23
Kanan 2 5 dari 257 kursi, aliran Sosialis Kiri Komunis 15,2 39 dari 257 kursi, golongan Kristen Katolik 4,6 14 dari 257 kursi.
10
Keutuhan Masyumi sebagai partai politik umat Islam tidak berlangsung lama, perbedaan kultur dan tahap perkembangan masing-
masing unsur
pendukungnya jauh
lebih berperan
daripada memperjuangkan kepentingan partai. Masyumi akhirnya mengalami
keretakan karena terjadi perebutan kekuasaan di dalam partai. Dengan alasannya sendiri, pemimpin unsur membawa pengikutnya keluar untuk
membangun partai baru atau mengubah sifat organisasinya menjadi politik tersendiri. PSII keluar karena ajakan Amir Syarifuddin untuk
membentuk kabinet diluar Masyumi. NU megubah dirinya menjadi partai politik, setelah mengenal kursi Menteri Agama.
11
2. Partai Politik Islam Pada Era Orde Baru 1967-1998
Ketika Orde Baru berkuasa, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu sebanyak 6 enam kali, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997. Meskipun demikian, pelaksanaan pemilu dibawah Orde Baru memiliki karakter yang berbeda dengan pemilu yang dikenal negara-
negara demokrasi pada umumnya. Jika dinegara demokrasi karakter pemilu dibangun atas prinsip free and fair baik dalam struktur dan
proses pemilu sebaiknya, Orde Baru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidakseimbangan kontestasi
10
Sumarno, Megawati Dan Aspirasi Politik Islam, Dalam Rusdi Muhtar et.all, Megawati Soekarno Putri : Presiden Republik Indonesia Jakarta: Rumpun Dian Nugraha, 2002 Hal.64
11
Herbert Feith, The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia.
24
antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat.Pelaksanaan pemilu diatur melalui cara-cara tertentu
untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Kenyataan ini disebabkan beberapa faktor utama , yakni :
1 Banyak anggota parlemen yang diangkat, dari 460 orang anggota
DPR hanya 360 kursi yang dipilih melalui pemilu, 75 kursi lainnya diangkat dari unsur ABRI Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, dan 25 lainnya dari Golkar Golongan Karya. 2
Kontrol Rezim terhadap partai dilakukan lewat upaya : a
Fusi paksaan bergabung partai-partai berasaskan Islam NU, Parmusi, PSII, dan Perti menjadi PPP Parai persatuan
pembangunan pada 5 Januari 1973 dan partai-partai Nasionalis PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik menjadi PDI
Partai demokrasi Indonesia pada 10 Januari 1973. Fusi diatur dalam UU No. 31975 Tentang Partai Politik dan Golongan
Karya dalam satu konsideran. b
Meminimalkan citra parpol dengan cara mewajibkan seluruh organisasi kemasyarakatan dan parpol menerapkan pancasila
sebagai satu-satunya asas pada tahun 1985, melalui UU No. 31985 Tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1975 Tentang
partai politik dan Golongan Karya, diundangkan tanggal 19 Februari 1985. Ketentuan pasal 2 diganti dengan ketentuan pasal
1 ayat 2 yang berbunyi : “1 Partai Politik dan Golongan Karya
25
berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas, 2 asas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah asas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”Kewajiban tersebut dirasa berat oleh parpol yang memiliki basis dikalangan
agama seperti PPP.Sehingga mengakibatkan perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu semakin merosot.
Sistem kepartaian dizaman Orde Baru tersebut dinamakan sistem kepartaian yang hegemonic, yaitu dimana sistem kepartaian yang mana
tingkat kompetensi antara parpol dibuat seminimal mungkin oleh parpol. Daniel Dhakidae menyebutnya sebagian sistem partai tunggal Golkar
dengan dua partai satelit PPP dan PDI, sebagai rekayasa rezim Soeharto tentu saja menjauhkan pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk
memastikan politisi yang terpilih dapat bertindak atas nama dan berdasar preferensi serta mewakili rakyat. Akibatnya : 1. Lemahnya parpol
sebagai representasi politik rakyat terutama karena partai dibuat tergantung dan tunduk pada kekuasaan, kelemahan terjadi tidak saja
pada partai PDI dan PPP, tetapi juga Golkar. 2. Hilangnya ikatan ideologis yang membawa banyak orang pada pragmatisme dalam
berpolitik. 3. Dalam kerangka hubungan antara rakyat dengan wakilnya, menjadikan pemilu bukan lagi sebagai sarana yang efektif
bagi rakyat untuk menyatakan keinginannya, apalagi sebagai ekspresi kedaulatan rakyat.
26
Pelaksanaan pemilu yang tidak demokratis tersebut, bukan tanpa alasan. Orde Baru menginginkan adanya pemenang tunggal yang
menyokong dalam segala kebijakan yang telah mereka buat.Hal ini berangkat dari pengalaman era demokrasi liberal, pluralitas kekuatan
politik menjadikan pemerintah tidak dapat berjalan efektif. Paradigma Orde Baru
“ekonomi sebagai panglima” atau juga dikenal dengan ideologi pembangunanisme menuntut stabilitas politik yang dalam
rancang pembangunan Orde Baru, hanya bisa dilakukan apabila ada kekuatan politik dominan dan menjauhkan rakyat dari aktivitas dan isu-
isu politik penting. Dengan demikian pemilu bagi Ode Baru adalah bukan merupakan suatu alat atau saran untuk mengubah pemerintahan
atau negara, dan keterlibatan masyarakat didalam pemilu lebih merupakan kewajiban daripada hak warganya.
12
Pemilu pertama pada masa Orde Baru diadakan pada tahun 1971, selama kampanye pemilu, para pemimpin Islam tetap mengingatkan
sesama muslim bahwa suatu kewajiban secara agama untuk memberikan suara kepada partai Islam. Usaha itu tidak berlangsung secara efektif
ketika diadakan pemungutan suara partai Islam hanya mampu memperoleh 20,44 suara atau 94 kursi dari 460 kursi yang
diperebutkan di DPR. Partai Islam terdiri dari Perti, NU, Permusi, dan lainnya
sebagainya menyatakan berfusi menjadi satu partai yang diberi nama
12
Fernita Darwis, Pemilihan Spekulatif Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009, Bandung: Alfabeta Cv, 2011, Cet. 1, Hal.15