Fraksinasi Protein Bungkil Kelapa dari Hasil Samping Industri Minyak Kelapa

(1)

SKRIPSI

FRAKSINASI PROTEIN BUNGKIL KELAPA DARI HASIL SAMPING INDUSTRI MINYAK KELAPA

Oleh

AGUS DANANG WIBOWO F24063215

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

FRAKSINASI PROTEIN BUNGKIL KELAPA DARI HASIL SAMPING INDUSTRI MINYAK KELAPA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

AGUS DANANG WIBOWO F24063215

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Fraksinasi Protein Bungkil Kelapa dari Hasil Samping Industri Minyak Kelapa

Nama : Agus Danang Wibowo

NIM : F24063215

Menyetujui,

(Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono) (Dr. Ir. Patuan L. P. Siagian)

NIP. 19530507.197701.2.001 NIP. 19501206.198103.1.001

Mengetahui, Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP. 19650814.199002.1.001


(4)

Agus Danang Wibowo. F24063215. Fraksinasi Protein Bungkil Kelapa dari Hasil Samping Industri Minyak Kelapa. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono dan Dr. Ir. Patuan L. P. Siagian. 2010.

Ringkasan

Saat ini, perkembangan teknologi mengarah pada visi teknologi ramah lingkungan yang berusaha untuk memanfaatkan limbah pertanian secara optimal disamping untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Limbah pertanian adalah biomass yang sebetulnya kaya akan sumber nutrisi, sebagai contoh adalah bungkil kelapa (copra meal). Sebanyak 20 – 25% bungkil kelapa dapat diperoleh dari total jumlah input kelapa yang dipergunakan sebagai bahan baku minyak kelapa dan masih memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yakni sekitar 18%.

Umumnya, jenis protein yang berasal dari tanaman adalah albumin, globulin, glutelin, dan prolamin. Pemanfaatan protein dari bungkil kelapa secara keseluruhan akan membantu diversifikasi keberadaan bahan olahan untuk pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan fraksinasi terhadap protein bungkil kelapa tersebut untuk memperoleh gambaran profil protein sebagai tahap awal untuk pengadaan ingredien pangan. Selain itu, dalam jangka panjang, penelitian ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan akan protein nabati dan menjadi alternatif sumber protein selain protein hewani.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yakni tahapan fraksinasi protein dan tahapan karakterisasi protein menggunakan SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis). Tahapan fraksinasi dilakukan dengan dua metode, yakni metode non-enzimatis dan metode enzimatis menggunakan ekstrak kasar enzim mannanase. Enzim ini digunakan karena bungkil kelapa mengandung komponen serat, seperti mannan, galaktomannan, xilan dan arabinoxilan, yang dapat menurunkan ketersediaan biologis protein bungkil tersebut.

Sampel bungkil kelapa yang digunakan berasal dari Jambi dan telah melalui proses defatting di P2K-LIPI. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein bungkil kelapa adalah 18,52% (basis kering) sehingga berpotensi dijadikan sebagai sumber protein. Tahapan fraksinasi berhasil memisahkan protein-protein bungkil kelapa berdasarkan kelarutannya. Fraksi albumin larut dalam air, fraksi globulin larut dalam larutan garam encer (NaCl 5%), fraksi glutelin larut dalam larutan basa encer (NaOH 0,02M), dan fraksi prolamin larut dalam campuran alkohol dengan air (etanol 70%).

Dari 20 gram bungkil kelapa, jika fraksinasi dilakukan menggunakan metode non-enzimatis, berhasil didapatkan fraksi albumin, globulin, glutelin, dan prolamin berturut-turut sebesar 37,04µg/g bungkil (6,64%); 218,98µg/g bungkil (39,25%); 85,19µg/g bungkil (15,27%); dan 216,67µg/g bungkil (38,84%). Sedangkan fraksinasi menggunakan metode enzimatis menghasilkan fraksi protein yang lebih tinggi, berturut-turut sebesar 296,30µg/g bungkil (28,17%); 414,81µg/g bungkil (39,44%); 114,81µg/g bungkil (10,91%); dan 225,93µg/g bungkil (21,48%).

Karakterisasi menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa keseluruhan fraksi protein, baik hasil fraksinasi non-enzimatis maupun enzimatis, memiliki


(5)

jumlah variasi kisaran bobot molekul yang berbeda. Namun, ada variasi kisaran bobot molekul yang memiliki kesamaan, yakni pada kisaran 45,1 – 66,0 kD dan 66,1 – 97,4 kD. Meskipun memiliki kisaran bobot molekul yang sama, masing-masing protein tersebut memiliki kelarutan yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bungkil kelapa ditemukan protein albumin, globulin, glutelin, dan prolamin yang memiliki kisaran bobot molekul yang sama.


(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Agus Danang Wibowo lahir di Semarang pada tanggal 14 Agustus 1988 dan merupakan anak tunggal dari pasangan Mochammad Shiddiq dan Endang Ekowati. Agus memulai pendidikannya di TK Aisyiah Bustanul Athfal Semarang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke SD Negeri Pandean Lamper 01 Semarang, SLTP Negeri 3 Semarang, dan SMA Negeri 3 Semarang. Setelah lulus dari SMA, Agus melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat persiapan bersama (TPB), Agus bergabung dalam Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Selama kegiatan perkuliahan, Agus pernah menjadi asisten praktikum kimia dasar TPB dan asisten praktikum mikrobiologi pangan ITP. Agus juga aktif dalam keorganisasian, seperti Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Patra Atlas Semarang, BEM Fakultas Teknologi Pertanian, Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, dan Food Processing Club. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar nasional dan internasional, baik yang diselenggarakan di dalam kampus maupun di luar kampus.

Prestasi akademik yang pernah diraih antara lain sebagai delegasi IPB dalam kompetisi DSDC-IFTSA 2010 di Chicago, Illinois, USA; juara I dan juara favorit National Food Technology Competition di Unika Widya Mandala Surabaya; juara I National Product Design Competition di Universitas Brawijaya; juara II Lomba Poster ILMAGI di UGM; peserta Danone Trust 7 day; dan juara I lomba Agroindustrial Product Competition di Bogor. Motto hidup yang selalu penulis pegang adalah “mandiri, profesional, kerja keras, dan optimisme’.


(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar. Penelitian ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan moral maupun materiil, serta dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, Mami dan Bapak , yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang begitu besar sehingga penulis bersemangat untuk menyelesaikan studi ini.

2. Yang Ti, atas semua dukungan dan nasehatnya sehingga penulis senantiasa berpikir maju dan berani melangkah ke depan.

3. Tante Nana, Om Deni, Vanya, dan Adel, atas semua motivasi dan keceriaan yang diberikan.

4. Mbak Ghoh, Mbak Lilik, Mbak Un, Pakdhe Rozi, Budhe Fat, Budhe Am, atas semua canda tawanya ketika pulang kampung sehingga penulis merasa bersemangat kembali ketika kembali lagi kuliah.

5. Keluarga besar Yang Ti dan Mbah Yu (alm), atas doa yang telah diberikan selama ini.

6. Ibu Maggy T. Suhartono, atas semua bimbingan dan pelajaran hidup yang sangat berharga selama penulis kuliah dan menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Bapak Patuan L. P. Siagian, yang telah memberikan bimbingan dan

nasehatnya.

8. Semua Dosen ITP, yang telah mengajarkan tentang ilmu dan teknologi pangan.

9. Ibu Sri, atas semua pelajaran, nasehat, dan motivasi yang telah sangat berarti selama penulis melakukan penelitian.

10.Ibu Ika, Ibu Eni, Mbak Nory, Ibu Hasna, dan Pak Ace, atas kerjasama dan bantuan yang sangat membantu selama penulis melakukan penelitian.

11.Stefanus, atas sharing, semangat, keceriaan, bantuan, dan nasehatnya.

12.Yogi dan Stefanus, atas persahabatan yang tak akan pudar dan kerjasama untuk memenangkan segala jenis perlombaan.


(8)

ii 13.Tim semar (Stefanus, Yogi, Idham, dan Della), atas semua kerjasama,

bantuan, dan canda tawa selama ini.

14.Rekan-rekan ITP 43, Sadek, Yua, Henni, Zul, Laras, Eri, Boti, Abdi, Ade, Adit, Bernand, Sapi, Margie, Ius, Riza, Ovi, Arini, dan rekan-rekan ITP lainnya atas kebersamaan dan kegembiraan selama ini.

15.Pak Wahid, Pak Sobirin, dan Pak Rozak, atas bantuannya selama penelitian. 16.Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan yang telah membantu

selesainya karya ini.

‘Di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi’. Penulis menyadari, karya ini merupakan karya terindah bagi penulis, namun masih ada karya-karya lain yang jauh lebih indah. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis lakukan selama penyusunan karya ini. ‘Belajarlah

bukan karena ilmu pengetahuan, namun belajarlah demi kehidupan’,

semoga karya ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi para pembacanya.

Hormat saya,

Bogor, 12 Mei 2010


(9)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan Penelitian... 2

C. Manfaat Penelitian... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa... 4

B. Bungkil Kelapa... 6

C. Enzim Mannanase... 8

D. Protein... 9

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat... 12

B. Metode Penelitian... 12

1. Persiapan sampel... 12

2. Analisis proksimat... 13

a. Analisis kadar air... 13

b. Analisis kadar abu... 13

c. Analisis kadar lemak... 13

d. Analisis kadar nitrogen... 13

e. Analisis kadar serat kasar... 14

f. Analisis kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen... 14

3. Konfirmasi waktu inkubasi optimum mannanase... 14

4. Fraksinasi protein... 15

a. Metode non-enzimatis... 15

b. Metode enzimatis... 18


(10)

iv

6. Penentuan profil protein dengan menggunakan SDS-PAGE... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Proksimat... 22

B. Konfirmasi Waktu Inkubasi Optimum Mannanase... 24

C. Fraksinasi Protein... 26

D. Penentuan Profil Protein dengan menggunakan SDS-PAGE... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 35

B. Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA... 37


(11)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah produksi kelapa di Indonesia... 5 Tabel 2 Volume dan nilai ekspor produk turunan kelapa di Indonesia pada

Tahun 2005... 7 Tabel 3 Komposisi kimia bungkil kelapa... 8

Tabel 4 Sifat-sifat fungsional protein yang digunakan dalam pengolahan

produk pangan... 10 Tabel 5 Komposisi kimia sampel bungkil kelapa dibandingkan dengan SNI... 23


(12)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pohon dan bagian-bagian buah kelapa... 4

Gambar 2 Bungkil kelapa dan struktur penyusun utamanya... 6

Gambar 3 Spesifitas enzim mannanase... 9

Gambar 4 Diagram alir konfirmasi waktu inkubasi optimum mannanase... 15

Gambar 5 Diagram alir fraksinasi protein bungkil kelapa metode non- enzimatis... 17

Gambar 6 Diagram alir fraksinasi protein bungkil kelapa metode enzimatis.. 19

Gambar 7 Screening awal waktu inkubasi optimum enzim mannanase... 25

Gambar 8 Bobot beberapa fraksi protein hasil fraksinasi... 28


(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis Proksimat Bungkil Kelapa... 42

Lampiran 2 Konfirmasi Waktu Inkubasi Optimum Mannanase... 44

Lampiran 3 Analisis Kadar Protein... 46

Lampiran 4 Hasil Fraksinasi... 47

Lampiran 5 Hasil One-way Anova terhadap Bobot Fraksi-Fraksi Protein.... 48

Lampiran 6 Hasil Uji T-test Fraksi Albumin... 50

Lampiran 7 Hasil Uji T-test Fraksi Globulin... 51

Lampiran 8 Hasil Uji T-test Fraksi Glutelin... 52

Lampiran 9 Hasil Uji T-test Fraksi Prolamin... 53

Lampiran 10 Kurva Standar Marker SDS-PAGE... 54


(14)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu pusat penghasil kelapa di dunia. Berdasarkan data dari FAO Statistics Division (2009), nilai produksi kelapa Indonesia berada pada peringkat pertama. Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (pangsa 25,8%), disusul India (pangsa 16,0%), Sri Langka (pangsa 3,7%) dan Thailand (pangsa 3,1%). Menurut FAO

Statistic Division (2009), jumlah produksi kelapa di Indonesia setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, jumlah produksi kelapa di Indonesia mencapai 19.625.000 ton.

Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), kopra, oleochemical (OC), desicated coconut (DC), coconut milk/coconut cream (CM/CC), minuman isotonik, coconut charcoal (CCL),

activated carbon (AC), pemanis (brown sugar), coconut fiber (CF), coconut wood

(CW), dan copra meal (CM), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu

(Chan dan Elevitch, 2006).

Pada umumnya kelapa yang dihasilkan di Indonesia sebagian besar diolah menjadi kopra, yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minyak kelapa (Bank Indonesia, 2009). Minyak kelapa merupakan bagian paling berharga dari buah kelapa. Kandungan minyak pada daging buah kelapa tua adalah sebanyak 34,7%. Minyak kelapa dapat diekstrak dari daging kelapa segar, atau diekstrak dari daging kelapa yang telah dikeringkan (kopra) (Tarwiyah, 2001). Berdasarkan SNI 01-2904-1996/Rev.1996 proses ekstraksi minyak kelapa dari kopra akan menghasilkan residu yang disebut sebagai bungkil kelapa (copra meal).

Saat ini, pemanfaatan protein dari bungkil kelapa belum optimal dikarenakan adanya komponen serat yang terkandung di dalamnya, seperti mannan, galaktomannan, xilan dan arabinoxilan. Namun, apabila


(15)

komponen-2 komponen tersebut dapat dihilangkan, bungkil kelapa mampu membantu mempertinggi jumlah protein untuk makanan manusia (Bank Indonesia, 2009). Seiring dengan meningkatnya permintaan akan minyak kelapa, terjadi pula peningkatan akan produksi bungkil kelapa. Bungkil kelapa dapat menjadi sumber ingredien pangan potensial di industri pangan dikarenakan kandungan proteinnya yang masih tinggi, sekitar 18% (Miskiyah et al., 2006). Hal ini menyebabkan bungkil kelapa berpotensi untuk dimanfaatkan dan diolah menjadi sumber protein yang memiliki nilai ekonomis.

Kelarutan protein merupakan salah satu atribut fungsional kritis yang dibutuhkan agar dapat berfungsi sebagai ingredien pangan. Hal tersebut dikarenakan kelarutan memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat-sifat fungsionalnya, seperti pengikat air dan minyak, emulsifikasi, gelasi, viskositas dan pembentuk busa (Ragab et al., 2004). Protein tanaman, di dalam pengolahan pangan, digunakan sebagai ingredien fungsional untuk meningkatkan stabilitas dan memperbaiki tekstur disamping meningkatkan kualitas nutrisi dari produk pangan (El Nasri dan El Tinay, 2007). Umumnya protein yang terdapat pada tanaman seperti beras, gandum, kacang-kacangan, biji-bijian, dan lain sebagainya adalah albumin, globulin, prolamin, dan glutelin (Sikorski, 1992). Oleh karena itu, mempelajari karakteristik dari masing-masing jenis protein tersebut dari bungkil kelapa sangatlah penting agar didapatkan protein yang memiliki nilai tambah bagi industri pangan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan fraksinasi terhadap berbagai jenis protein yang terdapat pada bungkil kelapa berdasarkan sifat kelarutannya dan menganalisis protein tersebut dengan menggunakan SDS-PAGE.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Perguruan Tinggi

Penelitian ini diharapkan semakin memicu mahasiswa dalam mengembangkan berbagai penelitian terhadap pemanfaatan hasil samping


(16)

3 industri pangan, terutama mengenai kandungan nutrisinya. Kondisi ini dapat menumbuhkan iklim kompetitif di kalangan mahasiswa untuk bersaing melalui pengembangan intelektualitas dan kreativitas, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi.

Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi. Dengan penelitian ini pula akan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam penerapan teknologi yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

2. Bagi Mahasiswa

Pelaksanaan penelitian ini akan merangsang mahasiswa berpikir positif, kreatif, inovatif dan dinamis. Penelitian ini akan menambah wawasan dan pengalaman mahasiswa dalam berkarya dalam menerapkan teknologi, terutama dalam bidang bioteknologi. Selain itu, penelitian ini juga dapat menumbuhkan sikap kepedulian mahasiswa terhadap tuntutan konsumen dalam bidang pangan.

3. Bagi Masyarakat

Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan informasi dasar mengenai jenis dan profil protein yang terdapat dalam bungkil kelapa sehingga mampu digunakan sebagai ingredien pangan nantinya.


(17)

4

TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA

Gambar 1. Pohon dan bagian-bagian buah kelapa

Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk jenis tanaman palma yang memiliki multi fungsi karena hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan. Sebagian besar buah kelapa di Indonesia diolah menjadi kopra. Saat ini, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara penghasil kopra. Usaha budidaya tanaman kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa ampas kelapa (Miskiyah et al., 2006). Kelapa menyediakan hampir sebagian besar dari kebutuhan hidup, mulai dari makanan, minuman, minyak, obat, serat, bahan bakar, dan berbagai peralatan kosmestik (Chan dan Elevitch, 2006).

Berdasarkan taksonomi, kelapa termasuk ke dalam kelas Plantae, ordo Arecalis, famili Arecaceae, genus Cocos, spesies Cocos nucifera L (USDA, 2010). Tanaman ini adalah satu-satunya spesies dalam genus Cocos, dan pohonnya mencapai ketinggian 30 m. Kelapa juga adalah sebutan untuk buah pohon ini, yang berkulit keras dan berdaging warna putih (Chan dan Elevitch, 2006).

Daging buah yang sudah tua berwarna putih dan mengeras. Sarinya diperas dan cairannya dinamakan santan. Daging buah tua ini juga dapat diambil dan dikeringkan sehingga menjadi komoditi perdagangan bernilai ekonomi yang disebut kopra. Kopra adalah bahan baku pembuatan minyak


(18)

5 kelapa dan turunannya (Chan dan Elevitch, 2006). Daging buah kelapa juga mengandung 10 jenis asam amino esensial sehingga dapat dikategorikan sebagai bahan makanan dengan protein bermutu tinggi. Protein bermutu tinggi adalah protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam perbandingan yang menyamai kebutuhan manusia. Umumnya protein yang bermutu tinggi bersumber dari bahan hewani seperti daging, telur, dan susu (Winarno, 1992).

Untuk penduduk dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah, tentunya sangat sulit memenuhi kebutuhan asam amino dengan mengonsumsi protein hewani karena harganya tidak terjangkau. Oleh karena itu, mengonsumsi bahan makanan berbahan baku kelapa merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan akan asam amino esensial (Allorerung, et al., 2008).

Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia, yakni 3,712 juta hektar. Sebagian besar perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat (96,6%), sedangkan sisanya dimiliki oleh negara (0,7%) dan swasta (2,7%). Dari potensi produksi sebesar 15 milyar butir per tahun, yang dimanfaatkan hanya sebesar 7,5 milyar butir per tahun atau sekitar 50% dari potensi produksi (Istianandar et al., 2009).

Menurut FAO Statistic Division (2009), produksi di Indonesia senantiasa mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah produksi kelapa di Indonesia

Tahun Jumlah produksi (ton)

2001 15.815.000 2002 15.495.000 2003 16.145.000 2004 16.285.000 2005 18.250.000 2006 17.125.000 2007 19.625.000


(19)

6

B. BUNGKIL KELAPA

Gambar 2. Bungkil kelapa dan struktur penyusun utamanya

Berdasarkan SNI 01-2904-1996/Rev.1996, yang dimaksud dengan bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ektraksi daging buah kelapa segar/kering. Dikarenakan hasil ekstraksi minyak kelapa dengan menggunakan cara kering paling tinggi, kebanyakan industri menggunakan cara ini untuk menghasilkan minyak kelapa. Cara pres dilakukan terhadap daging buah kelapa kering (kopra). Dengan metode ini, kopra dihaluskan menjadi serbuk kasar, dipanaskan, kemudian dipres. Cara ini dilakukan berulang kali hingga kandungan minyak yang tersisa dalam kopra menjadi sangat kecil (Bank Indonesia, 2007).

Bungkil kelapa ditemukan sebagian besar di negara-negara tropis dan tersedia dengan harga yang kompetitif. Pada tahun 2002, sebanyak 65% produksi bungkil kelapa di dunia dihasilkan dari Indonesia dan Filipina (Sundu dan Dingle, 2005). Tabel 2 menunjukkan volume dan nilai ekspor produk turunan kelapa di Indonesia pada tahun 2005.


(20)

7

Tabel 2. Volume dan nilai ekspor produk turunan kelapa di Indonesia pada tahun 2005

Jenis produk Ekspor

Volume (ton) Nilai (US$ 1000)

Kelapa parut kering 51.456 35.939

Kopra 56.884 14.417

Minyak kelapa kasar 752.072 413.762

Bungkil kelapa 323.774 25.269

Arang aktif 25.671 16.303

Arang tempurung 800 111

Lain-lain (kelapa segar, tempurung, krim/susu kelapa, dan serat sabut)

59.853 24.030

Jumlah 1.207.510 529.831

Sumber: APCC (2005) di dalam Allorerung, et al. (2008)

Menurut APPC (2004) di dalam Damanik (2007), jenis produk kelapa yang banyak diekspor di tingkat dunia adalah minyak kelapa, bungkil kelapa, desicated coconut, dan sabut. Sebagai negara penghasil kelapa, Indonesia mampu memproduksi produk olahan kelapa seperti bungkil, kopra, minyak kelapa, dan desicated coconut. Persentase nilai produksi produk-produk olahan kelapa Indonesia tersebut dibandingkan dengan nilai produksi dunia berturut-turut adalah 31,26%, 20,03%, 18,28%, dan 13,66% (Departemen Perdagangan RI, 2006). Perkembangan nilai ekspor berbagai produk kelapa umumnya mengalami peningkatan, kecuali serat sabut. Secara keseluruhan pada tahun 2003 hasil ekspor produk-produk kelapa mencapai US$ 2121,6 juta terutama berasal dari Crude Coconut Oil (CCO) sebesar US$ 153,6 juta dan Desiccated Coconut (DC) sebesar US$ 23,7 juta, sedangkan sisanya berasal dari bugkil kelapa.

Saat ini, bungkil kelapa masih kurang dimanfaatkan karena kandungan seratnya yang tinggi, rendahnya palatabilitas, dan beberapa masalah terkait kandungan zat anti-nutrisi. Serat yang terdapat dalam bungkil


(21)

8 kelapa antara lain mannan, galaktomannan, xilan dan arabinoxilan. Apabila bungkil kelapa ini diolah sedemikian rupa sehingga polimer mannan pecah menjadi monomer mannosa yang lebih sederhana, bungkil kelapa dapat dimafaatkan untuk berbagai hal seperti ingredien pangan, bahan pakan ternak, sebagai media tumbuh, dan media fermentasi (Riyadi, 2009).

Bungkil kelapa dapat dihasilkan sebanyak 20% - 25% dari total jumlah input dan umumnya dijual dengan harga Rp 500 - Rp 600 per kilogram. Hal ini menyebabkan bungkil kelapa berpotensi untuk dimanfaatkan dan diolah menjadi sumber protein yang memiliki nilai ekonomis (Bank Indonesia, 2009).

Pemanfaatan protein dari bungkil kelapa akan membantu mempertinggi jumlah protein untuk makanan manusia (Bank Indonesia, 2009). Berdasarkan SNI 01-2904-1996/Rev.1996, kandungan protein dalam bungkil kelapa cukup tinggi yaitu 18 %. Komposisi nutrisi yang terdapat pada bungkil kelapa menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia bungkil kelapa

Komposisi Mutu I Mutu II

Air (%) 12 12

Protein kasar (%) 18 16 Serat kasar (%) 14 16

Abu (%) 7 9

Lemak (%) 12 15

BETN 37 32

C. ENZIM MANNANASE

Endo- -1,4-mannanase (EC 3.2.1.78) merupakan enzim yang penting dalam depolimerisasi mannan yang tidak memiliki cabang, galaktomannan, dan galakto-glukomannan. Enzim ini mengkatalis hidrolisis ikatan 1,4mannosidik pada rantai utama polimer mannan secara acak. -1,4-mannanase menghasilkan manno-oligosakarida berantai lurus atau bercabang dengan ukuran yang bervariasi (Mudau, 2006).


(22)

9

Gambar 3. Spesifitas enzim mannanase

Meningkatnya ketertarikan berbagai jenis industri akan aplikasi potensial -1,4-mannanase beberapa tahun terakhir, telah membangkitkan minat untuk melakukan penelitian tentang karakteristik enzim ini. -mannanase yang dihasilkan oleh kapang telah dimurnikan dan dikarakterisasi. Dilaporkan bahwa enzim ini memiliki pH optimum antara asam sampai netral, berberat molekul antara 33 – 80 kD, dan memiliki suhu optimum antara mesofilik sampai termofilik moderat (Mudau, 2006).

-1,4-Mannanase yang diproduksi secara bioteknologi telah menjadi perhatian dalam aplikasi di industri. Enzim ini banyak diaplikasikan pada pangan, proses pembuatan kopi instan, proses pembuatan kertas dan bubur kayu bersama dengan xilanase, serta pada industri pakan (Mudau, 2006).

D. PROTEIN

Protein memainkan peranan penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan ternak. Dalam industri pangan, penggunaan protein sebagai ingredien ditentukan berdasarkan sifat nutrisional, sensorial, dan fungsionalnya. Sifat fungsional protein didefinisikan sebagai karakteristik kimia atau fisik dari protein yang sesuai untuk proses produksi, penyimpanan, pengemasan, dan konsumsi suatu produk pangan, di luar dari fungsi nutrisinya (Yada, 2004).

Kelarutan protein merupakan salah satu atribut fungsional kritis yang dibutuhkan agar dapat berfungsi sebagai ingredien pangan. Hal tersebut


(23)

10 dikarenakan kelarutan memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat-sifat fungsionalnya, seperti pengikat air dan minyak, emulsifikasi, gelasi, viskositas dan pembentuk busa (Ragab et al., 2004). Menurut Yada (2004), contoh dari sifat fungsional protein seperti kelarutan, emulsifikasi, gelasi, dan foaming agent, dalam suatu produk pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat-sifat fungsional protein yang digunakan dalam pengolahan produk pangan

Jenis Produk Pangan Sifat-sifat Fungsional

Beverages Kelarutan, warna, kesan berpasir Produk bakeri Emulsifikasi, foaming agent, gelasi Produk susu Gelasi, foaming agent, emulsifikasi Produk telur Foaming agent, gelasi

Emulsi daging Emulsifikasi, foaming agent, gelasi, adhesi-kohesi

Soups dan gravies Viskositas, emulsifikasi, adsorpsi air Topping Foaming agent, emulsifikasi

Whipped dessert Foaming agent, gelasi, emulsifikasi

Pemilihan protein sebagai ingredien pangan, untuk meningkatkan kandungan nutrisi, memerlukan sifat-sifat fungsional yang sesuai untuk membuat suatu produk pangan lebih dapat diterima. Sifat-sifat fungsional protein sebagai ingredien pangan bergantung pada seberapa banyak jumlahnya dalam produk pangan (Pinciroli et al., 2009). Studi sebelumnya juga menjelaskan bahwa protein memainkan peranan yang penting dalam menentukan sifat-sifat pasta dan tekstur (Baxter, et al., 2004).

Kelarutan protein, dalam sejarahnya, merupakan kriteria pertama yang digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan protein. Sistem ini digunakan karena, pada awalnya, belum tersedianya informasi mengenai struktur protein. Jenis protein yang umumnya ditemukan dalam tanaman seperti beras, gandum, kacang-kacangan, biji-bijian, dan lain sebagainya adalah albumin, globulin, prolamin, dan glutelin (Sikorski, 1992).


(24)

Protein-11 protein ini, berturut-turut, larut dalam air, larutan garam encer, larutan basa encer, dan campuran alkohol dengan air.

Klasifikasi protein tanaman umumnya didasarkan pada kelarutannya dalam air. Pada biji kacang-kacangan dapat ditemukan protein albumin dalam berbagai jenis, seperti enzim, inhibitor protease, inhibitor amilase, dan lektin, yang larut dalam air (Pedroche et al., 2005).

Globulin merupakan protein simpanan (storage protein) dan tidak larut dalam air namun larut dalam larutan garam (Siu-Mei dan Ching-Yung, 2006). Protein jenis ini banyak ditemukan pada tanaman kacang-kacangan seperti protein kedelai yang tersusun atas 70% globulin (Chun et al., 2007). Contoh dari protein jenis ini antara lain miosinogen dalam otot, ovoglobulin dalam kuning telur, amandin dari buah almond, legumin dari kacang-kacangan, serta α, , dan globulin dalam serum darah (Sikorski, 1992).

Glutelin merupakan protein yang tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam/basa encer. Contoh dari protein ini adalah glutelin dalam gandum dan orizenin dalam beras. Sedangkan prolamin dalam prakteknya tidak larut dalam air maupun etanol absolut, namun dapat larut dalam campuran etanol dengan air (etanol 70%). Protein ini kaya akan asam amino arginin, glutamat, aspartat, dan prolin, walaupun kandungan lisinnya sangat rendah. Contoh dari protein ini adalah gliadin dalam gandum, hordein dalam barley, dan zein pada jagung (Sikorski, 1992).


(25)

12

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan antara lain bahan untuk analisis proksimat, ekstraksi/fraksinasi, konfirmasi waktu inkubasi optimum enzim mannanase, analisis kadar protein, dan analisis SDS-PAGE. Bahan untuk analisis proksimat antara lain heksana, kertas saring, kalium sulfat, asam sulfat, NaOH-Na2S2O3, asam borat, dan HCl. Bahan untuk

ekstraksi/fraksinasi dan konfirmasi waktu inkubasi optimum enzim mannanase antara lain akuades, HCl, NaCl, NaOH, etanol, aseton, enzim mannanase, buffer fosfat, dan buffer asetat. Bahan untuk analisis kadar protein antara lain Coomasie Briliant Blue G250, BSA, asam fosfat, kertas saring, dan etanol. Bahan untuk analisis SDS-PAGE antara lain akrilamid, bis-akrilamid, tris-amino metan, SDS, amonium peroksodisulfat, TEMED, merkaptoetanol, gliserol, indikator bromophenol blue, glisin, metanol, formaldehida, natrium tiosulfat, perak nitrat, dan natrium karbonat.

Alat yang digunakan antara lain alat sentrifugasi, spektrofotometer, aparatus elektroforesis, glass wool, sarung tangan, masker, eppendorf, pippette tips, pH-meter, labu Kjeldahl, labu lemak, penyaring vakum, hot plate, penangas air, alat destilasi, aparatus Soxhlet, buret, erlenmeyer, dan tabung reaksi.

B. Metode Penelitian 1. Persiapan Sampel

Sampel bungkil kelapa yang digunakan diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia-LIPI yang didapatkan dari Jambi. Sebelum dilakukan ektraksi protein, bungkil kelapa dihilangkan terlebih dahulu kandungan lemaknya dengan menggunakan heksana (25L/5 kg, 5 sirkulasi). Bungkil kelapa yang telah dihilangkan lemaknya (Defatted Copra Meal / DCM) diblender kering untuk memperkecil ukuran partikel bungkil kelapa sehingga mempermudah proses ekstraksi protein.


(26)

13

2. Analisisis Proksimat

a. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

Sebanyak 2-3 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan alumunium. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam oven yang bersuhu 105oC selama 3 jam. Setelah selesai, sampel ditimbang kembali bobotnya.

b. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sebanyak 2-3 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam pinggan poselin. Sampel dipanaskan dengan menggunakan hot plate hingga tidak terlihat lagi adanya asap. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam tanur yang bersuhu 600oC selama 3 jam. Setelah selesai, sampel yang telah diabukan didingikan dalam desikator kemudian ditimbang kembali bobotnya.

c. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas saring disumbat lalu dikeringkan pada oven pada suhu 105oC selama 1 jam, kemudian sampel dimasukkan ke dalam alat Soxhlet. Ekstraksi dilakukan menggunakan heksana sebanyak 150 ml selama 6 jam. Heksana disuling kemudian labu lemak dikeringkan pada oven dengan suhu 105oC. Labu lemak selanjutnya ditimbang untuk menentukan kadar lemak dalam bahan.

d. Analisis Kadar Nitrogen, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 ml

H2O, dan 2,0 + 0,1 ml H2SO4. Kemudian contoh dididihkan sampai

cairan jernih. Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air kemudian air cuciannnya dimasukan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH – Na2S2O3.

Di bawah kondensor diletakan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil


(27)

14 merah 0,2% dan 1 bagian biru metilen 0,2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 jenuh.

Kemudian isi erlemeyer diencerkan sampai 50 ml lalu dititrasi dengan HCl 0,02 % sampai terjadi perubahan warna menjadi abu.

e. Analisis Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)

Sebanyak 2 g contoh ditimbang kemudian dihilangkan lemaknya dengan menggunakan metode Soxhlet, sebagai pelarutnya digunakan heksana. Secara kuantitatif, sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 ml kemudian ditambahkan 0,5 g asbes dan 2 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml asam sulfat mendidih. Sampel dipanaskan dalam pendingin balik selama 30 menit. Suspensi selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring dan dibilas dengan menggunakan air mendidih hingga air bilasan tidak lagi bersifat asam. Secara kuantitatif, kertas saring dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dicuci dengan menggunakan 200 ml NaOH mendidih. Sampel kemudian dididihkan selama 30 menit dalam pendingin balik. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan menggunakan K2SO4 10%.

Residu dicuci dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Kertas saring kemudian dikeringkan dalam oven dan ditimbang bobotnya.

f. Analisis Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN), metode

by difference (AOAC, 1995)

Kadar BETN dihitung dengan cara menyelisihkan 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar serat kasar yang telah diperoleh sebelumnya.

3. Konfirmasi Waktu Inkubasi Optimum Mannanase

Sebanyak 0,1 g sampel dicampur dengan 10 µl larutan enzim mannanase dan 90 µl buffer asetat 0,5 M (pH 5,3), selanjutnya campuran diinkubasi pada suhu 30oC. Lama inkubasi divariasi menjadi 0; 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam dengan kecepatan agitasi sebesar 125 rpm. Campuran


(28)

15 kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000xg selama 10 menit pada

suhu 4oC. Pelet kemudian dicampur dengan buffer fosfat 0,05 M (pH 7,0) dan divortex dengan kuat selama 5 menit untuk mendapatkan total proteinnya. Sentrifugasi kembali dilakukan, lalu supernatan yang didapatkan diukur konsentrasi proteinnya dengan menggunakan metode Bradford. Diagram alir konfirmasi waktu inkubasi optimum mannanase dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Diagram alir konfirmasi waktu inkubasi optimum mannanase

4. Fraksinasi Protein (Adebiyi et al., 2009)

a. Metode Non-enzimatis

Fraksinasi protein dilakukan pada suhu ruang (27oC) dengan menggunakan shaker berkecepatan 250 rpm. Sebanyak 20 g bungkil kelapa yang telah dihilangkan kadar lemaknya (Defatted Copra Meal / DCM) diekstrak dengan menggunakan shaker dalam 80 ml air destilata selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000xg selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang

0,1 g bungkil + 10 µl enzim + 90 µl buffer asetat 0,5 M; pH 5,3

Inkubasi (T = 30oC) (t= 0; 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam) Sentrifuge (4000xg, 10 min, 4oC)

Pelet

1 ml buffer fosfat (0,05 M; pH 7,0) Sentrifuge (4000xg, 10 min, 4oC)

Pelet

Protein Total


(29)

16 didapatkan merupakan fraksi kasar albumin (ALB). Tahap tersebut diulangi kembali, namun dengan menggunakan 120 ml air destilata.

Residu hasil fraksinasi albumin kemudian diekstrak menggunakan 80 ml larutan NaCl 5% dengan menggunakan shaker selama 1 jam, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000xg selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang didapatkan

merupakan fraksi kasar globulin (GLB). Tahap tersebut diulangi kembali namun dengan menggunakan 120 ml air destilata.

Untuk mendapatkan fraksi kasar glutelin (GLT), residu hasil fraksinasi globulin diekstrak dengan menggunakan larutan basa encer NaOH 0,02 M (pH 11) dengan volume dan metode fraksinasi yang serupa. Fraksi prolamin (PRO) didapatkan dengan mengekstrak residu hasil fraksinasi kasar glutelin, menggunakan larutan etanol 70% dengan volume 60 ml pada ekstraksi pertama dan 120 ml pada ekstraksi kedua. Metode fraksinasi yang digunakan mengacu pada metode fraksinasi sebelumnya.

Masing-masing ekstrak kasar protein disentrifugasi dengan kecepatan 4000xg selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan

kemudian disaring menggunakan glass wool. Fraksi albumin, globulin, dan glutelin kemudian diatur pH-nya dengan menggunakan HCl 0,01 M hingga mencapai pH isoelektriknya, yaitu 4,1; 4,3; dan 4,8. Fraksi selanjutnya diistirahatkan selama 1 jam kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000xg selama 15 menit pada suhu 4oC.

Residu yang diperoleh dicuci menggunakan air destilata dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan yang sama. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Residu kemudian dilarutkan dalam buffer fosfat 0,05M untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Berbeda dengan fraksi protein yang lainnya, fraksi protein prolamin diendapkan dengan menambahkan sejumlah aseton secara bertahap, sebanyak 3 tahap. Diagram alir fraksinasi protein bungkil menggunakan metode non-enzimatis dapat dilihat pada Gambar 5.


(30)

17

20 g bungkil kelapa

80 ml H2O

Shaking (250 rpm, 1 jam)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Ekstrak albumin Ekstrak globulin Ekstrak glutelin Ekstrak prolamin

Residu D

120 ml H2O

120 ml NaCl 5%

120 ml NaOH 0.02M

120 ml etanol 70%

80 ml NaCl 5% Shaking (250 rpm, 1 jam)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Residu A

80 ml NaOH 0.02M  Shaking (250 rpm, 1 jam) 

Sentrifuge(4000xg,  15 menit, 4oC) 

Residu B

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Filter (glass wool)

Atur pH=4.10 (albumin), 4.30 (globulin), dan 4.80 (glutelin).

Istirahatkan 1 jam

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Pellet

Cuci dengan H2O (2X)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Pellet

Larutkan dalam buffer fosfat 0.02 M, pH 7.00

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Filter (glass wool)

Tambah aseton (threefold)

Istirahatkan 1 jam

60 ml etanol 70%

Shaking (250 rpm, 4 jam) 

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Residu C

Gambar 5. Diagram alir fraksinasi protein bungkil kelapa metode non-enzimatis (Adebiyi et al., 2009)


(31)

18 b. Metode Enzimatis

Sebelum tahapan fraksinasi dilakukan, terlebih dahulu bungkil kelapa diberi perlakuan enzim mannanase. Enzim mannanase yang digunakan memiliki konsentrasi 1% dalam buffer asetat 0,5 M; pH 5,3. Waktu inkubasi yang digunakan adalah berdasarkan hasil konfirmasi waktu inkubasi optimum enzim mannanase. Telah diketahui banwa suhu inkubasi optimum enzim ini adalah 30 – 33oC.

Sebanyak 20 g bungkil kelapa yang telah dihilangkan kadar lemaknya (Defatted Copra Meal / DCM) ditambahkan 80 ml enzim mannanase 1%. Kemudian dilakukan inkubasi dalam shaker dengan kecepatan 125 rpm pada suhu 30oC. Sentrifugasi, pada kecepatan 4000xg selama 15 menit pada suhu 4oC, dilakukan setelah tahapan

inkubasi selesai dilakukan. Supernatan dipisahkan dan ekstraksi dilakukan pada pelet mengikuti metode non-enzymatic. Diagram alir fraksinasi protein bungkil kelapa menggunakan metode enzimatis dapat dilihat pada Gambar 6.

5. Analisis Kadar Protein (Bollag dan Edelstein, 1991)

Larutan stok dibuat dengan mencampurkan 100 ml etanol 95%, 200 ml asam fosfat 88%, dan 350 mg Coomasie Briliant Blue. Reagen Bradford dibuat dengan mencampurkan 425 ml air destilata, 15 ml etanol 95%, 30 ml asam fosfat 88%, dan 30 ml larutan stok. Jika diperlukan, penyaringan menggunakan kertas Whatman nomor 1 dapat dilakukan.

Larutan protein yang digunakan sebagai standar adalah Bovine Serum Albumin (BSA) dengan konsentrasi 100µg/1ml. Sebanyak 2,5 mg kristal BSA ditimbang kemudian dilarutkan dalam 10 ml air destilata. Selanjutnya dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan ditepatkan volumenya hingga 25 ml menggunakan air destilata.

Kurva standar makro dibuat dengan memipet sebanyak 20, 40, 60, 80, dan 100 µl larutan BSA, sedangkan kurva standar mikro dibuat dengan memipet sebanyak 5, 10, 15, 20, dan 25 µl larutan BSA. Larutan ditepatkan volumenya menjadi 100 µl menggunakan air destilata, dan


(32)

19

Gambar 6. Diagram alir fraksinasi protein bungkil kelapa metode enzimatis (modifikasi Adebiyi et al., 2009)

20 g bungkil kelapa

80 ml mannanase 1% (buffer asetat 0.5 M, pH 5.3)

Shaking (125 rpm, 30oC, 1.5 jam)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Residu awal

80 ml H2O

Shaking (250 rpm, 1 jam) Sentrifuge (4000xg,

15 menit, 4oC)

Ekstrak albumin Ekstrak globulin Ekstrak glutelin Ekstrak prolamin

Residu D

120 ml H2O

120 ml NaCl 5%

120 ml NaOH 0.02M

120 ml etanol 70%

80 ml NaCl 5% Shaking (250 rpm, 1 jam)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Residu A

80 ml NaOH 0.02M 

Shaking (250 rpm, 1 jam) 

Sentrifuge (4000xg,  15 menit, 4oC) 

Residu B

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Filter (glass wool)

Atur pH=4.10 (albumin), 4.30 (globulin), dan 4.80 (glutelin).

Istirahatkan 1 jam

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Pellet

Cuci dengan H2O (2X)

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Pellet

Larutkan dalam buffer fosfat 0.02 M, pH 7.00

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)

Filter (glass wool)

Tambah aseton (threefold)

Istirahatkan 1 jam

60 ml etanol 70%

Shaking (250 rpm, 4 jam) 

Sentrifuge (4000xg, 15 menit, 4oC)


(33)

20 ditambahkan reagen Bradford sebanyak 2 ml. Larutan kemudian dihomogenisasi dan diistirahatkan selama 5 menit. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada λ=595 nm.

Blanko dibuat dengan cara mencampurkan 100 µl air destilata dengan 2 ml reagen Bradford. Pengukuran sampel dilakukan dengan mengencerkan 10 µl larutan sampel dalam 90 µl buffer fosfat 0,02M; pH 7,0 kemudian ditambahkan dengan 2 ml reagen Bradford. Langkah selanjutnya sama dengan langkah pada pembuatan kurva standar.

6. Penentuan Profil Protein dengan Menggunakan SDS-PAGE (Bollag dan Edelstein, 1991)

Digunakan tiga macam larutan untuk membuat gel, yaitu larutan A, B, dan C. Larutan A dibuat dengan mencampurkan 29,2 g akrilamid dan 0,8 g bis-akrilamid. Larutan B dibuat dengan mencampurkan 75 ml Tris HCl 2M (pH=8,8), 4 ml SDS 10%, dan 21 ml akuabides. Larutan B digunakan sebagai buffer pada gel pemisah. Sedangkan larutan C dibuat dengan mencampurkan 50 ml Tris HCl 1M (pH=6,8), 4 ml SDS 10%, dan 46 ml akuabides. Larutan C digunakan sebagai buffer pada gel penahan.

Buffer elektroforesis dibuat dengan mencampurkan 3 g Tris-base; 14,4 g glisin; dan 1 g SDS. Larutan kemudian ditepatkan volumenya menjadi 1L dengan menggunakan akuabides. Selanjutnya pH buffer diatur menjadi 8,3.

Buffer sampel dibuat dengan mencampurkan 0,5 ml beta-merkaptoetanol; 0,2 g SDS; 2,5 ml gliserol; 0,01 g bromophenol blue 0,1%; 0,60 ml Tris-HCl 1M (pH=6,8); dan 10 ml akuabides. Sebanyak 100 µl sampel dilarutkan dengan 100 µl buffer sampel. Loading dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 15 µl.

Pembuatan gel pemisah 12,5% dilakukan dengan mencampurkan 4,167 ml larutan A; 2,500 ml larutan B; 3,333 ml akuabides; 0,100 ml APS 10%; dan 0,010 ml TEMED di akhir pencampuran. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam aparatus elektroforesis. Tutup bagian


(34)

21 atas larutan dengan akuabides untuk membuat datar permukaan gel pemisah dan mencegah kontak dengan udara.

Gel penahan 4% dibuat dengan mencampurkan 0,335 ml larutan A; 0,625 ml larutan C; 1,5 ml akuabides; 0,050 ml APS 10%; dan 0,010 ml TEMED di akhir pencampuran. Larutan dimasukkan ke dalam aparatus elektroforesis di atas gel pemisah. Sisir sumur segera dimasukkan. Setelah gel mengeras, sisir dikeluarkan dan kotak aparatus diisi dengan buffer elektroforesis.

Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 volt dan arus listrik 80 mA selama 2,5 jam. Setelah selesai, gel diwarnai dengan menggunakan pewarnaan silver staining. Pewarnaan ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahapan fiksasi, pencucian dengan etanol, sensitisasi, pencucian dengan akuabides, staining, pencucian dengan akuabides, larutan developing, larutan stopping, dan pencucian dengan akuabides.


(35)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bungkil kelapa merupakan hasil samping dari industri minyak kelapa, yakni daging buah kelapa yang telah diekstrak kandungan minyaknya. Dalam penelitian ini, sampel bungkil kelapa yang digunakan adalah bungkil kelapa yang didapatkan dari Jambi hasil pengepresan kopra secara mekanis dan telah mengalami ekstraksi lemak menggunakan heksana. Pengekstrakan menggunakan heksana dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa kandungan minyak yang masih terdapat dalam bungkil.

Minyak kelapa dapat dipisahkan (diekstrak) langsung dari daging kelapa segar atau disebut sebagai cara basah, atau diekstrak dari daging kelapa yang terlebih dulu dikeringkan (kopra) yang disebut cara kering. Pengepresan kopra secara mekanis dilakukan melalui beberapa tahapan proses pemanasan (Bank Indonesia, 2007). Menurut Tarwiyah (2001), minyak kelapa dapat diperoleh dengan cara menghaluskan kopra, memanaskannya hingga mencapai suhu 110 - 120 oC kemudian dilakukan pengepresan. Ampas yang dihasilkan masih banyak mengandung minyak sehingga pemanasan dan pengepresan dilakukan kembali secara berulang hingga minyak yang terkandung di dalamnya berjumlah minimal. Ampas terakhir yang diperoleh disebut sebagai bungkil kelapa (copra meal).

A. Analisis Proksimat

Meskipun merupakan hasil samping dari industri minyak kelapa, bungkil kelapa memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sekitar 18% (Miskiyah et al., 2006). Oleh karena itu, saat ini bungkil kelapa banyak digunakan sebagai ingredien pangan, bahan pakan ternak, sebagai media tumbuh, dan media fermentasi setelah komponen antinutrisinya dihilangkan. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar komposisi kimia dari sampel bungkil yang digunakan, apakah telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Komposisi kimia dari bungkil kelapa yang digunakan dalam penelitian ini, dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (1992), dapat


(36)

23 dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dalam 100 g bungkil kelapa diperoleh protein sebesar 18,52 g. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan kandungan protein yang dipersyaratkan oleh SNI (1992) ataupun yang telah disebutkan oleh Miskiyah et al. (2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel bungkil kelapa yang digunakan masih memiliki potensi yang baik untuk dianalisis dan dikarakterisasi lebih lanjut sehingga nantinya dapat digunakan untuk membantu diversifikasi sumber protein asal tanaman, baik untuk pakan maupun ingredien pangan.

Tabel 5. Komposisi kimia sampel bungkil kelapa dibandingkan dengan SNI

Kandungan (%) SNI Percobaan

Kualitas I Kualitas II

Air Maks. 12 Maks. 12 10,32

Abu Maks. 7 Maks. 9 8,21

Protein Min. 18 Min. 16 18,52

Lemak Maks. 12 Maks. 15 2,25

Serat kasar Maks. 14 Maks. 16 23,96

BETN 37 32 36,74

Dapat dilihat pula pada Tabel 5 bahwa hasil analisis kadar serat kasar bungkil kelapa memiliki nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang dipersyaratkan oleh SNI (1992). Sedangkan hasil analisis proksimat terhadap parameter mutu bungkil kelapa lainnya memiliki nilai yang sesuai dengan nilai yang dipersyaratkan oleh SNI (1992), baik kualitas I maupun kualitas II. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sampel bungkil kelapa yang digunakan memerlukan tahapan proses penanganan lebih lanjut agar dapat dikategorikan sebagai bungkil kelapa kelas I maupun kelas II.

Kadar protein yang berdasarkan Tabel 5 di atas merupakan kadar kandungan total nitrogen sehingga angka ini merupakan gabungan antara protein terlarut, protein tidak terlarut, dan senyawa bernitrogen lainnya. Untuk mengetahui kandungan protein terlarut, dilakukanlah uji Bradford dari hasil fraksinasi bungkil kelapa pada tahap selanjutnya. Metode ini sangat


(37)

24 sesuai dilakukan untuk mengukur kandungan protein terlarut dikarenakan sebelum dilakukan uji, sampel dilarutkan terlebih dahulu ke dalam buffer sehingga protein memiliki tingkat kelarutan tertinggi (buffer fosfat pH 7,0).

B. Konfirmasi Waktu Inkubasi Optimum Mannanase

Penggunaan enzim sekarang ini menjadi pilihan yang populer. Cara ini lebih mudah dan membutuhkan sedikit energi. Namun, menjadi kesulitan tersendiri untuk mendapatkan enzim yang sesuai dan bersifat spesifik untuk substrat tertentu. Saat ini banyak tersedia enzim komersial yang dapat digunakan, lengkap dengan spesifikasi temperatur dan pH optimumnya (Riyadi, 2009). Enzim yang umumnya digunakan pada pengolahan bungkil kelapa adalah enzim mannanase.

Pada metode enzimatis, enzim yang digunakan adalah ekstrak kasar enzim mannanase. Enzim ini didapatkan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Dikarenakan merupakan ekstrak kasar, selain enzim mannanase yang terkandung didalamnya, ekstrak kasar ini juga mengandung enzim xilanase dan selulase.

Menurut Rattanasuk dan Ketudat-Cairns (2009), mannan merupakan salah satu polisakarida yang banyak ditemui sebagai sumber daya yang tidak berguna. Mannan dapat ditemui pada biji tanaman kacang-kacangan dan dinding sel tanaman, seperti locus bean gum, bungkil kelapa, biji kopi, dan biji sawit. Telah dilaporkan bahwa bungkil kelapa mengandung sekitar 60-70% mannan ataupun kompleks mannan. Sebagai tambahan, telah dilaporkan pula bahwa bungkil kelapa mengandung sekitar 20-30% mannan murni berbasarkan basis basah.

Endo- -1,4-mannanase (EC 3.2.1.78) merupakan enzim yang penting dalam depolimerisasi mannan (yang tidak memiliki cabang), galaktomannan, dan galakto-glukomannan. Enzim ini mengkatalis hidrolisis ikatan -1,4-mannosidik pada rantai utama polimer mannan secara acak. Dilaporkan bahwa enzim ini memiliki pH optimum antara asam sampai netral, berberat molekul antara 33 – 80 kD, dan memiliki suhu optimum antara mesofilik sampai


(38)

µ g   pro tei n/g   bu ng ki l termofili digunaka Angka rata yan Gam N percobaa tersebut dan enzi Pada wa lebih ren dilihat p lamanya dapat die memberi bahwa in yang dap 0 500 1000 1500 2000 2500 0 1. ik moderat an suhu 30 o

pada grafik, di ng tidak berbed

mbar 7. Scre

Namun, untu an screening diperoleh h im untuk me aktu yang ku

ndah. Grafik ada Gambar a waktu ink ekstrak dari ikan hasil y nkubasi yang pat dianggap 0 0,5 .256,16c 705 (Mudau, 2 o

C selama ink

iikuti oleh huru da nyata berdas eening awal w

uk menentu g awal enzi hasil bahwa

enghasilkan urang atau leb

k hasil perco r 7.Hasil uji kubasi berpe bungkil kel yang tidak b

g dilakukan p sama.

5 1

,25d

1.923,

Waktu (ja 006). Oleh kubasi pada

uf superskrip y sarkan uji beda waktu inkub ukan waktu

im mannana waktu opti total protein bih dari 1,5 obaan screen

i statistik ya engaruh terh

lapa. Waktu berbeda nya

selama 1 jam

1,5 08b 2.261,67 am) karena itu, tahapan pen

yang sama men a Duncan (p < basi optimum

optimum i ase. Berdasa imum inkub

n tertinggi a jam, total pr ning awal en ang dilakukan hadap jumla

inkubasi se ata. Hal ters m ataupun 2

2 7a

1.974,95b

, dalam pen ndahuluan en

nunjukkan nila 0.05)

m enzim man inkubasi, di arkan hasil basi campura adalah selam rotein yang nzim manna n membukti ah akhir pro elama 1 jam

sebut mengi jam membe 25 b nelitian ini nzimatis. ai rata-nnanase lakukanlah percobaan an substrat ma 1,5 jam. didapatkan anase dapat ikan bahwa otein yang

dan 2 jam indikasikan erikan hasil


(39)

26

C. Fraksinasi Protein

Fraksinasi protein merupakan tahapan yang dilakukan untuk memisahkan jenis-jenis protein berdasarkan beberapa karakteristik kimianya, seperti kelarutan, pH, struktur molekul, maupun berat molekulnya (Winarno, 1992). Dalam penelitian ini, dilakukan fraksinasi protein berdasarkan kelarutannya. Larutan-larutan yang digunakan dalam fraksinasi ini antara lain akuades, larutan NaCl 5%, larutan NaOH 0,02M, dan larutan etanol 70%. Agar protein-protein yang terkandung dalam bungkil tidak rusak, proses fraksinasi dilakukan dalam keadaan dingin.

Dari hasil fraksinasi tersebut diperoleh empat jenis protein, yakni albumin, globulin, glutelin dan prolamin. Hasil percobaan menunjukkan bahwa metode fraksinasi enzimatis menghasilkan kadar total protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode fraksinasi non-enzimatis. Total protein merupakan hasil penjumlahan dari bobot masing-masing fraksi. Secara keseluruhan, fraksinasi metode enzimatis mampu meningkatkan kadar fraksi-fraksi protein dibandingkan tanpa menggunakan enzim. Peningkatan tersebut diakibatkan karena adanya hidrolisis struktur glukomannoprotein. Struktur ini awalnya mengikat protein sehingga menjadi tidak terlarut dan tidak dapat dimanfaatkan secara biologis. Namun, setelah dilakukan perlakuan enzimatis, struktur tersebut menjadi terdegradasi akibat terhidrolisisnya ikatan antara mannan dan protein sehingga protein menjadi lebih terlarut dan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Sebagai pembanding, Dairo dan Fasuyi (2008) menyebutkan bahwa proses fermentasi bungkil kelapa menggunakan kapang penghasil mannanase mampu meningkatkan total protein kasar (dari 19,63% menjadi 23,11%). Mannanase yang dihasilkan oleh kapang tersebut memecah struktur ikatan 1-4- glikosidik pada mannan yang merupakan komponen penyusun dinding sehingga mampu menurunkan kandungan serat kasarnya. Serat-serat pada bungkil kelapa mampu mengikat protein sehingga ketersediaan biologisnya menjadi berkurang. Grafik hasil fraksinasi protein dari 20 g bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 8.


(40)

27 Globulin merupakan fraksi protein yang paling banyak diperoleh dari hasil fraksinasi, baik metode non-enzimatis maupun metode enzimatis (218,98µg (39,25%) dan 414,81µg (39,44%)). Menurut Siu-Mei dan Ching-Yung (2006), pada tanaman kacang-kacangan, globulin merupakan protein simpanan (storage protein) dan ditemukan dalam jumlah yang paling besar. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan protein bungkil kelapa mirip dengan tanaman kacang-kacangan.

Albumin merupakan protein larut air yang umumnya banyak ditemui pada hewan, seperti albumin telur, serum albumin, dan laktalbumin (Sikorski, 1992). Pada bungkil kelapa, mannan mengikat protein, seperti albumin, sehingga menjadi tidak larut dalam air. Setelah perlakuan enzimatis, albumin yang terikat pada mannan menjadi terlepas sehingga larut kembali dalam air (dari 37,04µg (6,64%) menjadi 296,30µg (28,17%)).

Glutelin banyak ditemukan pada gandum dalam bentuk gluten. Bungkil kelapa memiliki kandungan glutelin yang paling rendah dibandingkan fraksi protein yang lain, setelah mengalami tahapan enzimatis. Hal tersebut ditunjukkan dengan bobot fraksi glutelin hasil percobaan,yakni sebanyak 85,19 µg (15,27%) menggunakan metode non-enzimatis dan sebanyak 114,81µg (10,91%) menggunakan metode enzimatis. Jika dibandingkan dengan bobot protein total dari masing-masing metode fraksinasi, perlakuan enzimatis justru menurunkan persentase bobot protein glutelin.

Hal yang serupa juga ditemukan pada fraksi protein prolamin. Bobot prolamin secara berturut-turut dengan menggunakan metode non-enzimatis dan enzimatis adalah 216,67µg (38,84%) dan 225,93µg (21,48%). Prolamin banyak ditemukan sebagai protein simpanan (storage protein) pada tanaman serealia (Lie-Fen et al., 1994). Namun, berdasarkan hasil percobaan, prolamin bukan merupakan protein yang banyak ditemui pada bungkil kelapa.

Berdasarkan uji statistik, yakni uji T-test, diketahui bahwa metode enzimatis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan bobot fraksi protein albumin, globulin, dan glutelin dari hasil fraksinasi dari 20 g bungkil kelapa secara keseluruhan. Namun, metode enzimatis tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap peningkatan fraksi protein prolamin dari hasil


(41)

20 40 60 80 100 120 bo b o t   pr ot ein   ( µ g)   /   g   sa m p e l 0 100 200 300 400 500 bo b o t   pro tein   ( µ g)   /   g   sa mpel fraksinas 6 – Lamp

Angka pad yang tidak Angka pad yang tidak b

Gambar J kandung kecil. D (b)  (a)  0 0 0 0 0 0 0

total prot

557,87 b 0 0 0 0 0 0 album 37,04 n

si 20 g bung piran 9.

da grafik (a), d berbeda nyata da grafik (b), d berbeda nyata

8. Bobot b bobot t perband Jika dibandi gan protein Dari 1 g bung

tein album

37,04

h

1.051,85

a

metode non e

min

296,30

m

metode non e

gkil kelapa.

diikuti oleh hu berdasarkan uj diikuti oleh hu

berdasarkan ha beberapa frak total protein dingan bobot ingkan deng terlarut ya gkil kelapa h

min glob

218,98

e

296,30

d

fraksi pro

enzimatis globulin 218,98 p 414,81 o

fraksi pr

enzimatis

Hasil uji sta

uruf superskrip uji beda Duncan

uruf superskrip asil uji Paired ksi protein h n dengan t masing-ma an kadar pro ang terdapat hanya didap bulin glu 85,19 g 414,81 c otein

metode enzim

glutelin 85,19 r 11 4 ,8 1 q rotein

metode enzim

atistik dapat

p yang sama m n (p < 0.05) p yang sama m

T-test (p < 0.0 hasil fraksin bobot fraks asing fraksi p otein kasar h

dalam bun patkan jumla utelin pr 21 6 67 e 114,81 f matis n pr 216,67 s ,8 matis dilihat pada

menunjukkan n menunjukkan n 05)

nasi; (a). per si-fraksi pr protein.

hasil analisi ngkil kelapa ah total prote

28 rolamin 21 6 ,67 225,93 e olamin 225,93 s a Lampiran nilai rata-rata nilai rata-rata rbandingan otein; (b).

s Kjeldahl, a sangatlah


(42)

29 1.051,85µg (0.001 g) dari 3,70 g protein kasar hasil analisis Kjeldahl. Hasil ini menunjukkan bahwa masih banyak protein yang masih terikat dengan komponen serat pada bungkil kelapa. Dinding sel tanaman umumnya tersusun atas selulase, lignin, dan hemiselulosa. Hemiselulosa tersusun atas mannan dan xilan (Mudau, 2006). Komponen-komponen ini juga terdapat pada bungkil kelapa. Oleh karena itu, proses penghilangan komponen-komponen tersebut secara total akan mampu memudahkan proses ekstraksi protein.

D. Penentuan Profil Protein dengan Menggunakan SDS-PAGE

Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian, elektroforesis dapat digunakan untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul yang terseparasi pada gel dapat dideteksi dengan pewarnaan (Nielsen, 2003).

Seperti halnya dengan elektroforesis DNA, elektroforesis protein memungkinkan untuk memisahkan protein berdasarkan ukurannya dan memperlihatkan hasilnya. Namun, protein jauh lebih beragam dalam ukuran dan strukturnya sehingga tekniknya jauh lebih rumit. Fatmawati et al. (2006) menyebutkan bahwa elektroforesis dikatakan sebagai analisis yang ideal untuk memurnikan komponen protein dari campuran sampel dengan cara penambahan medium yang dapat mengikat protein selama elektroforesis. Metode terbaik dalam pemurnian protein dengan teknik elektroforesis adalah dengan bahan polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE).

Penentuan profil fraksi-fraksi protein bungkil kelapa, baik menggunakan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis, dilakukan dengan menggunakan SDS-PAGE. Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bollag dan Edelstein, 1991). Penentuan profil protein ini didasarkan pada seberapa jauh molekul-molekul protein bermigrasi dari titik awal elektroforesis hingga ke titik akhir elektroforesis. Semakin besar bobot molekul suatu protein, maka protein tersebut akan cenderung sulit untuk melewati gel elektroforesis sehingga akan berada dekat dengan titik awal


(43)

30 elektroforesis. Sebaliknya, semakin kecil bobot molekul suatu protein, maka protein akan memiliki laju migrasi yang cepat dalam melewati gel elektroforesis.

Poliacrylamide gels electrophoresis memisahkan molekul-molekul protein berdasarkan ukuran, muatan listrik, dan bentuk partikelnya (Pomeranz dan Meloan, 1994). Gel ini dapat dibuat dengan ukuran pori yang beragam yang ditentukan berdasarkan jumlah total senyawa akrilamid yang ditambahkan (konsentrasi gel). Ukuran pori gel akan semakin kecil seiring dengan meningkatnya konsentrasi gel sehingga hanya dapat dilewati oleh molekul protein yang memiliki bobot molekul kecil.

Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan konsentrasi gel pemisah 12,5%. Hal tersebut dikarenakan pada percobaan pendahuluan dengan menggunakan konsentrasi gel pemisah yang lebih kecil dari 12,5% menghasilkan pemisahan pita-pita protein yang kurang baik. Penentuan konsentrasi gel ini dilakukan dengan cara trial and error. Hal tersebut dikarenakan masing-masing protein memiliki karakteristik yang unik sehingga harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsentrasi gel yang paling rendah (umumnya konsentrasi gel 7%).

Protein marker digunakan untuk mengidentifikasi bobot molekul masing-masing pita dari fraksi protein. Marker protein yang digunakan adalah alpha-lactalbumine (14,4 kD), trypsinogen from bovine pancreas (24,0 kD), carbonic anhydrase from bovine erythrocytes (29,0 kD), albumin from chicken egg white (45,0 kD), BSA (66,0 kD), dan myosin from porcine muscle (205,0 kD). Kurva standar yang dihasilkan dari protein marker ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari kurva tersebut didapatkan persamaan linear Y = 2.278 – 1.158 X (R2=98,60%), dengan Y adalah log bobot molekul (BM) dan X adalah Rf (perbandingan antara panjang pita dari titik awal elektroforesis dengan jarak titik awal dan titik akhir elektroforesis). Ukuran bobot molekul suatu protein ini berguna dalam melakukan pemetaan protein (profiling protein) pada tahap selanjutnya.

Pewarnaan gel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pewarnaan menggunakan metode silver stain (pewarnaan perak nitrat). Pewarnaan silver


(44)

31

205,0 kD 

66,0 kD  45,0 kD  29,0 kD  24,0 kD  14.4 kD 

1 2 3 4 5 6 7  8 

M

stain dipilih dikarenakan pewarnaan ini memiliki sensitivitas terhadap protein yang cukup tinggi, yakni hingga 0,05µg, 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan pewarnaan menggunakan coomasie (Bollag dan Edelstein, 1991). Pewarnaan menggunaan coomasie pernah dilakukan pada percobaan pendahuluan, namun memberikan hasil yang kurang baik. Semakin tinggi konsentrasi protein suatu sampel yang dielektroforesis, pita yang dihasilkan akan tampak jelas dan tebal. Namun, apabila konsentrasi protein suatu protein rendah, pita yang dihasilkan akan tampak tipis. Oleh karena itu, loading sampel fraksi protein bungkil kelapa dilakukan dalam konsentrasi yang sama, namun dalam volume yang berbeda. Hal tersebut dilakukan agar dalam waktu yang sama, pita yang diwarnai akan memiliki intensitas warna yang sama.

 

Keterangan: 

1 – 4: albumin, globulin, glutelin, dan prolamin (non‐enzimatis)  5 – 8: albumin, globulin, glutelin, dan prolamin (enzimatis) 

Gambar 9. Hasil SDS-PAGE fraksi-fraksi protein bungkil kelapa

Hasil SDS-PAGE fraksi protein bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 9. Dari hasil SDS-PAGE, tampak bahwa semua fraksi protein menunjukkan pita-pita yang terpisah. Fraksinasi non-enzimatis protein memunculkan pita-pita protein yang lebih jelas pada semua fraksi protein dibandingkan dengan pita-pita protein hasil fraksinasi enzimatis. Kemungkinan yang terjadi adalah di dalam ekstrak kasar enzim mannanase terkandung enzim protease internal yang dihasilkan oleh mikroba yang


(45)

32 memfermentasi bungkil kelapa selama proses produksi enzim, sehingga sebagian protein yang terbebaskan menjadi terhidrolisis menjadi asam-asam amino. Asam-asam amino memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga apabila dilakukan elektroforesis, asam-asam amino tersebut akan lolos dari gel elektroforesis.

Tabel 6. Pemetaan fraksi-fraksi protein bungkil kelapa (protein profiling) BM (kD) Metode Non-enzimatis Metode Enzimatis

ALB GLB GLT PRO ALB GLB GLT PRO

14,4 – 24,0 - V - v - - - v

24,1 – 29,0 v V v - v v v -

29,1 – 45,0 v v v - - v v -

45,1 – 66,0 v v v v v v v v

66,1 – 97,4 v v v v v v v v

97,5 – 205,0 - v - - v v - -

Keterangan: albumin (ALB), globulin (GLB), glutelin (GLT), dan prolamin (PRO).

Tabel 6 menunjukkan perbandingan range bobot molekul fraksi-fraksi protein, sebelum menggunakan enzim dan sesudah menggunakan enzim, hasil karakterisasi SDS-PAGE. Karakterisasi menggunakan range bobot molekul, bukan bobot molekul saja, dilakukan karena pita-pita yang dihasilkan dari hasil SDS-PAGE sangat banyak, beragam, dan saling berdekatan. Pita-pita protein yang saling berdekatan (disebut sebagai doublet) mengindikasikan bahwa protein tersebut memiliki kesamaan struktur asam-asam amino, namun salah satu diantaranya memiliki ekstra residu asam amino sehingga menyebabkan posisi pitanya sedikit berbeda (Laemmli, 1970).

Profil albumin dengan metode non-enzimatis berbeda dengan profil albumin dengan metode enzimatis. Pada metode non-enzimatis, albumin memiliki 4 variasi range bobot molekul, yakni 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Pada metode enzimatis, albumin juga memiliki 4 variasi range bobot molekul, namun range 29,1-45,0 kD tidak muncul dan digantikan dengan munculnya range albumin baru, yakni 97,5-205,0 kD. Pedroche (2005) menyebutkan bahwa chickpea memiliki protein


(46)

33 albumin yang berukuran 44,0 dan 46,4 kD. Sedangkan Singh et al. (2001) menyebutkan bahwa albumin pada gandum memiliki memiliki bobot molekul 54,0-60,0; 62,0; dan 64,0 kD. Hasil tersebut menunjukkan adanya kesamaan dengan range bobot molekul albumin hasil percobaan.

Hal yang serupa terjadi pada fraksi protein globulin. Dengan metode non-enzimatis, globulin memiliki 6 variasi range bobot molekul, yakni 14,4-24,0 kD; 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; 66,1-97,4 kD; dan 97,5-205,0 kD. Pada metode non-enzimatis, range bobot molekul 97,5-97,5-205,0 kD merupakan range bobot molekul yang hanya dimiliki oleh protein globulin yang membedakan dengan jenis-jenis protein lainnya. Dengan metode enzimatis, globulin kehilangan satu variasi range bobot molekul, yakni 14,4-24,0 kD. De-Bao et al. (2009) menyebutkan bahwa protein globulin yang terdapat pada kedelai berkisar antara 18,0-20,0 kD; 35,0-40,0 kD; dan 60,0 kD. Sedangkan Denavi et al., (2009) menyebutkan bahwa ukuran protein globulin kedelai adalah 20,0; 35,0; 52,0; 72,0; dan 94,0 kD. Pada kacang merah ditemukan protein globulin yang berukuran 25,0; 28,0; dan 55,0 kD (Meng et al., 2003). Protein globulin pada beras memiliki ukuran bobot molekul 22,9; 26,9; 37,9; 53,7; 97,7; dan 104,7 kD (Agboola et al., 2005). Globulin pada gandum memiliki ukuran berat molekul 21,0-25,0; 38,0; dan 39,0 kD (Singh et al., 2001).

Ketidakmunculan atau munculnya range bobot molekul baru merupakan akibat adanya perlakuan enzimatis. Hilangnya satu variasi pada albumin dan globulin disebabkan adanya enzim protease internal dari ekstrak kasar mannanase yang mendegradasinya menjadi protein-protein yang berukuran lebih kecil atau menjadi asam-asam amino. Sedangkan munculnya satu variasi baru pada albumin yang berberat molekul besar disebabkan oleh terlepasnya protein yang terikat oleh mannan akibat perombakan enzimatis oleh mannanase. Selain itu, umumnya protein albumin memiliki ukuran bobot molekul antara 14,4 kD (laktalbumin) – 66 kD (BSA). Namun, ditemukan pula protein albumin yang memiliki range bobot molekul yang lebih besar dari 97,5 kD. Kemungkinan yang terjadi adalah terbentuknya kompleks antar


(47)

34 molekul protein albumin sehingga bobot molekul protein tersebut menjadi meningkat.

Glutelin memiliki jumlah variasi range bobot molekul yang sama, baik dengan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis, yakni 4 macam variasi range bobot molekul: 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Variasi range ini mirip dengan variasi range albumin dengan metode non-enzimatis. Menurut Agboola et al. (2005), protein glutelin pada beras memiliki bobot molekul 5,9; 12,7; 21,4; 29,5; dan 39,8 kD. Sedangkan Malumba et al. (2008) melaporkan bahwa protein glutelin pada jagung memiliki bobot molekul 13,0; 17,0; 22,0; dan 24,0 kD.

Sedangkan prolamin memiliki 3 macam variasi range bobot molekul, baik menggunakan metode non-enzimatis maupun enzimatis, yakni 14,4-24,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Pada metode enzimatis, range bobot molekul 14,4-24,0 kD merupakan karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh prolamin sehingga membedakannya dari jenis-jenis protein lainnya. Menurut Agboola et al. (2005), protein prolamin pada beras memiliki ukuran bobot molekul 12,8; 37,7; 43,7; 45,3; 49,0; dan 105,2 kD. Sedangkan prolamin pada jagung memiliki bobot molekul 22,0 dan 24,0 kD (Malumba et al., 2008).

Keseluruhan fraksi protein memiliki range bobot molekul yang bervariasi, namun ditemukan ada range bobot molekul yang sama yakni pada range 45,1 – 66,0 kD dan 66,1 – 97,4 kD. Meskipun memiliki range bobot molekul yang sama, masing-masing protein tersebut memiliki kelarutan yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada bungkil kelapa ditemukan protein albumin, globulin, glutelin, dan prolamin dengan range bobot molekul yang sama.


(48)

35

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Proses fraksinasi terhadap protein bungkil kelapa telah berhasil dilakukan, baik dengan menggunakan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis. Berdasarkan kelarutannya, ditemukan empat jenis protein yang terdapat dalam bungkil kelapa, yakni albumin, globulin, glutelin, dan prolamin. Sehingga dapat dikatakan bahwa bungkil kelapa memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi permintaan akan protein.

Fraksinasi menggunakan air menghasilkan protein albumin sebesar 296,30 µg/g bungkil (28,17%) dengan menggunakan metode enzimatis. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode non-enzimatis yang menghasilkan albumin sebesar 37,04µg/g bungkil (6,64%). Larutan garam encer digunakan untuk mendapatkan protein globulin dalam fraksinasi. Sebanyak 414,81µg/g bungkil (39,44%) berhasil didapatkan dengan menggunakan metode enzimatis. Sedangkan metode non-enzimatis menghasilkan protein globulin yang lebih rendah, yakni 218,98µg/g bungkil (39,25%). Glutelin didapatkan dari hasil fraksinasi menggunakan larutan basa encer. Metode enzimatis menghasilkan jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode non-enzimatis, namun persentasenya menurun (berturut-turut 85,19µg/g bungkil (15,27%) dan 114,81µg/g bungkil (10,91%)). Fraksinasi terakhir dilakukan menggunakan campuran alkohol dengan air yang dikombinasikan dengan aseton untuk mendapatkan protein prolamin. Metode enzimatis menghasilkan jumlah prolamin yang lebih tinggi namun dengan persentase yang menurun, yakni 216,67µg/g bungkil (38,84%), dibandingkan dengan metode non-enzimatis, yakni 225,93µg/g bungkil (21,48%). Secara keseluruhan, fraksinasi menggunakan metode enzimatis menghasilkan jumlah protein yang lebih tinggi (p≤0,05) dibandingkan dengan metode non-enzimatis.

Hasil karakterisasi masing-masing fraksi protein menunjukkan adanya keberagaman range ukuran bobot molekulnya. Namun, di balik keberagaman


(49)

36 tersebut ditemukan adanya kesamaan range ukuran bobot molekul pada kesemua jenis fraksi protein, yakni pada range 45,1 – 66,0 kD dan 66.1 – 97,4 kD. Meskipun memiliki range bobot molekul yang sama, protein-protein tersebut memiliki sifat-sifat kelarutan yang berbeda.

B. SARAN

Penelitian ini merupakan tahapan penelitian awal untuk mendapatkan fraksi protein sebagai ingridient pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan fraksi albumin, globulin, glutelin, dan prolamin yang lebih murni sehingga mampu mendapatkan jumlah pita yang sedikit ketika dilakukan SDS-PAGE.

1. Perlu dilakukan fraksinasi lanjutan untuk memperbaiki teknik fraksinasi yang telah dilakukan, baik dengan cara fisika, kimia, mikrobiologi, atau pengkombinasian dari cara-cara tersebut, untuk meningkatkan jumlah protein yang terekstrak.

2. Diperlukan metode tambahan seperti dengan kromatografi kolom pertukaran ion sehingga akan didapatkan fraksi protein yang lebih murni dan data dasar yang lebih meyakinkan untuk dapat diproduksi secara massal.

3. Perlu diteliti penggunaan campuran enzim pendegradasi serat yang lebih spesifik selain mannanase, seperti xilanase, ligninase, selulase, dan pektinase, sebelum proses fraksinasi bungkil kelapa dilakukan sehingga protein yang terekstrak semakin besar jumlahnya.

4. Perlu menjadi perhatian, bahwa enzim yang digunakan harus benar-benar murni dan terutama bebas dari protease dikarenakan protease justru akan menghidrolisis protein-protein yang telah bebas menjadi asam-asam amino yang sebenarnya tidak diharapkan.


(50)

37

DAFTAR PUSTAKA

Adebiyi, AP, Adebiyi, AO, Hasegawa, Y, Ogawa, T, dan Muramoto, K. 2009. Isolation and characterization of protein fractions from de-oiled rice bran. J. Eur. Food Research and Technol. 228(3): 391-401.

Agboola, S, Ng, D, dan Mills, D. 2005. Characterisation and functional properties of Australian rice protein isolates. J. Cereal Sci. 41: 283-290.

Allorerung, D, Mahmud, Z, dan Prastowo, B. 2008. Peluang kelapa untuk pengembangan produk kesehatan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(4), 2008: 298-315.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th edition. Assosiation of Analytical Chemistry. Washington D.C.

APCC. 2005. Coconut Statistical Yearbook. Asian and Pacific Coconut Community.

Bank Indonesia. 2007. Pola Pembiayaan Usaha kecil (PPUK) industri pengolahan minyak kelapa. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/95E6E932-0971-4D2E-A932-FEA785D90C40 /15950/IndustriPengolahanMinyakKelapa. pdf. [Diakses tanggal 27 Agustus 2009].

Bank Indonesia. 2009. Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor : Informasi Kopra. http://www.bi.go.id/sipuk/id/siabe/industri/?id=3&no= 301&job=4&id_pohon=PABC&id_propinsi=14&nama_komoditi=Kopra &nama_propinsi=Riau. [Diakses tanggal 27 Agustus 2009].

Baxter, G, Blanchard, C, dan Xhao, J. 2004. Effects of prolamin on the textural and pasting properties of rice flour and starch. J. Cereal Sci. 40: 105-211 Bollag, D.M. dan Edelstein, S.J. 1991. Protein Methods. Wiley-Liss, Inc. USA. Chan, E dan Elevitch, C.R. 2006. Traditional tree initiative – species profiles for

pacific island agroforestry : Cocos nucifera (coconut). Hawaii-USA. Permanent Agriculture Resources.

Chun, L, Hongling, W, Zhumei, C, Xiaoling, H, Xiansheng, W, Xiaoxiong, Z, dan Hao, M. 2007. Optimization of extraction and isolation for 11S and 7S globulins. J. Food Chem. 102: 1310-1316.


(51)

38 Dairo, F.A.S dan Fasuyi, A.O. 2008. Evaluation of fermented palm kernel meal and fermented copra meal proteins as substitute for soybean meal protein in laying hens diets. J. Cent. Eur. Agric. 9(1): 35-44.

Damanik, S. 2007. Strategi pengembangan agribisnis kelapa (Cocos nucifera) untuk meningkatkan pendapatan petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Perspektif. 6(2): 94-104.

De-Bao, Y, Xiao-Quan, Y, Chuan-He, T, Zhi-Xiong, Z, Wei-Min, I.A, dan Shou-Wei, Y. 2009. Physicochemical and functional properties of acidic and basic polypeptides of soy lycinin. Food Research Int’l. 42: 700-706. Denavi, G, Tapia-Blacido, D.R, Anon, M.C, Sobral, P.J.A, Mauri, A.N,

Menegalli, F.C. 2009. Effects of drying conditions on some physical properties of soy protein films. J. Food. Eng. 90: 341-349.

Departemen Perdagangan RI. 2006. Perkembangan Komoditi Kelapa dan Kerjasama Melalui Asian and Pacific Coconut Community. ditjenkpi.depdag.go.id/.../4/APCC_-_BUKU20060109114808.doc.

[Diakses tanggal 22 April 2010].

El Nasri, N.A dan El Tinay, A.H. 2007. Functional properties of fenugreek (Trigonella foenum graecum) protein concentrate. J. Food Chem. 103: 582-589.

FAO Statistic Division. 2009. Production of Coconut in Indonesia. http://faostat.fao. org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor. [Diakses tanggal 27 Agustus 2009].

Fatmawati, U, Suranto, dan Sajidan. 2006. Ekspresi protein pada mikroorganisme resisten logam berat Cr dengan metode elektroforesis.

http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/suranto-ekspresi-protein.pdf. [Diakses tanggal 4 Maret 2010].

Istianandar, F.R, Lapau, F, Julianto, A, Iradamayanti, N. 2009. Optimalisasi potensi kelapa dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Desa Pudonggala, Sulawesi Tenggara. http://www.scribd.com/doc/18351706/ PKMI-ISI?secret_password=&autodown=pdf#. [Diakses tanggal 15 Maret 2010].


(52)

39 Kensch, O. 2008. Mannanase engineering for fiber degradation. Speciality

Chemicals Magazines. www.specchemonline.com. Laemmli, U.K. 1970. SDS PAGE. Nature 227:680-685.

Lie-Fen, S, Tuan-Nan, W, dan Ching-San, C. 1994. Purification and Characterization of rice prolamins. Bot. Bull. Acad. Sin. 35: 65-71.

Malumba, P, Vanderghem, C, Deroanne, C, dan Bera, F. 2008. Influence of drying temperature on the solubility, the purity of isolates and the electrophoretic patterns of corn proteins. J. Food Chem. 111: 564-572. Meng, G, Ma, C.Y, dan Phillips, D.L. 2003. Raman spectroscopic study of

globulin from Phaseolus angularis (red bean). J. Food Chem. 81: 411-420.

Miskiyah, Mulyawati, I, dan Haliza, W. 2006. Pemanfaatan ampas kelapa limbah pengolahan minyak kelapa murni menjadi pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Mudau, M. M. 2006. The Production, Purification and Characterization of Endo-1,4- -Mannanase from Newly Isolated Strains of Scopulariopsis candida. Disssertation. Dept. of Microbial, Biochemical, and Food Biotechnology. University of Free State. South Africa.

Nielsen, S.S. 2003. Food Analysis. 3rd Edition. Plenum Publisher, New York. Pedroche, J, Yust, M.M, Lqari, H, Megi’as, C, Giro’n-Calle, J, Alaiz, M, Milla’n,

F, dan Vioque, J. 2005. Chickpea pa2 albumin binds hemin. J. Plant Sci. 168: 1109-1114.

Pinciroli, M, Vidal, A.A, Anon, M.C, dan Martinez, E.N. 2009. Comparison between protein functional properties of two rice cultivar. LWT-Food Sci. And Technol. 42: 1605-1610.

Pomeranz, Y dan Meloan, C.L. 1994. Food Analysis: Theory and Practice. 3rd ed. Chapman and Hall an International Thomson Publ. Co, New York.

Ragab, D.M, Babiker, E.E., dan Eltinay, A.H. 2004. Fractionation, solubility, and functional properties of cowpea (Vigna unguiculata) proteins as affected by pH and/or salt concentration. J. Food Chem. 84: 207-212.


(1)

49

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

BOBOT FRAKSI HASIL FRAKSINASI 

  FRAKSI PROTEIN  N  Subset for alpha = 0.05 

1  2  3  4  5  6  7  8 

Duncana 

ALBUMIN NON  3  37.0370    

GLUTELIN NON  3   85.1852    

GLUTELIN ENZ  3   1.1481E2    

PROLAMIN NON  3   2.1667E2    

GLOBULIN NON  3   2.1898E2    

PROLAMIN ENZ  3   2.2593E2    

ALBUMIN ENZ  3   2.9630E2    

GLOBULIN ENZ  3   4.1481E2    

TOTAL PROTEIN  NON 

3   

5.5787E2   

TOTAL PROTEIN  ENZ 

   

1.0519E3

Sig.    1.000 1.000 1.000 .311 1.000 1.000  1.000  1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(2)

50

Lampiran 6. Hasil Uji

T-test

Fraksi Albumin

T-Test

Paired Samples Statistics 

   

Mean  N  Std. Deviation  Std. Error Mean  Pair 1  BOBOT ALBUMIN NON ENZIMATIS  37.0370 3 3.20753  1.85187

BOBOT ALBUMIN ENZIMATIS  2.9630E2 3 6.41500  3.70370

Paired Samples Correlations 

   

N  Correlation  Sig.  Pair 1  BOBOT ALBUMIN NON ENZIMATIS & 

BOBOT ALBUMIN ENZIMATIS 

3 1.000 .000

Paired Samples Test 

    Paired Differences 

t  df  Sig. (2‐ tailed)

   

Mean 

Std.  Deviation 

Std. Error  Mean 

95% Confidence Interval of  the Difference     

Lower  Upper  Pair 

BOBOT ALBUMIN  NON ENZIMATIS ‐  BOBOT ALBUMIN  ENZIMATIS 


(3)

51

Lampiran 7.Hasil Uji

T-test

Fraksi Globulin

T-Test

Paired Samples Statistics 

   

Mean  N  Std. Deviation  Std. Error Mean  Pair 1  BOBOT GLOBULIN NON ENZIMATIS  2.1898E2 3 13.79221 7.96293

BOBOT GLOBULIN ENZIMATIS  4.1481E2 3 12.82999 7.40740

Paired Samples Correlations 

   

N  Correlation  Sig.  Pair 1  BOBOT GLOBULIN NON ENZIMATIS & 

BOBOT GLOBULIN ENZIMATIS 

3 ‐.500 .667

Paired Samples Test 

    Paired Differences 

t  df  Sig. (2‐ tailed)

   

Mean 

Std.  Deviation 

Std. Error  Mean 

95% Confidence Interval of  the Difference 

    Lower  Upper 

Pair  1 

BOBOT GLOBULIN  NON ENZIMATIS ‐  BOBOT GLOBULIN  ENZIMATIS 


(4)

52

Lampiran 8. Hasil Uji

T-test

Fraksi Glutelin

T-Test

Paired Samples Statistics 

   

Mean  N  Std. Deviation  Std. Error Mean  Pair 1  BOBOT GLUTELIN NON ENZIMATIS  85.1852 3 6.41500  3.70370

BOBOT GLUTELIN ENZIMATIS  1.1481E2 3 6.41500  3.70370

Paired Samples Correlations 

   

N  Correlation  Sig.  Pair 1  BOBOT GLUTELIN NON ENZIMATIS & 

BOBOT GLUTELIN ENZIMATIS 

3 .500 .667

Paired Samples Test   

Paired Differences 

t  df  Sig. (2‐ tailed)  Mean 

Std.  Deviation 

Std. Error  Mean 

95% Confidence Interval of  the Difference  Lower  Upper  Pair 

BOBOT GLUTELIN  NON ENZIMATIS ‐  BOBOT GLUTELIN  ENZIMATIS 


(5)

53

Lampiran 9. Hasil Uji

T-test

Fraksi Prolamin

T-Test

Paired Samples Statistics 

   

Mean  N  Std. Deviation  Std. Error Mean  Pair 1  BOBOT PROLAMIN NON ENZIMATIS  2.1667E2 3 7.21688  4.16667

BOBOT PROLAMIN ENZIMATIS  2.2593E2 3 6.41500  3.70370

Paired Samples Correlations 

   

N  Correlation Sig.  Pair 1  BOBOT PROLAMIN NON ENZIMATIS & 

BOBOT PROLAMIN ENZIMATIS 

3 ‐.500 .667

Paired Samples Test     

Paired Differences 

t  df  Sig. (2‐ tailed)    

Mean 

Std.  Deviation 

Std. Error  Mean 

95% Confidence Interval of  the Difference     

Lower  Upper  Pair 

BOBOT PROLAMIN NON  ENZIMATIS ‐ BOBOT  PROLAMIN ENZIMATIS 


(6)

54

Lampiran 10. Kurva Standar

Marker

SDS-PAGE

Log BM = a + b (Rf)

Lampiran 11. Bobot Molekul Fraksi Protein Hasil Fraksinasi (kD)

Non-enzimatis Enzimatis

ALB GLB GLT PRO ALB GLB GLT

PRO

26.6 18.3 27.9

17.5 25.4 27.9 25.4

17.5

32.1 21.0 32.1

19.2 27.9 29.2 27.9

19.2

64.7 27.9 35.2

64.7 64.7 33.6 35.2

64.7

74.4 30.6 36.9

74.4 74.4 40.5 36.9

74.4

78.0 33.6 40.5

78.0 78.0 46.6 42.5

78.0

36.9

44.5

108.2

64.7

46.6

38.7

53.6

74.4

58.9

42.5

58.9

78.0

64.7

46.6

64.7

94.0

74.4

48.8

74.4

108.2

78.0

53.6

78.0

58.9

61.7

64.7

74.4

78.0

81.7

85.6

108.2

Length

6

Log BM

Rf

1.15 0.983

1.38 0.817

1.46 0.700

1.65 0.483

1.82 0.367

2.31 0.017

y = -1,158x + 2,278

R² = 0,986

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200

log B

M