Pernerjemahan sinonim istilah tauhid

(1)

PENERJEMAHAN SINONIM ISTILAH TAUHID

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh: FINA SULASTRI NIM: 104024000836

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strara 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 18 Juni 2008

Fina Sulastri NIM: 104024000836


(3)

PENERJEMAHAN SINONIM ISTILAH TAUHID

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh: FINA SULASTRI NIM: 104024000836

Pembimbing,

Drs. Abdullah, M.Ag. NIP: 150262446

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Penerjemahan Sinonim Istilah Tauhid” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta,18 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, M.A Akhmad Syaekhuddin, M.Ag NIP: 150268589 NIP: 150303001

Anggota,

Ismakun Ilyas, Lc. M.A NIP: 150274620


(5)

KATA

PENGANTAR

Alhamdulillah rasa puji dan syukur penulis haturkan pada Allah Swt. yang Mengatur hati para hamba dengan kehendak-Nya, Maha Pengasih dan Penyayang terhadap seluruh makhluk-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan selalu pada Rasulullah Saw. utusan Allah di muka bumi yang mengangkat bangunan hidayah dengan pernyataan kebenaran sebagai pembawa risalah Islam dan pembawa rahmat bagi alam semesta serta memberi syafaat di akhir zaman. Berkat ridha-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa proses penelitian dan penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tak langsung ikut berpartisipasi membangun teori, data, dan anlisis sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah memberikan banyak bantuan sumbangsih, pikiran, inspirasi dan semangat dalam penyelesaian tugas akhir ini. Diantaranya:

Penghargaan yang setinggi-tingginya Penulis persembahkan pada mama dan papa (bapak Supandi dan Ibu Euis Dinawati), yang telah memberikan do’a, semangat, dan dorongan pada penulis. Buat teh pia, Iman, Endar, dan Ayep, terima kasih banyak atas semangat dan dukungan kalian yang selalu menanyakan ’kapan selesai?’

Bapak Dr. Abdul Chair, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Kepada bapak Ikhwan Azizi MA, selaku ketua Jurusan Tarjamah. Bapak Saehudin M.Ag selaku sekertaris Jurusan. Kepada segenap dosen Fakultas Adab dan Humaniora khususnya Jurusan Tarjamah yang telah mentransfer ilmunya pada Penulis.

Bapak Drs. Abdullah M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan inspirasinya kepada Penulis hingga selesai. Kepada seluruh jajaran perpustakaan seperti perpustakaan utama, perpustakaan Adab dan Humaniora, dan perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang telah memberikan berbagai macam refrensi pada penulis.


(6)

Teman-teman tercinta jurusan Tarjamah angkatan 2004 Tatam, Hafid, Omen, Heri, Luki dan Erwan. Juga Poet, Ana, Muna, Munay, nununk, dan Isil.

thank a lot for your spirit and your halping. Specially forLaa Turbi ten graduate Guntor famale, yaitu Eva, Wahyu, Lala, Rani, Nora, Nunk, dan yang lainnya tak penulis sebutkan namanya satu-persatu. Teruntuk anak-anak kosan al-Markaz al-Islam, Mimil, k Nita, k Toton, Santi, Umi dan yang lainnya terima kasih atas semangat dan canda kalian yang selalu mewarnai suasana selama penulisan ini.

Semua pihak yang membantu penulisan ini, yang tidak Penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan Al-Qur’ân. Walaupun Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini.


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan...

ii

Pengesahan Pembimbing... iii

Pengesahan Panitia Ujian ...

iv

Kata Pengantar ...

v

Daftar Isi ... vii

Pedoman Transliterasi ... ix

Abstrak... xii

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 10

D. Tinjauan Pustaka... 10

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KERANGKA TEORI ... 12

A. Penerjemahan ... 12

1. Definisi Terjemah ... 12

2. Jenis-jenis Penerjemahan ... 17

3. Pergeseran Padanan dalam Penerjemahan ... 18

4. Macam-macam Terjemahan Terjemahan Al-Qur’ân... 20

B. Sinonim dalam Bahasa Arab ... 21

C. Sinonim dalam Bahasa Indonesia ... 22

1. Pengertian ... 22

2. Sifat-sifat ... 25

3. Jenis-jenis Sinonim. ... 26

4. Faktor Penyebab munculnya Sinonim ... 29

D. Semantik... 33

1. Pengertian Makna ... 34


(8)

E. Ketauhidan ... 42

1. Konsekuensi Tauhid. ... 42

2. Konsep Tuhan Menurut Islam ... 44

3. Konsep Al-Qur’ n Tentang Tauhid ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 51

A. Pendekatan Data... 51

B. Sumber dan Metode Pengumpulan Data... 52

C. Analisis Data ... 54

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN SINONIM ISTILAH TAUHID... 55

BAB V PENUTUP... 75

A. Kesimpulan... 75

B. Saran ... 77


(9)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

1 Tidak dilambangkan

2 b be

3 t te

4 ts te dan es

5 j je

6 h h dengan garis bawah

7 kh ka dan ha

8 d de

9 dz de dan zet

10 r er

11 z zet

12 s es

13 sy es dan ye


(10)

15 d de dengan garis di bawah

No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

17 z zet dengan garis di bawah

16 t te dengan garis di bawah

18 ‘ koma terbalik di atas hadap

kanan

19 gh ge dan ha

20 f ef

21 q ki

22 k ka

23 l el

24 m em

25 n en

26 w we

27 h ha

28 ` apostrof

29 y ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal


(11)

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1 ! a fathah

2 " i kasrah

3 # u dammah

b. Vokal Rangkap

Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

!

ai a dan i

2

!

au a dan u

c. Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

$!

â a dengan topi di atas

2

%&"

î i dengan topi di atas

3

%'#

û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf


(12)

ABSTRAK

Fina Sualastri

JUDUL: Penerjemahan Sinonim Istilah Tauhid

Bahasa di dunia beraneka ragam, karena bahasa bersifat konvensial yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan, pikiran, dan perbuatan. Dengan adanya ragam bahasa itu, tak menutup kemungkinan terjadi proses sinonimi. Begitu pula istilah yang terdapat dalam Ilmu Tauhid sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan juga tak lepas dari sinonimi.

Dalam agama Islam konsep Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt, tidak ada yang disebut atau dianggap sebagai Tuhan melainkan Allah Swt. Karena seseorang mengetahui bahwa adanya Allah dengan adanya penciptaan di dunia ini, dalam semua urusan itu Allah tak memiliki sekutu bahkan dalam penciptaan benda yang amat terkecil sekalipun. Pernyataan tauhid ketuhanan semacam ini adalah sebab yang paling utama untuk menghadirkan pemahaman masyarakat.

Pokok permasalahan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan sinonim bahasa Arab istilah tauhid dengan bahasa Indonesia, dan mengetahui padanan terjemahan istilah tauhid yang bersinonim bahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan komponen makna antara terjemahan Departemen Agama melalui kamus al-Munjid dan tafsir al-Misbah.

Hasil peneitian ini menunjukkan bahwa ayat al-Qur’ân yang beristilah tauhid tidak terdapat al-Tar duf al-Hakiki melainkan al-Tar duf al-Dalali yaitu adanya kedekatan makna.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.1 Sedangkan menurut Suhendra Yusuf bahasa adalah perpaduan antara sistem simbol dengan sistem makna, dan keduanya tidaklah mudah dapat dipisahkan.2

Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.3

Belakangan ini makin dirasakan pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Kenyataan yang dihadapi adalah bahwa selain ahli bahasa, semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam dirinya dalam bidang teori dan praktik bahasa. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa.4

1

Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), cet. Ke-1, h. 1

2

Suhandra Yusuf, Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994), cet. Ke-1, h. 122

3

Tim Penyusun KBBI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-3, h.66

4


(14)

(

(

(

(

(

(

!"

(

#$ %& '() *

(

+,- .

(

/

(

01()!

(

2

3

(

(

45

678

(

9 :;< =

(

(

45

678

(

>

(

?@

(

49=9

?B*

3

(

CDE0F

!B*

3

)(

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana, (Q.S. Ibrahim [14]:4).”5

Setiap lambang bahasa mengacu pada konsep atau ide tertentu yang disebut makna. Seluruh makna yang terkandung dalam bahasa saling berhubungan satu sama lain. Hubungan atau relasi makna ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (homonim), kelebihan makna (redundasi) dan sebagainya.6

Menerjemah merupakan seni yang rumit dan menuntut adanya bakat serta pengetahuan mendalam tentang Bahasa Sumber (Bsu) dan Bahasa Sasaran (Bsa).

Kesulitan menerjemah timbul bukan saja karena setiap bahasa memiliki

sui generis (karakteristik), tetapi juga proses penerjemahan merupakan pekerjaan

5

Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989 ), h. 379

6

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet. Ke-2, h. 82.


(15)

yang memiliki banyak aspek. Pada dasarnya menerjemahkan merupakan proses linguistik yang saripatinya terangkum dalam upaya mencari padanan kata-kata suatu bahasa dengan kata-kata bahasa lain. Setiap bahasa merupakan sistem, dimana setiap bahasa ibu penerjemah berbeda dengan sistem BSU yang diterjemahkan.7

Dalam bahasa Arab sinonim disebut al-Tar duf dalam al-Qur’ân yang juga bahasa Arab sering dijumpai kata-kata yang bersinonim, seperti:

!

H

I

J

(

(

(

(

K

L

>

(

M

5

N

(

O

P

Q

(

D

)

D

R

)(

Artinya: “Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,” (Q.S as-Syuara: [26]:222).”

.

-,

+

(

(

K

L

S

(

T

!

U

1

(

"!V W!

(

(

? ,XB

=

)(

Artinya: “Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku,” (Q.S as-Syuara [26]:14).”

: (

! B*

3

(

Z

(

5

%[*

3

(

\]^_O*

3

(

`

(

(a b =

(

"cK"!F U

(

d B)K !

(

e

K

)

B

<

f

g

(

a

(

[

7

h

)))))(

7


(16)

Artinya:“Dan perempuan-perempuan tua yang Telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa ,)))))) (Q.S an-Nur[24]: 60).”8

Kata-kata yang bergaris bawah dalam ayat-ayat di atas merupakan bahasa Arab bersinonim. Semua kata itu diterjemahkan sama, yaitu dosa. Namun, apabila kata-kata tersebut diletakkan pada kalimat atau ayat yang berbeda, maka tidak dapat saling menggantikan secara pas atau bahkan dapat mengubah maksud yang terkandung dalam ayat tersebut.

Dalam hal ini, al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jarzani berpendapat bahwa kata

*+,

adalah ‘sesuatu yang harus dihindari baik menurut agama maupun alam/

natural’.9 Kemudian kata

-.

adalah sesuatu yang dapat menghalangi kamu dari

keridhaan Tuhan.10 Namun menurut Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qodir al-Razi kata

*+,

semakna dengan kata

(

$/0

11

, padahal arti

dosa menurut KBBI adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama, perbuatan salah terhadap orangtua, adat, dan negara.12

Kata sinonim dalam bahasa Indonesia adalah kata yang bentuknya berbeda, tapi mengandung satu makna atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada

8

Ibid., h. 555

9

Al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, (Mesir: Daarul Kutub al Ilmiyah), h. 9

10

Ibid., h. 107

11

Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al-Razi, Mukhtar as-Sahih, (Mesir: Daarul Kutub al Ilmiyah), h. 67

12


(17)

juga yang tidak. Ada yang dapat bersubstitusi dalam kalimat tertentu, tetapi dalam kalimat lain tidak dapat. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.13

Kata-kata tersebut mempunyai kesamaan makna, namun tetap memperlihatkan perbedaan dalam hal pemakaian. Analisis komponen makna diperlukan juga untuk menentukan kesinoniman, meskipun kata tersebut sudah ditempatkan di dalam konteks.

Berkaitan dari itu, Mariana Tutescu menerangkan teori semantiknya berdasarkan analisis komponen makna, dengan contoh: kata orang dan manusia.

1. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang x 2. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia

y

kalimat (1) dan (2) sinonim, karena X dapat mengganti Y atau orang dapat mengganti manusia.

Tutesccu menjelaskan kesinoniman dengan menguraikan X dan Y atas komponen maknanya.

Makhluk Bernyawa Berakal budi

Orang + + +

Manusia + + +

Namun, kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata manusia, seperti pada :

Tuan Vincent orang asing

13

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72.


(18)

*Tuan Vincent manusia asing

Kalimat (1) tidak sama dengan kalimat (2), hal tersebut dapat dilihat melalui analisis komponen:

Makhluk Bernyawa Berakal budi

Datang dari negeri lain

Orang asing + + + +

Manusia asing + + + -

Analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari manusia asing.14

Dalam ilmu bahasa yang murni, sebenarnya tidak diakui adanya sinonim. Tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan, walaupun ada tintihan antara satu kata dengan kata yang lain. Maka ketumpang-tindihan inilah yang membuat orang menerima konsep sinonim. Disamping itu, konsep ini juga diterima untuk tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan kata-kata lama yang sudah dikenal.15

Untuk mendefinisikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan yaitu: pertama, kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata

mati dan mampus. Kedua, kata-kata yang mengandung makna sama, misalnya kata memberitahukan dan kata menyampaikan. Ketiga, kata-kata yang dapat

14

Dr. T. Fatimah Djajasudarma, Semantik ‘Pengantar ke Arah Ilmu Makna 1, (Bandung: Refika Aditama, 1999), cet. Ke-2, h. 38-39

15


(19)

disubstitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar pembangunan masjid berjalan terus”, dan “kami berupaya agar pembangunan masjid berjalan terus”.16

Dalam agama Islam, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu perbedaan pandangan dalam memahamai agama. Perbedaan yang paling mencolok adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis (kelompok yang dianggap mewakili pihak yang memahami Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah),17 dan sebaliknya kelompok Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu, kedua bentuk pemikiran tersebut sama-sama meyakini adanya kebenaran hakiki yang terdapat di balik teks suci al-Qur’ân.18

Meski memiliki banyak kelemahan, posisi bahasa bagi setiap orang tetap berbeda, apakah ia hanya merupakan simbol dan sistem penandaan dari dunia nyata atau menjadi pusat terungkapnya realitas. Posisi ini akhirnya menentukan kesan pemahaman bagi setiap orang terutama bidang tauhid dalam agama Islam terhadap sebuah teks tertentu.

Berdasarkan pada masalah inilah penulis tertarik untuk menganalisis sinonim bahasa Arab dan metode penerjemahannya. Maka dari itu, penelitian ini berjudul: PENERJEMAHAN SINONIM ISTILAH TAUHID.”

16

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. ke-2, h. 222-223

17

Penggunaan istilah fundamentalis dalam agama berawal dari agama Kristen Protestan, pandangan dasar yang menandai gerakan fundamentalisme Protestan ini adalah bahwa orang harus berpegang pada kitab suci secara literal, Lihat Mujibburrahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi no. 13, Tahun 2003, (Jakarta: LakPesDam, 2003), h. 89

18

Moch Mansyur dan Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah; Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 20


(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan yang Penulis gunakan adalah terdiri dari beberapa surat dan ayat al-Qur’ân dimana terdapat sinonim istilah tauhid, antara lain:

No. Mufradat Surat/ Ayat $123 Q.S. Al-Baqarah [2] : 2

Q.S. Al-Baqarah [2] : 9 Q.S. An-Nisa [4] : 47 Q.S. As-Syuraa [26] : 2 Q.S. Al-Baqarah [2] : 85 Q.S. Al-Furqan [25] : 35 Q.S. Ali Imran [3] : 48 ,453 Q.S. Al-Furqan [25] : 30 1

Q.S. Al-Ahqaf [46] : 29 670 Q.S. Al-Baqarh [2] : 22

Q.S. An-Nisa [4] : 90 Q.S. Al-Maidah [5] : 103 Q.S. Thaha [20] : 53 89: Q.S. Al-Maidah [5] : 1

Q.S. Al-Maidah [5] : 2 Q.S. Baqarah [2] : 29 2

Q.S. Al-'Araf [7] : 54 $;<3 Q.S. Al-Anbiya [21] : 45 3


(21)

Q.S. Al-Ahqaf [46] : 31 Q.S. Ar-Ra'd [13] :14 Q.S. Al-Mukmin [40] : 50 '53 Q.S. Ali Imran [3] : 14 =< Q.S. Al-Jatsiah [45] :20

Q.S. Ali Imran [3] : 3 Q.S. Yunus [10] : 45 Q.S. An-Naml [27] : 92 $>? Q.S. Huud [11] : 17 4

Q.S. Al-Ahqaf [46] : 12 40, Q.S. Al-Baqarah [2] : 112

Q.S. Huud [11] : 51 Q.S. Yusuf [12] : 104

'+ Q.S. Al-Maidah [5] : 83 5

Q.S. Ali Imran [3] : 145

Sedangkan permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa perbedaan sinonim bahasa Arab istilah tauhid dengan Bahasa

Indonesia?

2. Apakah ayat-ayat al-Qur’ân tentang istilah tauhid diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata yang sama bersinonim dan saling menggantikan?


(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan sinonim bahasa Arab istilah tauhid dengan Bahasa Indonesia.

2. Mengetahui padanan terjemahan istilah tauhid yang bersinonim bahasa Arab dalam bahasa Indonesia.

Skripsi ini ditulis sebagai suatu usaha yang sederhana yang membahas tentang istilah tauhid. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah jumlah kepustakaan yang berkenaan dengan masalah sinonimi khususnya yang berkaitan dengan istilah tauhid dalam al-Qur’ n juga untuk membantu umat Islam yang tidak dapat berbahasa Arab untuk memahami isi kandungan al-Qur’ n terutama masalah Tauhid.

D. Tinjauan Pustaka (Penelitian yang telah ada)

Penelitian yang telah ada pada fakultas Adab dan Humaniora yang berkaitan dengan masalah sinonim ialah karya Ana Afanti tentang sinonim bahasa Arab (perbedaan para ahli) dan Eka Saukoh yang berjudul Sinonim Bahasa Arab dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia, namun dia hanya membahas tentang Verba. Sedangkan permasalahan yang dilakukan Penulis ialah tentang “Penerjemahan Sinonim Istilah Tauhid.”


(23)

F. SistematikaPenulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang di susun oleh tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan atas kerja sama UIN Jakarta dengan CeQDA tahun 2007.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini ialah:

BAB I : Pendahuluan, berisi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Kerangka Teori, berisi: Penerjemahan: Definisi Penerjemahan, Jenis-jenis Penerjemahan, Macam-macam Terjemahan dalam al-Qur’ n. Sinonim dalam Bahasa Arab, Sinonim dalam Bahasa Indonesia, Ketauhidan: Konsekuensi Tauhid, Konsep Tuhan Menurut Islam, dan Konsep Al-Qur’ n Tentang Tauhid.

BAB III : Metodologi Penelitian yang berisi tentang : Pendekatan Kata, Sumber dan Metode Pengumpulan Data, dan Analisis Data.

BAB IV : Analisis Penerjemahan Sinonim Istilah Tauhid. BAB V : Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran.


(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Penerjemahan

1. Definisi Terjemah

Sejauh yang dapat dilacak, bukti sejarah tertua tentang aktivitas penerjemahan yang paling pertama kali dilakukan adalah terjemahan yang terpatri pada batu Rosetta di sepanjang sungai Nil (Mesir), yang ditemukan para arkeolog barat tahun 1799 M. Pada batu itu terpahat tulisan Mesir Kuno Hiroglyf dengan terjemahannya dalam bahasa Yunani kuno.19

Kegiatan terjemah juga dikerjakan oleh bangsa Yahudi sekitar 397SM tahun, atau tahun 445 SM dalam catatan sejarah yang lain. Masyarakat Nehemiah biasa dikumpulkan di alun-alun kota untuk mendengarkan berbagai penjelasan hukum. Masyarakat asing yang tidak mengenal bahasa Ibrani kemudian dapat mendengarkan terjemahannya dalam bahasa Aramaika, bahasa yang dipergunakan secara luas di Mediterania.20

Penerjemah interlingual karya sastra Eropa yang pertama kali dikerjakan oleh Livius Adronicus yang menterjemahkan naskah karya Homerus, Odyssey, dari bahasa Yunani kuno ke dalam bahasa latin dan Naevius. Kemudian Ennius menerjemahkan naskah-naskah Yunani kuno karya Euripides, dan yang paling

19

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 32-33

20

Eko Setyo Humanika, Mesin Penerjemah: Sebuah Tinjauan Linguistik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), h. 4


(25)

terkenal sangat produktif adalah Cicero dan Catulus dalam menerjemahkan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa latin.21

Pada tahun 384 SM, Paus Damasus menugaskan Jerome untuk menerjemahkann kitab suci Perjanjian Baru ke dalam bahsa latin, karena terjemahan lama yang dikerjakan para penerjemah terdahulu dirasakan kaku dan buruk, dan diubahnya dengan model terjemahan bebas.22

Pada abad ke-7, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat klasik Aristoteles, Plato, Galen, Hipocrates, dan lain-lainnya ke dalam bahasa Arab. Sedangkan penerjemahan al-Qur’ân ke dalam bahasa Eropa dimulai pada abad ke-12 oleh Riobert de Ratines pada tahun 1141-1143 M. terjemahan ini, menurut Abu Bakar Aceh, dianggap banyak yang menyimpang banyak yang sengaja disimpangkan agar isi al Qur’ân menjadi rusak. Terjemahan itu pula yang dijadikan pegangan untuk menterjemahkan al Qur’ân kedalam bahasa Inggris.23

Selanjutnya dengan berkembangnya ilmu lingustik, mulai banyak para ahli yang berbicara tentang teori terjemah, diantaranya: Eugene A. Nida, Ian Finly, Theodore Savory, J.C Catford, J.B Carol, Leonard Foster, P. Newmark, dan lain-lain.24

Kemudian cara menerjemahkan al-Qur’ân tentu saja sangat berbeda dengan menerjemahkan teks biasa. Seorang penerjemah al-Qur’ân harus memulai dengan beberapa tahapan. Seperti diungkapkan oleh H. Datuk Tombak Alam dalam bukunya yang berjudul Metode Menerjemahkan Al-Qur’ân Al-Karim 100

21

Ibid

22

Yusuf, h. 34

23

Ibid., h. 33-35

24


(26)

Kali Pandai, beliau memberikan beberapa proses yang harus ditempuh seorang mutarjim al-Qur’ân. Adapun tahapannya sebagai berikut: Pertama, menerjemahkan secara harfiyah dan menurut susunan bahasa Arabnya yang sudah tentu tidak cocok dengan susunan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dilakukan pada tahap pertama agar dalam menerjemahkan dapat mengenal kedudukan dan hukum kata-kata itu. Kedua, yaitu membuang kata-kata yang ada dalam al-Qur’ân ke dalam terjemahan. Proses ketiga, menggeser atau menyusun kalimatnya dalam terjemahan untuk mencapai bahasa Indonesia yang baik, yaitu di awal digeser ke belakang dan yang di akhir diletakkan di muka sesuai dengan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia (SPOK). Tahap ini boleh digunakan jika diperlukan, akan tetapi jika seorang penerjemah ingin dikatakan terjemahannya itu baik, maka tahap in harus dipenuhi.25

Definisi terjemah menurut Widyawartama adalah: penerjemahan dengan memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.26

Sedangkan penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Secara luas terjemah dapat diartikan semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal, dari suatu bentuk ke dalam bentuk yang lainnya.27

25

Datuk Tombak Alam, Metode Menerjemahkan Al-Qur’ân Al-Kqrim 100 Kali Pandai,

26

A. Widyamartama, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 11

27


(27)

Lain dengan pendapat Bunyamin Ahmad yang menyebutkan dengan lebih sederahana bahwa terjemah merupakan aktifitas dan mengalih kata dari bahasa sumber kebahasa kedua.28

Namun menurut Maurits Simatupang menerjemahkan adalah mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan mewujudkan kembali di dalam bahasa sasaran dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran. Jadi yang dialihkan adalah makna bukan bentuk.29

Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk. Karena seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum, tehnik, atau kedokteran, harus menguasai subtansi yang diterjemahkan.30

Syarif Hidayatullah mengatakan cara menanggulangi penerjemah berkualitas buruk adalah :

Pertama, etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah Indonesia menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan penerjemah yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kedua, peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas serta menyegarkan pengetahuannya. Ketiga, perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan program pelatihan disamping program

28

Solihin Banyumas Ahmad, Metode Granada: Sistem 8 Jam Bisa Menerjemah a- Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), h. 22

29

Maurits Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan, (Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas, 1999), h. 2

30

Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemah, (Jakarta, Tp, 2007), h. 3


(28)

pendidikan formal dijenjang pascasarjana (spesialis atau magister). Keempat, HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas. Kelima, peneliti dan kritisi terjemah harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas. Keenam, pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna.31

Sedangkan pengertian terjemah menurut Khalid Abdurrahman al-Ak adalah memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa lain.32 Secara definitif, terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran.33

Meski secara definitif terdengar sederhana, proses penerjemahan tidaklah mudah. Proses penerjemahan senantiasa melewati sebuah proses interpretasi ulang atas apa yang dipahami seorang penerjemah dalam sebuah bahasa untuk diterjemahkannya dalam sebuah bahasa lainnya. Proses ini, tentunya melewati sebuah proses pencitraan, di mana gambaran tentang sebuah konsep, baik itu sebuah peristiwa atau hanya sebuah benda, direpresentasi hanya dengan satu atau beberapa buah kata. Hal ini karena bahasa merupakan simbol dan sistem penandaan dari dunia nyata. Realitas adalah realitas yang diketahui setelah dibahasakan, atau realitas adalah realitas yang terbahasakan.34

31

Hidayatullah, h. 3-4

32

Khalid Abdurrahman al-Ak. Ushul at Tafsîr wa Qawaiduhu, (Beirut, Daru al-Nafais, 1986), h. 461

33

Yusuf, h. 8

34

H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinas: Suatu Telaah Filsafat Postmodernnisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 27


(29)

Sedangkan Muhammad ibn Shalih menyebutkan bahwa terjemah adalah “menerangkan suatu pembicaraan dengan menggunakan bahasa yang lain”.35

2.

Jenis-jenis Penerjemahan

Para ahli membagi kegiatan penerjemahan berbeda-beda, seperti Nida dan Taber membagi terjemahan menjadi terjemahan harfiah dan dinamis, larson membaginya menjadi terjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan terjemahan yang berdasarkan bentuk (form-based translation). Sedangkan Maurits Simatupang membagi dalam dua bagian besar, yaitu terjemahan harfiah (literal translation ) dan terjemahan yang tidak harfiah/ terjemahan bebas (non-literal translation/free translation).36

Dalam metode penerjemahan Newmark membagi menjadi delapan bagian, yaitu:

1. Penerjemahan kata demi kata(word for word) 2. Penerjemahan harfiah (literal translation) 3. Penerjemahan setia (faithful translation) 4. Penerjemahan semantik (semantic translation) 5. Saduran (adaptation)

6. Penerjemahan bebas (free translation)

7. Penerjemahan idiomatik (idiomatic translation) 8. Penerjemahan komunikasi (comunicative translation)

35

Muhammad ibn Shalih al Ashimaini, Ushul fî al Tafsîr, (Kairo: Dar ibn al Qayyim, 1989), cet. ke-1, h.31

36

Maurits Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan, (Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 1999), h.2


(30)

Namun dari delapan metode ini Penulis hanya membatasi tentang bahasan nomor empat saja, yaitu penerjemahan semantik yang paling berkaitan dekat dengan judul ini. Penerjemahan semantik berupaya menghasilkan makna kontekstual Bsu yang luwes dan tepat.37

3. Pergeseran Padanan dalam Penerjemahan

Macam terjamah secara sederhana terbagi dua yaitu terjemah lisan dan tulisan.38

Dalam penerjemahan, padanan merupakan unsur yang terpenting kedua setelah makna. Padanan adalah kata atau frase yang sama atau bersamaan dalam bahasa lain.39

Nida dan Taber menyebutkan padanan terjemah sebagai padanan dinamis. Padanan terjemahan juga harus diungkapkan secara wajar di dalam bahasa sasaran dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah bahasa terjemahan, sehingga yang membaca terjemahan itu dapat menikmati bacaannya dan melupakan sejenak bahwa yang ia baca itu sebenarnya adalah terjemahan.40

Namun, padanan terjemahan sangatlah penting dalam suatu terjemahan. Menurut Zenner, padanan merupakan kriteria yang mendasar bagi suatu terjemahan. Padanan bukanlah sinonim secara utuh. Kata sepadan itu bukan berarti identik, disebabkan responsinya tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan budaya, sejarah, dan situasinya. Sulit kita pungkiri, bahwa terjemahan hendaklah melahirkan responsi yang sepadan.41

37

Hidayatullah, h. 15-16

38

Ibid., h. 46

39

Kridalaksana, h. 152

40

Yusuf, h. 9

41

Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Ende Flores: Nusa Indah, 1985), cet. ke-1, h. 55


(31)

M. Tata Taufik menyebutkan dalam Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah bahwa bahasa Arab dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan dalam karekternya, perbedaan itu bisa dilihat dari segi usia bahasa, kekayaan bahasa, juga ditambahkan segi kultur yang membentuk kedua bahasa itu.42

Pergeseran padanan dalam terjemahan sering terjadi pada beberapa terjemahan. Pada pembahasan ini Benny H. Hoed membagi pergeseran menjadi dua bagian, yaitu pergeseran bentuk dan pergeseran makna. Pergeseran bentuk itu sendiri terdiri dari dua, yakni:

a. Pergeseran tataran, yaitu pergeseran yang menghasilkan unsur bahasa sasaran yang berbeda tatarannya, yaitu fonologi, morfologi, gramatikal, atau leksikal.

b. Pergeseran kategori, yakni bila pergeseran menghasilkan unsur bahasa sasaran yang berbeda dari segi struktur, kelas kata, dan kait sistemnya. Begitu juga pergeseran makna dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Pergeseran sudut pandang, yaitu bila pergeseran menghasilkan bahasa sasaran yang berupa unsur dengan sudut pandang semantis yang berbeda.

b. Pergeseran medan makna, yakni bila pergeseran itu menghasilkan unsur bahasa yang medan maknanya lebih luas atau lebih sempit.43

42

Hidayatullah, h. 40

43

Benny H. Hoed, Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya: dalam lintas Bahasa Media Komunikasi Penerjemah 2, 1995), h. 4


(32)

4. Macam-macam Terjemahan Al-Qur’ân

Al-Shabuni menjelaskan, mengalihkan al-Qur’ân kepada bahasa asing selain bahasa Arab dan terjemahan, dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat mengerti maksud dari firman Allah dengan bantuan terjemahan tadi, sehingga ia bisa memahami maksud al-Qur’ân dengan perantara terjemah.44

Sedangkan Muhammad mansur mengelompokkan penerjemahan al-Qur’ân menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Terjemahan harfiah, yaitu kata kedua ditempatkan ditempat kata pertama (bahasa sumber) dan terjemahan ini disebut pula terjemah lafdziyah

b. Terjemahan tafsiriah, yakni peniruan bahasa sumber dalam susunan dan tertib kata-katanya tidak diperlihatkan. Hal yang paling penting adalah baik dan sempurnanya gambaran makna serta tujuan kalimat bahasa sumber.

c. Terjemah maknawiyah, yaitu pengertian kata dan tujuan di dalamnya sudah jelas, sehingga disebut juga terjemahan tafsiriyah.

Menerjemahkan al-Qur’ân adalah tugas suci ilmiah yang sangat berat, karena yang diterjemahkan adalah al-Qur’ân. Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menghindari menerjemahkan al-Qur’ân. Kekhawatiran mereka itu sebenarnya sikap kehati-hatian dan rasa tanggung jawab terhadap Kitab Sucinya dari penyelewengan yang tidak diinginkan. Karena redaksi al-Qur’ân tidak dapat dijangkau secara pasti, kecuali Allah sendiri. Hal ini menghasilkan

44

Muhammad Ali al-Shabuni, al Tibyan fi Ulum al Qur’ân, (Beirut, Alam al Kutub, 1985), h. 205


(33)

keanekaragaman penerjemah maupun penafsir. Bahkan para sahabat Nabi pun sering berbeda pendapat dalam menerjemahkan dan menafsirkan serta menangkap maksud firman-firman Allah Swt.45

B. Sinonim dalam Bahasa Arab

Dalam bahasa Arab terdapat banyak kosa kata yang mempunyai makna yang sama. Kata yang mempunyai makna yang sama dalam ilmu bahasa (lingustik) disebut sinonim atau al-Tar duf. Para ahli bahasa Arab memberikan definisi yang berbeda mengenai al-Tar duf, seperti Fakhru al-Razi yang mendefinisikan

tar duf dengan kata yang memepunyai makna yang sama.46

Emil Badi Ya’kub mendefinisikan tar duf dengan dua buah kata atau lebih yang berbeda lafalnya, tetapi mempunyai makna yang sama. Seperti kata

(C(

@AB3

</DE3

(C(

F.$EA3

(

dan

$BG3

yang mempunyai makna yang sama.

47

Al-Ashfani juga mengatakan bahwa al-Tar duf al-Haqiqi hanya terdapat pada kata-kata yang berada pada satu dialek atau lahjah. Sedangkan kata-kata yang tidak satu lahjah bagaimanapun terdapat tar duf.48

Kemudian Abu Hilal al-Askari, seorang kritikus sastra yang menolak adanya tar duf cenderung untuk membedakan kata-kata yang dianggap tar duf. Bahwa perbedaan pada ungkapan dan nama mengakibatkan perbedaan pula pada makna. Apabila sebuah kata menunjukkan sebuah makna tertentu, maka tidak tepat bila kata tersebut ditunjukkan pada makna yang lain. Menurutnya, bahasa

45

M. Quaraish Shihab, Membumikan al Qur’ n, (Bandung: Mizan, 1997), H. 75

46

Mukhtar Umar, Ilmu ad Dal lah, (Kuwait: Maktabah Dar Urubah, 1982), cet. Ke-1, h. 215

47

Emil Badi Ya’kub, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah wa Khashaishuha, (Beirut: Dar al-Tsaq fah al-Islamiyah, tt), cet. ke-4, h. 173

48


(34)

mempunyai kata-kata yang jelas maknanya, sehingga kata-kata tersebut sudah menunjukkan satu makna, sedangkan makna lain yang dimilikinya sudah tidak tepat lagi, walaupun hanya makna tambahan saja. Oleh karena itu, ia menyatakan tidak benar apabila ada sebuah kata yang mempunyai dua makna atau lebih, begitu juga sebaliknya.49

C. Sinonim dalam Bahasa Indonesia 1. Pengertian Sinonim

Kata sinonim terdiri dari sin (“sama” atau serupa”) dan akar kata onim “nama” yang bermakna “sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Dengan kata lain: sinonim adalah kata-kata yang mengandung arti pusat yang sama tetapi berbeda dalam nilai kata. Atau secara singkat: sinonim adalah kata-kata yang mempunyai

denotasi yang sama tetapi berbeda konotasi.50 Contohnya:

a. Mati, meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah, menutup mata buat selama-lamanya, wafat, mampus

b. Cantik, molek, indah, permai, bagus c. Bodoh, tolol, dungu, goblok, otak udang.

Pada definisi Abdul Chaer mengatakan bahwa sinonim adalah: hubungan semantik yang meyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya.51

Sedangkan Verhaar mengatakan, “maknaya kurang lebih sama” ini berarti , dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen, hanya

49

Ibid, h. 35-36

50

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kosakata, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 78

51


(35)

kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak. Karena berdasarkan prinsip umum semantik, apabila bentuk berbeda maka maknanya pun tidak persis sama.52

Dalam ilmu bahasa yang murni, kata sinonim tidak diakui. Tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan, walaupun ada ketumpangtindihan antara satu kata dengan kata yang lain. Ketumpang tindihan makna inilah yang membuat orang menerima konsep sinonim. Disamping itu, konsep ini juga diterima untuk tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan kata-kata lama yang sudah dikenal.53

Masalahnya ialah setiap pemakai bahasa harus tahu betul bagaimana menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak.54 Namun kesibstusian di masalah ini adalah pada pemakaian kalimat. Contoh:

1. Setelah sekulah usai, murid-murid kelas enam mengadakan rapat 2. Ketika kami tiba di lapangan itu, pertandingan telah usai.

Permasalahan ini tidak dibahas jauh, karena Penulis hanya membatasi dengan sinonim dari segi semantis saja.

Pendefinisian sinonim Mansur Pateda berpendapat dengan tiga batasan yaitu, pertama, kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, mislnya kata

mati dan mampus, kedua, kata-kata yang mengandung makna yang sama, misalnya kata memberitahukan dan kata menyampaikan, dan ketiga, kata-kata yang dapat disubstitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha

52

Chaer, Pengantar Semantik bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995),h. 83

53

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1990), cet. Ke-6, h. 34

54

J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta, Gramedia, 1994), cet. Ke-5, h. 72


(36)

agar pembangunan berjalan terus”, “kami berupaya agar pembangunan berjalan terus”.55 Sinonim ini dipergunakan untuk mengalih-alihkan permakaian kata pada tempat tertentu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengkongkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi lewat (bahasa itu) akan terwujud. Dalam hal ini paemakai bahasa dapat memilih bentuk kata mana yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapinya.56

Namun T. Fatimah Djajasudarma mengatakan bahwa kesamaan makna sinonim dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Substitusi (penyulihan), hal ini dapat terjadi bila kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks tidak berubah, maka kedua kata itu disebut sinonim. Lyons mengemukakan bila dua kalimat memiliki struktur yang sama, makna yang sama, dan hanya berbeda karena dalam kalimat yang satu terdapat kata ‘Y’, maka ‘X’ sinonim dengan ‘Y’, misalnya Amir anak pandai dengan Amir anak pintar.

2. Pertentangan, sejumlah kata dapat dipertentangkan dengan kata lain dan dapat menghasilkan sinonim. Misalnya, kata berat bertentangan dengan ringan dan enteng.

3. Penentuan konotasi, jika terdapat perangkat kata yang memiliki makna kognitifnya sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kat-kata itu

55

Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. ke-2, h. 222-223

56

Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta , Akademika Pressindo, 2004), h. 29


(37)

tergolong sinonim, misalnya: kamar kecil, kakus, jamban, dan WC, mengacu ke acuan yang sama, tetapi konotasinya berbeda.57

Makna sebuah kata bergantung pada konteks. Sebuah kata terkadang berbeda maknanya di dalam berbagai konteks. Misalnya pada kalimat “Ayah naik mobil ke kantor”, kata naik tidak sama dengan ‘memanjat’, tetapi mengendarai. Jadi naik bersinonim dengan mengendarai. Oleh karena itu, analisa komponen makna diperlukan juga untuk menentukan kesinoniman, meskipun kata tersebut sudah ditempatkan di dalam konteks.58

2.

Sifat-sifat Sinonim

Henry Guntur Tarigan mengatakan, dua buah kata dapat bersinonim bila kata-kata tersebut mempunyai denotasi yang sama, tetapi konotasinya beda.59 Sinonim berhubungan dengan kesamaan kemiripan, dan kedekatan makna. Dua bentuk kata dikatakan bersinonim atau mempunyai makna yang sama, jika kedua bentuk itu mempunyai komponen atau komposisi semantik yang identik. Kesinoniman ini akan tampak jelas apabila kita membandingkan dua bahasa, misalnya kata ayam dalam bahasa Indonesia bersinonim dengan kata manu dalam bahasa Sikka, karena dua kata tersebut berkomposisi semantik yang identik.60

57

T. Fatimah Djaja sudarma, Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Eresco, 1993), cet. ke-1, h. 36-37

58

Ibid., h. 37-38

59

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1985), cet. ke-1, h. 17

60


(38)

3.

Jenis-jenis Sinonim

Penggolongan jenis sinonim dapat dilihat dari pendapat para ahli bahasa sebagai berikut:

1. Penggolongan sinonim menurut Colliman yang dikutip Fatimah membagi sinonim pada sembilan, yaitu:

1. Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki makna yang lebih umum (generik) Misalnya, menghidangkan dan menyediakan; dan kelamin

dengan seks.

2. Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif. Misalnya, jenuh dan bosan; kejam dan bengis; dan imbalan dan

pahala.

3. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif. Misalnya, mungil dan kecil; bersih dan ceria; dan hati kecil dan hati nurani.

4. Sinonim yang salah satu anggotanya bersifat mencela atau tidak membenarkan. Misalnya, boros dan tidak hemat; hebat dan dahsyat;

mengamat-amati dan memata-matai.

5. Sinonim yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu. Misalnya, plasenta dan ari-ari; ordonansi dan peraturan; disiarkan dan

ditayangkan.

6. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai di dalam ragam bahasa tulisan. Misalnya, selalu dan senantiasa; enak dan lezat; lalu dan


(39)

7. Sinonim yang salah asatu anggotanya lebih lazim dipakai di dalam bahasa percakapan. Misalnya, kayak dan seperti; ketek dan ketiak.

8. Sinonim yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak. Misalnya, pipis dan berkemih; mimik dan minum; bobo dan tidur; mam

(mamam) dan makan.

9. Sinonim yang salah satu anggotanya biasa dipakai di daerah tertentu saja. Misalnya, cabai dan lombok; sukar dan susah; katak dan kodok; sawala

dan diskusi.61

2. Pembagian sinonim dengan mengikuti Palmer yang dikutif Fatimah yaitu: 1. Perangkat sinonim yang salah satu anggotanya berasal dari bahasa daerah

atau bahasa asing dan yang lainnya, yang terdapat di dalam bahasa umum. Misalnya, konde dan sanggul; domisili dan kediaman; khawatir dan

gelisah.

2. Perangkat sinonim yang pemakaiannya bergantung kepada langgam dan laras bahasa. Misalnya, dara, gadis dan cewek; mati, meninggal dan wafat.

3. Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama. Misalnya, negarawan dan politikus; ningrat dan foedal.

4. Perangkat sinonim yang pemakaiannya terbatas pada kata tertentu (keterbatasan kolokasi). Misalnya, telur busuk, nasi basi, mentega tengik, susu asam, baju apek. Busuk, basi, tengik, asam dan apek memiliki makna yang sama, yakni buruk, tetapi tidak dapat saling menggantikan karena dibatasi persandingan yang dilazimkan.

61


(40)

5. Perangkat sinonim yang maknanya kadang-kadang tumpang tindih. Misalnya, buluh dan bumbu; bumbu dan rempah-rempah; bimbang, cemas

dan sangsi; nyata dan kongkret.62

3. Pembagian menurut Lyons menjadi empat golongan, yakni: 1. Sinonim lengkap dan mutlak. Contoh, surat kabat dan koran 2. Sinonim lengkap dan tidak mutlak. Contoh, orang dan manusia 3. sinonim tidak lengkap dan mutlak. Contoh, wanita dan perempuan 4. Sinonim tidak lengkap dan tidak mutlak. Contoh, gadis dan cewek.

Namun para ahli bahasa berpendapat jarangnya sinonim lengkap dan mutlak sebagai landasan untuk menolak adanya sinonim.63

4. Pembagian sinonim menurut Verhaar lain halnya dengan pendapat Lyons. 1. antarkalimat, misalnya:

Ali melihat Ahmad dan Ahmad dilihat Ali 2. Antarfrase, misalnya:

bunga harum itu dan bunga yang harum itu 3. Antarkata, misalnya:

nasib dan takdir; memuaskan dan menyenangkan 4. Antarmorfem, misalnya:

bukuku dan buku saya; kutulis dan saya tulis.64 5. Sedangkan Gorys Keraf membagi dua kriteria:

1. Kedua kata itu harus saling bertukar dalam semua konteks; ini disebut sinonim total;

62

Ibid., h. 40

63

Keraf, h. 35

64


(41)

2. Kedua kata itu memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama; hal ini disebut sinonim komplet.65

4.

Faktor-faktor Penyebab Munculnya Sinonim

Faktor yang menyebabkan adanya sinonimi seperti, kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Contoh, kukul (bahasa Jawa) bersinonimi dengan jerawat (bahasa Indonesia); diabetes bersinonimi dengan

penyakit kencing manis; kata-kata yang berasal dari kosakata bahasa sehari-hari dan istilah, seperti penyakit kencing manis dengan dabetes; telepon genggam

bersinonimi dengan kosakata yang berasal dari bahasa asing, yakni handphone. Sinonimi dapat muncul antarkata (frasa atau kalimat) yang berbeda ragam bahasanya, seperti bini (ragam bahasa (percakapan tak resmi) dengan istri (ragam resmi), bokap (ragam bahasa remaja) dengan ayah (ragam resmi). Kata-kata yang mendapat nilai rasa (konotasi) yang berbeda juga dapat bersinonimi, seperti partai gurem (perasaan negatif) dengan partai kecil (perasaan netral).66

Gorys berpendapat bahwa sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa yaitu: Pertama, ia terjadi karena proses serapan (borrowing). Pengenalan dengan bahasa lain membawa akibat penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Dalam bahasa Indonesia sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil

kita masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat dan kotor

masih kita terima kata maksiat; sudah ada kata karangan masih dianggap perlu

65

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta, Gramedia, 2007), h. 35

66

Kushartanti DKK, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta, Pustaka Utama, 2005), h. 118


(42)

untuk menerima istilah baru risalah, artikel, makalah, atau esei. Serapan ini bukan hanya menyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah bahasa donor, atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa donor seperti:

buku, kitab, pustaka; sekolah dan madrasah; reklame, iklan adpertensi. Kedua, penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia. Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi pula perbedaan kosa kata yang digunakan, walaupun referennya sama, misalnya kata tali, dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong, lempung dan tanah liat. Hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah sinonim yang terjadi karena pengambilan data dari dialek yang berlainan, misalnya tuli dan pekak, sore dan petang dan sebagainya. Ketiga, makna emotif, (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya berbeda, misalnya kata ekonomis, hemat, dan irit; kikir dan pelit; rindu dan damba; mayat, jenazah, dan bangkai; mati, meninggal, wafat, dan mangkat.67

Dalam bahasa Indonesia, kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada. Oleh karena itu, kata kata yang dapat dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Seperti kata mati dan meninggal, tetapi di tempat lain tidak dapat.68

Sedangkan Ramadhan Abd al-Tawwab, di dalam bukunya Fush l Fî Fîqh al-Lughah mengemukakan beberapa faktor penyebab munculnya tar duf, yaitu:

67

Keraf, h. 35

68


(43)

1. Banyaknya nama suatu benda dengan ungkapan yang berbeda. Suatu benda terkadang mempunyai nama yang banyak, sehingga timbullah hubungan arti antara nama-nama tersebut. Kondisi kebahasan seperti ini biasanya dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, maupun politik yang terjadi pada saat itu. Contohnya kata

H2I

dalam dialek mesir sama dengan

4I 4I

dialek lebanon, atau antara kata

&ﺱ4K

,

4;

dan

<75>

.

2. Adanya perkembangan bahasa (penggunaan kosa kata), sehingga sebuah benda dapat memiliki nama yang cukup banyak, contoh kata

(

@AB3

kata ini sebenarnya mempunyai arti yang spesifik, tetapi dalam perkembangan berikutnya muncul nama-nama lain, seperti

(

$L3

C

4ﺕ$P3

(C

MN$53

3. Pengucapan dua kata yang mirip dan jumlah hurufnya sama tapi susunannya berbeda. Pengucapan kata-kata seperti ini menjadi salah satu faktor munculnya tar duf, misalnya kata

QN

dan kata(

-R

. Disebabkan pula adanya dua kata lebih yang jumlah hurufnya sama, hanya saja salah satu huruf pada kata-kata tersebut berbeda, contoh kata

S91

dengan

T//

. Kedua kata ini berbeda tapi karena kemiripan antara keduanya, akhirnya diartikan sama.

4. Meminjam kata asing, sebagaimana terjadi pada masa Jahiliyah, sehingga terjadi asimilasi bahasa. Pada masa itu bahasa yang banyak diadopsi adalah bahasa Persia, seperti kata

UB><3

,

4PVﺱW

yang berarti sutra. Abdul Chaer berpendapat bahwa ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim disebabkan berbagai faktor, antara lain:


(44)

1. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan. Karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini.

2. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya bersinonim dengan kata

beta. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku). Sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.

3. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah bersinonim. Tetapi kata

aku hanya dapat digunakan untuk teman yang sebaya dan tidak dapat digunakan pada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya labih tinggi.

4. Faktor bidang kegiatan, misalnya kata tasawuf, kebatinan dan mistik

adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam, dan kata

mistik untuk semua agama.

5. Faktor nuansa makna, misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau dan mengintip adalah bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum; tapi kata melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata, kata melotot untuk menyatakan melihat dengan mata terbuka lebar, kata meninjau digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tinggi dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.69

69


(45)

5.

Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sama (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.70 Sedangkan menurut Verhaar semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (dalam linguistik kedua istilah itu lazimnya tidak dibedakan). 71

Semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna.72 Dalam pengertian umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.73 Sedangkan menurut Verhaar semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (dalam linguistik kedua istilah itu lazimnya tidak dibedakan). 74

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 M yang dikenal melalui

American Philological Association ‘Organisasi Filologi Amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning: A Point in Semantic. Istilah ini sudah ada sejak abad ke-17 SM bila dipertimbangkan melalui frase Semantic Philosophy.75

Namun, sejak tahun enam puluhan studi mengenai makna ini menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari studi linguistik lainnya. Orang mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa sesungguhnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang-lambang bahasa tersebut untuk menyampaikan

70

Ibid., h. 2

71

J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995), cet. Ke-20, h. 9

72

J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), h. 12

73

http://rahman-azzam.blogspot.com/2007/05/wacana-theon-lvan-dijk.html

74

J. W. M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995), cet. Ke-20, h. 9

75

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Eresco, 1993), cet. Ke-1, h.1


(46)

makna yang ada pada lambang tersebut, kepada lawan bicaranya (dalam komunikasi lisan) atau pembacanya (dalam komunikasi tulis). Jadi, pengetahuan akan adanya hubungan antara lambang atau satuan bahasa, dengan maknanya sangat diperlukan dalam berkomunikasi dengan bahasa itu.76

1.

Pengertian Makna

Sudah disebutkan pada sub bab yang lalu bahwa objek studi semantik adalah makna; atau dengan lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran seperti kata, klausa, dan kalimat.77 Aristoteles (384-322 SM) seorang sarjana bangsa Yunani sudah menggunakan istilah makna, yaitu ketika dia mendifinisikan mengenai kata. Menurutnya, kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna.78

Makna dalam kamus linguistik adalah hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditujunya.79 Sedangkan Verhaar mendifinisikan makna dengan sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri, atau makna adalah gejala dalam ujaran.80

Palmer dan Lyons membedakan pengertian makna dan arti. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Menurut Palmer makna hanya menyangkut intra bahasa. Lyons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata

76

Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 2

77

Ibid., h. 27

78

Ibid., h. 13

79

Kridalaksana, h. 132

80


(47)

tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksem.81

Kemudian hakikat makna itu sendiri telah banyak dikemukakan orang. Menurut pandangan Ferdinand de Saussure dengan teori tanda linguistiknya, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian).82

Mengenai makna kata biasanya dibedakan bermacam-macam makna, maka pertama-tama harus diketahui dasar-dasar mengenai pengertian makna. Di sekitar kita terdapat bermacam-macam peristiwa atau hal yang dapat diserap panca indra kita yang secara tradisional kita kenal sebagai rumah, binatang, bulan, tanah, batu, dan pohon. Kata-kata semacam itu merupakan lambang bunyi ujaran untuk mengacu pada benda-benda yang ada di alam itu. Masyarakat bahasa yang lain akan melambangkan barang-barang itu dengan lambang bunyi ujaran yang lain. Bila orang Indonesia menyebut rumah dan langsung menghubungkannya dengan gejala: tempat tinggal yang ada atap, dinding, pintu, dan jendela, maka timbullah suatu hubungan yang disebut arti.83

81

Sudarma, h. 5

82

Chaer, Linguistik Umum, h. 285-286

83

Gorys keraf, Tata bahasa Ruhukan Bahasa Indonesia: untuk Tingkat Pendidikan Menengah, , (Jakarta: Grasindo, 1991), h. 159-160


(48)

Jika kita telah menyepakati salah stu teori tentang makna atau penggabungan antara teori refrensial kontekstual, maka sekarang timbul masalah bagaimana makna-makna itu dianalisis.84

Berikut ini adalah sebuah tabel yang menerangkan tentang hubungan makna:

Makna denotasi dan

konotasi Makna dalam konteks Hubungan makna dengan kebudayaan Perubahan makna Bentuk-bentuk makna daripada hubungan semantik

denotasi ialah makna tersurat

Denotasi juga dikenali sebagai makna kamus, makna kognitif, makna rujukan, makna konseptual dan makna ideasional Contoh:

Ayam tambatan: Ayam yang ditambat atau diikat dengan tali atau lain-lain alat pengikat. Makna sesuatu perkataan yang diujarkan boleh diketahui dengan melihat konteks penggunaannya. Contoh:

1. Awak betul-betul hati batu ( hati membawa maksud degil, tetap pendirian)

2. Sedap betul makan hati dengan nasi beriyani. (Hati membawa maksud Penggunaan dan pemilihan perkataan juga berhubungan dengan kebudayaan sesuatu masyarakat. Contoh: Engkau/kau: digunakan dalam hubungan yang rapat yang tidak formal dan untuk menimbulkan kemesraan.

Awak/anda: Digunakan dalam hubungan biasa (anda

Makna sesuatu perkataan itu akan berubah mengikut perubahan masa, teknologi dan hubungan sosial masyarakat. Contoh:

rawat: Makna umum menjaga dan mengobati orang sakit, tetapi makna baru meliputi merawat sisa kumbahan, pokok (nurseri).

Bentuk-bentuk makna kata yang timbul daripada hubungan semantik ialah sinonim, antonim, hiponim, polisemi, homonim, hiponim dan homograf. Sinonim - kata yang mempunyai makna yang sama atau hampir sama.

Contoh:

sang surya = matahari

hangat = panas

84

J. D Parera, Teori Semantik , (Jakarta: Erlangga, 2004), Ed. Ke-2, h. 51

85


(49)

Konotasi pula ialah makna tambahan, atau makna tersirat. Contoh:

Ayam tambatan: Orang

harapan/penting di dalam satu kumpulan, pasukan.

Istilah lain untuk konotasi ialah emotif atau makna evaluatif Terdapat kata-kata sinonim (seperti) yang mempunyai makna denotasi yang sama, tetapi makna konotasi yang berbeda.

Contoh:

Kata wafat, mati, meninggal dunia,

mampus membawa

maksud denotasi yang sama yaitu jasad

organ hewan yang menjadi hidangan yang

menyelerakan)

3. Berhati-hati di jalan raya. (Hati bermaksud

berwaspada di jalan raya bagi

mengelakkan kemalangan).

lebih rasmi).

Tuanku: Digunakan oleh orang biasa untuk merendah diri apabila berhubung dengan golongan raja.

Antonim-lawan kata Misalnya tinggi-rendah, besar-kecil

Hiponim- hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan generik

Contoh: kucing, kambing, kambing

Polisemi- pemakaian bentuk bahasa seperti kata, frasa dsb dengan makna yang berbeda.

Contoh: Sumber

1.sumur 2.asal

3.tempat sesuatu

yang banyak.

Homonim-

hubungan antara kata yang ditulis/ dilafalkan dengan cara yang sama


(50)

dan roh terpisah.

Tetapi dari segi denotasi, wafat untuk tokoh-tokoh ulama terhormat dan disegani, meninggal dunia untuk sebutan yang sopan, mati untuk sebutan umum dan mampus untuk sebutan yang lebih kasar.85

dengan kata lain, tetapi tidak punya hubungan makna.

Misalnya:

Keranjang dan ke ranjang.

Homofon- kata yang berhomofon dengaan kata lain. Misalnya: bang dan bank.

Homograf- kata yang berhomograf dengaan kata lain. Misalnya: tahu

1. makanan 2. paham

2.

Jenis-jenis Makna

Dari jenis makna yang ada dari berbagai pendapat para ahli, Penulis hanya akan membahas jenis makna yang paling tepat pada pembahasan ini.


(51)

a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun.86 Sedangkan di buku lain yaitu Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Abdul Chaer menerangkan leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dan bentuk nomina leksikon (vocabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata.87

Makna leksikal dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Hal ini berarti bahwa makna leksikal suatu kata terdapat dalam kata yang berdiri sendiri-sendiri. Sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut berada di dalam kalimat.88

Makna gramatikal adalah makna yang terbentuk akibat susunan kata-kata dalam frase, klausa, atau kalimat,89misalnya, dalam proses afiksasi prefiks ber-

dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal “mengenakan atau memakai baju”.

b. Makna Referensial dan Non-referensial

Makna refrensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjukoleh kata. 90 Acuan yang ditunjuk oleh kata tersebut bisa berupa benda, gejala, peristiwa, proses, sifat dan sebagainya. Contohnya kata meja. Makna yang diacu adalah benda, yaitu wujud atau bentuk meja, seperti kalimat, meja itu terbuat dari kayu jati.

86

Chaer, Linguistik Umum, h. 289

87

Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 60

88

Mansur Pateda, Semantik leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. Ke-1, h.119

89

Machali, h.24

90


(52)

c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal.91 Makna denotatif sifatnya objektif. Contohnya, pada kalimat ia membeli amplop di warung itu. Leksem amplop dimaknai sebagai ‘tempat atau alat pembungkus surat’. Makna denotatif bukan makna kiasan atau perumpamaan.

Makna konotatif adalah makna lain yang ‘ditambahkan’ pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut.92 Misalnya berilah ia amplop agar urusanmu cepat selesai. Leksem amplop bermakna konotatif uang yang diisi di dalam amplop atau biasa disebut uang sogok atau pelicin.

d. Makna Konseptual

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna refrensial, makna leksikal, dan makna denotatif.93

e. Makna Idiomatikal

Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentukya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan lain selain mencarinya di dalam kamus, contoh raja siang

(matahari).94

91

Ibid., h. 98

92

Chaer, linguistik Umum, h. 292

93

Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 72

94


(53)

f. Makna Kias

Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konsptual, atau arti denotatif) mempunyai arti kiasan. Bentuk-bentuk seperti putri malam dalam arti bulan, pencakar langit

dalam arti gedung bertingkat, semuanya mempunyai arti kiasan. g. Makna Kognitif

Makna ini yang ditunjukkan acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, abjek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya.

Kata pohon bermakna tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Jika orang berkata pohon, terbayang pada kita bahwa pohon yang selama ini kita kenal, makna kognitifnya lebih banyak berhubungan dengan otak dan pemikiran kita tentang sesuatu.95

h. Makna Emotif

Makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara terhadap apa yang difikirkan atau dirasakan. Misalnya, kata meninggal, mati, tewas, mampus, yang memiliki makna kognitif tidak bernyawa lagi, sedangkan kata-kata ini mengandung makna emotif yang berbeda.96

Salah satu unsur penerjemah adalah semantik, karena semantik mempunyai manfaat yang sangat besar dalam menerjemahkan. Penguasaan seorang penerjemah terhadap bahasa Arab (BSU) dan BSA adalah syarat utama yang harus dimiliki. Namun, apabila penerjemah tidak mempunyai keterampilan dan kreativitas di dalam merangkai kata dalam kalimat teks terjemahan, maka hasil

95

Pateda, h. 109

96


(54)

terjemahan akan terlihat kaku akibatnya pembaca akan merasa jenuh dan tidak tertarik untuk membacanya.

E. Ketauhidan

1. Konsekuansi Tauhid

Ilmu tauhid menurut arti bahasa adalah ilmu pengetahuan yang menyatukan, mengesakan, menganggap satu. Adapun menurut istilah ialah suatu yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang wajib diketahui dan dipercayai. Dengan ringkas dapat disimpulkan: ilmu mengenai Allah.97

Ilmu artinya pengetahuan, ke-Tuhanan yang Maha Esa yaitu menyatukan, menegaskan, dan menganggap satu. Maksud Ilmu ke-Tuhanan yang maha Esa atau ilmu Tauhid adalah ilmu yang menerangkan sifat-sifat Allah yang dipercayai kaum Muslimin. Dapat dikatakan juga ilmu mengenal Allah.98

Seseorang yang tahu bahwa Tuhan itu Esa dan bahwa Ia Maha Tahu akan segala sesuatu dan memiliki kekuasaan untuk melakukan segalanya, kemudian percaya bahwa seluruh makhluk dibentuk dan diciptakan oleh-Nya, tak akan pernah memberikan ketaatannya kepada benda-benda lain karena hal ini. Kekuasaan yang terbesar, kemakmuran yang melimpah, tak akan pernah memperbudak dan membuatnya membungkuk terhadap sesuatu benda. Orang seperti itu akan menyerahkan diri hanya kepada Tuhan, dan akan sujud hanya di depan keagungannya. Di dalam naungan tauhid, tak ada alternatif lain bagi abdi-abdi Tuhan kecuali mengikuti hukum Tuhan yang dibangun di atas kebijakan dan

97

H. Hamzah Yaqub, Ilmu Ma’rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin, (Jakarta: Atisa, 1988), cet. ke-3, h. 1

98

T.M Usman el Muhammady, Ilmu Ketuhanan yang Maha Esa, (Jakarta: Tp, 1970), cet. Ke-3, h. 42


(55)

keadilan. Jelas bahwa mengikuti hukum Allah akan menyebabkan keadilan sejati bertambah, dan segala bentuk kelaliman dan agresi sirna.99

Di pihak lain, para penyembah berhala dan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Esa takkan pernah bisa menciptakan keadilan sejati diantara diri-diri mereka sendiri, karena setiap suku atau kelompok memiliki tuhannya sendiri yang berbada dari suku-suku yang lain, dan mengandalkan pada tuhan ini memberanikan mereka untuk bersifat agresif kepada kelompok-kelompok atau suku-suku lain. Dengan cara ini keadilan sejati tak mungkin terjadi, tapi justru kejahilan, keterpecahan dan kelaliman di dalam kata-kata dan perbuatan akan berlangsung.100

Keesaan Allah sebagai Tuhan bukanlah seperti sebuah sapu lidi, yang kenyataannya terdiri dari beberapa batang lidi yang diikat menjadi satu, sedangkan antara yang satu dengan yang lain, masih terpisah sendiri-sendiri. Tidak juga dengan sebatang rokok yang kenyataannya terdiri dari selembar kertas, tembakau dan cengkeh, yang kalau dipisahkan satu dengan lain tidak lagi bernama sebagai rokok. Masing-masing punya sifat tersendiri. Jadi, keesaan Allah tidak terdiri dari beberapa benda yang disatukan, baik bisa diuraikan lepas kembali atau tidak. Di sinilah kelainan Allah dengan semua makhluk yang terdapat di alam ini.101

Oleh karena itu, Tauhid atau pengesaan Allah memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tauhid menjadi pemancar kebaikan

99

Dewan Ulama Darul Haq, Belajar Mudah Ushuludin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-2, h.52

100

Dewan Ulama Darul Haq, h.53-54

101

Muhammad bin Abdul Wahab, Syarah Kitab al-Tauhid, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 25


(56)

di dunia dan keselamatan di akherat. Kadar keselamatan manusia di akherat berbanding lurus dengan kadar keyakinan dalam bertauhid. Begitu pula halnya dengan keridhaan Allah di dunia dan di akhirat. Dunia adalah tempat pengujian dan akhirat adalah tempat pembalasan.102

Bertolak dari sini, tauhid di dunia ini tidak tampak dengan wajah yang sesungguhnya sebagai parameter final dan pasti diterima atau ditolaknya semua amal perbuatan manusia. Namun, di akherat kelak mereka ini tidak mempunyai timbangan amal kebaikan sedikit pun; usaha mereka di dunia ini tidak bernilai sama sekali. Penolakan atas tauhid menjadikan semua amal kebaikan di dunia tidak memiliki nilai dan harga. Bahkan, amal-amal kebaikan itu justru akan memberikan aib bagi para pelakunya jika mereka tidak mentauhidkan Allah.103

2. Konsep Tuhan Menurut Islam

Dalam agama Islam konsep Tuhan bermakna bahwa di dunia hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah Swt. Tidak ada yang disebut Tuhan, dianggap sebagai Tuhan, atau dinobatkan sebagai Tuhan, selain Allah Swt. Jadi yang ada di alam semesta ini, adalah makhluk belaka. Tidak ada yang boleh menyelinap dalam hati, bahwa selain-Nya ada yang pantas atau patut dipertuhankan. Jika masih ada sedikit kepercayaan selain-Nya, maka harus segera dikikis habis.104

Allah adalah nama dzat yang Maha Sempurna dan yang Maha Agung.

Dzatnya adalah tunggal, tidak terdiri dari unsur-unsur, bagian-bagian dan tidak ada suatu apapun yang serupa dengannya. Dan karena itu manusia dilarang

102

Ahmad Bahjat, Akulah Tuhanmu; Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid, (Bandung, Pustaka Hidayah, 2005), cet. Ke-4, h. 13

103

Ahmad Bahjat, Akulah Tuhanmu; Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid, h. 13

104


(1)

A. Widyamartama, Seni Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius, 1989

Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar, Rahasia Tawakal; dan Sebab Akibat, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000

Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989

Ahmad, Solihin Banyumas, Metode Granada: Sistem 8 Jam Bisa Menerjemah al-Qur’ân, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000

Al Ashimaini, Muhammad ibn Shalih, Ush l f al Tafs r, Kairo: Dar ibn al-Qayyim, 1989

Ali, As Syarif bin Muhammad, Kitab at Ta’rifat, Mesir: Daarul Kutub al Ilmiyah, tt

Al-Jibouri ,Yasin T., Konsep Tuhan Menurut Islam, Jakarta: Lentera Basritama, 2003

Al-Shabuni, Muhammad Ali, al Tiby n f Ul m al Qur’ n, Beirut, Alam al Kutub, 1985

Al-Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir, Mukhtar as-Sahih, Beirut : Daarul al-Ilmiyah, tt

Badudu, J.S, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994

Bahjat, Ahmad, Akulah Tuhanmu; Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid, Bandung, Pustaka Hidayah, 2005


(2)

Chaer, Abdul, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1995

__________, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000

__________, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Daudy , Ahmad, Kuliah Akidah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989

Dewan Ulama Darul Haq, Belajar Mudah Ushuludin, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996

Fatimah, T. Djajasudarma, Semantik ‘Pengantar ke Arah Ilmu Makna 1, Bandung: PT Refika Aditama, 1999

Hanafi, Nurachman, Teori dan Seni Menerjemahkan, Ende Flores: Nusa Indah, 1985

Hidayatullah, Moch. Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemah, Jakarta: Tp, 2007

Hoed, Benny H., Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya: dalam lintas Bahasa, Media Komunikasi Penerjemah 2, 1995

Humanika, Eko Setyo, Mesin Penerjemah: Sebuah Tinjauan Linguistik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003

Keraf,Gorys, Diksi and Gaya Bahasa,Jakarta: Gramedia, 1990 __________, Komposisi, Ende: Nusa Indah, 1997


(3)

al-Nafais, 1986

Kushartanti DKK, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta, Pustaka Utama, 2005). h. 118

Mansyur, Moch dan Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah; Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002

Muhammady, el T.M Usman, Ilmu Ketuhanan yang Maha Esa, Jakarta: Tp, 1970

Pateda, Mansur, Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta, 2001

Satori, Ahmad, “Diktat Penerjemahan Tahririah: Prinsip-prinsip Penerjemahan”, 2004

Shihab, M. Quaraish, Membumikan al Quran, Bandung: Mizan, 1997

Simatupang, Maurits, Pengantar Teori Terjemahan, Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas, 1999

Sudarma, T. Fatimah Djaja, Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Eresco, 1993

Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Kosakata, Bandung: Angkasa, 1993

Tasai, Zaenal Arifin dan S. Amran, Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi, Jakarta , Akademika Pressindo, 2004

Tedjoworo, Imaji dan Imajinas: Suatu Telaah Filsafat Postmodernnisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001


(4)

Umar, Mukhtar, Ilmu ad Dalalah, Kuwait: Maktabah Dar Urubah, 1982

Wahab, Muhammad bin Abdul, Syarah Kitab al-Tauhid, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

Verhaar, J. W. M, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, tt

______________, Pengantar Linguistik, Yogyakarta: Gajah Mada, 1995

Ya’kub, Emil Badi, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah wa Khashaishuha, Beirut: Dar al-Tsaqofah al-Islamiyah, tt

Yaqub, H. Hamzah, Ilmu Ma’rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin, Jakarta: Atisa, 1988

Yusuf, Suhandra, Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, Bandung: Mandar Maju, 1994

Internet

http://rahman-azzam.blogspot.com/2007/05/wacana-theon-lvan-dijk.html http://www.tutor.com.my/stpm/semantik/semantik.htm

Kamus

Ali, Atabik Dan Ahmad Zuhdi Muhdar, Al-Ashr, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003

Endarmoko, Eko, Tsaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006


(5)

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993

Tim Penyusun KBBI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1990

Luwis, Al-Abu Ma’luf al-Yasuui, Munjid f al-Lughah wa al-’Alam, Beirut: al-Maktabah as-Syarkiyah, 2002


(6)