5. Perangkat sinonim yang maknanya kadang-kadang tumpang tindih.
Misalnya, buluh dan bumbu; bumbu dan rempah-rempah; bimbang, cemas dan sangsi; nyata dan kongkret.
62
3. Pembagian menurut Lyons menjadi empat golongan, yakni:
1. Sinonim lengkap dan mutlak. Contoh, surat kabat dan koran
2. Sinonim lengkap dan tidak mutlak. Contoh, orang dan manusia
3. sinonim tidak lengkap dan mutlak. Contoh, wanita dan perempuan
4. Sinonim tidak lengkap dan tidak mutlak. Contoh, gadis dan cewek.
Namun para ahli bahasa berpendapat jarangnya sinonim lengkap dan mutlak sebagai landasan untuk menolak adanya sinonim.
63
4. Pembagian sinonim menurut Verhaar lain halnya dengan pendapat Lyons.
1. antarkalimat, misalnya:
Ali melihat Ahmad dan Ahmad dilihat Ali 2.
Antarfrase, misalnya: bunga harum itu dan bunga yang harum itu
3. Antarkata, misalnya:
nasib dan takdir; memuaskan dan menyenangkan 4.
Antarmorfem, misalnya: bukuku dan buku saya; kutulis dan saya tulis.
64
5. Sedangkan Gorys Keraf membagi dua kriteria:
1. Kedua kata itu harus saling bertukar dalam semua konteks; ini disebut sinonim total;
62
Ibid., h. 40
63
Keraf, h. 35
64
Ibid., h. 41
2. Kedua kata itu memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama; hal ini disebut sinonim komplet.
65
4. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Sinonim
Faktor yang menyebabkan adanya sinonimi seperti, kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Contoh, kukul bahasa Jawa
bersinonimi dengan jerawat bahasa Indonesia; diabetes bersinonimi dengan penyakit kencing manis
; kata-kata yang berasal dari kosakata bahasa sehari-hari dan istilah, seperti penyakit kencing manis dengan dabetes; telepon genggam
bersinonimi dengan kosakata yang berasal dari bahasa asing, yakni handphone. Sinonimi dapat muncul antarkata frasa atau kalimat yang berbeda ragam
bahasanya, seperti bini ragam bahasa percakapan tak resmi dengan istri ragam resmi, bokap ragam bahasa remaja dengan ayah ragam resmi. Kata-kata yang
mendapat nilai rasa konotasi yang berbeda juga dapat bersinonimi, seperti partai gurem
perasaan negatif dengan partai kecil perasaan netral.
66
Gorys berpendapat bahwa sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa
yaitu: Pertama, ia terjadi karena proses serapan borrowing. Pengenalan dengan
bahasa lain membawa akibat penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Dalam bahasa Indonesia sudah ada
padanannya dalam bahasa sendiri. Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat dan kotor
masih kita terima kata maksiat; sudah ada kata karangan masih dianggap perlu
65
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta, Gramedia, 2007, h. 35
66
Kushartanti DKK, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta, Pustaka Utama, 2005, h. 118
untuk menerima istilah baru risalah, artikel, makalah, atau esei. Serapan ini bukan hanya menyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri,
tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah
bahasa donor, atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa donor seperti: buku, kitab, pustaka; sekolah
dan madrasah; reklame, iklan adpertensi. Kedua,
penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia. Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi pula perbedaan kosa kata yang digunakan, walaupun
referennya sama, misalnya kata tali, dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong, lempung dan tanah liat. Hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah
sinonim yang terjadi karena pengambilan data dari dialek yang berlainan,
misalnya tuli dan pekak, sore dan petang dan sebagainya. Ketiga, makna emotif,
nilai rasa dan evaluatif. Makna kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya berbeda, misalnya kata ekonomis,
hemat, dan irit; kikir dan pelit; rindu dan damba; mayat, jenazah, dan bangkai;
mati, meninggal, wafat , dan mangkat.
67
Dalam bahasa Indonesia, kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada. Oleh karena itu, kata kata yang dapat dipertukarkan begitu saja
pun jarang ada. Seperti kata mati dan meninggal, tetapi di tempat lain tidak dapat.
68
Sedangkan Ramadhan Abd al-Tawwab, di dalam bukunya Fush l Fî Fîqh al-Lughah
mengemukakan beberapa faktor penyebab munculnya tar duf, yaitu:
67
Keraf, h. 35
68
Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 85
1. Banyaknya nama suatu benda dengan ungkapan yang berbeda. Suatu
benda terkadang mempunyai nama yang banyak, sehingga timbullah hubungan arti antara nama-nama tersebut. Kondisi kebahasan seperti ini
biasanya dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, maupun politik yang terjadi pada saat itu. Contohnya kata
H2I
dalam dialek mesir sama dengan
4I 4I
dialek lebanon, atau antara kata
ﺱ4K
,
4;
dan
75
. 2.
Adanya perkembangan bahasa penggunaan kosa kata, sehingga sebuah benda dapat memiliki nama yang cukup banyak, contoh kata
AB3
kata ini sebenarnya mempunyai arti yang spesifik, tetapi dalam perkembangan
berikutnya muncul nama-nama lain, seperti
L3 MN53
C 4ﺕP3
C
3. Pengucapan dua kata yang mirip dan jumlah hurufnya sama tapi
susunannya berbeda. Pengucapan kata-kata seperti ini menjadi salah satu faktor munculnya tar duf, misalnya kata
QN
dan kata
-R
. Disebabkan pula adanya dua kata lebih yang jumlah hurufnya sama, hanya saja salah
satu huruf pada kata-kata tersebut berbeda, contoh kata
S91
dengan
T
. Kedua kata ini berbeda tapi karena kemiripan antara keduanya, akhirnya
diartikan sama. 4.
Meminjam kata asing, sebagaimana terjadi pada masa Jahiliyah, sehingga terjadi asimilasi bahasa. Pada masa itu bahasa yang banyak diadopsi
adalah bahasa Persia, seperti kata
UB3 , 4PVﺱW
yang berarti sutra. Abdul Chaer berpendapat bahwa ketidakmungkinan kita untuk menukar
sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim disebabkan berbagai faktor, antara lain:
1. Faktor waktu,
misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan. Karena kata
hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini.
2. Faktor tempat atau daerah
, misalnya kata saya bersinonim dengan kata beta.
Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur Maluku. Sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di mana saja. 3.
Faktor sosial , misalnya kata aku dan saya adalah bersinonim. Tetapi kata
aku hanya dapat digunakan untuk teman yang sebaya dan tidak dapat
digunakan pada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya labih tinggi.
4. Faktor bidang kegiatan
, misalnya kata tasawuf, kebatinan dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim
dalam agama islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam, dan kata mistik
untuk semua agama. 5.
Faktor nuansa makna , misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot,
meninjau dan mengintip adalah bersinonim. Kata melihat bisa digunakan
secara umum; tapi kata melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata, kata melotot untuk menyatakan melihat dengan mata terbuka
lebar, kata meninjau digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tinggi dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang
sempit.
69
69
Chaer, h. 85-86
5. Semantik