3.3 Makna Simbolik Pada Acara Pemandian Anak laki-laki
Festival Tango no Sekku pada mulanya dikenal sebagai Festival Bunga iris yang dahulu merupakan sebuah festival untuk menghindari penyakit dan hawa jahat. Dalam bahasa
Jepang, kata Bunga Iris dikenal dengan nama sh ōbu. Bunga Iris dulu merupakan benda yang
sangat penting dalam pengobatan alamiah di Jepang. Bunga Iris dahulu selalu berhubungan dengan perlambangan kesuburan dan kejantanan.
Pengobatan yang paling penting adalah pengobatan dengan menggunakan daun Iris yang dulu disebut
shōbu ya atau mandi iris. Daunnya dimasukkan ke dalam air panas dan biasanya jumlahnya cukup untuk menutupi seluruh permukaannya. Kemudian orang-orang
masuk ke dalam air dengan perlahan dan berendam selama mungkin. Hal ini dilakukan dengan maksud sebagai mandi penyegaran yang membuat mereka tetap hangat dan sehat
lebih lama setelah mereka meninggalkan air. Menurut analisis penulis, pada saat perayaan festival Tango no Sekku, anak laki
– laki harus mandi dengan air
shōbu yudengan tujuan untuk “membersihkan diri” karena baunya yang menyengat dipercaya dapat mengusir roh jahat. “Membersihkan diri” disini yang
dimaksud adalah sebagai proses penyucian diri monoimi yang merupakan unsur penting dari matsuri, dan juga merupakan penegasan dari Shinto yang ketiga, yaitu kebersihan fisik
mandi. Air yang digunakan untuk mandi adalah merupakan salah satu unsur dari Shinto yang melengkapi proses pembersihan atau penyucian monoimi.
Monoimi secara simbolik merupakan “pintu gerbang” yang dilalui ketika pesertanya
meninggalkan dunia sehari-hari untuk memasuki dunia khusus dari matsuri. Proses pembersihan diri ini dilakukan sebelum berdoa kepada Dewa. Tindakan pembersihan diri ini
dinamakan dengan misogi. Selain untuk mandi, daun iris juga digantung di atap rumah.
Universitas Sumatera Utara
3.4 Makna Simbolik Pada Boneka Pajangan
Selain koinobori, tradisi lainnya adalah memajang replika yoroi baju zirah samurai
dan kabuto helm samurai di rumah keluarga yang memiliki anak laki-laki. Tradisi ini
berasal dari tradisi keluarga samurai, dan pemajangan replika peralatan perang seperti yoroi dan kabuto dipercaya dapat melindungi anak laki-laki dari bencana.
di dalam rumah akan dipajang boneka dari tokoh pahlawan atau ksatria Jepang, yaitu Kintaro, Kabuto atau Go-
gatsu Ningyou. Kabuto adalah topi baja yang biasa dipakai oleh ksatria Jepang pada zaman dahulu.
Kabuto-Hira-Kazari adalah helm atau topi baja yang diletakkan di tengah. Pada bagian belakang terdapat byoubu yang berwarna keemasan. Pada bagian kanan dan kirinya juga
terdapat busur, panah dan pedang. Kabuto terdiri dari dua tingkat Pada rak bertingkat yang atas dipajang boneka yang mengenakan helm atau topi baja yang berwarna hitam. Pada
tingkat bawah terdapat kipas dan mainan anak laki-laki. Menurut analisis penulis, dalam sejarah masyarakat samurai, yoroi baju baja dan
kabuto helm atau topi baja merupakan benda yang sangat penting. Yoroi dan kabuto mempunyai fungsi penting untuk melindungi tubuh. Jadi sekarang ini, yoroi dan kabuto
dipajang untuk menghargai semangat para samurai itu. Keluarga memajang yoroi dan kabuto dengan harapan anak laki-laki mereka tumbuh dengan baik menjadi pria yang hebat dan kuat.
Dengan kata lain, keluarga melindungi terhadap bencana dan memberi berkat dalam ehidupan, misalnya seperti kesuksesan dalam ujian masuk, mendapatkan pekerjaan yang
baik, dan menikah. Pada tingkat paling atas terdapat boneka gogatsu atau gogatsu
ningyō yang dipajang lengkap dengan mengenakan yoroi dan kabuto. Selain itu juga terdapat pedang, panah, kipas,
dan drum. Semuanya itu diletakkan pada rak bertingkat yang dilapisi dengan permadani yang
Universitas Sumatera Utara
berwarna hijau atau sering disebut dengan mousen. di belakang boneka selalu ada lipatan kain kasa atau byoubu yang biasanya berwarna keemas-emasan sebagai simbol keagungan.
Menurut analisis penulis, dekorasi yang terdapat pada festival Tango no Sekku, salah satu perlengkapannya adalah pedang. Sebagian besar kuil
– kuil Shinto memiliki kaca suci atau keramat sebagai simbol dari Amaterasu, pedang, dan batu permata. Ketiga benda
tersebut adalah tanda - tanda kebesaran dari kekaisaran di Jepang. Pedang yang merupakan perlengkapan dari dekorasi internal pada perayaan Tango no Sekku mencerminkan bahwa
pengaruh Shinto sangat kuat dalam festival ini. Kintaro
金太郎 ,
Kintarō adalah tokoh cerita rakyat Jepang berupa anak laki-laki bertenaga superkuat. Ia digambarkan sebagai anak laki-laki sehat yang memakai rompi merah
bertuliskan aksara kanji 金
emas. Di tangannya, Kintaro membawa kapak masakari yang disandarkan ke bahu. Ia juga kadang-kadang digambarkan sedang menunggang beruang.
Cerita Kintaro dikaitkan dengan perayaan hari anak laki-laki di Jepang. Kintaro dijadikan sebagai simbol boneka bulan lima
gogatsu ningyō yang dipajang untuk merayakan Hari Anak-anak. Orang tua yang memajang boneka Kintaro berharap anak laki-lakinya tumbuh
sehat, kuat, dan berani seperti Kintaro. Selain itu, Kintaro sering digambarkan menunggang ikan koi pada koinobori.
Universitas Sumatera Utara
Menurut catatan Kuil Kintaro di kota Oyama, Shizuoka, Kintaro konon lahir bulan 5 tahun 965. Ibunya bernama Yaegiri, putri dari ahli ukir bernama Jūbei yang bekerja di Kyoto.
Kintaro adalah anaknya dengan pekerja istana bernama Sakata Kurando. Setelah mengandung Yaegiri pulang ke kampung halaman untuk melahirkan Kintaro. Namun setelah
itu, Yaegiri tidak lagi kembali ke Kyoto karena ayah Kintaro sudah meninggal dunia.Kintaro dibesarkan ibunya di kampung halamannya di Gunung Ashigara. Kintaro tumbuh sebagai
anak yang kuat, namun ramah dan berbakti kepada ibunya. Setelah besar, Kintaro bergulat sumo melawan beruang di Gunung Ashigara.
Kintaro bertemu dengan Minamoto no Yorimitsu di puncak Gunung Ashigara pada 28 April 976. Yorimitsu menjadikan Kintaro sebagai pengikutnya setelah mengetahui kekuatan
fisik Kintaro yang luar biasa. Setelah namanya diganti menjadi Sakata Kintoki, ia bertugas di Kyoto, dan menjadi salah satu dari 4 pengawal Yorimitsu yang disebut kelompok
Shitennō. Ketiga rekannya yang lain adalah Watanabe no Tsuna, Urabe no Suetake, dan Usui
Sadamitsu. Kelompok
Shitennō disebut dalam literatur klasik Konjaku Monogatari yang terbit sekitar 100 tahun setelah wafatnya Minamoto no Yorimitsu. Ketiga rekannya bisa dipastikan
memang benar pernah ada, tapi Sakata Kintoki tidak pernah bisa dibuktikan keberadaannya. Pada 11 Januari 1012, Sakata Kintoki, 55 tahun, meninggal dunia di Mimasaka sekarang
kota Shōō, Prefektur Okayama akibat panas tinggi. Pada waktu itu, Kintoki sedang dalam
perjalanan menuju Kyushu untuk menumpas pemberontak. Penduduk setempat menjadikannya panutan, dan mendirikan sebuah kuil untuknya sekarang disebut Kuil
Kurigara.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan