Konflik Identitas Peran Muslimah Dalam Keluarga (Analisis Naratif Pada Film Hijab Karya Hanung Bramantyo)

(1)

NARATIF PADA FILM HIJAB KARYA HANUNG BRAMANTYO)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Ahmad Sahroji

NIM: 1110051000222

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M


(2)

KELUARGA (ANALISIS NARATIF PADA FILM HIJAB KARYA

HANUNG BRAIVIANTY0)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarfana Komunikasi Islam (S.Kom,I)

Oleh

Ahmad Sahroji NIM: 1110051000222

Disetujui oleh Dosen Pembimbi

Racyma

t B -va4,_DekA

NIP. f9762129 200912 1 001

JURUSAN KOIVIUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

Ahmad Sahroji (1110051000222)

Konflik Identitas Peran Muslimah dalam Keluarga (Analisis Naratif pada Film Hijab karya Hanung Bramantyo)

Konsep hak pada dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan wanita mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian bahwa laki-laki dilebihi dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dalam fitrahnya. Dalam film hijab menggambarkan bagaimana peranan seorang muslimah (istri) dalam sebuah rumah tangga. Peran yang dimaksud menyangkut hak dan kewajiban dalam keluarga. Film ini mengangkat isu terkait peranan seorang muslimah (istri) yang seringkali bergesekan dengan norma yang telah ditetapkan dalam syari‟at (aturan agama).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan mayor yaitu Bagaimana analisis alur narasi awal, tengah, dan akhir cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo? Dan menganalisis temuan terkait konflik identitas peran muslimah dalam keluarga pada film Hijab.

Film merupakan karya seni yang diproduksi secara kreatif dan mengandung suatu nilai baik positif maupun negatif, sehingga mengandung suatu makna yang sempurna. Namun, terkadang makna yang terkandung dalam film tersebut kurang disadari oleh para penonton pada umumnya. Film Hijab bukanlah film yang bertema religi melainkan merupakan sebuah film drama komedi Indonesia yang mengangkat isu wanita yang beredar di masyarakat dan menggambarkan karakter-karakter wanita berhijab di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang tengah diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis deskriptif. Mendefinisikan metodologi sebagai mekanisme penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati oleh peneliti.

Teori yang digunakan adalah analisis narasi (narrative analysis) model Tvzetan Todorov, memiliki tiga alur waktu cerita, yaitu alur cerita awal, tengah, dan akhir. Tvzetan Todorov; mengatakan bahwa semua cerita dimulai dengan „keseimbangan‟ di mana beberapa potensi pertentangan berusaha „diseimbangkan‟ pada suatu waktu. Teorinya mungkin terdengar seperti klise bahwa semua cerita punya awal, pertengahan dan sebuah akhir. Ide keseimbangan menandai sebuah keadaan, dalam sebuah cara-cara tertentu. Subjek penelitian ini adalah film Hijab karya Hanung Bramantyo, sedangkan objek penelitian ini adalah potongan adegan visual ataupun narasi dialog dalam film Hijab.

Berdasarkan hasil analisis peneliti menemukan beberapa poin terkait konflik identitas peran muslimah dalam keluarga diantaranya: 1. kewajiban Sari untuk patuh kepada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh norma agama; 2. kewajiban berhijab sesuai aturan agama, baik untuk sari maupun keluarga dekatnya; 3. menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan baik, hemat dan bijaksana; 4. berhias diri untuk menyenangkan suami; 5. hak mendapatkan nafkah; 6. menjalankan bisnis butik Meccanism tanpa seizin suami; 7. Peranan istri dalam memenuhi nafkah keluarga; 8. memutuskan untuk menjadi wanita karir; 9. Tata melalaikan kewajibannya mengurus anak.


(6)









Alhamdulillahi Rabbil „alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas pentunjuk dan pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di Kampus tercinta, akhirnya penulis bisa dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan, dan Dr. Suhami, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita Fathurokhmah, SS, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.


(7)

motivasi, pandangan filosofis, baik yang kaitannya dengan skripsi maupun ilmu-ilmu lain yang sangat lekat di dalam kepala dan hati penulis.

4. Dosen Penasihat Akademik KPI G 2010, Drs. Studi Rizal LK, MA yang juga turut memberi masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.

6. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dan perpustakaan Galeri Watoe Ireng.

7. Kepada orang tua penulis, Bapak Udin (alm) yang diberikan waktu dua puluh satu tahun oleh Tuhan untuk menemani penulis, semoga Allah mengampuni dosanya. Serta kepada Ibu Kasturi, terimakasih untuk bersabar.

8. Terima kasih kepada kakak dan adik penulis, Rohiman Sunandar, A.md, Sudrajat, S. Sos.i, Siti Nurhalimah, yang tak lain menjadi tempat meletakkan kejenuhan. Menjadi orang-orang pemberi kekuatan magis ketika kehidupan tidak sejalan dengan idealisme.

9. Terima kasih kepada saudara penulis Riesta Tara Dewi, Dina Rosdiana, dan Bagus Priambodo yang telah banyak memberi support kepada penulis baik moril maupun materil. 10. Terimakasih kepada Novia Chairunnisa yang telah banyak memberikan dukungan yang cukup intens kepada penulis, baik yang bersifat permanen maupun temporer, materi maupun moril.

11. Kepada sahabat-sahabat KPI G Pestol (Pemuda Stok Lama) 2010 yang melukis sejarah kehidupan penulis dengan tinta pemikiran, ideologi, dialektika, keniscayaan, idealisme,


(8)

rajin, pujian, hinaan, tanggung jawab, apatis, keteguhan, pemberontakan adalah seperti tumpukkan arsip yang menjadi mata kuliah berharga bagi penulis.

12. Terima kasih kepada kelompok KKN KINOPERA yang sempat memberikan pengalaman menarik dan memberikan support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Terima kasih kepada keluarga besar Detak Group, khususnya redaksi Detaktangsel.com, Pak Gozali, Bang Eko, Mas Dani, Mbah Dedi, Mba Novi, dan teman-teman wartawan lain, yang banyak memberi ilmu dan pengalaman kepada penulis.

14. Terima kasih kepada keluarga besar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kota Depok, Bang Hendri, Bang Maulana, Bang Haji, Bang Iskandar, Bang Arif Muluk, dan teman-teman lain, yang banyak menginspirasi penulis untuk menjadi lebih baik.

15. Terimakasih kepada keluarga besar Galeri Watoe Ireng, Black Coffee Gallery, Youth Food Movement, dan Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI).

16. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Depok, 20 September 2016


(9)

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

1. Batasan Masalah ... 6

2. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Akademis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

E. Kerangka Teori ... 8

1. Pengertian Narasi ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 9

1. Paradigma Penelitian ... 9

2. Pendekatan Penelitian ... 10

3. Subjek dan Objek Penelitian ... 10

4. Teknik Pengumpulan Data ... 10

5. Teknik Analisis Data ... 12

6. Pedoman Penulisan Skripsi ... 12

G. Tinjauan Pustaka ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Analisis Naratif ... 15

1. Beberapa Bentuk Khusus Narasi ... 19

2. Sekilas Tentang Tvzetan Todorov ... 20


(10)

1. Jenis dan Klasifikasi Film ... 29

C. Peran Istri Menurut Pandangan Islam ... 44

BAB III GAMBARAN UMUM A. Film Hijab Karya Hanung Bramantyo ... 52

B. Sinopsis Film Hijab ... 55

C. Tanggapan Film Hijab ... 56

1. Riwayat Kontroversi Film Hanung Bramantyo ... 58

D. Produksi Film Hijab ... 63

1. Sutradara Film Hijab ... 63

2. Data dan Tim Produksi ... 67

3. Tokoh Pemeran Film Hijab ... 69

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Alur Awal Cerita ... 75

B. Alur Tengah Cerita ... 87

1. Distruption ... 87

2. Complication ... 94

3. Kesadaran Terjadinya Gangguan ... 101

4. Klimaks ... 103

5. Upaya Memperbaiki Gangguan ... 107

C. Alur Akhir Cerita ... 108

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(11)

Gambar 2.1. Diagram Alur Film ... 22

Gambar 2.2. Skema Pembagian Tiga Waktu dalam Narasi ... 26

Gambar 2.3. Tabel Perbandingan Struktur Narasi Menurut Sejumlah Ahli .... 26


(12)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

.Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebaran ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas dan media budaya yang melukiskan kehidupan manusia serta kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat.1

Jika melihat perjalanan film di Indonesia sejak film pertama diproduksi di bumi pertiwi yakni pada tahun 1926 sampai 2006, belum ada industri film di Indonesia. Syarat berjalannya sebuah industri film adalah terjalin utuhnya ketiga rantai pembentuk industri film, yaitu rantai produksi, rantai distribusi dan rantai ekshibisi.2 Rantai produksi film meliputi semua pekerjaan, mulai dari pemilihan ide cerita hingga film selesai dibuat dan siap didistribusikan. Termasuk dalam rantai produksi adalah semua kru, perusahaan pembiayaan/investor, rumah produksi dan perusahaan penyewaan alat. Rantai distribusi adalah semua pekerjaan penyebarluasan film untuk dinikmati penonton di bioskop. Dalam rantai ini, perusahaan distribusi film atau distributor memainkan peran utama yakni menyalurkan film dari produsen ke jaringan bioskop, televisi dan home video

1

M Ariansah, Gerakan Sinema Dunia (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2014), h. 7.

2


(13)

(DVD dan VCD). Rantai ekshibisi adalah semua pekerjaan menayangkan film di bioskop oleh jaringan bioskop. Dalam rantai ini, kelompok-kelompok bioskop dengan ribuan layarnya menjadi ujung tombak agar output rantai produksi dapat dinikmati oleh para pecinta film bioskop.3

Pada saat ini beberapa sinetron maupun film seringkali terlihat bersentuhan dengan unsur islam, hal tersebut sejurus dengan berkembangnya hijab sebagai sebuah fesyen yang disejajarkan dengan budaya popular lainnya. Para tokoh protagonis menggunakan kerudung, tokoh Pak Haji dan Bu Haji (kadang baik kadang jahat), masjid menjadi tempat sentral, serta pengucapan kata-kata khas umat Islam seperti astaghfirullah, subhanallah, alhamdulillah dan semacamnya. Meski ada polesan Islami, konflik yang dihadirkan tetap berkutat dengan urusan perebutan cinta, harta warisan dan permasalahan anak.

Pergulatan hubungan film dan agama harus menjadi catatan tersendiri. Konten Islami mulai bermunculan di banyak film Indonesia dan menjadi film terlaris. Dipelopori oleh Kiamat Sudah Dekat (Deddy Mizwar, 2002), selanjutnya judul Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008), menjadi salah satu film terlaris pada genre ini. Film lain adalah Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam, 2009), Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2009), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2009) dan Negeri Lima Menara (Affandi Abdul Rahman, 2012). Sebagian besar film-film tersebut berhasil menjadi film terlaris. Presiden SBY dan beberapa pejabat negara turut menonton film-film semacam itu di bioskop. Untuk

3

Gerzon R. Ayawaila, DKK, Penyemaian Industri Perfilman Indonesia (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013), h. 113.


(14)

pertama kalinya politisi memasuki ranah film demi popularitas di mata konstituen mereka.4

Film dan agama tidak saja bersinergi secara manis, namun membuahkan cerita pahit kekerasan. Setelah berhasil diredam oleh Soeharto sepanjang Orde Baru berkuasa, kelompok Islam radikal berusaha mengambil posisi dalam politik. Kekuatan mereka semakin dominan dalam melakukan penghakiman terhadap film Indonesia lewat protes gugatan ke pengadilan ataupun semacam ancaman dengan unjuk rasa serta lewat pernyataan para pemimpin kelompok agama.5

Film religi dalam perkembangannya menggunakan ikon hijab tidak hanya sebatas visualisasi dari identitasi perempuan Islam belaka. Film atau sinetron yang sebenarnya exspresi dari sebuah hiburan, mampu pula membawa pesan-pesan moral. Sehingga keberadaan jilbab sudah tidak asing lagi kita dapatkan disekitar kita.

Salah satu film bergenre religi yang ialah film Hijab karya Hanung Bramantyo yang dirilis 15 Januari 2015 lalu, film garapan sutradara kondang tersebut bercerita tentang empat wanita yang mengadu peruntungan di dunia bisnis busana muslimah. Beragam konflik indentitas peran muslimah dalam sebuah keluarga juga dihadirkan dalam film berdurasi 100 menit ini.

Sentuhan persahabatan, fesyen, dan percintaan turut menambah asyiknya jalan cerita film Hijab. Untuk pertama kalinya Hanung Bramantyo memproduksi sendiri filmnya di bawah bendera rumah produksi Dapur Film yang dimilikinya,

4

Garin Nugroho dan Dyna Herlina S, Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013), h. 386.

5


(15)

bekerja sama dengan Ampuh Entertainment. Selain dirinya sendiri sebagai sutradara sekaligus produser film teranyar yang berjudul Hijabitu, sang istri Zaskia Mecca, dan adik iparnya Haikal Kamil juga ikut membantu sebagai produser bersama dalam debut proyek film tersebut.

Tiga hari pasca ditayangkannya film Hijab di berbagai bioskop Tanah Air, muncullah beragam kontroversi. Salah satunya kritik pedas yang dilontarkan putri Amien Rais, Hanum Salsabila Rais, penulis buku Berjalan di Atas Cahaya dan 99 Cahaya di Langit Eropa yang kemudian diadaptasi menjadi film 99 Cahaya di Langit Eropa dan 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2. Menurutnya film yang berkisah soal kumpulan perempuan-perempuan yang berhijab dan berbisnis butik muslim itu dituding tidak merepresentasikan muslimah yang sebenarnya. Bahkan Hanum menyebut Hanung sebagai anggota Jaringan Islam Liberal (JIL) karena menggarap film yang “nyiyir” terhadap agama Islam.6

Selain itu Hanum juga menkritik soalmotivasi ketiga tokoh perempuan dalam menggunakan hijab. Zaskia Adya Mecca (Sari Gumilang) karena takut pada suami. Di lain pihak ada juga yang mengenakan hijab karena ingin menutupi kekurangan tubuh, seperti Tika Brivana (Tata). Mungkin pula ada sebagaian muslimah yang mengenakan hijab karena terjebak keadaan, seperti tinggal di lingkungan pesantren atau tidak sengaja pakai hijab demi menghormati peserta yang mengikuti sesi ESQ seperti yang dialami Carissa Puteri (Bia).

6 “Riwayat Kontroversi Film

-Film Hanung Bramantyo”, CNN Indonesia, 23 Januari 2015, diakses pada 12 April 2016 dari http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150123133015-220-26838/riwayat-kontroversi-film-film-hanung-bramantyo/2


(16)

Pada bagian lain di film Hijab yang tak kalah menimbulkan pertanyaan adalah terkait pernyataan Gamal (diperankan Mike Lucock) yang mengatakan larangan haram bekerja kepada istrinya Sari (diperankan Zaskia Adya Mecca) dan menekankan kewajiban istri seperti mencuci pakaian, masak, mengurus anak dan rumah. Timbul kerancuan dalam konflik tersebut terkait identitas dan peran seorang muslimah dalam keluarga. Padahal dalam surat al Baqarah ayat 228 Allah sudah menerangkan kedudukan di antara keduanya.

                      

Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya, dan Allah Maha perkasa lagi Mahabijaksana.”(QS Al Baqarah [2]: 228)

Ayat ini menetapkan bahwa wanita mempunyai hak sebagaimana mereka mempunyai kewajiban. Ini berarti setiap hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki. Dengan demikian maka hak mereka seimbang. Dan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini bukanlah kesamaan wujud sesuatu dan karakternya, tetapi yang dimaksud adalah bahwa hak-hak antara mereka itu saling mengganti dan melengkapi. Maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh wanita untuk suaminya melainkan si suami juga harus melakukan suatu perbuatan yang seimbang untuknya.7

Film tersebut menggambarkan gaya hidup, pergaulan, dan peran muslimah banyak dipengaruhi oleh budaya konsumtif dan kebarat-baratan namun berusaha dibungkus dengan nilai-nilai religiusitas. Sehingga terdapat makna bahwa ajaran

7


(17)

Islam itu tidak kaku dapat disesuaikan dengan modernisasi. Penggambaran muslimah dalam film ini kurang sesuai dengan kriteria muslimah yang terkandung di dalam Al-Quran dan as-sunnah. Muslimah saat ini krisis identitas dan perlu melihat lagi figur ideal yang seharusnya menjadi acuan mereka. Pendek kata, dengan kembali melihat norma yang sesuai syar‟iat (aturan agama).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai Film ”Hijab” karya Hanung Bramantyo. Untuk membahas permasalahan diatas, maka penulis mengangkatnya kedalam bentuk skripsi yang berjudul “KONFLIK IDENTITAS PERAN MUSLIMAH DALAM

KELUARGA (ANALISIS NARATIF PADA FILM HIJAB KARYA HANUNG

BRAMANTYO)”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian agar lebih terarah, maka permasalahan hanya dibatasi pada narasi pada film “Hijab” karya Hanung Bramantyo.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana analisis alur narasi menurut awal cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo?


(18)

2. Bagaimana analisis narasi berdasarkan alur tengah cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo?

3. Bagaimana analisis narasi mengikuti alur akhir cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana analisis narasi menurut alur awal cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo.

b. Untuk mengetahui Bagaimana analisis narasi berdasarkan alur tengah cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo.

c. Untuk mengetahui bagaimana analisis narasi mengikuti alur akhir cerita film „Hijab‟ karya Hanung Bramantyo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini, diantaranya: 1. Manfaat Akademis

Penulis berharap penelitian ini dapat memperkaya bidang studi ilmu komunikasi berkaitan dengan pembelajaran mengenai analisis narasi dalam sebuah film, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Dakwah Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

2. Manfaat Praktis

Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan mengenai narasi pesan dalam sebuah film bagi para mahasiswa di bidang penyiaran.


(19)

Penulis berharap dapat menambah ilmu tentang cara penafsiran film bagi para mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, khususnya, serta mahasiswa lain yang mempunyai minat di bidang penyiaran dan film pada umumnya.

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Narasi

Analisis narasi (narrative analysis) yaitu studi tentang struktur pesan atau telah mengenai aneka fungsi bahasa (pragmatic).8 Metode analisis narasi berbeda dengan metode kuantitatif yang menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis narasi lebih melihat “Bagaimana” (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Dengan metode ini, tidak hanya diketahui pesan apa saja yang terkandung dalam film Hijab, tetapi bagaimana pesan itu dikemas dan diatur sedemikian rupa dalam bentuk cerita. Melalui analisis narasi tidak hanya mengetahui isi teks, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan lewat cerita. Analisis narasi lebih melihat bagaimana isi pesan yang akan diteliti.

Mengolah narasi atau cerita yaitu dengan cara di mana makna dan kegemaran dapat terbina dan tersusun baik dari dalam dan luar media. Dua poin kajian sistematik dari narasi di media modern, adalah sebagai Pertama, terori narasi menganjurkan bahwa cerita/kisah dalam media apapun dan budaya manapun saling berbagi keunggulan tertentu. Kedua, tetapi media

8

Alex Sobur, Analisis Teks Media-Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotic, dan Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001). H.18.


(20)

tertentu/khusus mampu untuk “menceritakan” kisah dengan cara yang berbeda. Hal ini sangat berharga bahwa manusia hampir tidak pernah menemukan pemisahan suatu cerita dari harapan tersebut.9

Tzvetan Todorov; mengatakan bahwa semua cerita dimulai dengan „keseimbangan‟ di mana perbedaan potensi pertentangan berusaha „diseimbangkan‟ pada suatu waktu. Teorinya mungkin terdengar seperti klise bahwa semua cerita punya awal, pertengahan dan sebuah akhir. Ide keseimbangan menandai sebuah keadaan, dalam sebuah cara-cara tertentu.10

F. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma menurut definisi Harmon (1970) yakni sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.11 Paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme diambil dari kata “konstruksi” yakni merancang, dan apa yang dirancang. Konstruksivisme berasumsi, “Bagaimana pesan di konstruksi atau di susun.”12

Dalam hal ini, paradigma konsturksivisme lebih mengkaji soal pesan, dimana pesan dikonstruksikan (dibentuk). Di dunia pertelevisian pesan

9

Gill Braston dan Roy Stafford, The Media Student‟s Book (London dan New York: Routledge), h.32.

10

Gill Braston dan Roy Stafford, The Media Student‟s Book , h.36.

11

Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya) Cet. 28, h. 49.

12

Ardianto Elvinaro. & Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung; Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 154.


(21)

disebut juga dengan teks dimana teks bukan hanya sekedar tulisan yang tercetak melainkan semua yang ada dalam layar kaca televisi mulai dari teks, audio, video bahkan grafis yang semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan keinginan komunikator agar dapat menyamakan persepsinya dengan komunikan.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis deskriptif. Mendefinisikan metodologi sebagai mekanisme penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti.13 Pendekatan penelitian ini yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa menggunakan prosedur statistic atau dengan cara lain pengukuran. Peneliti berusaha menggambarkan fakta-fakta tentang bagaimana adegan-adegan dalam film Hijab.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah film Hijab karya Hanung Bramantyo, sedangkan Objek penelitian ini adalah potongan adegan visual atau pun narasi dialog dalam film Hijab.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Obeservasi merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala yang diteliti. Observasi adalah kegiatan yang

13


(22)

berhubungan dengan pengawasan, peninjauan, penyelidikan dan riset.14 Penelitian melakukan observasi langsung yaitu dengan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap subjek yang diteliti yakni film Hijab karya Hanung Bramantyo. Kemudian mencatat, memilih serta menganalisis sesuai dengan model penelitian yang digunakan.

b. Catatan Arsip (Archival Record)

Data yang diperoleh dari rekaman video “Hijab” Rekaman berasal dari DVD ini kemudian dibagi per-scene dan dipilih adegan-adegan yang sesuai rumusan masalah, yang digunakan untuk penelitian. Dokumen atau literatur-literatur yang mendukung data primer seperti buku-buku, yang sesuai dengan penelitian, artikel koran, kamus, internet, jurnal, dan lain sebagainya, yang membahas tentang film secara umum dan khusus film ini, atau tentang narasi itu sendiri.

c. Dokumentasi

Untuk memperdalam penelitian ini, penulis juga mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan film Hijab karya Hanung Bramantyo dari berbagai dokumen seperti buku-buku, majalah, jurnal, media massa dan lainnya yang sebelumnya telah terlebih dahulu membahas tentang film.

14


(23)

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian analisis narasi, data-data yang sudah terkumpul akan disesuaikan dengan metode yang digunakan Tzevetan Todorov yaitu meneliti dari alur cerita. Data tersebut merupakan data yang terdapat dalam film Hijab. Narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya tingkah laku yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu waktu.15 Alasan peneliti menggunakan analisis narasi karena penelitian ini tidak hanya menganalisis teks semata, tetapi juga menganalisis karakter pelaku dan alur ceritanya.

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan hasil penelitian ini menyesuaikan dengan buku Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) di Jakarta tahun 2007.

G. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini peneliti juga menggunakan skripsi yang memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini. Adapun beberapa judul penelitian yang peneliti dapatkan adalah sebagai berikut:

Pertama “Analisis Narasi Film 99 Cahaya di Langit Eropa” oleh Atik Sukriati Rahmah tahun 2014, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Jakarta. Skripsi tersebut memiliki kesamaan yakni terletak pada pendekatan dan metode penelitian analisis naratif serta model naratif Tzvetan Todorov. Perbedaannya terletak pada judul objek.

15


(24)

Hilman Fauzi, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Dengan judul “Analisis Naratif Film Dokumenter Alkinemokiye: The Strunggle Dawns New Hope”. Persamaannya yakni terletak pada pendekatan dan metode penelitian analisis naratif serta model naratif Tzvetan Todorov. Perbedaannya terletak pada judul objek.

Ika Istiani, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Dengan judul “Analisis Narasi Pertentangan antar Ideologi Feminisme dalam Novel Ratu yang Bersujud” persamaannya terletak pada metode penelitian analisis naratif. Perbedaannya pada judul serta subjek yang diteliti.

H. Sistematika Penulisan

Berdasarkan penelitian diatas, maka sistematika penulisan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

Bab I: Terdiri dari Pendahuluan, yang memaparkan latar belakang permasalahan, inilah yang mendasari penulis melakukan penelitian dengan sejumlah tujuan, dan tentunya manfaat penelitian itu sendiri, dan agar tetap fokus penulis memberikan batasan dan rumusan masalah. Namun tak kalah penting penulis menuliskan kerangka teori dan juga metodologi penelitian sebagai kerangka berpikir bagi penulis. Dan juga sistematika penulisan.


(25)

Bab II: Membahas tentang definisi analisis narasi, teori mengenai analisis narasi menurut Tvzetan Todorov, pengertian film, jenis dan klasifikasi film.

Bab III: Gambaran umum film hijab. Menguraikan sinopsis film hijab, struktur organisasi dan gambaran umum production house serta sutradara film hijab.

Bab IV: Sebagai temuan dan analisis narasi terhadap data dari film Hijab tentang penarasian.

Bab V: Penulis menutup penelitian skripsi ini dengan penyampaian beberapa kesimpulan sekaligus berfungsi sebagai jawaban konkret atas masalah yang telah dirumuskan dalam bab pendahuluan. Berikut juga disertakan saran-saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka, hasil wawancara dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.


(26)

KAJIAN TEORITIK

A. Analisis Naratif

Narasi sering diasumsikan sebagai cerita atau dongeng. Narasi berasal dari kata latin Narre, yang artinya membuat tahu.1 Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), narasi adalah penceritaan suatu cerita atau kejadian.2 Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa. Tetapi tidak semua informasi yang memberitahukan peristiwa bisa dikategorikan sebagai narasi. Dengan kata lain, sebuah teks baru bisa disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa.3

Gerald Prince dalam buku A Dictionary of Narratology (2003) mengemukakan definisi naratif adalah “the representation of one or more real or fictive events communicated by one, two, or several narrator to one, two, or several narratees”.4

Teori naratif mencoba untuk mengerti tanda dan hubungan yang mengatur bagaimana cerita (fiksi atau fakta) dibentuk secara berurutan, dan cara ini mungkin dapat membuat audien terlibat dalam berbagai cara yang berbeda.

1

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-Dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 1.

2

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 996.

3

Eriyanto, Analisis Naratif, h.2.

4

Gerald Prince, A Dictionary of Narratology, Second Edition (Lincoln: University of Nebraska Press, 2003), h. 58.


(27)

Seperti kebanyakan ilmu media, pemikiran ini menyatakan bahwa aktivitas biasanya sering dihubungkan dengan ketetapan nilai yang dominan.5

Definisi menarik tentang narasi diungkapkan oleh Braningan, yakin narasi adalah cara untuk mengelola data spasial dan temporal menjadi penyebab dan memunculkan efek keterkaitannya sebuah peristiwa, dari awal, tengah, dan akhir cerita yang akan menimbulkan sifat dari cerita itu.6

Dalam narasi terdapat beberapa syarat di antaranya. Pertama, adanya rangkaian peristiwa.Sebuah narasi terdiri atas lebih dari dua peristiwa, di mana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai. Kedua, rangkaian (sekuensial) peristiwa tersebut tidaklah random (acak), tetapi mengikuti logika tertentu, urutan atau sebab akibat tertentu sehingga dua peristiwa berkaitan secara logis. Ketiga, narasi bukanlah memindahkan peristiwa ke dalam sebuah teks berita. Dalam narasi selalu terdapat proses pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa.7

Menurut Branston and Stafford, narasi terdiri atas empat macam yaitu narasi menurut Tvezetan Todorov, Vladmir Proop, Levi-Strauss dan Joseph Cambell.8 Pertama, narasi menurut Tvzetan Todorov. Todorov mengatakan bahwa semua cerita dimulai dengan „keseimbangan‟ di mana beberapa potensi pertentangan berusaha „diseimbangkan‟ pada suatu waktu. Teorinya mungkin

5

Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student‟s Book Third Edition (London: Routledge, 1999), H. 32.

6

Edward Braningan, Narrative Coprehension and Film, London: University Press, 1992 dalam Gill Branston and Roy Stafford, The Media student‟s Book Third Edition (London: Routledge, 1999), h. 33.

7

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 2-3.

8


(28)

terdengar seperti klise bahwa semua cerita punya awal, pertengahan dan sebuah akhir. Namun, keseimbangan menandai sebuah keadaan, dalam sebuah cara-cara tertentu.9

Kedua, narasi menurut Vladmir Propp. Sebagaimana analisanya terhadap dongeng lebih ditekankan kepada struktur atau anatomi cerita dan pada karakter tokoh di dalam cerita. Dengan pendekatan model Propp ini, terutama analisis karakter tokoh dalam sebuah cerita akan mempermudah menemukan “lompatan-lompatan baru” atau kejutan narasi. Propp menyimpulkan ke dalam delapan ruang tindakan atau peranan, yaitu: 1. The villan atau tokoh penjahat dalam cerita rakyat adalah seorang tokoh yang memerankan peran penjahat atau antagonis; 2. The hero atau pahlawan, yaitu salah satu istilah yang tidak berarti sama dalam teori seperti halnya dalam kehidupan di luar, di mana pahlawan biasanya mengacu pada laki-laki, dan heroik, memiliki konotasi moral mengagumkan atau baik; 3. The donor atau donor, yang menyediakan sebuah objek dengan beberapa property; 4. The helper atau penolong, yang membantu pahlawan; 5. The princess atau sang putri, hadiah untuk pahlawan dan objek skema yang penjahat ini; 6. Her father atau ayahnya, yang memberikan penghargaan kepada pahlawan; 7. The dispatcher atau orang yang menyuruh, yang mengirimkan pahlawan dan perjalanan; 8. False hero atau pahlawan palsu.10

9

Branston and Stafford, The Media Student‟s Book Third Edition, h. 36.

10


(29)

Ketiga, narasi menurut Levi-Strauss. Levi-Strauss setidaknya menggunakan dua konsep penting dari pemikiran Saussure; 1) Konsep perbedaan (diferensiasi). Menurut Saussure, yang membedakan satu kata dengan kata lain adalah diferensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata yang lain. Kata “paku” misalnya dibedakan menurut suaranya dengan “baku” atau “daku”, namun secara konseptual kata tersebut dibedakan dengan “sekrup”, “mur”, “pasak” dan sebagainya, dan 2) Konsep tentang sintagmatik dan paradigmatik. Kata-kata mempunyai relasi dengan kata lain sehingga membentuk suatu pengertian melalui hubungan asosiatif (paradigmatik) dan hubungan sintagmatik.11 Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara satu tanda dengan tanda lain dalam suatu kesatuan (linier). Sementara hubungan paradigmatik adalah relasi antara tanda-tanda dalam suatu paradigma (kesamaan umum): unit-unit memiliki kesamaan karakteristik yang menentukan keanggotaannya dalam paradigma tersebut.12

Keempat, narasi Joseph Campbell, yang kaitannya membahas narasi dengan mitos.Campbell menyatakan mitos memiliki 4 fungsi utama: Fungsi mistis, menafsirkan kekaguman atas alam semesta. Fungsi kosmologis, menjelaskan bentuk alam semesta. Fungsi sosiologis, mendukung dan mengesahkan tata tertib sosial tertentu. Fungsi pendagogis, bagaiamana menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan apapun.13

11

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 162-163

12

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra

(Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 41-42.

13


(30)

1. Beberapa Bentuk Khusus Narasi

a. Autobiografi dan Biografi

Dalam penelitian narasi terdapat beberapa bentuk khusus narasi yaitu, pengertian autobiografi dan biografi. Perbedaan terletak pada masalah naratornya (pengisahnya), yaitu siapa yang berkisah dalam bentuk wacana ini. Pengisah dalam autobiografi adalah tokohnya sendiri, sedangkan pengisah dalam biografi adalah orang lain.14 Sasaran utama autobiografi dan biografi adalah menyajikan atau mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dramatis, dan berusaha menarik manfaat dari seluruh pengalaman pribadi yang kaya-raya itu bagi pembaca dan anggota masyarakat lainnya.

b. Anekdot dan Insiden

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang-orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya.15 Anekdot yang menjadi bagian dari narasi yang lebih luas, sama sekali tidak menunjang gerak umum dari narasi. Namun, perhatian sentral yang dibuatnya dapat menambah daya tarik bagi latar belakang dan suasana secara keseluruhan.

c. Sketsa

Sketsa adalah suatu bentuk wacana yang singkat yang selalu dikategorikan dalam tulisan naratif, walaupun kenyataannya unsur perbuatan

14

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h.141.

15


(31)

atau tindakan yang berlangsung dalam suatu unit waktu itu tidak menonjol atau kurang sekali diungkapkan.16

d. Profil

Bentuk wacana ini adalah suatu wacana modern yang berusaha menggabungkan narasi, deskripsi dan eksposisi yang dijalin dalam bermacam-macam proporsi.17 Dalam istilah Gorys Keraf (2007), profil memperlihatkan ciri-ciri utama dari seorang tokoh yang dideskripsikan berdasarkan suatu kerangka yang telah digariskan sebelumnya.

2. Sekilas tentang Tvzetan Todorov

Tvzetan Todorov, lahir 1 Maret 1939 di Sofia Bulgaria. Ia seorang filsuf dan kritikus budaya. Dia tinggal di Perancis sejak 1963 dan sekarang tinggal di sana bersama istrinya Nancy Huston dan dua anak mereka. Ia menulis buku dan esai tentang teori sastra, berpikir sejarah dan budaya teori.18

Dua karya Todorov pada semiotika adalah Teori Simbol dan Interpretasi. Teorinya mendefinisikan hubungan antara sejarah, wacana dan ucapan, dan mengusulkan definisi simbolisme bahasa didasarkan pada pembedaan ia membuat antara bahasa dan wacana. Todorov juga mendefinisikan perbedaan antara tanda dan simbol, yang didasarkan pada makna langsung teks dan konten langsung masing-masing.19

16

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, h.143.

17

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, h.143-144.

18

Tvzetan Todorov, Tata Sastra Jakarta (Jakarta: IKAPI, 1985), h. 21

19


(32)

3. Teori Narasi Menurut Tvzetan Todorov

Tvezetan Todorov memiliki gagasan menarik mengenai struktur dari suatu narasi. Karena ia melihat teks mempunyai susunan atau struktur tertentu. Pembuat teks disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya khalayak juga akan membaca narasi berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenanya mempunyai urutan kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa.20

Setiap narasi memiliki sebuah plot atau alur yang didasarkan pada kesinambungan peristiwa dalam narasi, yaitu dalam hubungan sebab akibat. Ada bagian yang mengawali narasi, ada bagian yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari peristiwa awal, dan ada bagian yang mengakhiri narasi itu. Alurlah yang menandai kapan sebuah narasi itu dimulai dan kapan berakhir.21 Menurut Todorov, pada bagian awal ada interaksi situasi dasar dan kemudian di tengah menimbulkan konflik dan pada akhirnya biasanya akan berakhir bahagia. Alur ditandai oleh puncak atau klimaks dari perbuatan dramatis dalam rentang laju narasi. Secara skematis alur dapat digambarkan sebagai berikut.22

20

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 46-47.

21

Braston and Stafford, The Media Student‟s Book, h. 36.

22


(33)

Awal tengah akhir

Gambar 2.1: Gambar diagram alur film. Gorys Keraf menyatakan

“Argumentasi dan Narasi”

Banyak pendapat dan kritikan mengenai pembagian waktu dalam sebuah cerita, tetapi kritikan tidak bisa meniadakan pembagian waktu itu. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan, bahwa sebenarnya apa yang disebut “penyelesaian” itu sebenarnya tidak ada, karena akhir dari suatu kejadian atau peristiwa akan menjadi awal dari kejadian yang lain, atau akhir dari tragedi itu merupakan sebuah diskusi, yang pada gilirannya menjadi bagian pendahuluan dari kisah berikutnya.23 Sebab itu, narasi harus diberi batasan yang lebih jelas, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri atas tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur yang terikat oleh waktu. Di mana waktu dibagi menjadi tiga waktu, yaitu bagian awal atau pendahuluan, bagian tengah atau perkembangan, dan bagian akhir atau bagian peleraian. Berikut rincian dari ketiga bagian tadi sebagai berikut:

a. Alur Cerita Awal

Narasi umumnya diawali dari situasi normal, ketertiban dan keseimbangan.24 Dalam narasi tentang superhero, umumnya diawali oleh

23

Gorys, Argumentasi dan Narasi, h. 146.

24


(34)

kondisi kota yang damai, kerajaan yang makmur, dan seterusnya. Atau narasi tentang keluarga, diawali dengan kondisi keluarga yang harmonis dan bahagia.

Suatu perbuatan atau tindakan tidak akan muncul begitu saja dari kehampaan. Perbuatan itu lahir dari suatu situasi. Situasi itu harus mengandung sistem-sistem yang mudah meledak atau mampu meledakan. Setiap saat situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan. Ada situasi yang sederhana, tetapi ada juga situasi yang kompleks. Kesederhanaan dan kekompleksannya tergantung dari mata yang berbeda. Kompleks tidaknya situasi dapat diukur dari kaitan-kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Dapat diukur dari jumlah faktornya, dan dapat pula diukur dari akibat-akibat yang ditimbulkannya serta rangkaian-rangkaian kejadian selanjutnya.25

Jadi bagian pendahuluan menyajikan situasi dasar yang harus memungkinkan pembaca atau penonton memahami adegan-adegan selanjutnya.26 Bagian pendahuluan menentukan daya tarik dan selera pembaca atau penonton terhadap bagian-bagian berikutnya, maka penulis harus menggarapnya dengan sungguh-sungguh secara seni. Bagian pendahuluan harus merupakan seni tersendiri yang berusaha menjaring minat dan perhatian pembaca atau penonton.

25

Gorys, Argumentasi dan Narasi, h. 150-151.

26


(35)

b. Alur Cerita Tengah

Bagian atau struktur kedua dari narasi adalah adanya gangguan (distruption).27 Ini bisa berupa tindakan atau adanya tokoh yang merusak keharmonisan, keseimbangan, atau keteraturan. Kehidupan yang normal dan tertib, setelah adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi tidak teratur.

Bagian perkembangan adalah bagian batang tubuh yang utama dari seluruh tindak-tanduk para tokoh. Bagian ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap membentuk seluruh proses narasi. Bagian ini mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan, atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli.28

Bagian tubuh cerita sudah melepaskan dirinya dari situasi umum atau situasi awal, dan sudah mulai memasuki tahap konkritisasi.29 Konkritisasi diungkapkan dengan menguraikan secara terperinci peranan semua sistem narasi, perbuatan atau tindak-tanduk tokoh, interelasi antara tokoh-tokoh dan tindakan mereka yang menimbulkan benturan kepentingan. Konflik yang ada hanya dapat dimengerti dan dipahami dengan baik, jika situasi awal dalam bagian pendahuluan sudah disajikan secara jelas.

c. Alur Cerita Akhir

Tahap ini adalah babak terakhir dari suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada babak dua, berhasil diselesaikan sehingga keteraturan bisa

27

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 46.

28

Gorys, Argumentasi dan Narasi, h. 153.

29


(36)

dipulihkan kembali.30 Akhir suatu cerita bukan hanya menjadi titik yang menjadi pertanda berakhirnya suatu tindakan. Lebih tepat jika dikatakan, bahwa akhir dari perbuatan merupakan titik di mana tenaga-tenaga atau kekuatan-kekuatan yang diemban dalam situasi yang tercipta sejak semula membersit keluar dan menemukan pemecahannya.31

Bila seorang pembuat film ingin membuat sebuah cerita, ia menganggap bagian akhir cerita sebagai titik di mana perbuatan dan tindak-tanduk dalam seluruh narasi itu memperoleh maknanya yang bulat dan penuh.32 Bagian ini merupakan titik di mana para penonton terangsang untuk melihat seluruh makna cerita. Bagian ini sekaligus merupakan titik di mana struktur dan makna memperoleh fungsi sepenuhnya. Dengan kata lain, bagian penutup merupakan titik di mana penonton sepenuhnya merasa, bahwa struktur dan makna sebenarnya merupakan sistem dari persoalan yang sama.

Nama teknis bagian terakhir dari suatu narasi disebut juga peleraian atau denouement.33 Dalam bagian ini akhirnya konflik dapat diatasi dan diselesaikan. Namun demikian tidak selalu terjadi, bahwa bagian peleraian benar-benar memecahkan masalah yang dihadapi. Pada bagian ini dalam pengertian alur, dalam peleraian tetap dicapai akhir dari rangkaian tindakan. Bahwa akhir dari tindakan ini menjadi awal dari persoalan berikutnya dan

30

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 48.

31

Gorys, Argumentasi dan Narasi, h. 154.

32

Branston and Stafford, The Media Student‟s Book, h. 56.

33


(37)

itu merupakan alur dari peristiwa berikutnya. Secara sederhana skema pembagian tiga waktu alur cerita dalam narasi dapat digambarkan sebagai berikut.34

Ekuilibrium Gangguan Ekuilibrium

(keseimbangan) (kekacauan) (keseimbangan)

Gambar 2.2: Gambar skema pembagian tiga waktu dalam

narasi. Eriyanto menyatakan “Analisis Naratif”

Pembagian waktu dalam narasi diawali dari sebuah keteraturan. Keteraturan tersebut kemudian berubah menjadi kekacauan akibat tindakan dari seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan.35 Sejumlah ahli memodifikasi struktur narasi Todorov tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Nick Lacey dan Gillespie. Lacey dan Gillespie memodifikasi struktur narasi tersebut menjadi lima bagian.36

Lacey Gillespie

Kondisi keseimbangan dan keteraturan Ekposisi, kondisi awal Gangguan (distruption) terhadap

Keseimbangan Gangguan, kekacauan

Kesadaran terjadi gangguan Komplikasi, kekacauan makin Besar

Upaya untuk memperbaiki gangguan Klimaks, konflik memuncak Pemulihan menuju keseimbangan Penyelesaian dan akhir

34

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 46

35

Eriyanto, Analisis Naratif, h. 46

36

Nick Lacey dan Gillespie memodifikasi untuk tahapan antara gangguan ke ekuilibrium. Tahapan yang ditambahkan misalnya gangguan yang makin meningkat, kesadaran akan terjadinya gangguan dan klimaks (gangguan memuncak). Bagian penting lain yang ditambahkan adalah adanya upaya untuk menyelesaikan gangguan.


(38)

Gambar 2.3: Gambar tabel Perbandingan struktur narasi menurut

sejumlah ahli. Eriyanto menyatakan “analisis naratif”

B. Film

Film merupakan karya seni yang diproduksi secara kreatif dan mengandung suatu nilai baik positif maupun negatif, sehingga mengandung suatu makna yang sempurna. Namun, terkadang makna yang terkandung dalam film tersebut itu kurang disadari oleh para penonton pada umumnya.

Makna yang terkandung dalam suatu film, kita dapat melihat dari sistem-sistem pembentuk film itu sendiri. Seperti apa yang digambarkan oleh Thompson and Bordwell37 sebagai berikut:

Film form Interacts with

Formal system Stylistic system

Non-narrative Narrative Patterned and significant use of techniques:

Categorical Mise en scene

Rhetorical Cinematography

Abstract Editing

Associational Sound

Gambar 2.4: Gambar bagan sistem-sistem dalam film Thompson &

Brodwell menyatakan dalam “Film Art and Introduction”.

37

David Bordwell and Kristin Thompson, Film Art and Introduction, Fourth Edition


(39)

Bagan 2.1 di atas merupakan unsur-unsur pembentuk film yang pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu sistem formal dan sistem gaya (stylistic). Sistem formal mencakup film dalam sistem naratif (cerita) dan non naratif (non cerita). Film naratif merupakan kategori film yang memiliki-rangkaian suatu sebab-akibat yang terjadi dalam sewaktu-waktu. Kemudian, film non naratif, sebaliknya merupakan kategori film yang tidak memiliki susunan cerita tertentu, seperti film dokumentasi, film experimentasi, dan sebagainya.38 Namun, penulis tidak menggunakan unsur sistem non-naratif ini, karena film yang diteliti ini adalah masuk kategori naratif. Suatu film baik formal atau gaya biasanya memiliki cerita dramatik, yaitu memiliki problem-problem yang kuat dan menarik.

Sistem gaya (stylistic) atau bisa disebut dengan unsur sinematis terdiri atas empat macam sistem sinematis pembangun film, yakni mise en scene, cinematography, editing, dan sound. Mise en scene merupakan segala hal yang terletak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Mise en scene terdiri atas empat aspek utama yaitu: Setting (latar), kostum dan tata rias wajah (make-up), pencahayaan (lighting), dan pelakonan (acting).39

Cinematography merupakan hal-hal yang dilakukan para pekerja film berkaitan dengan kamera dan stok roll film mereka. Dalam hal ini bisa dikatakan para pekerja film menggambar apa yang terjadi di luar kamera

38

Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 48-49.

39


(40)

menjadi sebuah satuan cerita secara utuh melalui alat kamera. Cinematography terdiri atas aspek pengambilan gambar (shot), framing setiap adegan, dan durasi (duration) adegan.40

Editing merupakan tahap pemilihan shot-shot yang telah diambil dipilih, diolah dan dirangkai sehingga menjadi suatu film yang utuh.41 Dalam tahap editing, shot merupakan materi utama dalam proses editing. Berdasarkan aspeknya, editing dibagi menjadi dua jenis yaitu: dialog, musik, efek suara. Sound merupakan aspek sinematis yang tak kalah pentingnya dengan aspek lain. Melalui sound adegan yang terekam dengan kamera akan terasa lebih hidup dan nyata. Sound memiliki beberapa aspek yaitu: dialog, musik dan efek suara.42

Namun, penulis tidak menggunakan sistem gaya (stylistic) dalam penelitian ini sebagai alat analisis. Selain itu, dalam sistem gaya (stylistic) peneliti merasa adanya keterbatasan untuk menganalisis sistem gaya ini. Tidak hanya itu, hal ini dikarenakan dalam penelitian ini lebih kepada analisis narasi film Hijab.

1. Jenis dan Klasifikasi Film

a. Jenis-jenis film

Bordwell and Thompson (2010) secara umum membagi jenis film menjadi tiga jenis, yakni: dokumenter (nyata), fiksi (rekaan), dan eksperimental (abstrak). Pembagian ini didasarkan atas cara bertuturnya

40

Marseli,Dasar-Dasar Apresiasi Film, h. 168.

41

Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 123.

42


(41)

yakni, naratif (cerita) dan non-naratif (non cerita).43 Film fiksi memiliki struktur naratif yang jelas sementara film dokumenter dan eksperimental tidak memiliki struktur naratif. Film dokumenter yang memiliki konsep realism (nyata) berada di kutub yang berlawanan dengan film eksperimental yang memiliki konsep formalism (abstrak). Berikut penjelasan jenis-jenis film.

Film Dokumenter adalah film yang menyajikan cerita nyata dan dilakukan pada lokasi yang sesungguhnya.44 Istilah “dokumenter” pertama digunakan dalam resensi film „Moana‟ (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh “The Moviegoer”, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.45

Definisi menarik diungkapkan Bordwell dan Kristin. Menurutnya, bahwa inti dari film dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual tentang dunia di luar film itu sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya (manusia), ruang (tempat), waktu dan peristiwa.46

Dengan demikian, film dokumenter bisa dikatakan sebagai sebuah film yang menyajikan fakta berhubungan dengan orang-orang, tokoh,

43

David Bordwell and Kristin Thompson, Film Art : An Introduction.9thed (New York: McGraw-Hill, 2010), h. 56-57.

44

Heru Effendy, Mari Membuat Film: Paduan Menjadi Produser (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 3.

45

Ann Curthoys and Marilyn Lake, Connected worlds: history in transnational perspective(Canberra : ANU E Press, 2005), h. 57.

46

David Bordwell and Kristin Thompson, Film Art: An Introduction 5thed (New York: McGraw-Hill, 1997), h. 109.


(42)

peristiwa, dan lokasi yang nyata. Selain itu film dokumenter juga dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, politik (propaganda), dan lain-lainnya.

Gaya dan bentuk film dokumenter memang lebih memiliki kebebasan dalam bereksperimen meskipun isi ceritanya tetap berdasarkan sebuah peristiwa nyata apa adanya. Ketika teknologi audio-visual berkembang salah satunya muncul televisi, maka gaya dokumenter pun ikut berkembang dalam berbagai macam gaya dan bentuk. Karena produksi program televisi bertujuan komersial seperti halnya barang dagangan, para dokumentaris pun mencoba segala macam cara sehingga ada pula yang mengesampingkan metode dasar bertutur film dokumenter.

Anton Mabruri (2009) membagi jenis dokumenter menjadi 3 kategori. Pertama, film dokumenter. Umumnya film dokumenter berdurasi panjang dan diputar di bioskop atau pada festival. Film dokumenter lebih bebas menggunakan semua type shot, serta tidak ada unsur rekayasa dalam pembuatannya, seperti tempat, peristiwa, tokoh dan lain sebagianya. Kedua, dokumenter televisi. Dokumenter ini menggunakan tema atau topik tertentu. Disuguhkan dengan gaya bercerita, menggunakan narasi (kadang dengan voice over47), menggunakan wawancara, juga ilustrasi musik sebagai penunjang gambar visual. Ketiga, dokumenter seri televisi. Format ini

47

Voice Over (VO) adalah suara dari announcer atau penyiar untuk mendukung isi cerita namun tidak tampak di layar televisi. VO biasanya digunakan untuk kebutuhan jurnalistik di televisi maupun radio.


(43)

merupakan suguhan dokumenter berdurasi panjang, dibagi dalam beberapa sub tema atau episode/seri. Umumnya tema program dokumenter seri adalah mengenai sejarah, ilmu pengetahuan, potret, yang terkadang dikemas dengan menggunakan gaya bertutur perbandingan dan kontradiksi.48 Heru Effendi (2009) menambahkan dokudrama sebagai salah salah satu jenis dokumenter. Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Selain itu, dalam proses produksinya dokudrama membutuhkan pengadegan. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap jadi pakem pegangan.49

Di dalam bukunya, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, Gerzon R Ayawalia (2008) menyebutkan ada empat alasan yang menerangkan bahwa film dokumenter adalah film nonfiksi: Pertama, setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian sebenarnya, tanpa interpretasi imajinatif seperti halnya dalam film fiksi. Bila pada film fiksi latar belakang (setting50) adegan dirancang, pada dokumenter latar belakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa adanya). Kedua, yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa nyata (realita), sedangkan pada film fiksi isi cerita berdasarkan karangan (imajinatif). Bila film

48

Anton Mabruri KN, Penulisan Naskah Televisi: Format Acara Nondrama, News & Sport

(Depok: Mind 8 Publishing House, 2009), h. 64-68.

49

Heru Effendi, Mari Membuat Film: Paduan Menjadi Produser, h. 3.

50

Setting merupakan istilah dalam produksi film untuk konstruksi panggung suara atau eksterior yang dibangun untuk memunculkan hal yang diperlukan cerita, misalnya sebuah kantor, dapur, rumah, kastil, atau medan pertempuran.


(44)

dokumenter memiliki interpretasi kreatif, maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif. Ketiga, sebagai sebuah film nonfiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya, dan Keempat, apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi pemaparan.51

Film Fiksi, adalah adalah sebuah genre film yang mengisahkan cerita fiktif maupun narasi.52 Dengan demikian, film fiksi merupakan rekaan di luar kejadian nyata, terkait oleh plot, dan memiliki konsep pengadegan yang telah dirancang sejak awal.

Marseli Sumarno (1996) menjelasakan bahwa film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.53

Fiksi (drama) diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dari kisah-kisah drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang.

51

Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: dari Ide sampaiProduksi (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2008), h. 56-57.

52

Bordwell and Thompson, Film Art: An Introduction 5th ed. h, 89.

53


(45)

Format yang digunakan merupakan interpretasi kisah kehidupan yang diwujudkan dalam suatu runtutan cerita dalam sejumlah adegan (scene). Adegan-adegan (scene-scene) tersebut akan menggabungkan antara realitas kenyataan hidup dengan fiksi atau imajinasi/khalayal para kreatornya. Contoh: Drama Percintaan (love story), Tragedi, Horor, Komedi, Legenda, Aksi (action), dan sebagainya.54

Film drama merupakan salah satu senjata paling efektif untuk menembakan gagasan untuk membentuk karakter suatu bangsa. Sebagaimana sifatnya yaitu influence (mempengaruhi). Namun, sayangnya beberapa sineas di tanah air umumnya menjadikan film sebatas komoditas belaka, mereka berebut ruang untuk bisa hadir di tengah keluarga. Film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijakan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal.55

Tentu saja masih banyak ragam keluhan yang dilemparkan para penonton ke alamat film Indonesia, dalam bidang cerita maupun cara menyajikannya. Berbagai macam dan ragam keluhan dan kecaman tersebut,

54

Naratama, Menjadi Sutradara Televisi (Jakarta: Duta Wacana University Press, 1992) dalam Anton Mabruri KN, Penulisan Naskah Televisi: Format Acara Nondrama, News & Sport

(Depok: Mind 8 Publishing House, 2009), h. 94-95.

55


(46)

jika dicoba mencari intinya, maka yang akan muncul adalah ciri umum kebanyakan film Indonesia dewasa ini. Secara singkat ciri-ciri tersebut bisa dirumuskan sebagai berikut: Cerita umumnya tidak jalan lantaran disusun dari ramuan-ramuan yang diajukan oleh para produser, karena pada mulanya memang adalah ramuan, unsur-unsurnya seks, kemewahan, kekerasan, kesedihan yang berlebihan, sering kali lebih menonjol secara tersendiri.56

Film Eksperimental, adalah film yang berstruktur namun tidak berplot. Film ini tidak bercerita tentang apapun (anti-naratif) dan semua adegannya menentang logika sebab akibat (anti-rasionalitas).57

Film eksperimental adalah film yang tidak dibuat dengan kaidah-kaidah film yang lazim. Tujuannya untuk mencari carapengungkapan-pengungkapan baru lewat film. Film eksperimental ini merupakan film yang lahir dari tradisi menonton televisi dan dalam perkembangan lebih lanjut disebut sebagai video art.

Pada masa-masa inilah lahir dengan subur karya-karya film eksperimental. Nama-nama seperti Gatot Prakosa, Henri Darmawan, Hadi Purnomo, muncul sebagai penggerak di kalangannya. Juga keterlibatan seniman seperti Sardono W. Kusumo dari seni tari menambah khasanah film eksperimental pada saat itu dengan kolaborasi personalnya menggunakan medium 8 mm.

56

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, h. 5.

57


(47)

Perguliran wacana video art sebagai sesuatu yang baru di Indonesia mendapatkan respon yang baik namun masih pada sebatas sebuah respon atas teknologi yang sophisticated. Dalam program pameran sinema elektronik pada pekan sinema alternatif tersebut diputarkan beberapa karya video art dari Jerman dan Amerika Selatan.

Pada masa pemerintahan Soeharto, kekuatan ekonomi serta politik dipusatkan di Jakarta (hingga saat ini). Distribusi informasi serta teknologi (serta komponen lainnya) tidak hadir secara merata di Indonesia. Bioskop hanya boleh dihadiri oleh kalangan masyarakat yang mampu. Pun wacana film pendek58, film alternatif, atau video art kemudian hanya berputar pada lingkaran kecil dan terbatas. Dia tidak benar-benar meng-Indonesia film secara keseluruhan atau film eksperimental dan video art secara spesifik direspon dan digagas oleh kalangan terbatas ini. Nama Krisna Murti sebagai salah satu pionir video art di Indonesia yang sampai saat ini masih aktif berkarya dengan video adalah satu peninggalan dari sejarah tersebut.59

Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Ruangrupa60 (www.ruangrupa.org) mengadakan festival video yang diberi nama „OK. Video: Jakarta Internasional Video Art Festival‟ (kini menjadi OK. Video:

58

Film pendek adalah salah satu bentuk film paling sederhana, yang secara teknis film pendek memiliki durasi dibawah 50 menit. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi.

59

Gerzon R. Ayawaila, DKK. Penyemaian Industri Perfilman Indonesia: Produksi, Distribusi dan Eksibisi Film (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013) h. 99-104.

60

Ruangrupa adalah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada tahun 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Sebagai organisasi nirlaba, ruangrupa bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboraturium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal online. (Ruangrupa.org)


(48)

Jakarta Internasional Video Festival) dengan menawarkan wacana “baru” karya visual melalui medium video. Sebuah respon atas fenomena penggunaan medium video yang semakin massif di masyarakat Indonesia. Ini adalah festival dua tahunan.Tahun 2005, Ruangruapa menyelenggarakan „OK.Video‟ untuk kedua kalinya dengan tema „SUB/VERSION‟ sebuah tanggapan atas fenomena pembajakan yang terjadi di Indonesia serta persoalan copyright secara luas. Festival ini mendapatkan respon yang cukup luar biasa, baik dari masyarakat Indonesia maupun Internasional dan menjadi salah satu festival penting di Indonesia.61

Film eksperimental merupakan film yang sangat menekankan ekspresi personal paling dalam dari pembuatannya. Karya-karya dari film ini nyaris semuanya abstrak, tentu saja hal ini berkaitan dengan kemunculannya yaitu oleh Hans Richter, Walter Ruttman, Louise, Salvador Dali, dan seniman lainnya yang menjadi pita seluloid ini hanya sebagai pengganti kanvasnya. Seniman-seniman itu juga lebih banyak merupakan seniman dari aliran dadaisme, surealisme, ataupun impresionisme. Sehingga film-film dari tipe pada waktu itu jarang sekali menjadi konsumsi publik karena sangat sulit dimengerti dan cenderung tidak bercerita.62

b. Klasifikasi Film

Menurut Himawan Pratista dalam buku Memahami Film, metode yang paling mudah dan sering digunakan untuk mengklasifikasi film adalah

61

Gerzon R. Ayawaila, DKK. Penyemaian Industri Perfilman Indonesia, h. 99-104.

62


(49)

berdasarkan genre, yaitu klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama sebagai berikut.63

Drama, merupakan tema yang mengetengahkan aspek-aspek human interest, sehingga yang dituju adalah perasaan penonton untuk dapat meresapi setiap kejadian yang menimpah tokoh dalam adegan tersebut. Tema ini pula bisa dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya. Jika kejadiannya tersebut di sekitar keluarga, maka disebut dengan drama keluarga. Film drama sering dinominasikan untuk penghargaan film, lebih sering dari genre film lainnya.

Action, Pada istilah ini action sering kali berkaitan dengan adegan berkelahi, bertengkar, dan tembak-menembak. Sehingga, tema ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi “pertarungan” atau “perkelahian” fisik yang dilakukan oleh peran protagonis dengan antagonis. Film action dikenal berkat adanya aksi aksi laga yang seru di dalamnya. Film action juga menghadirkan satu atau banyak tokoh yang bertindak sebagai pahlawan yang harus menghadapi tantangan dengan disertai dengan baku hantam, perkelahian, kekerasan, aksi pengejaran, baku tembak polisi dan aksi aksi lainnya. Dalam film action juga terdapat villain berupa teroris, perampok, psikopat, penjahat atau mafia gangster yang menjadi tokoh antagonis utama dalam film.

63


(50)

Komedi, merupakan tema yang sebaiknya bisa dibedakan dengan lawakan. Sebab, jika dalam lawakan biasanya yang berperan adalah para pelawak. Dalam komedi itu tidak dilakonkan oleh para pelawak, melainkan pemain film biasa saja. Inti dari tema komedi selalu menawarkan sesuatu yang membuat penontonnya tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak. Biasanya juga, film yang berkaitan dengan komedi ini merupakan suatu sindiran pada fenomena sosial atau kejadian tertentu yang sedang terjadi.

Salah satu grup lawak paling legendaris, Warkop Prambors kemudian berubah nama menjadi Warkop DKI, merajai film komedi slapstick.64 Selain film-film trio Warkop DKI, seri komedi lain yang muncul adalah Kabayan. Tokoh ini diangkat dari cerita rakyat Jawa Barat yang terkenal dengan keluguan, kelucuan sekaligus sindiran moralnya.65 Begitu populernya genre komedi sehingga beragam sub-genre film jenis ini menjadi popular dan dinikmati penggemarnya.

Horor, merupakanfilm menawarkan suasana yang menakutkan, menyeramkan, dan membuat penontonnya merinding, itulah yang disebut dengan film horor. Suasana horor dalam film itu bisa dibuat dengan caraanimasi, special effect, atau bisa langsung diperankan oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut. Film jenis ini seringkali dianggap „benar-benar‟

64

Slapstick adalah jenis komedi fisik yang mudah dicerna dan bermain dalam lingkup yang luas dan mencakup tiga hal utama yaitu derita, celaka dan aniaya. Komedi Slapstick biasanya lebih mengandalkan kelucuan gerak adegan ketimbang dialog atau monolog yang dibangun pemainnya.

65

Garin Nugroho dan Dyna Herlina S, Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013) h. 282-283.


(51)

menampilkan budaya nasional karena kerap menampilkan legenda, hantu lokal cerita rakyat, dan kekuatan supranatural.66

Tragedi, Pada tema ini, tragedi menitikberatkan pada nasib manusia. Jika sebuah film dengan akhir cerita sang tokoh selamat dari kekerasan, perampokan atau bencana alam dan lainnya, bisa disebut dengan tragedi.

DramaAction, merupakan gabungan dari dua tema, yaitu: drama dan action. Pada tema drama-action ini biasanya menyuguhkan suasana drama dan juga adegan-adegan berupa “pertengkaran fisik” untuk menandainya, dapat dilihat dengan cara melihat alur cerita film. Biasanya film dimulai dengan suasana drama lalu setelah itu alur meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang, biasanya berupa pertengkaran-pertengkaran.

Komedi Tragis, suasana komedi biasanya ditonjolkan terlebih dahulu, kemudian menyusul dengan adegan-adegan yang tragis. Suasana yang dibangun memang getir, sehingga penonton terbawa adegan emosinya dalam suasana tragis, akan tetapi terbungkus dalam suasana komedi.

Komedi Horor, sama dengan seperti komedi tragis. Suasana komedi horor juga merupakan gabungan antara tema komedi dan horor. Biasanya film dengan tema ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi.

Menariknya, film horor Indonesia juga biasanya menampilkan lelucon yang menakutkan, misalnya, makhluk halus yang menakuti seseorang atau sekelompok orang. Reaksi orang yang ketakutan ini

66


(52)

membuat kelucuan yang disukai penonton. Kadang juga diceritakan tentang orang yang salah mengenali hantu dikira manusia atau sebaliknya.

Parodi, merupakan duplikasi dari tema film tertentu. Tetapi diplesetkan, sehingga ketika film parodi ditanyangkan, para penonton akan melihat suatu adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa. Penonton berbuat demikian tidak sekedar karena film yang ditanyangkan itu lucu, tetapi karena adegan yang ditonton pernah muncul di film-film sebelumnya. Tertentunya para penikmat film parodi akan paham kalau sering menonton film, sebab parodi selalu mengulang adegan film yang lain dengan pendekatan komedi. Jadi, tema parodi itu berdimensi duplikasi film yang sudah ada, kemudian dikomedikan.

Garin Nurgroho dan Dyna Herlina S menambahkan film Erotis

sebagai salah satu jenis film. Film erotis atau film berbau seks (terutama soft porn) agaknya film sepanjang zaman dalam industri film Indonesia. Film jenis ini meramaikan saat masa keemasan sekaligus menjadi penopang di saat kehancuran terdalam. Seksualitas membubuhkan objek, tentu saja perempuan yang paling sering dijadikan objek tersebut. Perempuan masih dianggap sebagai magnet yang mampu menarik penonton ke bioskop.67

Film seks kadang dipadukan dengan komedi, biasanya dengan kehadiran para perempuan pemeran pendukung di film komedi yang berpakaian minim. Film-film Warkop yang telah diproduksi sejak 1970-an, di awal 1990-an semakin massive menempatkan perempuan seksi sebagai

67


(53)

teman para pelawak. Tidak hanya pada film komedi, para hantu di film horor juga tampil makin seksi, salah satunya film Si Manis Jembatan Ancol (1994).68

Adapun film Hijab masuk pada kategori film drama, karena aktor dan aktrisnya berkisar pada cerita keluarga. Film garapan Hanung Bramantyo yang dirilis 15 Januari 2015 tersebut bercerita tentang empat wanita yang mengadu peruntungan di dunia bisnis busana muslimah. Beragam konflik indentitas peran muslimah dalam sebuah keluarga juga dihadirkan dalam film berdurasi 100 menit ini.

Meskipun judul film tersebut terkesan bernuansa nuansa islami, tetapi dalam alur ceritanya film Hijab lebih menggambarkan konflik identitas seorang muslimah terkait hak dan kewajibannya. Belakang isu tersebut berkembang dan seakan menjadi „tren‟ baru di kalangan perempuan, bersamaan dengan populernya arus pemikiran baru. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin Jhon Lock tentang natural right (hak asasi manusia), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Namun dalam perjalanan sejarahnya di barat, pemenuhan HAM ini dianggap lebih dirasakan oleh kaum pria.69

Salah satu bagian di film Hijab yang menggambarkan konflik identitas adalah terkait pernyataan Mike Lucock (Gamal) yang mengatakan larangan

68

Garin dan Dyna, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, h. 287.

69

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender


(54)

haram bekerja kepada istrinya Zaskia Adya Mecca (Sari) dan menekankan kewajiban istri seperti mencuci pakaian, masak, mengurus anak dan rumah. Timbul kerancuan dalam konflik tersebut terkait identitas dan peran seorang muslimah dalam keluarga.

Salah satu kritik utama Islam terhadap feminisme Barat adalah kecenderungan kepada sekularisme.70 Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental71 merupakan hal yang tragis. Sehubungan dengan itu mereka berpandangan bahwa gerakan perempuan Islam harus berpegang pada paradigma Islam agar tidak menjadi sekuler. Fatima Merniss (1998) dan Issa J. Boullata (1989) secara terpisah menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan program-program feminismenya dengan menggunakan kerangka acuan Islami.72

                                    

Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya, dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”(QS al-Baqarah [2]: 228)

70

Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan, serta berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukan dalam urusan politik, negara, atau institusi publik.

71

Transendental merupakan sikap yang menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian.

72

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 86.


(55)

Ayat ini menetapkan bahwa wanita mempunyai hak sebagaimana mereka mempunyai kewajiban. Ini berarti setiap hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki. Dengan demikian maka hak mereka seimbang. Dan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini bukanlah kesamaan wujud sesuatu dan karakternya, tetapi yang dimaksud adalah bahwa hak-hak antara mereka itu saling mengganti dan melengkapi. Maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh wanita untuk suaminya melainkan si suami juga harus melakukan suatu perbuatan yang seimbang untuknya.73

C. Peran Istri Menurut Pandangan Islam

1. Peran Istri Meliputi Hak dan Kewajiban

Konsep hak pada dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan wanita mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian bahwa laki-laki dilebihi dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dalam fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam kewajiban.74 Sebagaimana dalam Al-Qur‟an juga telah menentukan hak istri dari suaminya, yaitu persamaan dalam hak dan kewajiban, sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 228 :

73

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), h. 136.

74

Muhammad Albar, Wanita dalam Timbangan Islam (Jakarta: Daar Al-Muslim, Beirut, 2009), h. 18.


(1)

Ariansah, M. Gerakan Sinema Dunia. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2014.

Ayawaila, Gerzon R. DKK. Penyemaian Industri Perfilman Indonesia. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013.

Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani Press, 2013. Ayawaila, Gerzon R. Dokumenter: dari Ide sampaiProduksi. Jakarta: FFTV-IKJ

Press, 2008.

---- Penyemaian Industri Perfilman Indonesia: Produksi, Distribusi dan Eksibisi Film, Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013.

Albar, Muhammad. Wanita dalam Timbangan Islam. Jakarta: Daar Al-Muslim, Beirut, 2009.

Abdurrahim, Abu Musa. Kitab Cinta Berjalan. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Albar, Muhammad. Wanita Karir dalam Timbangan Islam. Jakarta: Darr Al-Muslim, Beirut, 2005.

Baedhowi, Agus. “Kedudukan Istri Sebagai Wanita Karir Menurut Pandangan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974: Tinjauan Tentang Kewajiban Nafkah Suami.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006

Beta, Annisa Ridzkynoor. “Konstruksi Identitas Perempuan Muslim dalam Aquila Asia.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2012.


(2)

Braston, Gill dan Roy Stafford. The Media Student‟s Book. London dan New York: Routledge, 1999.

---- The Media Student‟s Book Third Edition. London: Routledge, 1999.

Bordwell, David and Kristin Thompson. Film Art and Introduction, Fourth Edition Singapore: McGraw-Hill Companies Inc, 2006.

---- Film Art: An Introduction 5thed. New York: McGraw-Hill, 1997. ---- Film Art : An Introduction 9thed. New York: McGraw-Hill, 2010.

Curthoys Ann and Marilyn Lake. Connected Worlds: History in Transnational Perspective. Canberra: ANU E Press, 2005.

Eriyanto. Analisis Naratif: Dasar-Dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Effendy, Heru. Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta: Erlangga, 2008.

Elvinaro, Ardianto & Bambang Q-Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011.

Effendy, Heru. Mari Membuat Film: Paduan Menjadi Produser. Jakarta: Erlangga, 2009.

Fitri, Rizka. “Konstruksi Realitas Hijab pada Wanita Muslimah dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa.” Jurnal Ilmu Komunikasi vol. 2, no. 2. Pekanbaru: Universitas Riau, Oktober 2015.

Hadi, Sutrisno. Metedologi Research. Yogyakarta : Andi Offset, 1989.


(3)

Istiadah. Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia, 2007, cet. ke 16 Moleong, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

Cet. 28

Mabruri, Anton KN. Penulisan Naskah Televisi: Format Acara Nondrama, News & Sport. Depok: Mind 8 Publishing House, 2009.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan, 1999.

Mesraini. Membangun Keluarga Sakinah. Jakarta: Makmur Abadi Press, 2010. Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001, cet 1.

Nugroho, Garin dan Dyna Herlina S. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2013.

Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995.

Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif . Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2007.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.


(4)

Prince, Gerald. A Dictionary of Narratology, Second Edition. Lincoln: University of Nebraska Press, 2003.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1982.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media-Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2005.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2003, cet ke-25.

Todorov, Tvzetan. Tata Sastra Jakarta. Jakarta: IKAPI, 1985.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Website

“Din Syamsuddin Komentari Film Hijab”, Tempo Online, 20 Januari 2015, diakses pada16Juli2016 dari https://m.tempo.co/read/news/2015/01/20/111636184/din-syamsuddin-komentari-film-hijab


(5)

“Inilah Catatan Kritis Asma Nadia Soal Film Hijab Karya Hanung Bramantyo”, Harsindo Online, 27 Januari 2015, diakses pada 16 Juli 2016 dari http://www.harsindo.com/2015/01/inilah-catatan-kritis-asma-nadia-soal-film-hijab-karya-hanungbramantyo.html

“Kritik Film Hijab Anak Amien Rais Tuding Hanung JIL”, Merdeka Online, 22 Januari 2015, diakses pada 14 Juli 2016 dari http://www.merdeka.com/peristiwa/kritik-film-hijab-anak-amien-rais-tuding-hanung-bramantyo-jil.html

“Riwayat Kontroversi Film-Film Hanung Bramantyo”, CNN Indonesia, 23 Januari

2015, diakses pada 16 Juli 2016 dari

http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150123133015-220-26838/riwayat-kontroversi-film-film-hanung-bramantyo/2


(6)