ) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang telah melakukan hal itu, maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum muslimin ) dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.32

- Muhammad Ali As-Shabuni mengatakan: “Sebagaimana Islam telah membatalkan zihar, demikian pula halnya dengan “Tabanni” . Syariat Islam telah mengharamkan tabanni yang menisbatkan seorang anak angkat kepada yang bukan bapaknya, hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan

pelakunya mendapatkan murka dan kutukan Allah SWT.”33

c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 98,99, 100, 101, 106, 107 huruf h dan 20934 3. Fatwa MUI

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984 atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah mengemukakan sebagai berikut:

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

32

Muslim bin Hajjaj, Sahih al Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt), Nomor Hadist.2425, h.1884.

33

Muhammad Ali As-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni 2 ( Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset,t.tp), h. 363.

34

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam.


(37)

2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam.

3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan oleh agama Islam.

4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara asing selain bertentangan dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.35 D.Tujuan Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan motivasi diantaranya:

1. Untuk meneruskan keturunan, bilamana di dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.

2. Sebagai pancingan (di jawa) yakni dengan mengangkat anak, keluarga yang mengadopsi akan dikarunia anak kandung sendiri.36 Atau dengan mengangkat anak akan mungkin ketularan mendapat anak kandung.37

35

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 333.

36

Sudharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat (BW), Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika,2004). H. 172.


(38)

3. Menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, sebagai misi kemanusiaan dan pengalaman ajaran agama.38

4. Pengangkatan anak ini dilakukan guna memenuhi instingtif manusia yang berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.39

5. Untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, tanpa menjadikannya sebagai anak kandung sendiri diperbolehkan dalam Islam. Alasan–alasan orang melakukan pengangkatan pengangkatan anak adalah bermacam-macam, tetapi terutama yang terpenting adalah :Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan / kebahagiaan keluarga.40

37

B. Sebastian Tafal, Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, (Jakarta : Rajawali, 1989, Cet. 2), h. 71.

38

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama, h. 147.

39

Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1972). H. 19.

40


(39)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:

1. Untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua angkat.

2. Untuk kesejahteraan atau kepentingan bagi anak.

3. Begitu pula dalam pengangkatan anak juga harus dilihat dari orang tua kandung anak yang akan diangkat .41

E.Tata Cara Pengangkatan Anak di Pengadilan

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan mengenai prosedur pengangkatan anak antar WNI yang dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa:

Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang

berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”.42

Dalam SEMA No.6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, ada beberapa tahap dan persyaratan pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia, ataupun antar warga-negara asing, namun yang

41

Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak , (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 28.

42

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departeman Hukum dan HAM RI,


(40)

akan diuraikan oleh penulis adalah prosedur pengangkatan anak antar-warga Negara Indonesia, yang tahap dan persyaratannya sebagai berikut :43

i. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan

1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.

2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.

3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.

5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka pemohonnya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.

ii. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak

1. Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak.

2. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

43

Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 210, SEMA No.6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak


(41)

3. Isi petitium permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon “agar bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”, tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari si B”.

iii. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak antar WNI44

1. Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terkait dalam perkawinan sah/belum menikah diperbolehkan.45

c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.46

2. Syarat bagi calon anak angkat47

a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun. b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.48

c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.49 d. Memerlukan perlindungan khusus.50

44

Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h.211. 45

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, dan Lihat Musthofa Sy,

Pengangkatan Anak Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 86. 46

Kumpulan Perundangan perlindungan Hak Asasi Anak,(Yoyakarta: Pustaka Yustisia, 2006), h. 89.

47

Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 113. 48

Anak terlantar atau ditelantarkan adalah anak yang tidak dipenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.(UU Perlindungan Anak; Pasal 1 Butir 6; Permen Sosial Pengangkatan Anak; Pasal 1 Butir 13).

49

Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak (PP Pengangkatan Anak; Pasal 1 Butir 5).


(42)

e. Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan anak.

f. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka harus punya izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. Dengan demikian menurut ulama fiqih, tata cara pengangkatan anak adalah dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut bisa mandiri di masa mendatang, dan tidak dikenal yang namanya perpindahan nasab dari ayah kandung ke ayah angkatnya. Ia tetap bukan mahram dari orang tua angkatnya, sehingga tidak ada larangan kawin tetapi tidak saling mewarisi. Apabila pengangkatan anak diiringi dengan perpindahan nasab anak dari ayah kandung ke ayah angkatnya, maka konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya ada larangan kawin, sehingga apabila anak tersebut ingin menikah maka yang menjadi wali nikahnya adalah orang tua angkatnya.51

F.Lembaga yang Berwenang dalam Pengangkatan Anak

Anak angkat sebagaimana yang telah yang dikemukakan, adalah seseorang yang bukan keturunan dua orang suami istri yang dipelihara dan diperlakukan sebagai

50

Anak yang memerlukan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan hukum, anak dari minoritas, dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkoba, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif(napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. (Permen sosial pengangkatan anak;Pasal 1 Butir 14).

51


(43)

anak angkat keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya sendiri, juga termasuk hak untuk mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia. Oleh karena itu adanya akibat hukum yang terlalu jauh dan luas ini, di samping faktor-faktor lain dari pengangkatan anak itu sendiri, seperti faktor sosial, faktor psikologis dan lain-lain, maka tidak jarang akibat pengangkatan anak menimbulkan berbagai problema dalam masyarakat.52

Hukum perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menentukan pengadilan agama sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara-perkara bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya. Lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum perkawinan, sehingga sepanjang pengangkatan anak itu dilakukan oleh mereka yang beragama Islam atau memenuhi asas personalitas keislaman, maka pengangkatan anak itu menjadi kewenangan pengadilan agama.

Lembaga pengangkatan anak tidak diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak diaturnya lembaga pengangkatan anak tersebut dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena alasan sosial dan politik

52


(44)

pada saat itu. Namun demikian, pengangkatan anak merupakan bagian dari bidang perkawinan dan sesuai ketentuan Pasal 63 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa pengadilan agama sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya, maka kewenangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam seharusnya menjadi kewenangan pengadilan agama.53

Kesadaran dan kepedulian semangat masyarakat muslim yang makin meningkat telah mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam antara lain masalah pengangkatan anak. Kemudian aturan pengangkatan anak masuk dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman hukum materiil peradilan agama. Kendati pengaturan tersebut sebatas pengertian, namun telah memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat muslim Indonesia dalam memandang lembaga pengangkatan anak.54

Kebutuhan hukum orang-orang beragama Islam untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak sesuai dengan pandangan hidup dan kesadaran hukumnya, yaitu berdasarkan hukum Islam yang seharusnya menjadi kewenangan pengadilan agama itu, akhirnya ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 bahwa pengangkatan anak antara orang-orang yang beragama Islam menjadi

53

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI.POLRI.PEGAWAI KEJAKSANAAN, PNS, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007,Cet-VII), h. 20.

54


(45)

kewenangan pengadilan agama dan pengadilan agama memberikan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.55

Kewenangan absolut Peradilan Agama telah dirumuskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagai berikut: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam salah satunya di bidang perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku menurut syariat Islam adalah salah satunya pada point 20 tentang penetapan pengesahan anak berdasarkan hukum Islam.56

Pada Pasal 49 ayat (1) tersebut, telah secara jelas menyatakan bahwa akidah Islam yang melekat pada jiwanya, maka menjadi patokan untuk menyelesaikan persoalan sengketa hukum perdata kekeluargaannya dengan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (positif) bagi keluarga muslim itu. Kehadiran anak angkat di dalam keluarga tidak dapat dipisahkan dari sebuah cita-cita keluarga ideal.57

55

Musthofa , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 60 56

Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,(Yogyakarta: UII Press 2009), h. 15-16.

57

Ahmad Kamil dan Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta : Kencana, 2008), H. 144.


(46)

G.Kewenangan Absolut dan Relatif Pengadilan

Dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”58 Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan Negeri menerima semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex generalis).59 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Apabila kedua asas tersebut berhadapan maka lex specialis (asas ketentuan khusus) tersebutlah yang lebih diutamakan.60

Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.61 Kewenangan terhadap pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan

58

Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 48.

59 Ahmad kamil dan M fauzan “

Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang

Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) , h. 189.

60

Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1

liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan”, h. 1.

61

Pasal 50 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Lihat Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, h. 48.


(47)

lain pada saat itu. Oleh karenanya semua perkara yang berkaitan dengan pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Ruang lingkup kewenangan absolut peradilan agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragamaa Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah danEkonomi syariah.62

Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syariat Islam. Salah satu diantaranya adalah dalam Pasal 49 Point 20 tentang Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.63

Sehingga dalam perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang yang selain beragam Islam dan tidak dengan hukum Islam atau tidak berlandaskan dengan hukum Islam maka perkara tersebut secara absolut bukan kewenangan peradilan agama melainkan kewenanangan peradilan negeri/umum.64

62

Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

63

Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan (JDI-HUKUM),Edisi 2006 No 34, h.323.

64

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah


(48)

38

PROFIL PENGADILAN NEGERI WONOSOBO

A.Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia

Keberadaan peradilan umum telah ditegaskan secara rinci di dalam UU No. 2 Tahun 1982 dalam penjelasan umum bahwa di Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem hukum merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1

Pengaturan-pegaturan baru tentang pengadilan dan peradilan diakui memang harus diadakan terutama sebagai akibat dari tuntutan reformasi yang tercemin dalam perubahan UUD 1945 dan juga UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.2

Adapun penyelenggara atau pelaksana dari kekuasaan kehakiman tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan yang dikutip di atas adalah Mahkamah agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat (1)

1

Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 517.

2

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 227.


(49)

dan (2) UU. No. 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang no. 48 tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman:3

Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang Nomor 2 Tahun 1986. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut menentukan: “ Peradilan Umum adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.”4

Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.5

Menurut Pasal 14 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum tersebut, untuk dapat diangkat menjadi hakim, seseorang harus lebih dahulu menjadi pegawai negeri yang terdaftar sebagai calon hakim. Namun dalam pasal 12 ayat (1),

3

Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005), h. 88.

4

Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan disamping Pengadilan Umum yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku kekuasaan kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan rakyat mencari keadilan adalah setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia.

5

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan (2), pasal 13 aayat (1) dan (2).


(50)

dinyatakan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.6

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.Ketua dan Wakil pengadilan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung.Tentang pemberhentian dengan hormat diatur dalam pasal tersendiri.

B.Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri

Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan

“Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat

mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan Pengadilan.7 Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum(hukum materi).8 Sedangkan Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan Pengadilan Agama sesuai tempat dan kedudukannya.

Di dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan“ Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

6

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 228. 7

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN- Malang Press, 2008), h.193.

8


(51)

perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”9

Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan negeri bahwa semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex generalis).10 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Maka apabila kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus tersebutlah yang lebih diutamakan.11

Arti penting suatu daerah hukum bagi Pengadilan Negeri adalah hubungan dengan kewenangan nisbi (kompetensi relatif ) dalam mengadili suatu perkara. Yang berwenang mengadili suatu perkara pidana adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat terjadinya suatu tindak pidana (locus delicti).Dalam perkara perdata, daerah hukum Pengadilan Negeri berat hubunganyya dengan tempat tinggal penggugat dan tergugat dalam hal pengajuan gugatan.12

9

Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 48.

10Ahmad kamil dan M fauzan “ Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 189.

11

Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1 liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan”, h. 1.

12

Wantjik Saleh, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 207.


(52)

C.Sejarah Singkat Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri Wonosobo sejak zaman Belanda sudah ada dengan nama Landraad, akan tetapi nama ini mengalami perubahan sesuai dengan situasi pada waktu itu, perubahan tersebut dapat dilihat pada zaman Belanda bernama LANDRAAD WONOSOBO atau sebagai Judex Factio, pada masa kemerdekaan ada perubahan nama menjadi PENGADILAN EKONOMI dan menempati gedung di JalanPemuda No.6 Wonosobo, bangunan gedung didirikan pada tahun 1918, kemudian pada tanggal 7 Juni 1983 gedung Pengadilan Negeri Wonosobo berpindah ke gedung yang baru terletak di Jalan Tumenggung Jogonegoro No.38 Wonosobo, Kel.Jaraksari, Kec. / Kab. Wonosobo dengan nama PENGADILAN NEGERI WONOSOBO dengan luas tanah dan bangunan secara keseluruhan kurang lebih 4.000 m2 hingga saatini.13

Gedung Pengadilan Negeri Wonosobo yang baru diresmikan pada tahun 1983 oleh Bapak H.OESMAN SAHIDI, SH jabatan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman R.I Propinsi Jawa Tengah.Pada tahun 1985 terjadi REUISLAGH yaitu tanah dan bangunan gedung Kantor Pengadilan Negeri Wonosobo yang terletak di Jalan Pemuda No.6 Wonosobo menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo yang kemudian dijadikan kantor BAPPEDA Kabupaten Wonosobo dan Pengadilan Negeri Wonosobo mendapatkan ganti rugi berupa tanah dan bangunan perumahan yang terdiri dari :

13

“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah.


(53)

- Rumah Dinas Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo yang terletak di Jalan Tata Bumi No.1 Wonosobo.

- Rumah Dinas Panitera/SekretarisPengadilanNegeriWonosobo yang terletak di Jalan Tata Bumi No.2 Wonosobo.

- Rumah Dinas Pejabat Struktural Pengadilan Negeri Wonosobo No.3 s/d No.8 yang terletak di Jalan Tata Bumi No.3 s/d No.8 Wonosobo.

- Bangunan RuangSidang II. - Bangunan RuangArsip.

- Bangunan No.4 dan No.5 terletak di kantor Pengadilan Negeri Wonosobo Jalan Tumenggung Jogonegoro no.38 Wonosobo.14

Adapun wilyah hukum Pengadilan Negeri Wonosobo terdiri dari 15 Kecamatan yang meliputi :

1. Kecamatan Wadastilang 2. Kecamatan Kalibawang 3. Kecamatan Kepil 4. Kecamatan Sapuran 5. Kecamatan Kaliwiro 6. Kecamatan Leksono 7. Kecamatan Watumalang 8. Kecamatan Mojotengah

14

“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah.


(54)

9. Kecamatan Sukohardjo 10.Kecamatan Garung 11.Kecamatan Selomerto 12.Kecamatan Kalikajar 13.Kecamatan Kejajar 14.Kecamatan Kertek 15.Kecamatan Wonosobo.15

D. Profil Pengadilan Negeri Wonosobo

STRUKTUR ORGANISASI

PENGADILAN NEGERI WONOSOBO.16

15

“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah.

16

“Pimpinan” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-wonosobo go.id / kesekretariatan/kepegawaian/struktur-organisai.

KETUA

SARWONO, SH., MHum. WAKIL KETUA FEMINA M., SH., MH. HAKIM - HAKIM

1. ASNI MERIYENTI, SH. 2.MULYADI ARIBOWO.,SH. 3. ANNISA NOVIYATI, SH.

4. DEDI ADI SAPUTRO, SH., M.HUM.

5. WAHYU BINTORO, SH. 6. YUNITA, SH.

7. LENNY KUSUMA M., SH., M.HUM.

PANITERA / SEKRETARIS NGADENAN, SH., MH


(55)

45

PANMUD PERDATA PRAYOGO., SH

PANMUD HUKUM HADIYANTO.,SH

WAKIL SEKRETARIS SARWADI, SH

KAUR KEPEGAWAIAN ISMU

KAUR UMUM SIGIT K. A., SH

PANITERA PENGGANTI

1. BAWON, SH. 7. HERMIARSI K. 2. WAHYUNI SRI REJEKI, SH. 8. BARKAH 3. PRAYOGO, SH. 9. SUYONO A. 4. HADIYANTO, SH. 10. TIYASMIYARTI 5. MACHMUD FAUZI 11. SRI WALUYO 6. HERY SUGIANTO 12. SUMARLI T. R.

JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI

1. M. ZAENAL WARNO 4. AGUS SUTOPO 2. SUKO WIDODO 5. MURSIDJO 3. KUSNO SUGIHARJO 6. SUGIYO PANMUD PIDANA

WAHYUNI S., SH

KAUR KEUANGAN AGUSTIN., SH


(1)

dengan mengundang tetangga sekitar serta keluarga Para Pemohon dan keluarga SALIMAH ;

 Bahwa Para Pemohon dalam merawat, mengasuh dan mendidik AKHMAT RASYIT MUBAROK tersebut penuh dengan rasa kasih sayang layak anak kandungnya sendiri

 Bahwa Saksi tidak tahu dengan Surat-surat bukti yang diajukan oleh Para Pemohon tetapi pernah mendengar tentang surat penyerahan anak;

Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi tersebut diatas Para Pemohon menyatakan benar dan tidak keberatan;

Menimbang, bahwa selanjutnya Para Pemohon tidak mengajukan sesuatu lagi dan mohon Penetapan;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian Penetapan ini segala sesuatu yang terjadi dipersidangan dianggap telah termuat didalam Penetapan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Para Pemohon adalah sebagaimana tersebut diatas;

Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Saksi-Saksi tersebut diatas yang dihubungkan dengan Surat-surat bukti, maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut :

- Bahwa pokok dari Permohonan Para Pemohon adalah Pengangkatan Anak;

- Bahwa anak yang dimaksudkan oleh Para Pemohon untuk diangkat adalah bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK, seorang anak laki-laki yang lahir di Wonosobo, tanggal 07 Juli 2012, anak dari seorang ibu yang bernama SALIMAH ;


(2)

- Bahwa Para Pemohon sebagai calon orang tua angkat adalah pasangan suami istri yang sah yaitu SUBARI, berusia 49 (empat puluh sembilan) tahun dan SUGIYAH, berusia 37 (tiga puluh tujuh) tahun;

- Bahwa Para Pemohon menikah pada tanggal 17 Nopember 2004 di Wonosobo sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah tertanggal 22 Nopember 2004 Nomor : 622/12/XI/2004 dan sampai dengan sekarang ± 8 (delapan) tahun belum dikaruniai seorang anak;

- Bahwa telah ada persetujuan dari ibu kandung dari calon anak angkat dan kesanggupan Para Pemohon untuk merawat, mengasuh dan mendidik serta memberikan perlindungan kepada AKHMAT RASYIT MUBAROK sebagai Calon Anak Angkat sebagaimana layaknya anak kandung;

- Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK telah diserahkan oleh ibu kandungnya kepada Para Pemohon sejak lahir ;

- Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK diserahkan kepada Para Pemohon karena keadaan ekonomi dari Saksi SALIMAH sebagai ibu kandungnya kurang mampu dan berkeinginan agar masa depan anaknya terjamin; - Bahwa telah diadakan selamatan pengangkatan AKHMAT RASYIT

MUBAROK sebagai anak angkat Para Pemohon dengan mengundang tetangga sekitar dan keluarga dari AKHMAT RASYIT MUBAROK ;

Menimbang, bahwa mengenai Perlindungan Anak yaitu dalam Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Menimbang, bahwa adapun pengertian anak sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, pada Pasal 1 angka 1 disebutkan, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan;


(3)

Menimbang, bahwa disamping diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, mengenai Pengangkatan Anak telah pula diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dimana diatur dalam Pasal 12 dari Peraturan Pemerintah itu, bahwa syarat-syarat anak yang akan diangkat, yaitu :

1. Belum berusia 18 (delapan) belas tahun; 2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; 4. Memerlukan perlindungan khusus;

Menimbang, bahwa dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak bahwa Calon Orang Tua Angkat harus memenuhi syarat-syarat antara lain :

1. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

2. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

3. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki 1 (satu) orang anak;

4. Memperoleh persetujuan tertulis dari orang tua atau wali anak;

5. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan fakta dipersidangan, anak yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk diangkat adalah seorang anak laki-laki bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK yang lahir di Wonosobo, pada tanggal 07 Juli 2012, dan sekarang berusia kurang lebih 7 (tujuh) bulan sebagaimana dalam Kutipan Akta Kelahiran (sesuai dengan surat bukti P-6) yang merupakan anak dari seorang ibu yang bernama SALIMAH ;


(4)

Menimbang, bahwa Pemohon SUBARI, telah berusia 49 (empat puluh sembilan) tahun lahir pada tanggal 14 Agustus 1973 dan Pemohon SUGIYAH lahir pada tanggal 10 Juni 1975 (sesuai dengan surat bukti P-1, P-2, P-3, P-4, P-5, P-11, P-12) dan merupakan pasangan suami istri yang sah (sesuai dengan surat bukti P-3);

Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Saksi Salimah, Saksi Nuraini Ariswari, Saksi Bahrodin, Saksi Suprat dan Para Pemohon, AKHMAT RASYIT MUBAROK berada dalam asuhan Para Pemohon sejak lahir hal mana telah disepakati dalam bentuk surat pernyataan bersama (sesuai dengan surat bukti P-4 dan P.15) ;

Menimbang, bahwa tujuan Para Pemohon mengangkat anak adalah demi masa depan dan juga kepentingan anak tersebut yang akan diasuh oleh Para Pemohon layaknya anak kandung sendiri dan Salimah selaku ibu kandung AKHMAT RASYIT MUBAROK menyerahkan anaknya kepada Para Pemohon karena keadaan ekonominya tidak mampu sedangkan Para Pemohon dipandang dari keluarga yang keadaan ekonominya mampu dan telah 8 (delapan) tahun belum dikaruniai anak;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dipersidangan, maka Pengadilan berpendapat bahwa kehidupan Para Pemohon secara sosial ekonominya cukup baik sehingga dapat menjamin masa depan AKHMAT RASYIT MUBAROK akan menjadi lebih baik atau setidak-tidaknya kehidupannya tidak akan terlantar;

Menimbang, bahwa dengan diangkatnya AKHMAT RASYIT MUBAROK menjadi anak angkat Para Pemohon, apakah tidak akan menimbulkan konflik hukum dikemudian hari ?

Menimbang, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang / keluarga yang berkewarganegaraan Indonesia asli sebagaimana pengangkatan anak yang dilakukan oleh Para Pemohon terhadap seorang anak laki-laki yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK tersebut


(5)

menurut Pengadilan pada hakekatnya cukup sah setelah dipenuhinya syarat-syarat dan tata cara tertentu menurut adat istiadat setempat dan peraturan perundangan yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, tercermin adanya kepentingan yang pantas dari Para Pemohon yang kepentingan mana menurut hemat Pengadilan tidak bertentangan dengan kepentingan umum;

Menimbang, bahwa oleh karenanya permohonan Para Pemohon cukup beralasan sehingga patut untuk dikabulkan;

Menimbang, bahwa karena perkara ini bersifat permohonan maka sudah sepantasnya Para Pemohon dibebani untuk membayar biaya dalam perkara ini;

Mengingat, Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang bersangkutan dengan perkara ini;

M E N E T A P K A N Mengabulkan Permohonan Para Pemohon tersebut;

Menyatakan sah demi hukum pengangkatan anak yang dilakukan oleh Para pemohon terhadap seorang anak laki-laki bernama : AKHMAT RASYIT MUBAROK yang lahir pada tanggal 07 Juli 2012 di Wonosobo, anak dari seorang ibu yang bernama : SALIMAH, bertempat tinggal di Desa Kalierang Rt. 002 Rw.004 Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo;

Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada Para Pemohon sejumlah Rp. 153.000,00 (seratus lima puluh tiga ribu rupiah);

Demikianlah Penetapan ini ditetapkan pada hari : Rabu, tanggal 27 Pebruari 2013, oleh Kami : FEMINA MUSTIKAWATI, SH.MH, Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Wonosobo. Penetapan mana diucapkan pada hari itu dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Hakim


(6)

tersebut diatas, dengan dibantu oleh HADIYANTO,SH sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Wonosobo dan dihadiri oleh Para Pemohon;

PANITERA PENGGANTI

Ttd

HADIYANTO,SH

HAKIM

Ttd

FEMINA MUSTIKAWATI, SH.MH

Perincian Biaya Perkara:

1. Pencatatan/Pendaftaran(PNBP) :Rp 30.000,00 2. BAPP :Rp 50.000,00 3. Pemanggilan :Rp 57.500,00 4. Sumpah :Rp 4.000,00 5. Redaksi Penetapan :Rp. 5.000,00 6. Materai Penetapan :Rp 6.000,00 +

Jumlah :Rp. 152.500,00 (seratus lima puluh dua ribu lima ratus rupiah)