Perubahan Fungsi Dan Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Di Medan

(1)

PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA MOTIF PADA PAKAIAN TRADISIONAL CHEONGSAM DI MEDAN

中国服装旗袍的图案对棉兰华裔的功能和意义分析

SKRIPSI

DISUSUN OLEH :

DITHA NUTAMI ANJAYANI 090710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRACT

The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.


(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT, karena berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “Perubahan Fungsi dan Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” ini masih belum sempurna karena keterbatasan dan daya serap penulis masih kurang. Untuk itu, penulis berharap saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami banyak hambatan mulai dari perencanaan sampai penyelesaiannya. Tetapi, berkat ketekunan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril dan materil, skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.,selaku Ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan dukungan, masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini serta telah sabar membimbing saya untuk menulis.


(4)

4. Ibu Cao Xia, MTCSOL., selaku dosen pembimbing II, yang telah menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini ke dalam bahasa Mandarin.

5. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra Cina dan seluruh staf pengajar Program Studi Sastra Cina lainnya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama masa perkuliahan.

6. Bapak dan ibu staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan. 7. Bapak Tondy P. Lubis beserta staf di kantor Kelurahan Sei Putih

Timur II dan para informan yang telah bersedia memberikan informasi tentang cheongsam di Kota Medan.

8. My superpower parents, papa H. Jumbakti, S.E dan mama Hj. Sri Rezekika Handayani yang selalu setia memberikan dukungan dan restunya. Terima kasih karena selalu me-lafadz-kan doa yang tulus dan ikhlas untuk anak mu ini, ma, pa. None words can describe how lucky am i to be your daughter. Kedua saudara-saudariku yang selalu memberikan dukungan ekstra di sela-sela kesibukan mereka. Mbak yang terkasih Handini Sekar Utami, S.Kom dan adik yang super


(5)

9. Rino Putra Riansyah S. I.Kom as the most incredible man I’ve ever met, yang tidak pernah bosan dan lelah menemani saya dalam kondisi apapun. Terima kasih untuk dukungan doa, tenaga dan pengertiannya selama ini beboo.

10.Teman-teman Lebayers, mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara stambuk 2009, teman-teman terhebat yang saya miliki tanpa terkecuali yang membantu saya dalam kondisi apapun.

11.Rahma Safitri si kecil-kecil cabe rawit, Rahmi Pratiwi Irela, Deasy Anastasia, Tri Utari Ismayuni Nasution, Sophia Mastura dan tak lupa Stephanie Yulia Salim yang telah membantu dan tak segan membagi ilmunya kepada saya. Terima Kasih teman-teman. Hey, we did it!

12.Kakak, Abang dan sahabat serta adik Sastra Cina yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, Terima Kasih untuk doa dan dukungannya. Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih.

Medan, Oktober 2013 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ··· ii

DAFTAR ISI ··· v

BAB I PENDAHULUAN ··· 1

1.1 Latar Belakang Masalah ··· 1

1.2 Batasan Masalah ··· 5

1.3 Rumusan Masalah ··· 5

1.4 Tujuan Penelitian ··· 6

1.5 Manfaat Penelitian ··· 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ··· 6

1.5.2 Manfaat Praktis ··· 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI ··· 8

2.1 Konsep ··· 8

2.1.1 Perubahan ··· 9

2.1.2 Fungsi ··· 10

2.1.3 Makna ··· 11

2.1.4 Motif ··· 12

2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam ··· 12

2.1.6 Masyarakat Tionghoa ··· 14

2.2 Landasan Teori ··· 16

2.2.1 Teori Semiotik ··· 16

2.2.2 Teori Fungsionalisme ··· 17


(7)

BAB III METODE PENELITIAN ··· 20

3.1 Metodologi Penelitian ··· 20

3.2 Pendekatan Kualitatif ··· 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data ··· 23

3.4 Teknik Analisis Data ··· 24

3.5 Lokasi Penelitian ··· 24

3.6 Data dan Sumber Data ··· 25

BAB IV GAMBARAN UMUM ··· 27

4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 27

4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum ··· 27

4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 31

4.3 Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 34

4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya ··· 39

4.5.1 Motif Tunggal ··· 39

4.5.2 Motif Kombinasi ··· 42

4.6 Motif Cheongsam dan Maknanya ··· 43

4.6.1 Motif Tunggal ··· 43

4.6.2 Motif Kombinasi ··· 45

4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 46

4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa ···· 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ··· 60

5.1 Kesimpulan ··· 60

5.2 Saran ··· 61

LAMPIRAN ··· 63

Peta Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 68

Data Informan ··· 69


(8)

ABSTRACT

The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pengertiannya yang paling umum, pakaian dapat diartikan sebagai penutup atau pelindung anggota tubuh. Pakaian digunakan sebagai pelindung tubuh terhadap hal-hal yang terdapat di sekelilingnya, seperti terlindung dari panas dan dinginnya cuaca maupun gangguan binatang-binatang kecil yang berbahaya. Pakaian juga berfungsi untuk menambah nilai estetika guna untuk mempecantik diri seseorang. Fungsi etika dari pakaian adalah untuk melindungi bagian-bagian tertentu. Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh atau rumah. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak terlihat, dan juga bertindak sebagai perlindungan dari unsur- unsur yang merusak yang berasal dari luar tubuh manusia. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya.

Pakaian juga dapat mewakili kebudayaan suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Melalui pakaian dapat terlihat keindahan dan keunikan bangsa yang menggambarkan identitasnya masing-masing. Hal tersebut dapat dilihat langsung dari warna, motif, bentuk pakaian, bahkan alat-alat pelengkap seperti; topi, selendang, tali pinggang, tombak dan lainnya. Contoh pakaian tradisional antara lain kebaya yang berasal dari Indonesia, sarre yang


(10)

berasal dari India, baju kurung yang berasal dari Malaysia, serta hanbook yang berasal dari Korea, dan masih banyak lagi.

Pakaian tradisional adalah hasil dari sebuah budaya suatu daerah yang mempunyai ciri khas tersendiri dan merupakan bagian penting yang juga diakui sebagai salah satu identitas bangsa (Wang, 2009: 1). Di Cina, fungsi pakaian bukan hanya untuk melindungi tubuh atau sebagai nilai estetika, namun zaman dahulu pakaian juga sebagai pengukur tingkat strata dan kedudukan seseorang. Secara tidak langsung dapat diketahui bahwa di Cina, pakaian juga memiliki makna sosial yang cukup kuat yang dapat melambangkan kekuasaan serta keterkaitan seseorang dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari motif yang terdapat pada pakaian tersebut.

Cina yang senantiasa dijuluki sebagai “yīguān wáng guó 衣冠王国” (kerajaan pakaian), juga memiliki sejarah perkembangan pakaian yang panjang dan mempunyai mempunyai beragam pakaian adat, salah satunya adalah

cheongsam. Cheongsam merupakan pakaian tradisional wanita Cina one-piece

(terusan) dengan corak yang menggambarkan khas bangsa Cina, dalam bahasa Mandarin dikenal juga dengan qípáo (旗袍),qípáor (旗袍儿) dan q’i-p’ao.Meski tergolong sebagai pakaian tradisional, namun cheongsam mengalami perubahan secara pesat sehingga sukses diterima di dunia busana internasional. Nama

cheongsam berarti pakaian panjang. Di daerah lain, termasuk di Beijing, dikenal dengan nama “qipao”. Karena di Indonesia qipao lebih dikenal dengan

cheongsam, maka seterusnya penulis menggunakan kata cheongsam untuk menggantikan kata qipao.


(11)

Cheongsam di berbagai dinasti mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda. Orang-orang Man menggunakan pakaian cheongsam terusan dengan pola yang sederhana, berbentuk silindris, lebar di bagian kaki, berlapis-lapis dan menutupi seluruh tubuh wanita, menyisakan hanya kepala, tangan, dan ujung jari kaki (Lihat lampiran 1). Hal ini sangat berbeda jauh dengan masa dinasti Han. Pada dinasti Han, cheongsam adalah pakaian two-piece (atasan dan bawahan) dengan desain yang lebih kompleks dan lebih menekankan pada dekorasi di tiap bagiannya (Lihat lampiran 2). Teknik bordir dan berbagai motif yang menarik mulai diadopsi oleh orang-orang Han, dekorasi ini biasanya terdapat pada bagian depan, bagian dalam dan hem yaitu jahitan pada pinggiran pakaian (Xu, 2011: 4).

Dari tampilannya potongan cheongsam memang sederhana, tidak memiliki banyak aksesoris, seperti sabuk, atau selendang. Namun jika melihat perkembangannya, cheongsam merupakan simbol dari kebangkitan wanita modern di Cina. Cheongsam mulai dikenakan pada awal abad 20 oleh para wanita di Shanghai.

Elemen-elemen yang terdapat pada pakaian cheongsam menjadikan

cheongsam sebagai salah satu pakaian adat yang mempunyai ciri khas tersendiri. Variasi kerah, bentuk lengan, hem , kancing simpul yang khas dan bordiran motif pada cheongsam merupakan elemen yang penting yang menunjang keindahan sebuah cheongsam. Yang paling penting dalam perkembangan cheongsam adalah motif, selain sebagai dekorasi untuk memperindah nilai estetika dari sebuah

cheongsam motif juga berfungsi sebagai pengukur tinggi rendahnya tingkat strata kehidupan seseorang di masyarakat. Pada zaman dahulu, mereka yang memiliki


(12)

berada atau bahkan mereka merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Semakin banyak bordir dan motif pada cheongsam, semakin tinggi kelas ekonomi sang pemakai. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, cheongsam dengan motif yang indah menjadi busana wajib bagi wanita yang ingin digolongkan sebagai kalangan wanita menengah ke atas di Shanghai.

Kini cheongsam tidak hanya familiar dikalangan etnis Tionghoa saja. Beberapa model potongan cheongsam perlahan diadopsi dan dipadukan dengan busana gaya apa saja. Di Medan, baju cheongsam banyak dipakai terutama saat menjelang tahun baru Imlek oleh kaum wanita keturunan Tionghoa, namun ada juga yang memakainya pada saat pesta pernikahan atau acara formal lainnya, tentunya dengan warna, model dan motif yang modern disesuaikan dengan kondisi acaranya. Perubahan desain cheongsam di Medan mengadopsi fashion

dari negara barat, hasil adopsi cheongsam ini akhirnya menghasilkan berbagai desain busana dengan motif dan fungsi yang berbeda, namun tetap mempertahankan kesan elegan dan menarik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengetahui lebih dalam mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa dengan mengangkat judul “Perubahan Fungsi dan Makna Motif Pakaian Tradisional Cheongsam bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan”.


(13)

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan yang terlalu luas, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian “Perubahan Fungsi dan Makna Motif Pakaian Tradisional Cheongsam bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” dengan hanya membahas mengenai fungsi dan makna motif pakaian cheongsam bagi masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih Timur II. Di pilihnya lokasi penelitian ini berdasarakan pertimbangan adanya akulturasi kebudayaan yang terdapat di lokasi tersebut. Meskipun masyarakat Tionghoa di daerah ini termasuk golongan minoritas, namun mereka tinggal dan menetap dalam jangka waktu yang cukup lama di daerah tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan pakaian tradisional cheongsam yang mereka gunakan pada saat acara-acara penting seperti tahun baru imlek, cap go meh, upacara-acara perkawinan dan upacara kematian.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk menetukan arah peneliti pada permasalahan yang lebih fokus, serta berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perubahan fungsi motif pakaian tradisional

cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, Kota Medan?


(14)

2. Bagaimanakah perubahan makna motif pakaian tradisional

cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, Kota Medan?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Keluraha Sei Putih Timur II.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap makna pola pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah : 1. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai adanya perubahan

pemahaman tentang perubahan fungsi dan makna motifpada pakaian tradisional cheongsam khususnya bagi masyarakat Tionghoa.

2. Menjadi salah satu rujukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang perubahan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia umumnya dan di Medan khususnya.


(15)

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian perubahan fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah untuk menambah pemahaman tentang adanya perubahan fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan khususnya generasi muda, sebagai bagian dari salah satu etnis di Indonesia.


(16)

BAB II

Konsep, Landasan Teori, dan Penelitian Peneliti Sebelumnya

Uraian yang terdapat pada Bab II yaitu terdiri dari konsep, landasan teori dan penelitian peneliti sebelumnya.

2.1 Konsep

Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal lain.

Menurut Bahri (2008:30), pengertian konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata (lambang bahasa).

Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan


(17)

seolah-olah mereka identik. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk tingkat eksistensinya.

2.1.1 Perubahan

Perubahan adalah esensi dari suatu pekembangan dan kemajuan. Pengertian perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu, kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga aturan-aturan organisasi sosial.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan :

1. Faktor Intern meliputi; perubahan demografis, konfik sosial, bencana alam, perubahan lingkungan alam.

2. Faktor Ekstern; perdagangan, penyebaran agama, peperangan.

Perubahan biasanya di tandai dengan adanya pergeseran-pergeseran suatu keadaan kearah yang lebih maju. Perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi pada fungsinya.


(18)

2.1.2 Fungsi

Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat. Menurut para ahli, definisi fungsi yaitu menurut The Liang Gie dalam Nining Haslinda Zainal (Skripsi: “Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan Fungsi dengan Kompetensi Pegawai Pada Sekretariat Pemerintah Kota Makassar ,2008), Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya. Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai sebagai kegunaan suatu hal.

Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap kegiatan, kelakuan dan sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya “mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan prosedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan (Schneider, 1968). Kebudayaan berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia dan kelompok, wadah untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya, pembimbing kehidupan manusia dan sebagai pembeda antar manusia dan binatang (Soekanto, 2009: 1550).


(19)

2.1.3 Makna

Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna dapat diartikan juga sebagai pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi.

Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanpun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna (Stephen, 2007 : 263-264). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna. Diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pebedaan bidang pemakaian 2. Perkembangan sosial dan budaya 3. Perasaan emosional dan psikologis 4. Adanya Asosiasi

5. Perkembangan dalam ilmu dan teknologi 6. Pertukaran Tanggapan Indra


(20)

2.1.4 Motif

corak pada kain. Motif merupakan elemen penting pada pakaian cheongsam, karena motif dianggap sebagai tanda dan simbol tradisional dan memiliki arti tersendiri (Xu, 2011: 72).

Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam pembuatannya. Namun motif pada cheongsam memiliki arti tertentu dan hanya boleh dikenakan kalangan tertentu saja. Motif yang terdapat pada cheongsam tidak hanya untuk menambah nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam simbol yang tergambar.

Misalnya motif Naga biasa digunakan oleh para kaisar di kerajaan. Naga adalah sebutan umum untuk makluk mitologi yang berwujud reptil dan berukuran besar. Motif ini menggambarkan kekuatan, kekuasaan, perlindungan serta keperkasaan. Motif burung peony atau biasa disebut burung feniks biasa digunakan hanya bisa dikenakan oleh keluarga inti kerajaan. Misalnya permaisuri dan putri kaisar.

2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam

Cheongsam merupakan pakaian tradisional Cina (Tionghoa) untuk wanita Tionghoa. Nama cheongsam diambil dari terjemahan bahasa Inggris dari dialek sebuah provinsi bernama Guangdong (Tiongkok) yaitu chèuhngsāam. Sementara di daerah lain di Cina, pakaian tradisional ini disebut sebagai qipao..


(21)

Kata cheongsam juga merupakan adaptasi dari kata changshan yang berarti “pakaian panjang”. Pada mulanya, perempuan bangsa Man di dinasti Qing, Tiongkok menggunakan cheongsam. Walaupun kekuasaan bangsa Man ini tidak berlangsung lama, namun penggunaan cheongsam ini tetap bertahan seiring berjalannya waktu. Bahkan jika dilihat dari perkembangannya, cheongsam

menjadi simbol kebangkitan wanita di Cina. Cheongsam juga menjadi hasil modifikasi dari pakaian yang pada mulanya berupa jubah lebar dan berlapis-lapis, menjadi sebuah pakaian dengan potongan sesuai bentuk tubuh wanita. Pada masa itu, cheongsam menjadi pakaian yang nyaman, praktis, dan ekonomis.

Bahan yang sering digunakan untuk membuat cheongsam adalah kain sutra, satin, dan brokat. Bahan tersebut akan membuat tampilan pakaian tradisional China ini terlihat lebih mewah dan menawan. Cheongsam memberikan tampilan yang sederhana, rapi, dan anggun saat digunakan. Hal ini tentu saja menjadikan cheongsam semakin populer untuk digunakan ke berbagai acara resmi maupun acara santai. Pada umumnya cheongsam sangat identik dengan warna merah, warna merah dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai warna yang mendatangkan keberuntungan, kesejahteraan dan menolak hal buruk. Namun,

cheongsam juga dibuat dengan berbagai warna lain seperti putih, biru, hitam, kuning, dan warna lainnya. Hal lain yang melekat dengan pakaian tradisional

China ini adalah motif dan pola yang khas dan unik. Cheongsam memiliki berbagai macam motif seperti bunga peoni, naga, ikan, dan motif lainnya.


(22)

2.1.6 Masyarakat Tionghoa

Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti ''orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''. Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''Cina''.

Wacana Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di ketika itu dinamakan orang Cina.

Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada ta mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang

dinamaka

Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK).THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Seiring dengan


(23)

perubahan istilah "Cina" menjadi wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April 2013).

Berdasarkan Volkstelling

Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961 (http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April 2013).

Dalam responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4%-5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia (http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April 2013).

Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai diakui oleh masyarakat asli. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi yang unik dan menarik.


(24)

2.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.

2.2.1 Teori Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon yang berarti tanda.Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sebuah tanda seperti bahasa, kode, sinyal dan sebagainya. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980) dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 penanda yaitu tingkat konotasi dan tingkat denotasi.

Konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan kenyataan atau emosi dari pembaca serta nila-nilai kebudayaan. Denotasi adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam penandaan. Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut (Sunardi, 2007: 40).

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan teori semiotika yang di kembangkan oleh Roland Barthes. Alasan digunakan penelitian ini, bahwa objek yang akan di kaji mengenai perubahan makna yang terjadi pada


(25)

simbol-simbol yang terdapat pada pakaian tradisional cheongsam di kelurahan Sei Putih Timur II.

2.2.2 Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme adalah suatu teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Fungsionalisme bisa di definisikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu pengertian yang lemah dan pengertian yang kuat. Kingsley Davis merujuk pada pengertian yang lemah: "bahwa fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang menyatukan masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan antara satu dengan yang lainnya".

Sementara pengertian yang kuat di berikan oleh Turner dan Maryanski: "bahwa fungsionalime adalah sebuah pendekatan yang berdasarkan pada analogi masyarakat dengan organisme biologis, dan menjelaskan struktur sebagian masyarakat berdasarkan kebutuhan secara menyeluruh".

Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu.


(26)

Kaitan teori Fungsionalisme dengan penelitian ini adalah keterkaitan dengan melihat salah satu dari wujud kebudayaan kebutuhan fisik melalui hasil karya manusia, yaitu pakaian, yang dikhususkan melihat perubahan fungsi motif pada pakaian tradisional cheongsam. Di masyarakat terdapat elemen-elemen yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa, hal ini dibuktikan oleh fungsi dan makna pada pakaian tradisional cheongsam dalam pelaksanaan kegiatan kebudayaan masyarakat Tionghoa, yang menjadi salah satu cara masyarakat Tionghoa untuk senantiasa memelihara keseimbangan perkembangan kebudayaan mereka di Indonesia khususnya di kota Medan. Disamping itu adanya perkumpulan masyarakat Tionghoa yang berfungsi menyatukan masyarakat Tionghoa di Medan menjadi lebih erat dalam sistem kekerabatan sosialnya.

2.3 Peneliti Sebelumnya

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Fransisca dalam skripsinya yang berjudul “Representasi Cina Melalui Qipao(旗袍)Pakaian Tradisional Cina” (2008). Fransisca memaparkan tentang fungsi dan makna pakaian qipao di era modern saat ini yang dapat merepresentasikan kecinaan terhadap seorang wanita yang menggunakan pakaian tersebut. Penelitian ini membantu saya dalam melihat sejarah perkembangan qipao.

Xu Dong dalam bukunya yang berjudul “Qipao: Hanying Duizhao” (2012) menjelaskan bahwa qipao merupakan merupakan pakaian wanita China

yang memberikan kesan glamour, elegan dan adanya pancaran kharisma positif bagi wanita yang memakainya. Kesan tersebut didapat dari bentuk, bahan serta


(27)

motif yang tergambar pada qipao itu. Dalam bukunya Xu juga memaparkan keunikan qipao dari berbagai aspek, termasuk sejarah, teknik pembuatannya,serta tips dalam memilih qipao.

Liu Li dalam jurnalnya “The Cultural Connotation and Aesthetic Features of Cheongsam” (2012), Liu menjelaskan bahwa qipao merupakan pakaian wanita yang menginterpretasikan pakaian tradisional Cina yang dekorasinya bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga simbol yang terdapat pada pakaian tersebut. Liu juga menjelaskan tahap perkembangan qipao dari dinasti ke dinasti. Perubahan secara signifikan terlihat pada pertengahan dinasti Qing karena masuknya pengaruh budaya dari Barat. Sangat sulit untuk mendapatkan kembali posisi awal qipao sebagai pakaian tradisional, namun hingga saat ini simbol merupakan pilihan utama untuk segala jenis busana formal.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan untuk meneliti perubahan fungsi dan makna motif dari pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat tionghoa yang ada di Medan khususnya yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih Timur II.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan dalm sebuah penelitian. Tahapan tersebut biasanya diawali dengan menggunakan sebuah pendekatan sampai pada tekhnik pengumpulan data serta teknik analisis data. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best,1982:119). Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena penelitian ini tidak di lakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (West, 1982). Di samping itu, juga merupakan pengumpulan data untuk menguji pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.

Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian deskriptif juga banyak di lakukan oleh para peneliti karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan penelitian di


(29)

lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia.

Disamping kedua alasan seperti tersebut di atas, penelitian deskriptif pada umumnya menarik para peneliti muda, karena bentuknya sangat sederhana dan mudah di pahami tanpa perlu memerlukan teknik statiska yang kompleks.Walaupun sebenarnya tidak demikian kenyataannya. Karena penelitian ini sebenarnya juga dapat ditampilkan dalam bentuk yang lebih kompleks, misalnya dalam penelitian penggambaran secara faktual perkembangan sekolah, kelompok anak, maupun perkembangan individual. Penenelitian deskriptif juga dapat dikembangkan ke arah penenelitian naturalistik yang menggunakan kasus yang spesifik malalui deskriptif mendalam atau dengan penelitian setting alami fenomenologis dan dilaporkan secara thick description (deskripsi mendalam) atau dalam penelitian ex-postfacto dengan hubungan antarvariabel yang lebih kompleks.

Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deskriptif, karena penelitian ini menggambarkan mengenai perubahan yang terjadi pada fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam ini dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara. Peneliti berusaha menggambarkan fakta mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam tersebut melalui data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II.


(30)

3.2 Pendekatan Kualitatif

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik yang mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study

(Nazir, 1986: 159). Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya (Nawawi,1994: 176).

Jadi yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.

Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka peneliti mempunyai pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah.


(31)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperoleh untuk penelitian ini berupa jurnal, skripsi, buku, majalah dan artikel yang berhubungan dengan cheongsam. Setelah data terkumpul, penulis akan membaca lalu mengklasifikasikan data tersebut. Setelah melakukan klasifikasi hasil data yang di dapat akan di baca secara cermat untuk mendapatkan pokok bahasan dari bahan tersebut.

Setelah data pendukung terkumpul, selanjutnya penulis melakukan observasi lapangan ke tempat penelitian. Pengertian observasi secara terminologis dimaknai sebagai pengamatan atau peninjauan secara cermat. Observasi adalah suatu pengamatan terhadap objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian (Kaelan, 2012: 101). Dalam hal ini peneliti melakukan observasi secara langsung di daerah penelitian yaitu di Kelurahan Sei Putih Timur II.

Setelah melakukan observasi, lalu penulis melakukan wawancara dengan responden yang telah di klasifikasikan menurut tingkatan umur. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2009: 72). Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara yang tidak terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman yang secara sistematis, terstruktur dan lengkap untuk pengumpulan datanya (Kaelan, 2012: 116). Tujuannya ialah untuk memperoleh keterangan yang terinci dan mendalam mengenai objek yang akan dikaji oleh peneliti.


(32)

3.4 Teknik analisis data

Analisis adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Kaelan, 2012: 175). Laporan yang berupa data yang telah terkumpul kemudian dilakukan proses reduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang di fokuskan pada hal yang penting sesuai dengan pokok penelitian.

Data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian. Kemudian tahap berikutnya melakukan klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek penelitian. Dalam hal ini diklasifikakan menurut fungsi dan makna motif pakaian cheongsam. Tahap selanjutnya adalah display data yang penyusunannya dilakukan secara sistematis.

3.5 Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi objek penelitian yang dilakukan adalah di Kecamatan Medan Petisah khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II. Alasan penelitian dilakukan di kelurahan tersebut karena di daerah tersebut terdapat banyak etnis dan suku-suku yang tinggal secara bersamaan dan saling berinteraksi satu sama lain. Masing-masing suku dan etnis memiliki kebudayaannya sendiri dan saling mempertahankan kebudayaannya.

Salah satunya yaitu etnis Tionghoa, etnis Tionghoa merupakan etnis minoritas di daerah tersebut. Dari semua suku dan etnis yang berdomisili di


(33)

daerah tersebut, etnis Tionghoa termasuk salah salah satu etnis yang secara konsisten melestarikan kebudayaannya. Hal ini terlihat dengan adanya perayaan hari besar, adanya tempat sembahyang di setiap rumah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat meneruskan kebudayaan mereka (Hasil wawancara dengan bapak Tondy.P. Lubis selaku kepala lurah). Hal ini dapat dilihat dalam acara tertentu wanita Tionghoa di kawasan Kelurahan Sei Putih Timur II menggunakan

cheongsam sebagai salah satu cara bagi mereka untuk memperkenalkan dan mempertahankna pakaian tradisional etnisnya kepada masyarakat pribumi di sekitar tempat mereka tinggal ataupun kepada etnis lain yang berdomisili di daerah tersebut.

3.6 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata atau yang berwujud penyataan verbal yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian dan bukan dalam bentuk angka.

Dalam penelitian ini sumber data primer yang diperoleh merupakan hasil wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Medan Petisah khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II.

Responden yang akan diwawancarai di klasifikasikan berdasarkan tingkatan umur, yaitu 3 orang wanita Tionghoa berumur 15-20 tahun, 3 orang wanita Tionghoa berumur 25-30 tahun, 3 orang wanita Tionghoa berumur ≥30


(34)

diharapkan dapat menjelaskan objek yang akan diteliti melalui tingkatan pengetahuan para responden dengan melihat perubahan yang terjadi.


(35)

BAB IV

GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II

Kecamatan Medan Petisah merupakan sebuah kecamatan di Kota Medan.Daerah kecamatan Medan Petisah merupakan salah satu pusat bisnis yang cukup berkembang pesat di Kota Medan. Di kecamatan ini terdapat kantor walikota, kantor pos besar dan lapangan Merdeka. Terdapat 7 (tujuh) kelurahan dalam kecamatan ini, yaitu Kelurahan Petisah Tengah, Kelurahan Sei Putih Barat, Kelurahan Sei Putih Tengah, Kelurahan Sei Putih Timur I, Kelurahan Sei Putih Timur II, Kelurahan Sei Sikambing D dan Kelurahan Sekip.Di antara kelurahan tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kelurahan Sei Putih Timur II.

4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum

Kelurahan Sei Putih Timur II adalah sebuah kawasan permukiman di kota Medan yang cukup luas dan terletak di jajaran pusat bisnis kota Medan, kelurahan ini mempunyai luas ±32 Ha (berdasarkan data dari kelurahan setempat). Kelurahan ini dipimpin langsung oleh kepala lurah, yaitu bapak Tondy. P Lubis. Adapun batasan Kelurahan Sei Putih Timur II ini adalah:

• di sebelah Utara kelurahan ini berbatasan dengan kelurahan Sei Putih Timur I,

• di sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Sekip,


(36)

• disebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Sei Putih Tengah.

Terdapat 7 tujuh lingkungan yang dipimpin langsung oleh kepala lingkungan atau yang biasa disebut dengan Kepling. Lingkungan tersebut yaitu :

1. Lingkungan I dipimpin oleh bapak Syamsul Nasution. Lingkungan ini meliputi jalan Siput, jalan Sriwijaya, jalan Meranti, jalan Nangka, jalan Nasional, jalan Abadi, jalan Baku, jalan Amal dan jalan Mulyo;

2. Lingkungan II dipimpin oleh bapak Agus S. Lingkungan ini meliputi jalan Menteng, jalan Rambutan, jalan Anda, jalan Budiman, jalan Bumi dan jalan Pertama;

3. Lingkungan IIIdipimpin oleh bapak Muchlis. Lingkungan ini meliputi jalan Makmur, jalan Meranti, jalan Nangka Baru, jalan Sederhana, jalan Sepakat, jalan Berisik, jalan Sukses, jalan Setia, jalan Bahagia, jalan Sentosa, jalan GHB, jalan Dewi dan jalan Pasundan baru;

4. Lingkungan IV dimpin oleh bapak Supiatman. Lingkungan ini meliputi jalan Lukis, jalan Buntu, jalan Keplor, jalan Jaya Siswa, jalan Kami, jalan Budi, jalan Becak, jalan Supir, jalan Sedulur, jalan Dame dan jalan Bersama;

5. Lingkungan V dipimpin oleh bapak Jamaludin. Lingkungan ini meliputi jalan Ampera, jalan Pelita, jalan Sutomo, jalan Pawiro, jalan Komik, jalan Madrasah, jalan Kasak, jalan Kandak, jalan Famili, jalan Sadar dan jalan Berdikari;


(37)

6. Lingkungan VI dimpin oleh bapak Soepardi. Lingkungan ini meliputi jalan Durian, jalan Delima, jalan Manggis, jalan Buku, jalan Ayah Ali, jalan Buntu I dan jalan Buntu II;

7. Lingkungan VII dipimpin oleh bapak Yohni.Lingkungan ini meliputi jalan Amal, jalan Mulyo, jalan Arjuna, jalan Mawar, jalan Buntu I, jalan Kerang, jalan Saidi dan jalan Buntu II.


(38)

Berikut adalah struktur organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II.

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II

Kawasan ini merupakan kawasan dengan penduduk yang cukup padat. Menurut sensus yang dilakukan pihak pemerintahan setempat, tercatat sekitar ±13.457 jiwa yang mendiami kawasan tersebut (Data Kependudukan Maret – Mei 2013). Tak

Lurah Sei PutihTimurII Tondy P. Lubis, S.STP Petugas Lapangan

Keluarga

Berencana (PLKB)

Sekretaris Lurah

Suhardi, SE

Kasi Tata Pemerintahan Fajar J. Ginting, SE

KasiKetentraman dan Ketertiban Isroel Kasi Pembangunan Masri Kepling I Syamsul NST KeplingVII Yohni Kepling VI Soepardi Kepling V Jamaluddin Kepling IV Supiatman Kepling III Muchlis Kepling II Agus S


(39)

dapat dipungkiri bahwa kawasan tersebut juga merupakan daerah yang cukup penting dan sibuk mengingat banyaknya jumlah orang yang tinggal di daerah tersebut. Multi-etnis juga dapat dilihat dari kawasan ini, dikatakan demikian karena di daerah tersebut terdapat beragam etnis yaitu etnis india, tionghoa, suku jawa, batak, mandailing, aceh dan lainnya yang hidup secara berdampingan.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Bulan Mei Tahun 2013 Kelurahan Sei Putih Timur II

Sumber Data: Kelurahan Sei Putih Timur II

4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, masyarakat (sebagai terjemahan dari society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antar individu-individu yang berada pada kelompok tersebut. Kata

Jumlah

Penduduk

No. Lingkungan WNI Orang

Asing

WNI + Orang Asing

L P L+P L P L+P L + P

1 Lingkungan I 1.092 1.094 2.186 2 2 2.188

2 Lingkungan II 484 485 969 969

3 Lingkungan III 1.234 1.347 2.581 1 1 2.582

4 Lingkungan IV 1.255 1.277 2.532 2.532

5 Lingkungan V 1.265 1.341 2.606 2.606

6 Lingkungan VI 609 672 1.281 1.281

7 Lingkungan VII 630 669 1.299 1.299


(40)

“masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab, musyarak yang artinya suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.

Suatu kesatuan masyarakat dapat memiliki prasana yang memungkinkan para warganya untuk saling berkomunikasi (Koentjaraningrat, 2011: 120). Sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan yang sama (SyaikhTaqyuddin An-nabhani). Warga suatu negara dengan wilayah kecil, memiliki potensi untuk berinteraksi secara lebih intensif daripada warga dari suatu negara yang sangat luas.Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan terjadinya kegiatan diantara warga, tetapi sebaliknya dengan adanya prasarana tidak berarti bahwa interaksi benar-benar terjadi.

Ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat ialah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam batas kesatuan tersebut, yang sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan sehingga menjadi adat-istiadat. Selain adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta kontiunitas waktu, warga suatu masyarakat juga harus memiliki suatu ciri lain, yaitu rasa identitas bahwa mereka merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Ciri dari suatu negara, kota atau desa ada empat, yaitu (1) interaksi antarwarga;(2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga; (3) kontinuitas dalam waktu; (4) rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2011: 121).


(41)

Menurut Koentjaraningrat (2011: 122), masyarakat memiliki elemen-elemen tertentu di dalamnya, yaitu:

(1) Komuniti dan Komunitas yang merupakan wujud-wujud masyarakat yang konkret, selain memiliki ikatan berdasarkan suatu sistem adat-istiadat yang sifatnya berkelanjutan, dan berdasarkan rasa identitas bersama yang dimiliki semua kesatuan masyarakat, juga terikat oleh suatu lokasi yang nyatadan kesadaran wilayah yang konkret;

(2) Kategori Sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu cirri atau suatu kompleks cirri-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warga atau anggotanya;

(3) Golongan Sosial, dalam suatu masyarakat juga ada kesatuan-kesatuan manusia yang termasuk “golongan sosial”, yaitu yang disebut “lapisan” atau kelas sosial. Di zaman dahulu kita kenal dengan sistem lapisan sosial yang lebih

complicatedyaitu lapisan kaum bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan kaum budak, dan sebagainya; namun saat ini lapisan dalam masyarakat lebih sederhana seperti lapisan petani, lapisan pegawai, lapisan usahawan, lapisan cendekiawan dan sebagainya. Lapisan atau golongan sosial tersebut terjadi karena adanya suatu gaya hidup yang dianut oleh seseorang yang dikelaskan secara khas, sehingga mereka dipandang berbeda dan ditingkatkan dalam suatu lapisan tertentu dalam masyarakat.

(4) Kelompok dan Perkumpulan,suatu kelompok (dalam bahasa Inggris disebut

group) juga memenuhi syarat sebagai suatu masyarakat karena memiliki sistem interaksi antaranggota, adat-istiadat, dan sistem norma yang mengatur


(42)

interaksi, adanya kesinambungan dan adanya rasa identitas yang mempersatukan juga mempunyai ciri tambahan, yaitu mempersatukan semua anggota. Namun, disamping keempat ciri itu kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan.

Warga di Kelurahan Sei Putih Timur II dapat disebut juga sebagai masyarakat, karena mereka memiliki interaksi secara kontinyu antar warga. Hal itu dapat dilihat secara langsung dengan adanya perkumpulan-perkumpulan kecil di sela kesibukan mereka dalam melakukan aktifitas. Tak jarang tegur sapa dan senyuman terlontar dengan ringan tanpa ragu. Meskipun mereka tidak berasal dari suku atau etnis yang sama, namun hal itu tidak menghentikan mereka untuk berkomunikasi dan berbagi informasi.

4.3. Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II

Kelurahan tersebut memiliki beragam etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Walaupun etnis tionghoa di kelurahan tersebut merupakan etnis minoritas. Mereka tetap mempertahankan kebudayaannya. Hal-hal tersebut tercermin dengan adanya perayaan-perayaan hari besar yang dilaksanakan oleh etnis tionghoa di daerah ini merupakan daya tarik tersendiri bagi suku-suku lain.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Hokkian bukan bahasa Mandarin. Bahasa hokkian merupakan bahasa dari suku hokkian. Bahasa ini digunakan karena telah dibawa oleh leluhur mereka ke Indonesia dan mereka tetap mempertahankan bahasa yang di bawa oleh para leluhur. Bahasa hokkian yang mereka gunakan bukanlah bahasa hokkian yang asli,


(43)

namun bahasa hokian tersebut telah bercampur dengan bahasa Indonesia (Hasil wawancara dengan warga setempat). Bahasa hokkian yang digunakan di kota Medan tidak dapat digunakan di kota lain, karena hanya dimengerti oleh orang Tionghoa yang bermukim di Medan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa hokkian sehari-hari mereka.

Berdagang merupakan mata pencaharian sebagian besar etnis tionghoa, begitu juga di daerah ini. Keberadaan pasar Meranti Lama menjadikan peluang bisnis yang cukup menjanjikan bagi mereka. Berdagang pakaian, toko kelontong, berdagang roti, membuka usaha salon kecantikan, merupakan sebagian kecil dari bisnis yang mereka jalani.S ebagian besar usaha yang dijalani oleh masyarakat Tionghoa di daerah Kelurahan Sei Putih Timur II merupakan usaha yang dijalankan secara turun-temurun. Seperti usaha pabrik roti yang sudah dikelola oleh keluarga Tjin Tjin selama kurang lebih 25 tahun dan usaha bakmi oleh keluarga A Chien yang sudah mengelola usaha bakmi milik keluarganya selama kurang lebih 15 tahun (Wawancara : Tjin Tjin dan A Chien tanggal 1 agustus 2013).

Etnis Tionghoa yang berdomisili di daerah ini umumnya beragama Buddha, walaupun ada sebagian dari mereka yang sudah menganut agama lainnya seperti Islam atau Kristen. Namun demikian mereka masih berusaha menjaga dan menjalankan tradisi yang dibawa oleh para leluhur sebagai bagian dari budaya mereka.

Budaya atau kebudayaan berasal daribuddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai


(44)

hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat 2000: 181). Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat serta kebudayaan yang berbeda-beda, salah satunya etnis Tionghoa. Etnis (biasa disebut juga China), mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang

Tengnang Thongnyin Tangren 唐人, Hanyu Pinyin: Tángrén "orang

Tang") atau lazim disebut Huaren 華人华

人, Hanyu Pinyin: Huárén). Disebut Hanren karena orang China Utara menyebut diri mereka sebagai oran漢人Hànrén "orang Han"), sementara Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa -Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang pada Jumat, 5 April 2013).

Di Medan, masyarakat Tionghoa di dominasi oleh orang-orang yang berasal dari suku Hakka,yang secara estimologis mempunyai arti yaitu tamu. Orang Hakka dikenal sebagai suku yang ulet bekerja dan terikat kuat dengan ikatan terutama dengan penutur dialek yang sama. Semula orang-orang Hakka mendiami Cina bagian Utara, namun adanya becana alam dan peperangan suku menyebabkan mereka bermigrasi secara sporadis ke bagian Selatan. Namun wilayah-wilayah yang didatangi orang-orang Hakka pada umumya sudah cukup ramai penduduk yang bermukim.


(45)

Dalam menjalankan tradisinya, mereka seringkali masih menggunakan pakaian tradisional cheongsam karena menurut hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, hal ini dianggap perlu bagi mereka untuk menjaga kelestarian kebudayaan mereka dan wajib mereka lakukan.

4.4 Motif pada Cheongsam di Cina

Berbagai motif cantik sering terlihat pada cheongsam. Motif yang digunakan merupakan tanda dan simbol tradisional Cina dan setiap simbol memiliki maknanya tersendiri. Di masa lalu, motif yang umum terdapat pada

cheongsam adalah motif naga, phoenix, kupu-kupu, ikan, bunga anggrek, peony dan lainnya (Xu, 2011: 72). Disamping motif tersebut, juga terdapat motif saling berhubungan satu sama lain, bahkan saling melengkapi sehingga membentuk kombinasi dari beberapa gambar yang memunculkan keindahan, seperti pemandangan alam dan burung gagak.

Pada akhir dinasti Qing (1644-1911), China mulai mengimport beberapa mesin tenun yang berasal dari daerah barat (Xu, 2011: 73). Hasil dari mesin tenun tersebut menciptakan motif yang menonjol seperti brokat dan bordir. Teknik yang berasal dari mesin tenun yang di datangkan dari daerah barat ini semakin lama semakin menyusut peminatnya, dikarenakan biaya produksinya yang cukup tinggi. Dengan berkurangnya peminat dari hasil mesin tersebut, maka bahan-bahan seperti blacu (花布 pinyin: huabu), rami (苎麻 pinyin: zhuma;), sutera (丝绸


(46)

cheongsam dalam jumlah yang banyak. Pada saat itu cheongsam memiliki bentuk warna motif yang sederhana dan kebanyakan motif biasanya hanya terdiri dari satu gambar, segaris bunga yang merambat atau beberapa kumpulan bunga-bunga kecil dan lurus (Lihat lampiran gambar 4 sampai 10). Motif-motif tersebut yang lebih diminati dan diterima oleh masyarakat

Di awal abad ke-20, bahan dengan motif lurus dan motif berbentuk geometris sangat populer (Xu, 2011: 74). Bahan dengan model ini biasanya digabungkan dengan motif bunga, batang yang melingkar (sulur), dan burung gagak yang hinggap di cabang pohon yang melambangkan awal dari sebuah kebahagiaan. Bahan tersebut dibuat transparan dan sangat elegan. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, cheongsam memiliki motif kuncup bunga (Xu, 2011: 74). Warna pada motif tersebut diawali dengan warna-warna yang cukup elegan dan lembut hingga warna yang cukup terang. Latar belakang warna yang umum biasanya menggunakan warna yang alami, kuning terang, hijau yang mencolok dan merah muda terang, yang di hiasi oleh bunga-bunga yang besar. Cheongsam

modern memiliki motif yang kurang mencolok. Cheongsam ini lebih menampilkan kesan elegan dan selera yang baik yang menggambarkan kekayaan dan kebangsawanan seseorang. Jika dilihat lebih jauh lagi, cheongsam dapat dipandang sebagai sebuah pemandangan. Motifnya tidak dapat dilihat langsung dari jauh, namun harus dilihat secara dekat dan jelas. Detailnya menggambarkan kriteria pembuatnya.


(47)

4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya

4.5.1 Motif Tunggal

1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)

Fungsi motif naga merupakan penanda bagi seorang kaisar. Pada umumnya simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Di Cina motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang berbentuk jubah khusus yang digunakan oleh para kaisar. Biasanya motif ini di bordir pada kain sutera satin berwarna kuning emas dengan motif naga yang mendominasi, tidak ada yang boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini kecuali seorang kaisar. Terdapat sembilan motif naga pada pakaian ini, yaitu satu di masing-masing bahu, punggung dan yang menutupi dada. Motif lainnya terdapat pada bagian bawah baju tersebut. Motif ini diharapkan dapat mewakili harapan rakyatnya yaitu memiliki seorang kaisar yang kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik terhadap rakyatnya serta selalu di hormati oleh siapapun. Bagi masyarakat Cina pada masa itu, kaisar merupakan titisan dewa, hal ini menjadi salah satu alasan di pilihnya simbol naga pada pakaian yang dikenakan oleh sang raja. Motif naga merupakan salah satu motif yang terdapat pada baju kaisar selain kapak, ini berfungsi sebagai penentu strata bagi kaum raja atau kaisar yang sedang memimpin.

2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)

Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan keanggunan. Motif burung biasanya digunakan oleh wanita-wanita penting di masanya. Motif ini terbagi menjadi beberapa motif lainnya, yaitu:


(48)

• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan oleh permaisuri di keluarga kerajaan. Pada masa Cina kuno, motif ini biasa diberikan sebagai penghargaan kepada wanita yang telah membawa dampak positif bagi negara, namun saat ini motif ini sering digunakan oleh para pengantin wanita.

• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi Cina. Motif ini biasanya diberikan sebagai hadiah perkawinan dari para suami bagi sang istri. Motif ini berfungsi sebagai penentu strata para wanita bangsawan.

3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)

Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat. Bunga ini juga disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan kesehatan yang bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam bahasa mandarin menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh baya dengan strata yang rendah.

4. Motif Bunga Anggrek atau兰花纹 (pinyin: lan hua wen)

Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal dari Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh baya, biasanya motif ini di kombinasikan dengan bahan


(49)

brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan anggun bagi si pemakai.

5. Motif Bunga Lotus atau 荷花纹pinyin: (he hua wen)

Bunga Lotus merupakan bunga yang suci bagi etnis Tionghoa. Karena bunga ini sering dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan atau sang Buddha. Bunga lotus memiliki warna yang beragam, namun warna yang lebih sering digunakan adalah warna merah muda dan warna putih. Cheongsam dengan motif ini biasa ddigunakan untuk tokoh-tokoh suci. Bunga lotus berwarna merah muda biasa digunakan oleh tokoh suci yang tingkat stratanya cukup tinggi sedangkan bunga lotus dengan warna putih yang lebih rendahtingkatnya.

6. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)

Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal ini pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin 祝

(pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya, karena tidak mempunyai moif tambahan lainnya selain daun bambu itu sendiri.


(50)

4.5.2 Motif Kombinasi

1.Motif Lima Keberuntugan atau 五福( 蝠) (pinyin: wufu) (fu)

Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin berarti umur panjang. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari kerajaan yang boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini.

2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)

Banyak cheongsam yang menggunakan motif ini. Potongan motif yang unik motif pemandangan umumnya mendeskripsikan keindahan alam dan beberapa bagian yang indah yaitu, pavilion, gedung bahkan tiang-tiang dari sebuah kuil. Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional Cina, pada motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam wanita paruh baya.


(51)

4.6 Motif Cheongsam dan maknanya

4.6.1 Motif Tunggal

1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)

Motif ini memiliki makna kekuatan dan keperkasaan. Pada umumnya simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Motif ini diharapkan dapat mewakili harapan yaitu kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik dan di hormati oleh siapapun. Naga dalam kebudayaan Cina merupakan simbol dari unsur kebaikan dan keberuntungan. Simbol naga dianggap religious, pada dasarnya berfungsi menjembatani antara dunia manusiawi dan Dewa.

2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)

Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan keanggunan.

• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan oleh permaisuri di keluarga kerajaan, motif ini mempunyai makna kesehatan dan keberuntungan.

• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi China, motif ini menjadi simbol dari kejujuran yang abadi bagi para pasangan karena biasanya bebek mandarin selalu diposisikan secara berpasangan.

3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)

Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat. Motif bunga krisan merupakan simbol kejujuran dan kebangsawanan. Juga


(52)

disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan kesehatan yang bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam bahasa mandarin menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh baya.

4. Motif Bunga Anggrek atau 兰花纹 (pinyin: lan hua wen)

Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal dari Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Anggrek selalu menjadi penanda sebagai simbol kemakmuran dan kesan elegan. Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh baya, biasanya motif ini di kombinasikan dengan bahan brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan anggun bagi si pemakai.

5. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)

Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal ini pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin

祝 (pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya, karena tidak mempunyai moif tambahan lainnya selain daun bambu itu sendiri.


(53)

6. Motif Bunga Lotus atau荷花纹(pinyin: he hua wen)

Bunga lotus umunya memiliki makna yang sama, yaitu nilai kesucian. Namun, bunga lotus berwarna merah muda merupakan bunga lotus tertinggi derajatnya, karena sering dikaitkan dengan dewa tertinggi yaitu sang Buddha, sedangkan bunga lotus berwarna putih memiliki makna murninya pikiran, tubuh dan jiwa seseorang.

4.6.2 Motif Kombinasi

1. Motif Lima Keberuntungan atau 五福(蝠)(pinyin: wufu) (fu)

Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin berarti umur panjang. Five bats, dalam bahasa mandarin kata bats atau kelalawar dilafalkan dengan fu dapat diartikan juga sebagai keberuntungan (luck) yang terbang di sekitar. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari kerajaan yang boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini.


(54)

2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)

Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional China, pada motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini memiliki makna kehidupan yang harmoni. Motif ini biasa terdapat pada

cheongsam wanita paruh baya. Motif ini merupakan salah satu motif yang tercipta setelah terjadinya revolusi Cina yang menggambarkan kebebasan.

4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Sei Putih Timur II

1. Motif Bunga Lotus

“Lotus” atau yang lebih kita kenal masyarakat dengan bunga teratai ini sangat disukai oleh orang-orang Tionghoa di daerah ini. Bagi masyarakat Tionghoa di Kecamatan Sei Putih Timur II bunga teratai merupakan bunga sakral yang melambangkan kemurnian dan kesucian. Dalam budaya mereka tedapat sebuah legenda tentang seorang perilotus, seorang wanita yang sangat cantik dan menarik yang selalu bersedia menolong orang-orang. Lotus melambangkan keindahan, kemurnian dan oleh karenanya kita seringkali mendapati motif lotus pada pada pakaian tradisional cheongsam yang di jual di berbagai toko di kota Medan.

2. Motif Burung Phoenix

Burung phoenix adalah motif yang sering digunakan pada pakaian wanita Tiongkok dalam keluarga kerajaan. Namun di Kelurahan Sei Putih Timur II sendiri motif ini digunakan oleh mempelai pengantin wanita Tionghoa yang


(55)

memilih melestarikan kebudayaannya dengan menggunakan cheongsam di hari bahagianya. Hal ini dikaitkan dari makna simbol phoenix itu sendiri yang selalu dikaitkan dengan ketentraman dan kemakmuran dan juga kecantikan. Kesan glamour dan elegan terlihat ketika sang mempelai menggunakan motif tersebut.

3. Motif-motif lain.

Terdapat motif-motif lain yang khas untuk pakaian cheongsam, misalnya motif kupu-kupu, ikan, motif 喜喜,motif abstrak dan motif lainnya. Motif ini biasa digunakan oleh remaja wanita dan anak-anak dengan kombinasi warna yang menarik serta potongan model yang berbeda-beda baik di bagian kerah, lengan, bentuk kancing serta panjang rok yang bervariasi.

4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa

Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Perubahan itu dapat dilihat setelah membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi atau keyakinan. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya.


(56)

Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna (Stephen, 2007 : 263-264 ). Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan :

1. Faktor intern

• Perubahan Demografis

Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah, akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan. Seperti bidang perekonomian, pertambahan penduduk akan mempengaruhi persedian kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

• Konflik sosial

Konflik sosial dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi, untuk mengatasinya pemerintah


(57)

mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama para transmigran.

• Bencana alam

Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempngaruhi perubahan. Seperti bencana banjir, longsor, letusan gunung berapi masyarkat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilasi maupun akulturasi.

• Perubahan lingkungan alam

Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim sehingga membentuk tegalan. Perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.

2. Faktor ekstern

• Perdagangan

Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur denga India, Timur Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia sebagai persinggahan pedagang-pedagang besar selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya dengan percampuran budaya yang ada.

• Penyebaran agama

Masuknya unsur-unsur agama Hindhu dari India atau budaya Arab bersamaan proses penyebaran agama Hindhu dan Islam ke Indonesia


(58)

demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama Kristen dan kolonialisme.

• Peperangan

Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia umumnya menimbulkan perlawanan keras dalam bentuk peperangan, dalam suasana tersebut ikut masuk pula unsur-unsur budaya bangsa asing ke Indonesia.

Banyak masyarakat Tionghoa di daerah ini yang masih memiliki

cheongsam sebagai cara untuk mempertahankan kebudayaannya, terutama dalam beberapa perayaan baik yang bersifat keagamaan dan tradisi mereka, seperti: 1. Perayaan Tahun Baru Imlek

Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: 正 月; pinyin: zhēng yuè ) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五冥元宵节 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun". Bagi masyarakat tionghoa di daerah Kelurahan Sei Putih Timur II perayaan tahun baru imlek merupakan salah satu ajang untuk bertemu keluarga besar. Mereka merayakan dengan berbagai tema umum, seperti melakukan jamuan makan malam bersama keluarga besar pada saat malam tahun baru, berdoa untuk para leluhur di saat malam tahun baru, mengucapkan berbagai pengharapan kepada para dewa, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama sanak keluarga.


(59)

Ada beberapa tradisi khas yang harus dilakukan pada saat perayaan imlek,seperti:

• menggantung lampion merah dalam bahasa mandarin 灯笼(pinyin: deng long) di depan rumah yang mempunyai makna sebagai pembawa keberuntungan dan menjauhkan dari segala hal-hal yang tidak baik,

• angpao atau dalam bahasa mandarin disebut dengan 红包 (pinyin: hong bao), angpao biasanya hanya di bagikan oleh orang yang sudah menikah kepada orang yang belum menikah,

• menyalakan petasan merupakan salah satu tradisi yang tetap mereka pertahankan, hal ini dilakukan untuk menjauhkan hal-hal yang buruk. Menyalakan petasan dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat yang berada di sekitar mereka.

• menggunakan pakaian tradisional cheongsam, pakaian ini biasa digunakan oleh para wanita dalam keluarga tesrsebut. Cheongsam yang digunakan biasanya berwarna merah.

2. Perayaan Satu Bulan Bayi

Tradisi satu bulanan bayi atau yang biasa disebut dengan man yue 满月

(pinyin: man yue) yang dirayakan saat bayi berusia 1 bulan tersebut bertujuan memperkenalkan bayi kepada para saudara (bibi, paman dan sepupu) dan teman orang tuanya. Dalam tradisi ini banyak makanan dan minuman yang disiapkan untuk para tamu, satu di antaranya yang paling sering dijumpai adalah telur yang kulitnya diberi warna merah. Telur melambangkan suatu tahapan kehidupan yang


(60)

baru, sedangkan warna merah melambangkan perayaan dan keberuntungan. Bentuk telur yang oval melambangkan harmoni dan kesatuan.

Selama perayaan, beberapa orangtua juga mencukur rambut si bayi. Sementara yang lain hanya memotong sebagian rambut sebagai simbol saja. Rambut itu kemudian dibungkus dengan kain merah dan dijahit pada bantal si bayi. Hal ini dianggap dapat memastikan si bayi supaya berani dan tidak mudah takut.

Ibu, saudari perempuan dan nenek si bayi biasanya menggunakan

cheogsam pada saat acara tersebut. Sang ibu dan saudari perempuan biasanya menggunakan cheongsam berwarna merah dengan motif 喜 喜 yang berarti kebahagiaan, sedangkan sang nenek menggunakan cheongsam berwarna biru dengan motif bunga krisan, karena warna biru melambangkan keanggunan.

3. Sembahyang

Di daerah ini juga terdapat vihara bagi mereka yang ingin melakukan ibadah. Vihara ini selain digunakan sebagai tempat ibadah juga sering digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memiliki unsur budaya Tionghoa lainnya. Adapun kegiatan yang memiliki unsur kebudayaan Tionghoa yang dilaksanakan di vihara tersebut ialah seperti upacara perkawinan, upacara kematian dan perayaan Imlek.

Pada awalnya seluruh kegiatan yang dilaksanakan di vihara tersebut identik dengan menggunakan pakaian-pakaian adat baik pria, wanita dan anak-anak. Biasanya saat sembahyang para wanita lebih memilih mengenakan


(61)

suasana khusyuk saat berdoa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan modernisasi warga keturunan tionghoa khususnya wanita mulai meninggalkan unsur-unsur kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Salah satu yang terlepas dari unsur kebudayaan tersebut ialah pakaian tradisional cheongsam

yang tak lagi digunakan ketika bersembahyang.

Namun pada umumnya masyarakat Tionghoa di daerah ini tidak lagi mengetahui bahwa motif pada cheongsam yang mereka gunakan mempunyai arti dan fungsi yang sangat berbeda dari yang mereka tahu saat ini. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Tionghoa di daerah ini, banyak dari mereka yang tidak mengetahui secara pasti apa fungsi dan makna cheongsam

yang mereka miliki. Para remaja dengan umur 15-20 mengaku memiliki

cheongsam, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu cheongsam.

“Aku punya dua di rumah, yang satu motif motif bunga yang satu lagi motif kupu-kupu. Aku gak terlalu ngerti fungsi sama makna dari motif yang aku pilih, aku milih motif itu karena bagus dan cantik di lihat” ujar Veronica (15 tahun).

Ia mengaku menggunakan cheongsam pada saat acara imlek yang dilaksanakan di sekolah. Hal ini merupakan peraturan dari sekolah yang mewajibkan siswinya menggunakan cheongsam pada saat perayaan tahun baru imlek di sekolah. Berbeda dengan Veronica (15 tahun), Anita (17 tahun) tidak memiliki cheongsam dan hanya mengetahui cheongsam sebagai pakaian khas dari Tiongkok.


(62)

“Saya kurang tau apa itu cheongsam, yang saya tau cheongsam atau

qipao itu ya pakaian tradisional dari Tiongkok. Saya di rumah gak punya yang begituan, biasanya kalau tahun baru imlek kami sekeluarga pakai pakaian biasa

aja. Mama di rumah juga gak terlalu sibuk untuk nyuruh anaknya pakai

cheongsam saat ada acara tertentu” (Anita, 17 Tahun).

Dari hasil wawancara tersebut, 2 dari 3 orang responden berumur 15-20 tahun tidak mengetahui fungsi dan makna motif yang terdapat pada cheongsam.

Namun hal terlihat berbeda di kategori umur 21-29 tahun.Di umur ini para wanita Tionghoa lebih mengetahui makna motif yang mereka pilih pada

cheongsam mereka. Helena (20 tahun) mengatakan bahwa ia memiliki cheongsam berwarna merah dengan motif bunga lotus, ia memilih cheongsam dengan motif tersebut karena baginya bunga lotus atau bunga teratai mempunyai arti yang baik. Bunga lotus merupakan bunga sakral yang melambangkan kemurnian dan kesucian. Namun ia tidak mengetahui secara pasti fungsi dari motif cheongsam.

“Yang saya tahu sih fungsi motif hanya sebatas dekorasi, gak ada fungsi lain, tapi dulu ama (nenek) saya pernah cerita bahwa zaman dahulu motif dianggap sangat penting, apalagi motif naga yang cuma bisa di pakai raja tapi ntah apa alasannya”.

Pada wanita Tionghoa yang berumur ≥30 tahun yang berdomisili di

daerah tersebut, cheongsam merupakan pakaian yang sering mereka kenakan ketika ada acara tertentu. Tjin Tjin (42 tahun) mengatakan bahwa semua wanita di keluarganya harus memiliki paling tidak satu potong cheongsam. Karena di keluarga besarnya menggunakan cheongsam pada saat acara besar merupakan


(1)

第四章旗袍对棉兰人的意义

4.1旗袍对棉兰华裔的意义

对棉兰华裔、旗袍不仅是一件服装、也是文化的一部分和时尚的一部分 。

4.1.1 旗袍作为文化的一部分

印尼全国有许多民族,散落在整个印度尼西亚的领土。在棉兰华裔是一 个少数族裔、但是这并没有使他们忘记了自己的文化。服装是文化的表现之 一,穿在身上可以被大家看到。旗袍,这华裔文化的一部分越来越多地保 留。对棉兰华裔来说穿旗袍或有旗袍是保持自己祖先带来的文化的一种方 法。这是由于开始改变的主要功能旗袍作为文化的一部分,仅用于穿着,只 有一件衣服,没有那么重要的意义。

4.1.2 旗袍作为时装的一部分

随着时代,旗袍统行于世界各地,并成为时尚在某些领域的标杆。这种 情况下,可以被看作是一个更现代化的旗袍。在时尚棉兰的发展非常迅速, 新款式的衣服出现,增加了服装的审美价值。在棉兰许多模特,采用旗袍。 即使是印尼民族服饰可芭雅服,旗袍扩展在一些地区采用。上海领都是这样 的重要组成部分,现在的旗袍款式开始被用于一些芭雅服。两个传统服装的 结合,产生了一个有趣的时尚。可以说,目前旗袍时尚的发展影响非常大的 棉兰,因为在该棉兰能够影响时尚的旗袍.


(2)

华裔是一个少数族裔、但是这并不能使它民族作为民族远程他们的高度 重视,它被标记为庆祝中国在该棉兰的公众假期。很多人相信风水的存在领 域,典型的华裔小摆设的使用被广泛使用的土著人所拥有的店铺。这使得在 各方面存在的多样性。几件事情,华裔民族棉兰脱颖而出位于例如是食品, 礼仪和旗袍。SUSI姐 (25岁)是印尼人,我采访了前一段时间,她承认喜 欢典型的土生华人食品。过度使用的香料,在这个意义上,不适合她的味 道。土生华人餐厅越来越多,由此也可见一斑。名为天皇的Kim Chu餐厅。 有许多熟客,很多是当地人。Nelayan 餐厅坐落在该领域在不同的地方,也 有很多回头客是当地人。

华裔传统仪式也成为棉兰的景点之一,庆祝农历新年是华裔最大的庆祝 活动在棉兰。并不少见,当节日举行的华裔农历新年假期前。其中之一是一 个醒狮表演,吸引了公众棉兰的关注。燃放鞭炮和分发红包让气氛更热闹。 祖先祈祷并要求在明年的运气比较、它是强制性的、他们在寺院做。往往当 农历新年的庆祝活动,华裔女性穿的旗袍,赞赏他们的文化的一种形式。我 采访林太太声称总是穿旗袍时的农历新年庆祝活动。这一点,他做保持旗袍 的存在,作为一个中国妇女的典型服装。

旗袍是其中最突出的是华裔文化之一。为现场的这身打扮时尚潮流棉兰 产生了积极影响。旗袍出现的几款机型看起来不同,因为它已经被这两个模 型相结合,在服装服饰。SUSI姐 (25岁)还解释说,她很喜欢旗袍,并感 谢其在该领域存在。“旗袍很漂亮,有自己鲜明特色。我喜欢旗袍,因为我 最初觉得旗袍是文化的一部分,在该领域的。我也有可芭雅服与上海领。上 海领我选择了,因为我想给人的印象,是从其他芭雅服不同”。


(3)

总的,旗袍在棉兰的发展带来了积极的影响,深受土印尼本地人喜欢、 例如是上海领的使用有越来越多的。


(4)

第五章结论和建议

5.1

结论

旗袍是女性服饰之一,源于满族女性传统服装,在 20 世纪上半叶由民 国汉族女性服装改进,中华民国政府于 1929 年确定为国家礼服之一,不属 于汉服(即华夏衣冠)体系。旗袍时尚的发展产生积极的影响,以作为一个 传统的中国服装,旗袍也成为时尚棉兰的一个参考。芭雅服印尼独特的服装 许多时尚为蓝本服装旗袍,现在也受到旗袍。上海领芭雅服上使用越来越多 的。

在棉兰,华裔人是少数的,这并没有使他们越来越孤立。他们证明,通 过发展自己的文化让明自己的存在。旗袍是一种文化,是显而易见的,从华 裔。这使他们尽量保持他们的文化。

在棉兰旗袍的发展是相当迅速的、它标有型号更有趣的颜色比较好。其 采用的是现在不只是一个传统的礼服、而是作为时尚的一部分。现在有很多 女生华裔决定穿旗袍当一个特定的事件例如是婚礼、满月和祈祷。旗袍在棉 兰通常有很长的裙子,长袖子和领上海。但随着时代,许多棉兰旗袍样式中 看到的变化。衣领上,上海领此外也有其他襟领状如水滴。

色彩的选择也为华裔的一件重要的事情,因为对他们来说,每一种颜色 的意思还是希望。很多旗袍在棉兰有色红色、因为对棉兰华裔红色有很好的


(5)

意义分别是可以击退一件坏事。虽然其他颜色也有些人的首选例如是红色、 蓝色、金色、绿色、白色和等。

旗袍上的图案是很重要的,主题选择的基础上的美感和意义的价值包含 在符号。旗袍图案在现场,但没有太多的某一种只有少数图案。

使用与不同的材料和图案的旗袍带来不同的时尚不再只是传统服饰旗 袍,看起来坤和缺乏吸引力。然而,旗袍,在现场为中国和土著社区的一种 时尚潮流。受到旗袍的正面影响。

对华裔人和印尼本体人旗袍有重要的意义。旗袍作为文化的一部分,具 有相当大的意义。旗袍是连衣裙所带来的祖先必须保留,让人们不要忘记, 旗袍也是一种文化财富,他们有的。旗袍作为时尚的一部分,具有很强的意 义。它的特点是出现的各种衣服,包括旗袍的款式,如上海领,盘钮和现代 图案。

5.2

建议

这项研究中,它可以被看作保护文化的重要性,尤其是保留传统旗袍。 仍然有很多中国人仍然不知道谁的旗袍。预计将涉及学生和社会各界对他们 的文化中国的研究。


(6)

参考文献

1

徐冬

.

《旗袍:汉语对照

[M].

黄山书社,

2011

.

2

王安华、李丹

.

《中国服装发展历史》

[M].

北京:化学工雅

业,

2009

.

3.

李采姣

.

《从文化角度看中国旗袍之韵》

[J].

时事出版社、

2011

.

4. Elsa Silviana Fransisca.

.

Representasi Cina Melalui QÍPÁO (

), Pakaian Wanita Tradisional Cina

.

[M]

Jakarta : Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 2008

年。

5. Liu Li,.

The Cultural Connotation and Aesthetic Features of

Cheongsam,

[M].Jiangsu Normal University, Xuzhou Jiangsu.