Analisis Integrasi Vertikal Pada Perusahaan Minyak Goreng

(1)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA PERUSAHAAN

MINYAK GORENG

SKRIPSI

Oleh :

BUDI GUNAWAN SIREGAR

050304050

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 2010


(2)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA PERUSAHAAN

MINYAK GORENG

SKRIPSI

Oleh:

BUDI GUNAWAN SIREGAR 050304050

AGRIBISNIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh,

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 2010

Ketua Komisi Pembimbing

Ir. Thomson Sebayang, MT

Anggota Komisi Pembimbing


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposif yaitu pada dua sampel perusahaan yang memproduksi minyak goreng. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposif yaitu sampel adalah perusahaan minyak goreng yang mendapatkan izin untuk diteliti dari seluruh populasi perusahaan minyak goreng yang ada di Sumatera Utara hanya dua perusahaan yang mendapatkan izin untuk dilakukan penelitian.

Adapun analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriftif dengan menjelaskan dan menguraikan bagaimana kegitana integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.. Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan minyak goreng meliputi kegiatan pembelian dan penjualan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal yaitu mutu produksi, fluktuasi produksi dan fluktuasi harga.

3. Skala usaha dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan integrasi vertikal, perusahaan yang memiliki skala usaha yang besar akan lebih mudah memilih pasar atas produk yang dihasilkannya. Dengan skala usaha yang besar perusahaan akan lebih besar mendapat keuntungan dan lebih efisien.

4. Orientasi pasar untuk perusahaan yang mempunyai skala usaha besar cenderung lebih banyak kerah internasional (Eksport) sementara itu perusahaan yang berskala kecil umumnya melakukan penjualan lokal saja


(4)

RIWAYAT HIDUP

BUDI GUNAWAN SIREGAR, lahir di Medan pada tanggal 24 September 1987 anak dari Bapak M. Siregar dan Ibu B. L.Tobing. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : 1. Tahun 1993 masuk Sekolah Dasar Negeri 060891 Medan, tamat tahun 1999. 2. Tahun 1999 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Mulia dan Pencawan

Medan, tamat tahun 2002.

3. Tahun 2002 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Dharma Bakti Medan, tamat tahun 2005.

4. Tahun 2005 diterima di Departemen Agribisnis di Universitas Sumatera Utara Medan, melalui jalur PMP.

Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi yaitu:

1. Staff Departemen Informasi dan Kreatifitas Badan Kenaziran Musholla (BKM) Al-Mukhlisin FP-USU tahun 2008-2009.

2. Staff Pendidikan dan Pelatihan di FSMM SEP (Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian) FP-USU tahun 2007-2008.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah “ANALISIS INTEGRASI

VERTIKAL PADA PERUSAHAAN MINYAK GORENG”. Tujuan dari

penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

• Bapak Ir. Thomson Sebayang MT selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk mengajari penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

• Ibu Ir. Diana Chalil, Msi, PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk mengajari, memotivasi dan membantu penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

• Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP selaku Ketua Departemen SEP, FP-USU dan Ibu Dr. Salmiah, MS selaku Sekretaris Departemen SEP, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal kuliah dan administrasi kegiatan organisasi saya di kampus.

• Seluruh Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.


(6)

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda M. Siregar dan ibunda B. L. Tobing atas motivasi, kasih sayang, dan dukungan baik secara materi maupun do’a yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah, tak lupa kepada para adinda Annisa Zahra Saragih dan Zahra Addina Saragih atas semangat yang diberikan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman penulis di Departemen Agribisnis angkatan 2005 khususnya Tim Nasyid CHUVER (Hery, Syukron, Budi, Reza dan Nuzul) yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi. Tak lupa pula kepada teman-teman seperjuangan di BKM Al-Mukhlisin dan FSMM SEP, serta sahabat-sahabat yang terus berjuang dijalan dakwah dimanapun berada. Semoga apa yang kita cita-citakan dapat terwujud dan semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita semua.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Identifikasi Masalah ...4

Tujuan Penelitian ...4

Kegunaan Penelitian ...4

TINJAUAN PUSTAKA ...5

Tinjauan Pustaka ...5

Landasan Teori ...8

Kerangka Pemikiran ...12

METODOLOGI PENELITIAN ...15

Metode Pengumpulan Daerah Sampel ...15

Metode Pengambilan Sampel...16

Metode Pengambilan Data...17

Metode Analisis Data ...18

Defenisi dan Batasan Operasional ...22

Defenisi ...22


(8)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

SAMPEL ...24

Letak dan Keadaan Geografis ...24

Keadaan Penduduk ...24

Umur ...24

Pekerjaan ...25

Pendidikan ...26

Sarana dan Prasarana ...27

Karakteristik Sampel Umur ...29

Pendidikan ...30

Jumlah Tanggungan ...30

Pendapatan ...31

HASIL DAN PEMBAHASAN ...32

Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng ...33

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Curah dan Bermerek ...35

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Curah ...40

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Bermerek ...44

KESIMPULAN DAN SARAN ...48

Kesimpulan ...48

Saran ...48

DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Jumlah dan Kapasitas produksi pabrik Minyak Goreng asal kelapa sawit

dirinci menurut propinsi ...29

2. Data Perusahaan yang mengolah minyak CPO di Sumatera Utara ...30

3. Nama Lokasi, Produksi kebun dan PKS milik Perusahaan A...34

4. Data Kapasitas Produksi TBS dan PKS Perusahaan A ...………..25

5. Penduduk Menurut Pekerjaan ...26

6. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ...27

7. Sarana dan Prasarana ...28

8. Umur Sampel Minyak Goreng...29

9. Pendidikan Sampel Minyak Goreng ...30

10. Jumlah Tanggungan Sampel Minyak Goreng………..30


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Skema kerangka Pemikiran ...13

2. Perkembangan Produksi RBD Olein PT. A...36

3. Perkembangan Harga CPO Domestik...37

4. Perkembangan Produksi RBD Stearin PT. A...38

5. Produksi Fatty Acid PT. A...39

6. Persentase Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III...48

7. Perbandingan jumlah CPO diolah dan jumlah produksi RBD Olein Perusahaan A...56


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng

2. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Tanpa Outlier 3. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Curah

4. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Bermerek 5. Hasil Regresi Minyak Goreng

6. Hasil Regresi Minyak Goreng Curah 7. Hasil Regresi Minyak Goreng Bermerek 8. Hasil Elastisitas

9. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng

10. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng Curah 11. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng Bermerek 12. Hasil Uji Park (Heterokedastisitas)


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposif yaitu pada dua sampel perusahaan yang memproduksi minyak goreng. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposif yaitu sampel adalah perusahaan minyak goreng yang mendapatkan izin untuk diteliti dari seluruh populasi perusahaan minyak goreng yang ada di Sumatera Utara hanya dua perusahaan yang mendapatkan izin untuk dilakukan penelitian.

Adapun analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriftif dengan menjelaskan dan menguraikan bagaimana kegitana integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.. Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan minyak goreng meliputi kegiatan pembelian dan penjualan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal yaitu mutu produksi, fluktuasi produksi dan fluktuasi harga.

3. Skala usaha dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan integrasi vertikal, perusahaan yang memiliki skala usaha yang besar akan lebih mudah memilih pasar atas produk yang dihasilkannya. Dengan skala usaha yang besar perusahaan akan lebih besar mendapat keuntungan dan lebih efisien.

4. Orientasi pasar untuk perusahaan yang mempunyai skala usaha besar cenderung lebih banyak kerah internasional (Eksport) sementara itu perusahaan yang berskala kecil umumnya melakukan penjualan lokal saja


(13)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit adalah salah satu sumber minyak nabati yang memiliki peranan cukup besar dalam menunjang perekonomian nasional. Hal tersebut didasarkan dengan adanya peningkatan yang sangat pesat pada beberapa karakter penting seperti luas areal, tingkat produksi Crude Palm Oil (CPO) dan kontribusi terhadap perekonomian nasional (Budiman, 2002).

Komoditi kelapa sawit telah berhasil mengatasi kekurangan minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa yang terjadi sejak tahun 1972. Jika semula bagian terbesar dari produksi digunakan untuk ekspor maka sejak tahun 1972 keperluan dalam negeri menjadi berbanding sama atau kadang-kadang lebih tinggi. Komoditi kelapa sawit ternyata berhasil menembus daerah yang selama ini belum memiliki komoditi kelapa sawit seperti Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Propinsi lainnya di luar Aceh, Sumut dan Lampung. Komoditi kelapa sawit bisa dikembangkan baik berbentuk pola usaha perkebunan besar maupun skala kecil. Tumbuhan tanaman kelapa sawit cenderung tahan terhadap cuaca dan lebih ampuh menghadapi kendala dan masalah seperti serangan penyakit dan perubahan musim (Amang,1996).

Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia berjalan sangat pesat. Berdasarkan data statistik Indonesia, dari tahun 1990 hingga tahun 2005 luas areal budidaya tanaman kelapa sawit meningkat lebih 8 kali lipat dari 597.000 ha pada tahun 1990 menjadi 6,046 juta ha pada tahun 2006. Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga berubah, yaitu sebelumnya hanya perkebunan


(14)

besar, namun saat ini telah mencakup perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar swasta (PBS). Berdasarkan data statistik pada tahun 2005, luas areal PR sekitar 2,202 juta ha (40,44%), PBN 630.000 ha (11,58%) dan PBS 2,61 juta ha (47,98%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (BPS, 2005).

Berdasarkan data minyak dunia (Oil World) pada tahun 2007, Indonesia telah tercatat sebagai produsen CPO terbesar di dunia, dengan produksi sekitar 17,10 juta ton. Hal ini terlihat dengan banyaknya industri kelapa sawit yang berdiri dengan skala yang sangat besar seperti PT. Multi Mas Nabati yang memproduksi CPO sebesar 450.000 Ton dan PT. Ivomas Tunggal yang memproduksi sebesar 117.600 Ton. Industri yang berdiri kebanyakan menguasai industri hulu hingga industri hilir dengan memiliki kebun kelapa sawit , pabrik kelapa sawit dan pabrik pengolah CPO menjadi minyak goreng sendiri (Disperindag, 2007).

Hal tersebut mengindikasikan penerapan strategi integrasi vertikal di industri perkebunan kelapa sawit. Strategi tersebut dilakukan perusahaan produsen dengan mendirikan atau memiliki sendiri perusahaan distributor dan pemasoknya untuk mendukung kegiatan utamanya atau produsen menjalin kerja sama dengan pelaku usaha independen sebagai distributor atau pemasoknya (Wajdi, 2004).

Disatu sisi, menurut Farida (2008) strategi integrasi vertikal dapat mengakibatkan adanya monopoli pada suatu bisnis tertentu. Karena itu undang-undang persaingan usaha mengatur sedemikian rupa agar strategi integrasi vertikal


(15)

ini dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada UU No.5 Tahun 1999 pasal 14 yang berisi bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumiah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahanl atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”

Untuk mencegah timbulnya penguasaan pasar oleh perusahaan pengguna strategi integrasi vertikal, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU tentang persaingan usaha yang mengatur tatacara melakukan integrasi vertikal pada industri.

Khudori (2007) pada penelitiannya menyatakan bahwa sekelompok pengusaha yang memegang menguasai industri hulu hingga hilir kelapa sawit membuat struktur industri kelapa sawit mengarah kepada pasar monopoli. Dengan menguasai pasar, perusahaan mencoba menerapkan monopoli, artinya mengurangi persaingan di dalam industri dan mampu menjual dengan harga yang lebih tinggi.

Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (2008), industri minyak goreng di Sumatera Utara hanya dikuasai beberapa perusahaan besar saja, seperti PT. Intiboga Sejahtera yang memproduksi minyak goreng sebesar 381.918 Ton dan PT. Smart Tbk yang memproduksi 317. 620 Ton.

Selain itu, integrasi vertikal dapat meningkatkan efisiensi biaya, karena dapat mengurangi biaya-biaya berupa transportasi juga biaya transaksi. Seharusnya dengan efisiensi yang tinggi perusahaan perkebunan dapat menurunkan harga minyak goreng, Namun demikian, pada kenyataannya harga minyak goreng tak kunjung menurun (Arifin, 2009).


(16)

Hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi vertikal dapat memberikan kemampuan pada perusahaan untuk mempengaruhi harga pasar. Apakah integrasi vertikal pada akhirnya dimanfaatkan untuk meningkatkan harga pasar atau bahkan digunakan untuk menurunkan harga pasar, hal ini sangat tergantung pada motivasi perusahaan dalam melakukan integrasi vertikal. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian analisa integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng guna mengetahui bagaimana sebenarnya integrasi vertikal yang diterapkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.


(17)

Identifikasi Masalah

Setelah menguraikan latar belakang maka dapat disimpulkan beberapa masalah yang akan diidentifikasi, yaitu :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang dilakukan perusahaan minyak goreng?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal?

3. Bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal?

4. Bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang dilakukan perusahaan minyak goreng.

2. Untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal.

3. Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

4. Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.


(18)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan di kemudian hari dapat dipergunakan sebagai :

1. Sumbangan dalam penelitian yang terkait dengan masalah integrasi vertikal terutama pasar minyak goreng.

2. Sebagai bahan informasi dan referensi serta studi bagi pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penelitian mengenai Integrasi Vertikal.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Tinjauan Pustaka

Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati lainnya. Minyak goreng kelapa sawit ini diperoleh dari pengolahan daging kelapa sawit (TBS) lalu diolah lagi menjadi Crude Palm Oil (CPO). Dari CPO diolah lagi menjadi RBD (Refined, Bleached, Deodorized) Olein. RBD Olein ini dalam perdagangannya disebut minyak goreng.

RBD Olein atau minyak goreng curah harganya lebih murah daripada minyak goreng bermerek. Hal ini disebabkan warna minyak goreng bermerek lebih jernih daripada minyak goreng curah dan kandungan asam lemak jenuh pada minyak goreng bermerek lebih sedikit daripada minyak goreng curah.

Bahan baku yang umum digunakan untuk membuat minyak goreng adalah CPO yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS). Di Sumatera Utara PKS tersebut tersebar di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Langkat, Labuhan Batu, Deli Serdang, Asahan, dan Madina. Disamping menghasilkan minyak goreng CPO juga dapat diolah menjadi sabun, mentega, dan Oleo Chemical

(Bungaran, 1997).

Namun demikian, tercatat bahwa penggunaan terbesar minyak sawit adalah produk pangan yaitu sekitar 71% untuk minyak goreng sedangkan bila digabung dengan margarin/shortening menjadi sekitar 75%. Sisanya (sekitar 25%)


(20)

digunakan dalam bentuk sabun, Oleo Chemical, dan bentuk-bentuk lainnya (Afifuddin,2008)

Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi, hal ini yang dimaksud dengan integrasi vertikal (Wiradiputra, 2008).

Integrasi vertikal (vertical integration) merupakan strategi yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri (Goenadi, 2005).

Integrasi vertikal dibedakan menjadi dua, Farida (2008) yaitu:

1) Integrasi ke depan (Forward Integration) merupakan strategi untuk memperoleh kepemilikan atau meningkatkan kendali atas distributor atau pengecer.

2) Integrasi ke belakang (Backward Integration) merupakan strategi untuk mencari kepemilikan atau meningkatkan kendali atas perusahaan pemasok.

Pedoman integrasi vertikal dituliskan Pada Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang berisi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain


(21)

yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat

(UU RI No. 5, 1999).

Produsen yang mempunyai perusahaan distributor sendiri tidaklah dilarang oleh UU RI Nomor 5 Tahun 1999, sepanjang perusahaan tersebut tidak mencoba untuk menguasai pangsa pasar atau produksi suatu barang tertentu. Artinya, dengan memiliki distributor sendiri perusahaan tersebut akan berusaha melakukan efisiensi untuk dapat menjual barangnya lebih kompetitip dengan barang yang sama atau sejenis di wilayah pasar tertentu.

Usaha yang akan menjadi perhatian UU No 5 1999 adalah apabila perusahaan melakukan integrasi vertikal dan dapat mempengaruhi harga pasar dengan penetapan harga antara distributor dengan agen atau grosir yang menetapkan harga barang tertentu yang akan dijual kepada konsumen. Perjanjian penetapan harga secara vertikal tersebut dapat dilakukan, karena distributor tersebut merupakan bagian dari perusahaan produsen (Goenadi,2005).

Menurut Stigler (1951) tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal antara lain adalah:

1. Untuk menurunkan biaya transaksi

Sebuah perusahaan perkebunan melakukan integrasi vertikal dengan melaksanakan aktivitas produksi sendiri dikarenakan apabila perusahaan bergantung dengan perusahaan lain terutama dalam hal penyediaan bahan baku


(22)

maka perusahaan akan dikenakan biaya transaksi, seperti biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pertemuan. Tentunya hal tersebut dapat menambah biaya produksi perusahaan. Dengan melakukan integrasi vertikal maka perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi karena telah terdapat kesepakatan harga TBS baik berdasarkan harga pokok produksi (HPP) untuk kebun sendiri atau dengan kontrak kepada pihak III.

2. Untuk menjamin persediaan

Perusahaan menjalankan integrasi vertikal juga disebabkan karena persediaan bahan baku yang tidak stabil, sementara kontinuitas bahan baku sangat diperlukan demi kelangsungan proses produksi. Disamping itu kapasitas pabrik perusahaan harus tetap terpenuhi. Dengan demikian untuk menjaga efisiensi perusahaan dapat menyediakan bahan baku sendiri.

Selain itu pada perusahaan perkebunan, apabila PKS tidak mempunyai kebun sendiri maka perusahaan akan bergantung pada produsen bahan baku (TBS). Apabila pasokan TBS terhambat maka biaya-biaya seperti listrik akan naik, karena kapasitas pabrik tidak terpenuhi. Kemungkinan kesulitan bahan baku akan timbul apabila perusahaan terlalu bergantung pada perusahan lain, oleh karena itu perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk memenuhi pasokan bahan baku, selain itu juga dapat menghindar dari resiko fluktuasi harga.

3. Untuk menghapus pengaruh eksternal.

Apabila perusahaan melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan lain, maka akan timbul pengaruh dari perusahaan lain tersebut. Pengaruh eksternal adalah pengaruh luar yang ditimbulkan oleh perusahaan lain yang berintegrasi yang mengakibatkan rendahnya kualitas produksi perusahaan utama. Dalam hal


(23)

ini perusahaan lain tersebut yang menjadi pengaruh eksternal bagi perusahan utama. Perusahaan harus memperhatikan standart mutu produksi. Apabila perusahaan bergantung dengan pihak lain dalam penyediaan bahan baku produksi maka ancaman mutu yang rendah akan berakibat buruknya mutu produksi. Oleh karena itu perusahaan melakukan integrasi vertikal dengan menyediakan bahan baku milik sendiri sehingga standart mutu produksi tetap terjaga.

4. Untuk menghindari intervensi pemerintah.

Intervensi pemerintah merupakan kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk memantau kondisi pasar sebuah produk apakah ada terjadi penguasaan produksi pada sebuah produk sehingga harga menjadi tinggi. Intervensi pemerintah biasanya dilakukan dengan kontrol harga pemerintah, peraturan pemerintah dan pembayaran pajak. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat menghindari kontrol harga yang dilakukan pemerintah, Contohnya: perusahaan minyak goreng mempunyai kebun dan PKS sendiri, dengan memasok bahan baku sendiri perusahaan tidak perlu membeli bahan baku dengan harga pasar namun perusahaan membeli sesuai harga pokok produksi (HPP), dengan melakukan integrasi vertikal harga yang digunakan adalah harga kerja sama atau harga pokok produksi perusahaan.

Besarnya pajak juga menyebabkan perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal, setiap unit perusahaan biasanya akan dikenakan pajak yang berbeda. Sebuah perusahaan yang berintegrasi vertikal, untuk menghindari pajak yang besar maka perusahaan dapat menggeser laba perusahaan dari satu unit usaha ke unit usaha lain dengan mengubah harga transfer yang menjual bahan-bahan yang diproduksi secara internal dari satu unit usaha ke unit usaha lain. Dengan


(24)

menggeser unit usaha yang mempunyai laba tinggi ke unit usaha yang mempunyai laba rendah. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan keuntungan karena biaya pajak yang diperoleh kecil.

Menurut Tarumingkeng (2008) ada beberapa alasan mengapa perusahaan melakukan integrasi vertikal:

1. Membangun Barriers to Entry

Dengan menguasai pengadaan input atau distribusi output, perusahaan membangun barriers to entry, artinya, perusahaan beintegrasi dengan perusahaan yang dapat memenuhi pasokan produksi yang saling berkaitan. Perusahaan yang tidak bisa bersaing dikarenakan skala usaha yang kecil tidak akan memiliki kesempatan untuk berinvestasi. Perusahaan yang terintegrasi tentunya mempunyai keterkaitan dalam pemenuhan pasokan bahan baku. Oleh karena itu perusahaan yang dapat memasok bahan baku yang berskala besar yang dapat melakukan integrasi vertikal, sementara itu perusahaan yang berskala kecil akan mengalami hambatan dalam melakukan investasi karena banyaknya perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal.

2. Melindungi mutu produk.

Menjaga mutu produksi merupakan tujuan produksi dari perusahaan manufaktur, dalam integrasi vertikal mutu produksi dapat dijaga apabila perusahaan menerapkan standar dalam produksi. Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan dapat melindungi mutu dan memiliki keunggulan pada bisnis inti (core business). Misalnya perusahaan perkebunan yang berintegrasi vertikal dari hulu hingga hilir, tentu perusahaan mempunyai standart mutu yang terjamin


(25)

karena hasil produksi mulai dari TBS hingga minyak goreng merupakan hasil kontrol perusahaan sendiri tanpa adanya campur tangan perusahaan lain.

3. Meningkatkan scheduling (perencanaan).

Dengan menguasai pengadaan input, perencanaan proses produksi dapat ditingkatkan baik itu dalam hal jumlah produksi maupun orientasi pasar. Dengan melakukan integrasi vertikal perusahaan dapat melakukan penjadwalan produksi, perusahaan bisa bebas menentukan pada saat kapan memproduksi dalam jumlah yang banyak dan saat kapan memproduksi dalam jumlah sedikit. Misalnya, pada saat lebaran dan natal perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga memiliki pabrik minyak goreng cenderung mengolah lebih banyak CPO menjadi minyak goreng hal tersebut dikarenakan permintaan minyak goreng yang meningkat pada saat tersebut.

Landasan Teori

Integrasi vertikal adalah merupakan kegiatan yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri.

Integrasi vertikal mempunyai dua arah yang berbeda yaitu integrasi ke depan yang dilakukan ketika perusahaan melakukan pendekatan ke bawah dari aliran produknya. Sedangkan integrasi kebelakang adalah langkah kebelakang misalnya perusahaan manufaktur melakukan investasi ke sumber bahan bakunya. Untuk memahami kapan integrasi vertikal perlu dilakukan adalah dengan mengevaluasi pertimbangan benefit (keuntungan).


(26)

Sebuah perusahaan selalu menginginkan agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi (Aulia, 2009).

Integrasi vertikal yang melihat dari keuntungannya yaitu operasi ekonomi, diantaranya dapat dilakukan dengan prose produksi yang dapat digabungkan atau dikoordinasikan, selain itu biaya transaksi dilakukan dengan menggunakan kontrak pada saat menentukan kesepakatan harga. Akses supply dan demand juga merupakan keuntungan dari strategi integrasi vertikal akses untuk memproduksi bahan baku sendiri merupakan strategi untuk menghindari ancaman kekurangan bahan baku produksi. Dengan melakukan hal tersebut maka perusahaan sudah melakukan integrasi vertikal dan dapat mengurangi adanya resiko.

Selain itu keistimewaan produk juga menjadi keuntungan integrasi vertikal, dengan adanya mutu yang terkendali yang diproduksi langsung mulai dari bahan mentah oleh perusahaan sendiri maka produk yang dihasilkan akan memiliki keuunggulan dalam hal mutu produksi. Selain itu integrasi vertikal juga dapat mengendalikan sitem produk maksudnya perusahaan bebas melakukan produksi dalam jumlah besar dan kecil karena perusahaan bisa mengontrol permintaan. Ketika permintaan meningkat maka perusahaan akan memproduksi dalam jumlah yang besar juga (Wajdi, 2007).

Bagi produsen, integrasi vertikal dapat menimbulkan efisiensi bagi perusahaan yang mana perusahaan dapat lebih efisien dalam mengeluarkan biaya produksi, konsumen bisa saja diuntungkan dalam hal ini harga minyak goreng


(27)

menjadi murah karena produsen sudah efisien namun disisilain konsumen bisa dirugikan karena harus membeli dengan harga mahal (Hidayat, 2007)

Integrasi vertikal juga dapat menciptakan peningkatan pertumbuhan dan meningkatkan laba bersih perusahaan, dengan melakukan integrasi vertikal perusahaan bisa memperkecil biaya produksi, biaya transaksi, biaya transprotasi/pengangkutan sehingga terciptanya sebuah efisiensi pada perusahaan. Dengan melakukan integrasi vertikal skala usaha perusahaan cenderung bertambah besar dengan keuntungan yang besar pula (Church, 1999).

Kerangka Pemikiran

Pengembangan industri berbasis perkebunan dengan lebih menekankan pada integrasi hulu dan hilir mengalami permasalahan yang sering dikatakan dengan integrasi vertikal. Dukungan pasar atau industri hilir perkebunan sangat diperlukan untuk memajukan industri hulu atau produk-produk primer perkebunan. Oleh karena itu digunakan strategi integrasi vertikal untuk meningkatkan keterkaitan antar sektor hulu dan sektor hilir dianggap suatu pilihan strategi yang baik bagi perusahaan, di samping karena tuntutan manajemen modern yang menghendaki tingkat efisiensi yang lebih tinggi.

Perusahaan melakukan integrasi vertikal karena timbulnya hambatan ketidakpastian produksi yang mengakibatkan terhambatnya produksi perusahaan. Oleh sebab itu diperlukan kontinuitas input agar berlangsungnya produksi yang pada akhirnya akan menghasilkan output. Dengan integrasi vertikal perusahaan dapat menjalin kerja sama ataupun membuat sendiri input produksi.

Skala usaha menjadikan perusahaan melakukan integrasi vertikal, dengan skala usaha yang besar tentunya perusahaan membutuhkan pemasok yang dapat


(28)

memenuhi kapasitas produksi, dengan skala usaha yang besar perusahaan cenderung melakukan kerjasama dengan pihak lain yang dapat memenuhi kapasitas produksi perusahaan.

Integrasi vertikal juga menyebabkan orientasi pasar yang lebih luas, melalui integrasi vertikal perusahaan bebas menentukan pasar dari produksi yang dihasilkan, baik itu ekspor maupun domestik. Perusahaan bisa bebas menentukan pasar, orientasi pasar yang dipilih tentunya dengan harga yang paling menguntungkan.

Tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk meningkatkan efisiensi, menjamin persediaan, menghindar dari pengaruh eksternal serta terhindar dari intervensi pemerintah. Seluruh tujuan integrasi vertikal tersebut tentunya agar perusahaan mendapat keuntungan dan perusahaan bisa dikatakan efisien.

Integrasi vertikal yang bertujuan untuk mengefisiensikan perusahaan dan menciptakan keuntungan oleh perusahaan tentunya berdampak pada harga barang yang dihasilkan oleh perusahaan. Apabila perusahaan efisien maka harga produksi yang dihasilkan seharusnya akan menjadi stabil atau bahkan bisa menjadi lebih murah.

Dengan demikian dapat dijelaskan apakah dari kedua sampel yang melakukan integrasi vertikal milik sendiri atau melakukan integrasi vertikal dengan sistem kerja sama, dan bagaimana konsep kerja sama yang dilakukan perusahaan, apakah kerja sama yang sifatnya singkat atau yang bersifat panjang seperti kontrak, kontrak juga dilakukan berdasarkan jumlah atau berdasarkan harga.


(29)

Ket:

= Adanya Hubungan

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Ketidakpastian Produksi

Skala Usaha Orientasi Pasar

Integrasi Vertikal


(30)

III.

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive di Propinsi Sumatera Utara yang merupakan daerah penghasil minyak goreng tertinggi di Indonesia.

Tabel 3.1. Jumlah dan Kapasitas produksi pabrik Minyak Goreng asal kelapa sawit dirinci menurut propinsi

No. Propinsi Jumlah Pabrik

(Unit)

Kapasitas Produksi (Ton CPO/thn)

Sumbangan terhadap produksi nasional (%)

1. Sumatera Utara 15 2.480.297 34,40

2. Sumatera Barat 1 35.000 0,50

3. Riau 2 504.000 7,00

4. Jambi 1 1.030 0,01

5. Lampung 5 462.000 6,40

6. Sumatera Selatan 1 220.000 3,00

7. DKI Jakarta 10 1.276.655 17,70

8. Jawa Barat 7 686.160 9,50

9. Banten 1 143.640 2,00

10. Jawa Tengah 1 1.800 0,02

11. Jawa Timur 8 1.377.300 19,10

12. Kalimantan Barat 1 30.000 0,40

Total 53 7.217.882 100

Sumber: Disperindag berbagai sumber disesuaikan, 2008

Metode Pengambilan Sampel

Sampel ditentukan secara purposive yaitu perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara yang memberikan izin untuk dilakukan penelitian. Ternyata dari 15 perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara hanya 2 perusahaan yang memberikan izin. Data perusahaan pengolah CPO di Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 3.2


(31)

Tabel 3.2. Data Perusahaan yang mengolah minyak CPO di Sumatera Utara

No. Nama Perusahaan Jenis Industri dan

Komoditi

Kap. Produksi (TON)

Keterangan

1. PT. Berlian Eka Sakti RBD Olein 123.120 tdk mendapat izin

2. PT. Prima Palm Indah Minyak Goreng Sawit 32.400 Tdk Beroperasi

3. PT. Astra Agro Niaga RBD Olein 101.000 Tdk mendapat izin

4. PT. Jaya Baru Pertama Minyak Goreng Sawit 9.000 Tdk mendapat izin 5. PT. Multi Mas Nabati Minyak Goreng Sawit 450.000 Tdk mendapat izin 6. PT. Mitra Sawit Kumala Minyak Goreng Sawit 35.100 Tdk Beroperasi

7. PT. Sawit Malinda Edible Oil Cooking Oil 14.300 Tdk Beroperasi

8. PT. Singamas Jaya Perdana Minyak Goreng Sawit 70.200 Tdk Beroperasi 9. PT. Bintang Tenera Minyak Goreng dari CPO 10.500 Tdk Beroperasi

10. PT. A* RBD Olein 44.942 Dapat izin

11. PT. Musim Mas Minyak Goreng dari CPO 105.000 Tdk mendapat izin

12. PT. Ivo Mas Tunggal Minyak Goreng dari CPO 117.600 Tdk mendapat izin

13. PT. B* Minyak Goreng dari CPO 14.600 Dapat izin

14. PTPN IV Minyak Goreng Sawit 8.000 Tdk mendapat izin

15. PT. Sumatera Oil Minyak Goreng Sawit 32.433 Tdk Beroperasi

Sumber: Disperindag, 2008

*Perusahaan tidak berkenan dicantumkan nama.

Metode Pengumpulan Data

Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Sebelum digunakan dilakukan uji coba kuisioner untuk meminimalkan kesalahan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data petani kelapa sawit, PKS, dan pabrik minyak goreng.

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari BPS, PPKS, Dinas Perkebunan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Instansi dan asosiasi terkait. Data ini digunakan untuk mendukung dan melengkapi data primer, data sekunder tersebut antara lain mencakup banyaknya populasi perusahaan minyak goreng serta perkembangan produksi TBS, CPO dan minyak goreng di Sumatera Utara.


(32)

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini , seluruh identifikasi masalah diuraikan dengan menggunakan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus yang terjadi pada suatu perusahaan(Zuraidah, 2006).

Identifikasi masalah 1, dijelaskan proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang dilakukan perusahaan minyak goreng.

Identifikasi masalah 2, diuraikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal.

Untuk identifikasi masalah 3, dijelaskan bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

Untuk identifikasi masalah 4, dijelaskan bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut :

Defenisi

1. Perusahaan minyak goreng adalah perusahaan yang menghasilkan minyak goreng dari CPO.

2. Integrasi Vertikal adalah merupakan kegiatan yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri. 3. Minyak goreng kelapa sawit adalah minyak goreng yang berasal dari


(33)

4. Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak sawit yang berasal dari pengolahan daging buah kelapa sawit.

5. Harga minyak goreng adalah harga minyak goreng curah yang dijual kepada konsumen minyak goreng.

Batasan Operasional

1. Sampel dalam penelitian ini adalah Perusahaan Minyak Goreng.

2. Integrasi vertikal yang diteliti adalah PKS dengan pabrik minyak goreng. 3. Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2009.


(34)

IV. DESKRIPSI PROFIL PERUSAHAAN RBD OLEIN SUMATERA UTARA

Perusahaan RBD Olein A 1. Unit Usaha

PT. A memiliki usaha perkebunan seluas lebih kurang 34.738,38 Ha yang berada di dua propinsi yaitu:

1. Wilayah Propinsi Sumatera Utara terdiri dari: Kebun Mata Pao, Bangun Bandar, Tanah Gambus, Aek Loba, Negeri Lama.

2. Wilayah Propinsi Aceh terdiri dari: Kebun Sei Liput/Medang Ara, Seunagan, Seumanyam dan Lae Butar dan Sungai Liput.

PT. A adalah perusahaan Joint Venture yang bergerak di bidang perkebunan dan sampai saat ini telah mengelola 9 perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera dan Aceh. Komoditi utama perusahaan ini adalah kelapa sawit dan karet, produk yang dihasilkan dari kelapa sawit merupakan hasil produksi yang sifatnya tidak bisa terlalu lama disimpan, karena sifat buah TBS yang mudah rusak dan produksinya tergantung pada alam. Dengan demikian perusahaan selalu berusaha menciptakan sistem penjualan yang efektif dan non spekulatif, agar produksi dapat segera terjual dan diperoleh dana untuk keperluan ekspansi dan investasi.

Kesembilan kebun yang dimiliki perusahaan masing-masing memilik PKS pada setiap unit kebunnya, dan 1 diantara kebun tersebut yakni kebun Tanah Gambus selain menghasilkan TBS dan CPO juga memiliki pabrik fraksinasi RBD Olein yang berada di Kabupaten Batu Bara.


(35)

Pabrik fraksinasi RBD Olein yang berada di Tanah Gambus tersebut mempunyai kapasitas produksi 320 Ton CPO/hari. Untuk memenuhi kapasitas produksi 320 ton tersebut perusahaan mensupplynya dari 5 PKS yaitu PKS Tanah Gambus, Negeri Lama, Aek Loba, Bangun Bandar dan Mata Pao. Hanya 5 PKS inilah yang menyalurkan hasil CPO ke pabrik fraksinasi untuk diolah menjadi RBD Olein, hal tersebut dikarenakan hasil CPO 5 PKS tersebut sudah dapat memenuhi kapasitas terpasang pabrik fraksinasi selain itu jarak kelima PKS ini berdekatan lokasinya dengan pabrik fraksinasi RBD Olein, sementara itu ke 4 pabrik PKS lainnya langsung menjual hasil produksi dalam bentuk CPO ke pasar baik lokal maupun eksport.

Tabel 4.1. Nama Lokasi, Produksi kebun dan PKS milik Perusahaan A

No. Nama Kebun Lokasi Luas Lahan

(Ha) Kapasitas Produksi TBS (Ton/hari) Kapasitas Produksi CPO (Ton/hari)

1. Mata Pao Serdang Bedagai 1.755,76 12 36

2. Bangun Bandar Serdang Bedagai 2.480,51 23 48

3. Tanah Gambus Batu Bara 3.272,95 23 61

4. Aek Loba Asahan 8.983,54 60 171

5. Negeri Lama Labuhan Batu 1.925,33 12 34

6. Sungai Liput Aceh 3.506,27 18 86

7. Seunagan Aceh 4.504,44 23 73

8. Seumanayam Aceh 4.021,05 23 91

9. Lae Butar Aceh 4.288,53 23 91

Jumlah 34.738,38

Sumber: Data Primer Perusahaan A 2008

Setiap pabrik kelapa sawit pada Perusahaan A memiliki standart mutu yang sudah berstandar international diantaranya ISO 14001 2004 tentang pengelolahan lingkungan “AMDAL”. Pada prinsipnya ISO 14001 ini untuk pengelolahan lingkungan kebun dan pabrik, dengan diperolehnya ISO 14001 ini


(36)

maka pabrik kelapa sawit Perusahaan A dinyatakan ramah lingkungan. Selain itu Perusahaan A ini juga memperoleh ISO 9001 (mutu produksi) berarti perusahaan sudah memiliki mutu produksi yang sudah berstandart internasional, yakni dengan syarat:

1. Nilai Iodium Value CPO > 53,5

Iodium Value adalah jumlah asam lemak tidak jenuh dalam CPO

2. Kadar Air = 0,10%

3. Kotoran = 0,05%

4. FFA = 2,3%

5. PV (Peroksida Value) = ≥ 2%

6. Dobi (Deodorizing of bleach Index) = >2,5%

Apabila keenam standar itu terpenuhi maka produksi dapat diterima atau dieksport ke pasar internasional. Selain itu OHSAS 18000 juga sudah diperoleh perusahaan ini yaitu standart untuk keselamatan kerja karyawan di lokasi kerja yang beresiko, pengaman untuk pekerja (APAR) termasuk juga dalam hal kesehatan tenaga kerja.

2. Produksi dan Produk

Adapun produksi yang dihasilkan TBS PT. A antara lain CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). Namun pada penelitian ini yang menjadi objek diteliti adalah produk CPO. CPO ini bila diproses di FRF (Fractination and Refining Factory) akan menjadi minyak yang siap pakai. Dari CPO ini dapat dihasilkan produksi turunan yaitu:

1. RBD Olein (Refined Bleached and Deodorized Olein)

RBD Olein adalah minyak kelapa sawit kualitas tinggi yang sudah dikatakan sebagai minyak goreng. Saat ini produk tersebut dijual baik ekspor maupun lokal. RBD Olein bermerek apabila dilakukan filter atau penyaringan kembali oleh


(37)

pabrik penyaringan dan biasanya perusahaan bekerja sama dengan perusahaan lain yang menghasilkan produksi minyak goreng bermerek, RBD Olein curah apabila dijual langsung tanpa dilakukan penyaringan. Dilakukan penyaringan berguna agar kadar lemak lebih jernih dan minyak goreng yang dikonsumsi lebih sehat. RBD Olein atau minyak goreng ini biasa digunakan sebagai bahan pembuat makanan rumah tangga dan industri makanan. Adapun produksi RBD olein PT. A dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.1 Per kembangan Produksi RBD Olein PT. A


(38)

Gambar 4.2 Per kembangan Harga CPO Domestik

Sumber: Data Sekunder Diolah (Lampiran 13)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa produksi RBD Olein PT. A setiap tahun berfluktuatif, penurunan drastis umumnya terlihat pada bulan Oktober dan November setiap tahun, hal ini diduga karena naiknya harga CPO domestik dipasar pada bulan tersebut, sehingga PT. A lebih sedikit mengolah CPO menjadi RBD Olein. Demikian juga bulan maret setiap tahunnya produksi RBD Olein meningkat, diduga karena harga CPO domestik mengalami penurunan dan perusahaan cenderung memproduksi RBD Olein sehingga produksi RBD Olein meningkat.

2. RBD Stearin (Refined Bleached and Deodorized Stearin)

RBD Stearin yang diolah oleh Perusahaan A dijual pada lokal saja, RBD Stearin dijual langsung ke pabrik pembuat sabun, disamping karena produksinya yang sedikit perusahaan mempunyai pasar sendiri yang membutuhkan RBD stearin. RBD Stearin biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuat sabun. Adapun data produksi RBD Stearin PT. A dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


(39)

Gambar 4.3 Per kembangan Produksi RBD Stearin PT. A

Sumber: Data Primer Diolah (Lampiran 1)

Berdasarkan data produksi RBD Stearin diatas dapat dilihat bahwa fluktuasi produksi RBD Stearin setiap tahun berfluktuatif, penurunan terjadi pada Oktober dan November setiap tahunnya, hal ini karena kenaikan harga CPO domestik, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.2, akibat naiknya harga CPO domestik produksi RBD Stearinpun menurun.

3. Fatty Acid

Bahan ini juga diproses di pabrik fraksinasi untuk menghasilkan bahan baku pembuatan sabun mandi, sabun cuci dan kosmetik, seluruh produk ini dijual secara lokal. Sama halnya dengan RBD Stearin, Fatty acid juga digunakan sebagai bahan baku pembuat sabun. Seluruh hasil Fatty acid yang diperoleh perusahaan dijual secara lokal. Adapun produksi Fatty acid dapat dilihat dari Gambar 4.4 di bawah ini.


(40)

Gambar 4.4 Produksi Fatty Acid PT. A

Sumber: Data Primer Diolah (Lampiran 1)

Dari gambar 4.4 dapat dilihat bahwa produksi Fatty acid selama 3 tahun terakhir berfluktuatif, hingga pada bulan Oktober dan November 2006-2008 terjadi penurunan yang cukup drastis, hal ini dikarenakan naiknya harga CPO domestic, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.2, sehingga perusahaan cenderung menjual produk dalam bentuk RBD Olein. Namun pada bulan November 2007 terjadi kenaikan produksi Fatty acid, hal ini diduga rendahnya randemen CPO, sehingga produksi RBD Olein menurun selain dikarenakan harga juga karena mutu CPO yang rendah, oleh karena itu produksi Fatty Acid meningkat, fatty acid merupakan produk sisa dari hasil olahan CPO menjadi RBD Olein, produksinya bergantung pada mutu CPO, biasanya apabila produksi Fatty acid tinggi maka kandungan asam lemak bebas semakin tinggi, dan mutu CPO rendah.


(41)

3. Integrasi Vertikal

Dalam memenuhi setiap kapasitas pabrik perusahan membutuhkan pasokan Tandan Buah Segar (TBS) untuk diolah oleh pabrik kelapa sawit, pasokan TBS harus sesuai dengan kapasitas pabrik PKS. Perusahaan kapasitas keempat kebun yang menjadi pemasok bahan baku pembuat CPO dan RBD Olein dalam satu kali produksi adalah:

Tabel 4.2 Data Kapasitas Produksi TBS dan PKS Perusahaan A No. Nama Kebun Luas Lahan

(Ha)

Kapasitas Produksi TBS

(Ton/hari)

Kapasitas Produksi CPO

(Ton/hari)

1. Mata Pao 1.755,76 12 36

2. Bangun Bandar 2.480,51 23 48

3. Tanah Gambus 3.272,95 23 61

4. Aek Loba 8.983,54 60 171

5. Negeri Lama 1.925,33 12 34

Sumber: Data Primer Perusahaan A

Dari tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa kapasitas produksi TBS tidak memenuhi kapasitas produksi PKS, oleh karena itu perusahaan menjalin hubungan kerja sama dengan memiliki kebun Plasma (Pihak III), kebun yang menjalin hubungan mitra diantaranya adalah Mata Pao, Bangun Bandar, Tanah Gambus, Aek Loba dan Negeri Lama.

Kelima kebun ini menjalin hubungan kerja kepada pihak III agar dapat memenuhi kapasitas PKS, selain itu kelima kebun dan PKS tersebut jaraknya berdekatan dengan pabrik Fraksinasi. Sementara keempat kebun dan PKS lainnya letaknya berjauhan dari pabrik fraksinasi, dengan demikian untuk mengurangi biaya transportasi karena jarak yang jauh maka keempat kebun lainnya yang berda di luar sumtera hanya menjual dalam bentuk CPO saja.


(42)

Hubungan kerja sama dilakukan perusahaan dengan sistem kontrak berdasarkan waktu, Harga pembelian TBS dari petani biasanya sudah disepakati pada kontrak, Harga yang ditentukan merupakan harga pasar pada saat kontrak dibuat, dan harga tersebut akan selalu tetap hingga berakhirnya kontrak. Perusahaan Berhubungan dengan kebun plasma hanya dalam hal pembelian TBS saja, perusahaan tidak membantu petani dalam hal penyediaan sarana produksi dan hal lainnya. Kerja sama sifatnya kontrak ini juga melihat kualitas atau mutu atau proses sortasi dari perusahaan, apabila mutu TBS rendah Misalny: Buah yang belum masak, randemen yang dibawah 20%, apabila terdapat kondisi TBS tersebur maka pihak perusahaan akan menolak TBS dari petani.

Dalam meningkatkan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Perusahaan A juga mengolah CPO menjadi RBD Olein. Produksi Keempat PKS menyupply pabrik fraksinasi RBD Olein yang mempunyai kapasitas 320Ton CPO/hari. Perusahaan juga menerapkan strategi produksi RBD Olein dimana apabila harga CPO di pasar tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam produk CPO, sebaliknya apabila harga CPO di pasar rendah maka Perusahaan Akan mengolah sebagian dari jumlah CPO untuk dijadikan RBD Olein.

1 liter CPO yang dihasilkan oleh pabrik fraksinasi Perusahaan A akan menghasilkan 0,78 liter RBD Olein. Hal ini tentunya dengan beberapa ketentuan yaitu:

- Nilai Iodium Value CPO > 53,5

- Kadar Air = 0,10%

- Kotoran = 0,05%

- Asam Lamak Bebas = 2,3%

- PV (Peroksida Value) = ≥ 2%


(43)

Dari ketentuan tersebut yang paling dipengaruhi oleh kondisi CPO adalah asam lemak bebas. Apabila nilai standart tersebut tidak tercapai maka mutu RBD Olein akan rendah dan produksi Fatty acid dan RBD Stearin akan meningkat.

Dalam hal pengoperasian atau sering disebut Proses Press Filter juga harus diperhatikan. Proses press Filter adalah salah satu proses pengolahan CPO menjadi RBD Olein. Nilai RBD Olein yang dihasilkan sangat bergantung pada alat Press Filter ini, apabila alat pengolah ini rusak atau salah dalam pengoperasian maka nilai RBD olein yang dihasilkan bisa berkurang dan biasanya Nilai RBD Stearin menjadi bertambah. Namun hingga saat ini Perusahaan A selalu memenuhi kapasitas pabrik.

Kegiatan integrasi vertikal juga dapat dilihat di Perusahaan A dalam penjualan RBD Olein Perusahaan Bekerja sama dengan beberapa perusahaan Antara lain PT. Musimas dan PT. Multimas Nabati Asahan, kerja sama dilakukan dengan menggunakan sistem kontrak dalam hal ini kontrak dilakukan apabila adanya kesepakatan harga serta kualitas produk. Biasanya untuk menjalin kontrak perusahaan pembeli akan melihat mutu produksi RBD Olein milik perusahaan A, apabila sesuai maka harga yang akan disepakati, harga disesuaikan dengan harga pasar dan harga kesepakatan antara kedua perusahaan. Apabila mutu dan harga sudah sesuai maka kontrak pun akan dilakukan.


(44)

Perusahaan RBD Olein B 1. Unit Usaha

PT. B adalah perusahaan yang bergerak dalam pengolahan minyak kelapa sawit. Perusahaan B yang bergerak di bidang perkebunan dan hingga saat ini mengelola satu unit kebun yang berlokasi di Desa Pulau Maria, Dusun IV, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Asahan dan memiliki luas lahan kelapa sawit sebesar 50 Ha.

Komoditi utama Perusahaan B adalah kelapa sawit. Perusahaan ini tergolong perusahaan baru yang masih berskala usaha kecil. Perusahaan B memiliki satu kebun kelapa sawit, satu pabrik kelapa sawit serta satu pabrik Fraksinasi RBD Olein.

PT. B selain menpunyai kebun juga memiliki satu buah PKS, berkapasitas 20 Ton/hari, Besar kecilnya kapasitas yang terpakai tergantung pada masa Trek kelapa sawit. Masa Trek maksudnya adalah masa pada saat penurunan produksi kelapa sawit. Apabila terjadi masa trek maka perusahaan akan lebih cenderung membeli TBS kepada petani guna memenuhi kapasitas PKS.

Pabrik faksinasi pengolah CPO menjadi RBD Olein terletak berdekatan dengan kebun dan PKS berada dalam satu kawasan, pabrik fraksinasi memiliki kapasitas 30 Ton/Hari. Besar kecilnya produksi juga bergantung pada masa track kebun.

Untuk keselamatan kerja karyawan hanya menggunakan JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). PT. B tergolong baru oleh karena itu standart yang dimiliki belum seperti Perusahaan besar seperti Perusahaan RBD Olein lainnya oleh karena itu Perusahaan belum mempunyai standart khusus. Produk


(45)

yang dihasilkan masih dalam bentuk curah atau tidak bermerek. Perusahaan menjual hasil produksi RBD Olein kepada pedagang besar, kecil juga kepada konsumen disekitar perusahaan. Selain itu perusahaan juga menjalin kerja sama dengan perusahaan pengolah RBD Olein bermerek.

2. Produksi dan Produk

Adapun produksi yang dihasilkan PT. B dari hasil olahan TBS menjadi CPO, CPO bila diproses di FRF (Fractination and Refining Factory) akan menjadi RBD Olein yang siap pakai. Perusahaan B ini dapat menghasilkan produksi turunan yaitu:

1. RBD Olein (Refined Bleached and Deodorized Olein)

RBD Olein adalah hasil olahan dari minyak kelapa sawit kualitas tinggi. RBD olein merupakan hasil inti dari CPO. Pada PT. B RBD Olein tersebut dijual 100% secara lokal. RBD Olein PT. B langsung dijual kepada konsumen, dan produk dijual dalam bentuk curah. Adapun hasil produksi RBD Olein PT. B dapat dilihat pada gambar 4.5 berikut.

Gam bar

4.5 Per k

emb anga n Prod

uksi RBD Olei

n PT. B


(46)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa produksi RBD Olein setiap tahunnya berfluktuatif, namun fluktuasi tidak terlalu besar, namun dapat dilihat bahwa produksi pada tahun 2008 berada diatas produksi pada tahun sebelumnya 2006 dan 2007, hal tersebut dikarenakan tingginya produksi TBS dan tingginya permintaan pada RBD Olein pada tahun 2008. Selain itu produksi tahun 2007 berada di bawah tahun 2006 dan 2008, hal tersebut diduga karena penurunan mutu TBS sehingga produksi CPO menurun dikarenakan kualitas bahan baku yang rendah.

2. RBD Stearin (Refined Bleached and Deodorized Stearin)

Hasil dari olahan CPO juga menghasilkan RBD Stearin, RBD Stearin digunakan sebagai bahan baku pembuat sabun, kosmetik dan lain-lain yang kualitasnya di bawah RBD Olein. RBD Stearin merupakan bahan baku pembuat sabun oleh karena itu semua hasil produksi RBD Stearin dijual lokal pada perusahaan sabun sendiri milik PT. B. Adapun produksi RBD Stearin dapat dilihat dari gambar di bawah ini.


(47)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan pengamatan selama 3 tahun hasil produksi RBD Stearin pada awal setiap tahunnya cenderung stabil, namun pada oktober 2008 mengalami penurunan. Hal ini diduga karena nilai RBD Olein pada bulan oktober mengalami kenaikan sehingga nilai RBD Stearin mengalami penurunan, nilai RBD Stearin mengalami penurunan diduga karena nilai asam lemak bebas tinggi sehingga kandungan lemak tak jenuh CPO semakin rendah, jadi pada saat pengolahan nilai RBD Olein semakin tinggi.

3. Fatty Acid

Hasil turunan CPO lainnya adalah Fatty Acid, Fatty Acid digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan sabun mandi, sabun cuci dan kosmetik, PT. B juga mempunyai pabrik pembuat sabun, oleh sebab itu seluruh produksi Fatty acid diproses dipabrik sabun PT. B. Sama halnya dengan RBD Stearin, kedua bahan ini digunakan untuk membuat sabun. Adapun produksi Fatty acid PT. B dapat dilihat pada gambar berikut.


(48)

Gambar 4.7 Per kembangan Produksi Fatty Acid PT. B

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan data diatas produksi Fatty acid setiap tahunnya berfluktuatif, namun pada akhir tahun mengalami kenaikan bersamaan setiap tahunnya, pada agustus 2008 mengalami penurunan, hal ini diduga karena nilai produksi asam lemak bebas pada saat memproduksi RBD Olein menurun karena kualitas/mutu TBS dan CPO yang tinggi atau kandungan lemak jenuh pada CPO meningkat.

3. Integrasi Vertikal

Perusahaan B selain memiliki kebun kelapa sawit sendiri, perusahaan dalam memenuhi kapasitas PKS juga melakukan pembelian kepada pihak ketiga (Petani), kerja sama yang dilakukan dengan sistem kontrak. Perusahaan B menerima TBS baik dari Petani maupun dari pedagang pengumpul dengan harga beli sesuai dengan harga pasar dan mutu TBS.

Tabel 4.5 Kapasitas Produksi TBS dan Kapasitas PKS

No. Nama Kebun Luas Lahan (Ha)

Kapasitas Produksi TBS

(Ton/hari)

Kapasitas Produksi CPO

(Ton/hari)


(49)

Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa kebun PT. B belum dapat memenuhi kapasitas PKS, luas lahan yang sedikit serta produksi TBS yang kecil sebesar 3 Ton/hari membuat perusahaan harus menjalin kerja sama dengan pihak III untuk dapat memenuhi kapasitas PKS. Kerja sama dengan pihak III dilakukan dengan sistem kontrak selama setahun. Harga kontrak pembelian TBS disesuaikan dengan harga pasar pada saat kontrak dilakukan. Harga selalu tetap selama kontrak berlangsung.

Selain mengolah TBS menjadi CPO, PT. B juga mengolah CPO menjadi RBD Olein. Seluruh hasil produksi CPO diolah menjadi RBD Olein. Seluurh produksi CPO 20 Ton/hari digunakan untuk memenuhi kapasitas pabrik RBD Olein sebesar 30 Ton/hari. Integrasi vertikal yang diterapkan Perusahaan B dalam penjualan CPO menggunakan Harga Pokok Produksi (HPP) kepada Pabrik Fraksinasi RBD Olein, Perusahaan B mempunyai PKS sendiri dan menghasilkan CPO yang hanya diolah menjadi RBD Olein saja, atau dengan kata lain perusahaan tidak melakukan penjualan CPO.

Dalam penjualan RBD Olein Perusahaan B bekerja sama dengan PT. Musim Mas, kerja sama dilakukan dalam kontrak jumlah dan mutu sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua perusahaan ini. Apabila jumlah yang diinginkan oleh PT. Musim Mas terpenuhi dan standart sesuai dengan kesepakatan kedua perusahaan maka kontrak akan dilakukan. Kontak dilakukan hanya satu kali pengiriman pada saat kontrak disahkan.


(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses atau Kegiatan Integrasi Vertikal

1. Perusahaan A

Kegiatan integrasi vertikal perusahaan A mencakup kegiatan pembelian dan penjualan.

a. Kegiatan Pembelian

Dalam kegiatan produksi CPO dan RBD Olein perusahaan memerlukan pembelian TBS. Selain menghasilkan TBS sendiri perusahaan A juga melakukan integrasi vertikal dengan menjalin kerja sama dengan pihak ke III atau kebun plasma. Perusahaan A menjalin hubungaan kerja sama kontrak dalam hal pembelian TBS saja. Kerja sama dengan pihak III tentunya mempunyai dampak yang besar, yakni standar mutu yang diperoleh rendah apabila perusahaan membeli TBS kepada pihak III, berikut ini bisa dilihat pada Gambar 5.1 persentasae pembelian TBS pihak III di bawah ini


(51)

Gambar 5.1 Persentase Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 3

Dari Gambar 5.1 dapat dijelaskan bahwa bahwa nilai persentase pembelian TBS kepada pihak III terlihat berfluktuasi, apabila produksi TBS kebun sendiri meningkat maka perusahaan senderung sedikit membeli TBS kepada pihak III, sebaliknya apabila produksi menurun maka perusahaan lebih banyak membeli TBS kepada pihak III. Rata-rata sebanyak 40% perusahaan A membeli TBS kepada pihak III, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kapasitas PKS, namun diduga yang terjadi rendemen yang diperoleh dari pihak III lebih rendah, hal ini berakibat rendahnya mutu CPO yang diperoleh perusahaan, hal ini sesuai dengan teori yang dikatakan stigler bahwa tujuan melakukan integrasi vertikal agar terhindar dari pengaruh eksternal yaitu perusahaan bergantung dengan pihak lain dalam penyediaan bahan baku produksi maka ancaman mutu yang rendah akan berakibat buruknya mutu produksi. Oleh karena itu perusahaan melakukan integrasi vertikal dengan menyediakan bahan baku milik sendiri sehingga standar mutu produksi tetap terjaga.


(52)

Namun demikian agar kelangsungan produksi pada Perusahaan A dapat berjalan, maka perusahaan harus memenuhi setiap kebutuhan pabrik, misalnya dalam memenuhi kapasitas PKS perusahaan tidak bisa mengharapkan hasil produksi TBS dari kebun sendiri saja karena tanaman perkebunan yang dipengaruhi oleh cuaca dan iklim serta kebun yang harus melakukan Replanting. Perusahaan harus bekerja sama dengan petani dalam memenuhi kapasitas PKS.

b. Kegiatan Penjualan

1. Penjualan CPO

Perusahaan A melakukan penjualan dalam bentuk CPO hanya untuk PKS Sungai Liput, Seunagan, Seumanayam dan Lae Butar. Faktor jauhnya jarak ke pabrik fraksinasi dan sudah terpenuhinya kapasitas produksi pabrik fraksinasi yang membuat keempat PKS tersebut menjual produksinya dalam bentuk CPO. Keempat PKS yang berada di aceh tersebut langsung menjual CPO kepada retailer lokal untuk penjualan domestic dan retailer ekspor untuk penjualan internasional.

Apabila melakukan penjualan kepada retailer lokal, harga jual ditentukan berdasarkan harga pasar. Jika perusahaan melakukan ekspor, perusahaan langsung mengirimnya kepada retailer tank installation yang berada di Belawan dengan harga jual ekspor yang ditentukan pihak retailer. Untuk data mengenai jumlah penjualan lokal dan ekspor perusahaan A tidak bisa dilampirkan karena


(53)

perusahaan tidak memberikan informasi mengenai jumlah penjualan lokal dan ekspot CPO.

Dalam penjualan CPO baik lokal maupun internasional perusahaan tidak menjalin kontrak, kesepakatan harga dilakukan pada saat transaksi, harga yang digunakan sesuai dengan harga lokal pada saat pernjualan lokal dan harga internasional pada saat penjualan ekspor.

Sementara itu, PKS lainnya yang berintegrasi khususnya yang berdekatan dengan pabrik fraksinasi seperti PKS Tanah Gambus, Negeri Lama, Aek Loba, Bangun Bandar dan Mata Pao langsung mengolah seluruh CPOnya menjadi RBD Olein. Namun pada kondisi tertentu perusahaan bisa memutuskan untuk melakukan penjualan dalam bentuk CPO, bukan dalam bentuk RBD Olein. Pada saat harga CPO internasional naik perusahaan cenderung menjual seluruh produksi CPO dari setiap kebun ke pasar internasional (ekspor CPO). Hal ini dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini:

Gambar 5.2 Perbandingan jumlah CPO diolah dan jumlah produksi RBD Olein Perusahaan A


(54)

Gambar 5.3 Perkembangan harga CPO Internasional

Sumber: Data Sekunder Lampiran 14

Dari gambar 5.2 dapat dijelaskan bahwa setiap tahunnya CPO yang diolah berfluktuatif, pada bulan Juni 2008 jumlah CPO yang diolah menurun diikuti dengan jumlah produksi RBD Olein yang menurun pada bulan juli 2008. Diduga hal tersebut dikarenakan pada bulan tersebut terjadi kenaikan harga CPO internasional, sehingga perusahaan memutuskan untuk lebih sedikit mengaolah CPO menjadi RBD Olein.

Selain itu pada bulan Maret 2007 jumlah CPO yang diolah meningkat diikuti dengan jumlah RBD Olein yang meningkat, diduga hal tersebut dikarenakan harga CPO di pasar internasinal mengalami penurunan sehingga perusahaan memilih untuk memproduksi RBD Olein.

2. Penjualan RBD Olein

Perusahaan A melakukan penjualan RBD Olein secara lokal dan ekspor. Penjualan secara lokal dilakukan dengan perusahaan yang mengolah RBD Olein bermerek, Kontrak yang dilakukan sesuai dengan harga dan mutu RBD Olein,


(55)

adapun perusahaan A melakukan kerja sama penjualan RBD Olein kepada PT. Musim Mas dan PT. Multi Mas Nabati Asahan.

Selain melakukan penjualan lokal perusahaan A juga melakukan penjualan ekspor, perusahaan langsung menjual RBD Olein yang akan diekspor kepada retailer tank installation Belawan. Penjualan kepada retailer juga disesuaikan dengan harga dan mutu RBD Olein, untuk data jumlah penjualan ekspor dan lokal RBD Olein dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 5.4 Jumlah Penjualan Eksport dan Lokal RBD Olein PT. A

Sumber: Data Primer Olahan Lampiran 4

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa jumlah eksport RBD Olein perusahaan A lebih besar dibandingkan dengan jumlah penjualan lokal. Diduga


(56)

hal tersebut dikarenakan harga pasar ekspor lebih tinggi dibanding dengan harga jual lokal.

Gambar 5.5 Perbandingan Harga Lokal RBD Olein dan Harga Ekspor RBD Olein

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran

2. Perusahaan B

Proses atau kegiatan integrasi Vertikal Perusahaan B mencakup kegiatan pembelian dan penjualan.

a. Kegiatan Pembelian

PT. B juga melakukan kegiatan pembelian TBS, sama halnya seperti yang dilakukan Perusahaan A, selain menghasilkan TBS sendiri Perusahaan B juga menjalin kerja sama berupa kontrak dengan pihak ke III atau kebun plasma. Perusahaan B menjalin kontrak dengan pihak III dalam hal pembelian TBS, harga kontrak ditentukan berdasarkan harga pasar, harga akan selalu tetap selama masa kontrak berlangsung. Selama kontrak berlangsung pihak III tidak dapat menjual


(57)

hasil TBSnya kepada pihak lain, pihak III hanya dapat menjual TBS kepada perusahaan B. TBS yang berkualitas baik yang akan diterima oleh perusahaan.

Perusahaan B hanya memiliki 1 unit kebun seluas 50 Ha. Perusahaan B sangat bergantung kepada TBS pihak III hal tersebut dikarenakan hasil produksi TBS kebun milik PT. B tidak bisa memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit. Oleh karena itu perusahaan B membutuhkan TBS dari pihak ketiga untuk memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit (PKS). Adapun rata-rata pembelian TBS pihak III oleh perusahaan B dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5.6 Rata-Rata Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III PT. B

Sum ber: Data Primer Diolah Lampiran 9


(58)

Dari hasil data rata-rata komposisi dapat dikatakan bahwa sepenuhnya kebutuhan TBS perusahaan bergantung pada TBS Pihak III. Perusahaan B sangat membutuhkan petani plasma hingga 90%, hanya 10% persen saja produksi dari kebun sendiri. Untuk memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit perusahaan menjalin kerja sama dengan petani dengan masa kontrak selama 1 tahun. Harga TBS ditentukan pada awal kontrak dan disetujui oleh kedua belah pihak. Harga TBS tetap selama masa kontrak berlangsung. harga TBS disesuaikan dengan harga pasar, perusahaan bekerja sama hanya dalam hal pembelian TBS saja, perusahaan tidak membantu petani dalam hal penyediaan sarana produksi, kualitas TBS yang ditawarkan petani harus sesuai dengan standar yang ditetapkan Perusahaan B, perusahaan menerima TBS dari pihak III apabila buah dalam keadaan matang atau tidak mentah, rendemen ≥ 19%. Apabila tidak sesuai maka TBS akan ditolak oleh perusahaan B.

b. Kegiatan Penjualan

1. Penjualan RBD Olein

Perusahaan B hanya memiliki satu PKS dan seluruh produksi PKS diolah menjadi RBD olein oleh karena itu kegiatan penjualan yang dilakukan oleh PT. B hanya kegiatan penjualan RBD Olein. Adapun data penjualan RBD Olein PT. B dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1 Volume Penjualan RBD Olein PT. B ke Pasar Lokal

Bulan 2006 (Ton) 2007(Ton) 2008(Ton)

Januari 1240 1230 1660

Februari 1320 990 1750

Maret 1120 850 1785

April 1590 985 1350


(59)

Juni 1230 875 1350

Juli 1320 789 1760

Agustus 1130 870 1650

September 1250 890 1540

Oktober 1420 910 1670

November 1510 930 1450

Desember 1320 990 1650

Sumber: Data Primer PT. B

Dari data diatas setelah diamati selama 3 tahun terakhir dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2007 merupakan penurunan produksi RBD Olein, hal ini disebabkan karena pada tahun 2007 terjadi masa trek dimana masa turunnya produksi TBS kebun perusahaan B, sehingga perusahaan B harus membeli TBS dari pihak III yang mutunya lebih rendah dari pada kebun sendiri, mutu yang rendah dari TBS mengakibatkan persentase produksi RBD Olein semakin kecil.

Selain itu juga jika dilihat jumlah produksi RBD Olein pada bulan Ramadan setiap tahunnya juga mengalami pergerakan, pada tahun 2006 lebaran terjadi pada bulan November sehingga terjadi kenaikan pada bulan tersebut sebesar 1510 Ton hingga pada awal tahun 2007 pada hari besar Natal mencapai titik tertinggi produksi RBD Olein sebesar 1230 Ton, hal ini dikarenakan jumlah permintaan RBD Olein pada saat mengalami peningkatan sehingga perusahaan melakukan peningkatan produksi.

Perusahaan B menjual RBD Olein dalam bentuk curah, perusahaan belum bisa menjual produk yang bermerek dikarenakan skala perusahaan yang kecil. RBD Olein dijual langsung kepada retailer atau pedagang pengumpul minyak goreng curah untuk dijual ke pedagang besar dan konsumen.

Penjualan RBD Olein juga ada yang dijual dengan sistem kerjasama dengan perusahaan pengolah RBD Olein bermerek seperti PT. Musim Mas. Kerja sama sifatnya tidak terikat apabila perusahaan ingin menjual RBD Olein ke


(60)

PT. Musim Mas perusahaan tinggal menghubungi perusahaan pembeli maka perusahaan pembeli akan datang dan transaksi dilakukan, apabila sudah ada kesepakatan harga maka kerja sama dilakukan. RBD Olein yang diterima PT. Musim Mas akan diproses kembali dengan melakukan penyaringan agar tercipta minyak goreng bermerek.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Integrasi Vertikal

Perusahaan A

1. Kegiatan Pembelian

Faktor-fator yang mempengaruhi integrasi vertikal pada kegiatan pembelian adalah:

1. Mutu Produksi

Dalam pembelian TBS dari kebun Plasma dapat dipengaruhi oleh mutu produksi TBS yang ingin di jual petani, Mutu yang tidak sesuai seperti buah yang mentah atau basah serta hal lainnya yang dapat mengurangi rendemen CPO akan ditolak oleh perusahaan. TBS yang diterima PT. A apabila memiliki kriteria:


(61)

• Rendemen CPO Tinggi (sekitar > 19 – 24 %)

• Buah Matang

Gambar 5.7 Perbedaan Rendemen TBS menjadi CPO antara Pihak III dan Kebun sendiri PT. A

Sum ber: Data Prim er Diolah Lampiran 5

Dari Gambar 5.7 dapat dijelaskan bahwa nilai rendemen pihak III lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen kebun sendiri milik PT. A. Rata-rata rendemen pihak ke III berkisar antara 19-20% sementara TBS PT. A menghasilkan rendemen berkisar antara 23-24%. Rendahnya rendemen pihak ketiga disebabkan karena kurangnya perhatian petani terhadap tehnik budidaya seperti kurangnya perawatan dengan memangkas pelepah kering kelapa sawit, kurangnya pengetahuan petani mengenai masalah tehnik penyembuhan penyakit pada tanaman kelapa sawit, selain itu juga akibat pengaruh musim yang tidak terkendali, pengaruh musim juga bukan hanya dialami oleh kebun plasma namun juga bisa dialami kebun sendiri.

Rendahnya rendemen yang dihasilkan TBS pihak III dapat berpengaruh terhadap nilai CPO yang dihasilkan dengan kata lain nilai rendemen CPO yang dihasilkan akan lebih kecil, TBS dari Pihak III juga bisa mengakibatkan


(62)

rendahnya rendemen CPO ke RBD Olein, akibat yang ditimbulkan kandungan asam lemak bebas akan semakin tinggi, asam lemak bebas semakin tinggi akan mengakibatkan rendahnya produksi CPO dan RBD Olein, sebaliknya apabila asam lemak bebas rendah maka produksi CPO dan RBD Olein akan bertambah, penyebab tingginya asam lemak bebas diakibatkan mutu TBS yang diolah menjadi CPO.

Apabila mutu TBS rendah maka persen nilai RBD Olein pun akan semakin rendah dan nilai RBD stearin dan Fatty Acid akan semakin tinggi. Produksi RBD Olein pun akan menurun. Namun karena jaminan pasokan PKS yang harus terpenuhi maka perusahaan tetap membeli TBS dari Pihak III meskipun rendemen yang dihasilkan berbeda dengan rendemen TBS kebun sendiri.

2. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga mempengaruhi kegiatan pembelian, Misalnya Pembelian TBS kepada pihak III, perusahaan melakukan integrasi vertikal kepada pihak III dengan melakukan kerja sama kontrak. Pembelian kepada pihak III tidak terus berlangsung, hanya saja jumlah pembelian bergantung kepada produksi TBS kebun sendiri. Adapun fluktuasi produksi TBS kebun sendiri dapat dilihat pada gambar berikut ini


(63)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 3

Dari Gambar 5.8 Dapat dijelaskan bahwa rata-rata pembelian TBS PT.A kepada Pihak III sebesar 40%. Persentase ini berubah terus setiap bulannya. Pada umumnya PT. A masih memerlukan Pihak III dalam memenuhi kebutuhan PKSnya. Persentase pembelian ini bisa mencapai 50% pada awal tahun 2007 hal tersebut sering diakibatkan adanya masa trak atau masa dimana terjadi penurunan produksi kelapa sawit. Masa trek sering disebut masa dimana tanaman tidak bisa menghasilkan buah. Disaat kondisi seperti inilah perusahaan melakukan integrasi dengan Pihak III untuk tetap memenuhi kapasitas PKS.

Pada bulan Maret dan Oktober 2008 merupakan produksi TBS tertinggi tanaman kelapa sawit perusahaan A. hal itu dapat terlihat dari gambar 5.8, apabila produksi meningkat maka pembelian TBS kepada pihak III semakin berkurang. Sebaliknya terjadi pada akhir 2007 produksi kebun sendiri menurun sehingga pembelian TBS kepada pihak III semakin meningkat.

Disisi lain jumlah fluktuasi produksi TBS pihak III juga mengalami penurunan apabila produksi TBS kebun sendiri mengalami peningkatan, hal ini


(64)

bisa disebabkan masa banjir buah dimana produksi TBS mengalami peningkatan secara besar-besaran. Pada masa banjir buah TBS biasanya lebih sedikit membeli kepada pihak III. Dengan demikian fluktuasi produksi dapat mempengaruhi kegiatan integrasi vertikal, semakin tinggi produksi TBS maka produksi CPO dan RBD Olein semakin baik.

2. Kegiatan Penjualan

1. Fluktuasi Produksi TBS, CPO dan RBD Olein

Fluktuasi produksi juga berpengaruh terhadap kegiatan penjualan. perhatikan Gambar 5.9 berikut:


(65)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 7

Dari gambar 5.9 dapat dijelaskan bahwa fluktuasi produksi CPO Perusahaan A cenderung stabil, hal tersebut dikarenakan terpenuhinya kapasitas PKS setiap kebun. Perusahaan menjalankan integrasi milik sendiri pada kegiatan penjualan CPO ke RBD Olein oleh karena itu perusahaan dapat memperkecil biaya produksi. Biaya yang dipakai perusahaan dalam memproduksi RBD olein adalah harga pokok produksi CPO.

Produksi CPO selalu stabil karena PKS selalu memenuhi kapasitas terpasang pabrik, keputusan perusahaan untuk menjual produk dalam bentuk CPO ataupun RBD Olein tergantung kepada harga CPO di pasar internasional, harga CPO internasional tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam bentuk CPO, sementara apabila harga CPO internasional rendah maka Perusahaan Akan mengolah CPO menjadi RBD Olein.

Dari Gambar 5.9 juga dapat dijelaskan bahwa fluktuasi pruduksi RBD Olein lebih terlihat pergerakan naik dan turun, hal itu bisa terjadi dikarenakan harga CPO Internasional, apabila harga CPO Internasional tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam bentuk CPO akibatnya produksi RBD Olein akan menurun, sebaliknya kondisi naiknya produksi RBD Olein itu dikarenakan harga CPO internasional turun, oleh karena itu perusahaan cenderung mengolah CPO menjadi RBD Olein, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Alasan Perusahaan A melakukan integrasi vertikal dikarenakan antara CPO dan RBD Olein mempunyai pilihan pasar, maksudnya perusahaan bebas memilih pasar, apabila harga CPO internasional tinggi maka Perusahaan Akan menjual CPO ke pasar internasional, sebaliknya apabila harga CPO di pasar


(66)

rendah maka Perusahaan Akan mengolah CPO menjai RBD Olein dan menjualnya ke pasar domestic. Kondisi inilah yang menjadi salah satu tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

2. Fluktuasi Harga CPO dan RBD Olein

Perusahaan A memperhatikan fluktuasi harga baik CPO maupun RBD Olein. Apabila harga CPO di pasar internasional maka Perusahaan Akan melakukan ekspor dalam bentuk CPO, namun apabila harga CPO di pasar rendah maka perusahaan akan mengolah produknya menjadi minyak goreng, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.2, adapun perkembangan harga CPO internasional dan RBD Olein domestik dapat dilihat pada Gambar 5.10 berikut:

Gambar 5.10 Pekembangan Harga CPO internasional dan Harga RBD Olein Domestik

Sum ber: Data Sekunder Diolah Lampiran 8

Pada Gambar 5.10 dapat dijelaskan bahwa perkembangan harga CPO internasional selalu diikuti dengan perkembangan harga RBD Olein domestik.


(67)

Pada kenyataannya apabila harga CPO internasional naik maka harga RBD Olein juga akan mengalami kenaikan.

Perusahaan B

1. Kegiatan Pembelian

Faktor-fator yang mempengaruhi strategi integrasi vertical pada kegiatan pembelian adalah:

1. Mutu Produksi

Dalam pembelian TBS dari kebun Plasma dapat dipengaruhi oleh mutu produksi TBS yang ingin di jual petani, Mutu TBS yang diterima oleh PT. B adalah:

1. Buah Matang

2. Rendemen buah minimal 19% 3. Panjang tangkai max 2 cm


(68)

Gambar 5.11 Rendemen TBS menjadi CPO antara Pihak III dan Kebun sendiri PT. B

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 10

Dari Gambar 5.11 dapat dijelaskan bahwa nilai rendemen pihak III lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen kebun sendiri milik PT. B. Namun rendemennya tidak berbeda jauh dengan Pihak III, diduga hal ini dikarenakan perusahaan belum mempunyai Riset dan Development untuk melihat perkembangan mutu tanaman di kebun, berbeda dengan PT. A yang sudah memiliki Riset dan Developmen, sehingga rendemen yang dicapai bisa lebih tinggi. Rata-rata rendemen pihak ke III berkisar antara 19-20% sementara TBS Perusahaan B menghasilkan rendemen yang tidak berbeda jauh sekitar 19-21%. Karena rendemen yang tidak jauh berbeda dengan rendemen pihak III perusahaan dan juga karena kebutuhan akan TBS yang besar perusahaan tetap menjalin kerja sama dengan pihak III dalam hal pengadaan TBS.

Rendahnya rendemen yang dihasilkan TBS pihak III dapat berpengaruh terhadap nilai CPO yang dihasilkan dengan kata lain nilai CPO yang dihasilkan akan lebih kecil, rendahnya rendemen yang dihasilkan TBS Pihak III juga bisa mengakibatkan rendahnya juga rendemen CPO ke RBD Olein, akibatnya


(69)

kandungan asam lemak bebas akan semakin tinggi, persen nilai RBD Olein pun akan semakin rendah dan nilai RBD stearin akan semakin tinggi. Produksi RBD Olein pun akan menurun. Namun karena jaminan pasokan PKS yang harus terpenuhi maka perusahaan tetap membeli TBS dari Pihak III meskipun rendemen yang dihaslkan berbeda dengan rendemen TBS kebun sendiri.

2. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga mempengaruhi pembelian, produksi TBS perusahaan B hanya bisa memberikan sebesar 1% dari total keseluruhan TBS untuk memenuhi 20 Ton kapasitas terpasang PKS, oleh karena itu perusahaan B lebih mengharapkan produksi dari pihak III. Dengan kata lain untuk memenuhi kapasitas PKS perusahaan harus menjalin kerja sama dengan pihak III. Adapun fluktuasi produksi TBS kebun sendiri dapat dilihat pada gambar berikut ini

Gambar 5.12 Persentase Pembelian TBS kepada Pihak III dan Kebun Sendiri


(70)

Dari Gambar 5.12 Dapat dijelaskan bahwa rata-rata pembelian TBS PT. B kepada Pihak III sebesar 90%. Karena skala kebun yang kecil hanya 50 Ha, oleh karennya besarnya nilai produksi TBS tidak berpengaruh terhadap kapasitas PKS, dengan demikian perusahaan menjalin integrasi vertikal kebelakang melalui kontrak yang dilkukan kepada pihak III. Untuk lebih jelasnya perkembangan pembelian TBS pihak III dan hasil kebun sendiri dari PT. SATU dapat dilihat pada(Lampiran 9)

Jumlah fluktuasi produksi TBS pihak III juga mengalami penurunan apabila produksi TBS kebun sendiri mengalami peningkatan, hal ini bisa disebabkan masa banjir buah dimana produksi TBS mengalami peningkatan secara besar-besaran. Pada masa banjir buah TBS biasanya jumlah pembelian TBS lebih sedikit kepada pihak III. Namun pada Gambar 5.12 dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasokan TBS untuk memnuhi kapasitas PKS PT. B berasal dari pihak III.

2. Kegiatan Penjualan

1. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga berpengaruh terhadap kegiatan penjualan. perhatikan gambar di bawah ini


(1)

May-08 10893.06 8952.27

Jun-08 11037 8678.43

Jul-08 11060.63 8070.71

Aug-08 10256.1 6286.74

Sep-08 8517.252 5316.47

Oct-08 7570.07 3096.45

Nov-08 6282.888 4164.45

Dec-08 6482.428 4658.23

Jan-09 5425.133 4602.91

Feb-09 5482.705 4654.50

Mar-09 5673.254 4851.81

Apr-09 6447.841 5442.72

May-09 6703.073 5873.56

Jun-09 7112.67 6229.94

Jul-09 7333.879 6079.81

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Lampiran 9 Data Produksi TBS dan Pembelian TBS Pihak III PT. B 9.1 Data Produksi TBS Kebun PT.SATU

No Bulan Tahun (TON)

2007 2008 2009

1 Januari 70 70 60

2 Ferbruari 60 70 60

3 Maret 50 60 60

4 April 60 60 70

5 Mei 70 60 70

6 Juni 70 70 70

7 Juli 80 80 80

8 Agustus 80 80 80

9 September 90 90 90

10 Oktober 100 100 90

11 November 110 100 90

12 Desember 100 90 90

Sumber: PT. B

9.2 Data Pembelian TBS Dari Pihak III

No Bulan Tahun (TON)

2007 2008 2009

1 Januari 10000 10000 9000

2 Ferbruari 8500 8000 8000

3 Maret 8500 8000 8000


(2)

5 Mei 10000 9000 9000

6 Juni 12000 10000 10000

7 Juli 13000 11000 11000

8 Agustus 14000 12000 12000

9 September 15000 13000 13000

10 Oktober 15000 14000 14000

11 November 15000 14000 13000

12 Desember 14000 13000 12000

Sumber: PT. B

Lampiran 10 Data Randemen Kebun Semdiri dan Pihak III PT. B 10.1 Data Randemen CPO Kebun PT. B

No Bulan Tahun (%)

2007 2008 2009

1 Januari 20% 20% 20%

2 Ferbruari 19,5% 20% 20%

3 Maret 19,5% 20% 20%

4 April 20% 20% 20%

5 Mei 20% 20% 20%

6 Juni 20% 20% 20%

7 Juli 20% 20% 20%

8 Agustus 20% 20% 20%

9 September 21% 20% 20%

10 Oktober 21% 21% 21%

11 November 21% 21% 21%

12 Desember 20% 21% 21%

Sumber: PT. B

10.2 Data Randemen CPO Pihak III (Petani Plasma)

No Bulan Tahun (%)

2007 2008 2009

1 Januari 19% 19% 19%

2 Ferbruari 19% 19% 19%

3 Maret 19% 19% 19%

4 April 19% 19% 19%

5 Mei 19% 19% 19%

6 Juni 19% 19% 19%

7 Juli 19% 19% 19%

8 Agustus 19% 19% 19%

9 September 20% 19% 20%

10 Oktober 20% 20% 20%

11 November 20% 20% 20%


(3)

Sumber: PT. B

Lampiran 11 Data Perkembangan Produksi RBD Olein PT. B

Bulan 2006 (Ton) 2007(Ton) 2008(Ton)

Januari 1240 1230 1660

Februari 1320 990 1750

Maret 1120 850 1785

April 1590 985 1350

Mei 1480 1180 1476

Juni 1230 875 1350

Juli 1320 789 1760

Agustus 1130 870 1650

September 1250 890 1540

Oktober 1420 910 1670

November 1510 930 1450

Desember 1320 990 1650

Sumber: PT. B

Lampiran 12 Data Perbandingan Harga RBD Olein Domestik dan Produksi RBD Olein PT. B

Bulan Harga RBD Olein Domestik (Rp/Kg)

Produksi RBD Olein PT. B (TON)

Jan-07 4602.91 1240

Feb-07 4654.50 1320

Mar-07 4851.81 1120


(4)

May-07 5873.56 1480

Jun-07 6229.94 1230

Jul-07 6079.81 1320

Aug-07 6339.27 1130

Sep-07 6332.35 1250

Oct-07 6432.91 1420

Nov-07 7093.15 1510

Dec-07 7152.89 1320

Jan-08 7664.47 1230

Feb-08 8562.90 990

Mar-08 8687.33 850

Apr-08 8222.08 985

May-08 8952.27 1180

Jun-08 8678.43 875

Jul-08 8070.71 789

Aug-08 6286.74 870

Sep-08 5316.47 890

Oct-08 3096.45 910

Nov-08 4164.45 930

Dec-08 4658.23 990

Jan-09 4602.91 1660

Feb-09 4654.50 1750

Mar-09 4851.81 1785

Apr-09 5442.72 1350

May-09 5873.56 1476

Jun-09 6229.94 1350

Jul-09 6079.81 1760

Sumber: PT. B dan Disperindag

Lampiran 13. Data Harga CPO Domestik

Bulan 2006 (Rp) 2007(Rp) 2008(Rp)

Januari 3,386.10 4,602.91 6,286.74

Februari 3,506.33 4,642.51 5,316.47

Maret 3,528.94 4,851.81 3,096.45

April 3,371.16 5,442.72 4,164.45

Mei 3,452.23 5,873.56 4,658.23

Juni 3,550.47 6,229.94 7,664.47

Juli 3,537.69 5,929.69 8,562.90

Agustus 3,869.95 6,343.20 8,687.33

September 3,805.20 6,332.35 8,222.08

Oktober 3,741.32 6,432.91 8,952.27


(5)

Desember 4,155.37 7,152.89 8,070.71 Sumber: Dinas Perkebunan

Lampiran 14. Harga CPO Internasional

Bulan 2006 (USD/Ton) 2007(USD/Ton) 2008(USD/Ton)

Januari 422 595 1059

Februari 442 603 1160

Maret 437 620 1249

April 434 708 1174

Mei 440 769 1193

Juni 440 798 1209

Juli 471 807 1118

Agustus 511 818 916

September 497 823 770

Oktober 505 877 631

November 542 952 627

Desember 583 950 542

Sumber: Oil World, 2008

Lampiran 15. Jumlah Produksi CPO diolah Perusahaan A

Bulan 2006 (Kg) 2007(Kg) 2008(Kg)

Januari 9,872,377 10,101,081 8,869,987 Februari 9,154,752 9,123,292 9,165,398 Maret 10,382,343 10,353,982 10,103,394 April 9,859,628 10,061,224 7,595,075 Mei 10,332,735 10,251,128 9,996,663 Juni 7,807,372 10,387,994 9,515,010 Juli 8,805,147 9,497,009 8,285,172 Agustus 10,282,914 9,826,498 9,088,859 September 9,951,661 9,830,648 9,542,577 Oktober 7,728,439 6,899,244 5,155,378


(6)

November 7,742,163 10,033,956 4,384,375 Desember 9,723,108 10,356,786 6,658,026 Sumber: Perusahaan A

Lampiran 16. Data perbandingan harga RBD Olein Domestik dan RBD Olein Internasional Perusahaan A

Bulan Harga RBD Olein Domestik (Rp/Kg)

Harga RBD Olein Ekspor (Kg)

Jan-07 4602.91 7643

Feb-07 4654.50 9293

Mar-07 4851.81 8439

Apr-07 5442.72 8483

May-07 5873.56 8534

Jun-07 6229.94 8764

Jul-07 6079.81 8564

Aug-07 6339.27 8500

Sep-07 6332.35 7870

Oct-07 6432.91 8645

Nov-07 7093.15 7500

Dec-07 7152.89 8786

Jan-08 7664.47 12875

Feb-08 8562.90 12874

Mar-08 8687.33 13874

Apr-08 8222.08 13546

May-08 8952.27 12364

Jun-08 8678.43 13645

Jul-08 8070.71 13274

Aug-08 6286.74 12647

Sep-08 5316.47 12983

Oct-08 3096.45 11612

Nov-08 4164.45 14432

Dec-08 4658.23 12569

Jan-09 4602.91 7643

Feb-09 4654.50 9293

Mar-09 4851.81 8439

Apr-09 5442.72 8483

May-09 5873.56 8534

Jun-09 6229.94 8764

Jul-09 6079.81 8564