Landasan Teori Strategi Petani Dalam Menghadapi Resiko Harga Komoditas Kol,Sawi Putih Dan Wortel Di Tanah Karo (Studi Kasus: Desa Gurusinga, Kec.Berastagi, Kab. Tanah Karo)

memiliki persepsi negatif Dillon dan Scandizzo, 1978. Perilaku tersebut mengindikasikan bahwa petani lebih menyukai perencanaan usahatani yang dapat memberikan rasa aman walaupun harus mengorbankan sebagian pendapatannya. Sampai sejauh mana proposisi tersebut berlaku untuk petani di Indonesia yang masih dikategorikan subsisten dalam penggunaan input Adiyoga dan Soetiarso, 1999. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan implikasinya terhadap usaha pengembangan teknologi baru. Perancangan teknologi di bidang pertanian diperlukan dalam usaha pengembangan teknologi baru. Perancangan ini terdapat pada berbagai komponen. Menurut Sumarno, 2006 teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen, yaitu : 1 Sumber daya lahan, air dan iklim 2 Sarana biologis, varietas dan benih 3 Sarana produksi sintesis 4 Alat mesin pertanian 5 Kelestarian lingkungan dan keberlanjutan Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan karena apabila petani jikaberusahatani secara individu terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usahatani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan Purwanto,dkk, 2007 : 1 Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok. 2 Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercerin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah hanya mencapai 50. 3 Pengelolaan kegiatan produkstif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas. 4 Pembentukan dan pegembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan. 5 Pembentukan dan pengembangan berdasarkan konsep cetak biru blue print approach yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur jaringan kelembagaan lokal yang telah ada serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. 6 Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. 7 Kelembagaan - kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang - orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya. 8 Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya,karena tidak ada social learning approach. 9 Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu,namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan aggotanya meskipun wadahnya sudah tersedia. Dalam menghadapi resiko diperlukan strategi. Menurut Adiyoga dan Soetiarso,1999 strategi dapat dikelompokkan menjadi strategi pengelolaan resiko yang bersifat : 1 Ex-ante , yaitu respon yang dirancang untuk mempersiapkan usaha tani agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan terjadi 2 Interactive , yaitu respon pada saat terjadi goncangan melibatkan realokasi sumber daya agar dampak resiko terhadap produksi dapat diminimalkan 3 Ex-post , yaitu respon setelah goncangan diarahkan untuk meminimalkan dampak berikutnya Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung satu dengan yang lainnya respon yang satu merupakan fungsi dari respon yang lain dan implementasi strategi ini secara langsung tercermin pada teknik budidaya yang dilakukan petani.

2.4 Kerangka Pemikiran

Dalam melakukan usaha tani, ada beberapa resiko yang akan dihadapi, seperti resiko hasil produksi, resiko manusia, resiko kelembagaan, resiko harga dan resiko institusi. Resiko usaha tani yang dialami oleh para petani kol, wortel dan sawi putih harus dihadapi dengan strategi penanggulangannya agar resiko tersebut dapat diminimalisir pengaruhnya terhadap usaha tani. Strategi yang dilakukan oleh petani tentunya dengan berbagai pertimbangan agar tepat sasaran sesuai dengan resiko yang dihadapinya. Dengan demikian, petani kol,wortel dan sawi putih di Kabupaten Karo perlu memiliki strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi peluang – peluang munculnya resiko didalam usaha tani. Perancangan teknologi di bidang pertanian sangat diperlukan. Pemanfaatan teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen seperti sumber daya lahan, air dan iklim, varietas dan benih, sarana produksi sintesis, alat mesin pertanian, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan. Rekomendasi terhadap perancangan teknologi di bidang pertanian diperlukan, karena penggunaan teknologi di bidang pertanian dapat meningkatkan produksi dan produktivitas, sehingga dapat menanggulangi resiko usaha tani, seperti resiko produksi pada usaha tani kol, wortel dan sawi putih. Pengembangan pada kelembagaan perlu dilakukan karena melalui kelembagaan ini pemerintah berperan membantu petani dalam menghadapi resiko, hal ini dapat dilihat dari lembaga-lembaga yang didirikan oleh pemerintah untuk mendukung para petani. Lembaga-lembaga seperti lembaga pembiayaan, lembaga pemasaran dan distribusi, lembaga penyuluh pertanian dan lembaga penjamin dan penanggung resiko. Pengembangan pada kelembagaan tentunya sangat diperlukan agar dapat terus membantu petani dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Secara sitematis berikut ini digambarkan skema kerangka pemikitan sebagai berikut : Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran