Etika Konsumsi Islam KONSEPTUALISASI KONSUMSI
25
manusia yang bersedia menjadi konsumen atau semua orang berbondong- bondong untuk berproduksi yang menyebabkan daya beli masyarakat berkurang
karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi akan berhenti yang akan mengakibatkan perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam sangat mengharapkan setiap muslim untuk dapat kiranya memberikan sebagian dari harta mereka kepada orang lain. dengan demikian
seluruh masyarakat akan terbantu dengan adanya tindakan itu yang kian lama akan menambah kekuatan yang besar bagi bangsa untuk membangun. Sehingga
roda pembangunan akan berjalan dan terhindar dari tindakan meminta-minta pada negara lain. Tindakan tersebut sangat baik dilakukan karena dengan itu kita
telah membelanjakan harta dijalan Allah. Seorang muslim tidak diperbolehkan menghalalkan harta yang haram
dan mengharamkan harta yang halal. Apakah karena sikap zuhud kepada Allah dan hidup serba kekurangan atau karena sifat bakhil dan pelit. Al-qur’an juga
tidak membenarkan kesengsaraan yang disengaja dijalani oleh seseorang dengan alasan untuk beribadah kepada Allah atau untuk menghemat uang. Sikap terlalu
hemat pada sebagian manusia, baik untuk kepentingan diri dan keluarga adalah sikap tercela yang berarti mereka tidak mensukuri nikmat Allah dengan
memanfaatkan sebagaimana mestinya. 2.
Islam Melarang Tindakan Mubazir Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keluarga serta menafkahkannya di jalan Allah.
26
dengan kata lain, Islam adalah agama yang memerangi kekikiran dan kebakhilan. Islam juga melarang tindakan mubazir karena Islam mengajarkan sikap
sederhana. Sederhana dalam makanan, pakaian, dan lain sebagainya. Sikap sederhana ini mampu mengajarkan seseorang menyeimbangkan pendapatan dan
pengeluaran mereka. Dengan demikian mereka mampu mengatur konsumsi dan terhindar dari adanya hutang kepada orang lain. Karena hutang dapat menjadi
beban pikiran. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjual rumah atau lahan pertanian yang seharusnya dijaga dan dipelihara untuk melunasi hutang.
Selain itu Islam juga melarang manusia hidup secara berlebih-lebihan. Hidup dengan cara itu dapat merusak masyarakat dan juga merusak individu itu
sendiri. Merusak individu karena yang dicari dalam kehidupan dunia adalah kepuasan nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga banyak mendatangkan
penyakit. Merusak masyarakat karena golongan mereka yang hidup dengan mewah menindas hak-hak masyarakat lain dengan kemewahannya.
9
Hal lain yang dilarang dalam Islam adalah berlaku boros dan menghambur-hamburkan
harta. Sikap boros merupakan sikap yang melampaui kewajaran yang tidak sesuai dengan keadaan seharusnya. Al-qur’an melarang kita membelanjakan harta dan
menikmati kehidupan yang boros dan menghendaki untuk hidup sederhana dan menjauhi sikap boros.
9
Ibid ., h.151
27
Islam juga menbatasi penggunaan harta pada dua macam yaitu dalam segi kualitas dan kuantitas.
10
Dalam segi kualitas Islam melarang umatnya untuk membelanjakan uangnya pada hal yang tidak berguna dan mengandung
kemudharatan seperti membeli minuman keras, mengkonsumsi narkoba, berjudi dan lain-lain walaupun dilakukan dalam jumlah yang sedikit. Dalam segi
kuantitas Islam melarang konsumsi yang tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran. Mereka dilarang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak
mendesak. Pembatasan yang telah diatur oleh Islam bukanlah pembatasan yang dilakukan untuk memupuk kekayaan pribadi, golongan ataupun lainnya, tetapi
hal tersebut mempunyai tujuan yang sangat mulia untuk kesejahteraan manusia sebagai wahana pendidikan moral, pendidikan masyarakat, pendidikan ekonomi,
pendidikan kesehatan, bahkan pendidikan militer dan politik.
11
3. Bersikap Sederhana
Orang yang mempunyai harta berlimpah cenderung untuk hidup berlebih-lebihan karena apa yang mereka inginkan dapat dengan mudah
dimilikinya. Sebaliknya mereka yang berpendapatan rendah hidup dengan pola sederhana. Mereka harus mengatur hartanya untuk keperluan yang sangat
banyak. Sikap sederhana merupakan sikap yang dapat mengajarkan pola hemat dalam pengeluaran harta dan juga mengajarkan seseorang mengatasi kekurangan
10
Ibid ., h.158
11
Ibid ., h.160
28
barang apabila nanti terjadi krisis. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sikap sederhana adalah tindakan yang dianjurkan dalam pengelolaan harta
masyarakat muslim. Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, dikutuk dalam Islam.
Selain sikap sederhana dituntut dalam kehidupan pribadi, sikap itu seyogyanya harus diterapkan dalam pemerintahan. Pemerintah harus dapat
mendahulukan mana yang dibutuhkan rakyat dan mana yang kurang perlu. Mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan golongan.
Mementingkan rakyat daripada pejabat. Pemimpin sepantasnya menjadi contoh bagi rakyatnya dalam berperilaku. Menjauhi hidup berlebih-lebihan dan
bergelimang harta. Serta menjauhi sikap sombong dengan apa yang dimilikinya. Pengaturan uang negara harus dikedepankan untuk kepentingan rakyat dengan
memberikan prioritas utama dari pada kepentingan lainnya. Dengan sikap sederhana Islam telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam menggunakan harta yang seharusnya. Selain juga dapat memperkuat moral dan sikap sosial. Terlepas dari itu sikap sederhana juga dapat
dijadikan sebagai suatu peraturan untuk menghambat dan menekan masyarakat yang hidup mewah, mereka yang selalu hidup berfoya-foya, meminum minuman
keras, berjudi dan lain sebagainya yang dalam ajaran Islam hal ini sangat dilarang.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan
29
kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya
aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir. Dalam hukum Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-
pembatasan dan bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarîah dia seharusnya
diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.