2.1.4 Motif
Motif tekstil dapat dimaknai sebagai pengulangan suatu gambaran atau corak pada kain. Motif merupakan elemen penting pada pakaian cheongsam,
karena motif dianggap sebagai tanda dan simbol tradisional dan memiliki arti tersendiri Xu, 2011: 72.
Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam pembuatannya. Namun motif pada cheongsam memiliki arti tertentu dan hanya boleh dikenakan
kalangan tertentu saja. Motif yang terdapat pada cheongsam tidak hanya untuk menambah nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang
dituangkan dalam simbol yang tergambar. Misalnya motif Naga biasa digunakan oleh para kaisar di kerajaan. Naga
adalah sebutan umum untuk makluk mitologi yang berwujud reptil dan berukuran besar. Motif ini menggambarkan kekuatan, kekuasaan, perlindungan serta
keperkasaan. Motif burung peony atau biasa disebut burung feniks biasa digunakan hanya bisa dikenakan oleh keluarga inti kerajaan. Misalnya permaisuri
dan putri kaisar.
2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam
Cheongsam merupakan pakaian tradisional Cina Tionghoa untuk
wanita Tionghoa. Nama cheongsam diambil dari terjemahan bahasa Inggris dari dialek sebuah provinsi bernama Guangdong Tiongkok yaitu chèuhngs
āam. Sementara di daerah lain di Cina, pakaian tradisional ini disebut sebagai qipao..
Universitas Sumatera Utara
Kata cheongsam juga merupakan adaptasi dari kata changshan yang berarti “pakaian panjang”. Pada mulanya, perempuan bangsa Man di dinasti Qing,
Tiongkok menggunakan cheongsam. Walaupun kekuasaan bangsa Man ini tidak berlangsung lama, namun penggunaan cheongsam ini tetap bertahan seiring
berjalannya waktu. Bahkan jika dilihat dari perkembangannya, cheongsam menjadi simbol kebangkitan wanita di Cina. Cheongsam juga menjadi hasil
modifikasi dari pakaian yang pada mulanya berupa jubah lebar dan berlapis-lapis, menjadi sebuah pakaian dengan potongan sesuai bentuk tubuh wanita. Pada masa
itu, cheongsam menjadi pakaian yang nyaman, praktis, dan ekonomis. Bahan yang sering digunakan untuk membuat cheongsam adalah kain
sutra, satin, dan brokat. Bahan tersebut akan membuat tampilan pakaian tradisional China ini terlihat lebih mewah dan menawan. Cheongsam memberikan
tampilan yang sederhana, rapi, dan anggun saat digunakan. Hal ini tentu saja menjadikan cheongsam semakin populer untuk digunakan ke berbagai acara resmi
maupun acara santai. Pada umumnya cheongsam sangat identik dengan warna merah, warna merah dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai warna yang
mendatangkan keberuntungan, kesejahteraan dan menolak hal buruk. Namun, cheongsam
juga dibuat dengan berbagai warna lain seperti putih, biru, hitam, kuning, dan warna lainnya. Hal lain yang melekat dengan pakaian tradisional
China ini adalah motif dan pola yang khas dan unik. Cheongsam memiliki
berbagai macam motif seperti bunga peoni, naga, ikan, dan motif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Masyarakat Tionghoa
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa
Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa
Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti
orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan nonpri atau Cina.
Wacana Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti
kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang
ketika itu dinamakan orang Cina. Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda,
merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang
dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan
THHK.THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan
rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Seiring dengan
Universitas Sumatera Utara
perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda http:indocina. wordpress.comtentang-tionghoa diunduh pada Jumat, 5 April 2013.
Berdasarkan Volkstelling sensus pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 2,03 dari penduduk Indonesia pada
tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli
antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 2,5 pada
tahun 1961 http:indocina.wordpress.comtentang-tionghoa diunduh pada Jumat, 5 April 2013.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1 dari jumlah
keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di
antara kisaran 4-5 dari seluruh jumlah populasi Indonesia http:indocina.wordpress.comtentang-tionghoa diunduh pada Jumat, 5 April
2013. Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai diakui oleh masyarakat asli. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk
Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi yang unik dan menarik.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Landasan Teori