Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
hal ini kegiatan ekonomi ada yang ditujukan langsung untuk memenuhi kebutuhan pelakunya dan ada juga yang ditujukan untuk memenuhi orang lain.
Menurut teori konvensional kelangkaan sumber daya alam menjadi problematika ekonomi manusia, sehingga manusia harus melakukan berbagai upaya
untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan menurut teori ekonomi Islam yang dikemukakan oleh madzhab Baqr as-Sadr menyatakan bahwa Islam tidak mengenal
sumber daya yang terbatas. Menurut mereka Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang setepat-tepatnya. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana manusia itu sendiri dapat berusaha sejalan dengan kemaslahatan dan tidak melanggar aturan yang ada dalam syari’ah Islam.
Masalah ekonomi dikemukakan pula oleh Islam yang disebutkan oleh suatu hadits nabi yang diriwayatkan Bukhari dari Zubair bin Awwam yang berbunyi :
ﺪ ا ﺬ ﺎ نﻻ لﺎﻗ و ﷲا ﻰ ﺻ ا ﻦ ﷲا ﺿر ماﻮ ا ﻦ ﺮ ﺰ ا ﻦ
لﺎ ﻦ ﺮ ﻬﺟو ﺎﻬ ﷲا ﻜ ﺎﻬ ﺮﻬﻇ ﻰ ﻄﺨ ا ﺔ ﺰ ﺗﺎ آ
ﻮ وا ﻮﻄ ا سﺎ ا .
اور ىرﺎﺨ ا
3
Artinya : Dari Zubair bin Awwam r.a. bahwa nabi SAW berkata :
Seseorang yang membawa tali pada pagi hari berangkat mencari dan mengerjakan
kayu bakar ke bukit-bukit, lalu menjualnya, memakannya, dan menyedekahkannya lebih baik daripada hidup meminta-minta kepada
manusia lainnya.
HR. Bukhari
3
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kairo Majlisul A’la Lissuunil Islamiyah, 14101990, Juz ke-3 Jilid 2, Bab al-Isti’fafi anil Masalati, no.1330,
KitabuZakat, h. 152
Melalui hadits tersebut, nabi telah menegaskan beberapa persoalan-persoalan ekonomi yaitu mengerjakan kayu bakar berarti berusaha menambah produksi,
berusaha menjualnya berarti mengerjakan distribusi pembagian, memakannya berarti memenuhi konsumsi pemakaian, dan menyedekahkannya berarti
mengerjakan rencana sosial. Tindakan ini menurut Islam lebih baik dan sangat dianjurkan daripada hidup dengan meminta-minta yang seharusnya dapat dihindari
oleh seorang muslim. Untuk setiap persoalan-persoalan ekonomi diatas, Islam memberikan aturan
dan rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam melakukan kegiatan tersebut tidak terkecuali dengan masalah konsumsi. Dalam pemikiran yang
sempit istilah konsumsi biasa dikaitkan dengan makanan dan minuman yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tertentu. Pengertian konsumsi tidak hanya
terbatas pada persoalan makan dan minum, tetapi menyangkut semua kebutuhan hidup dimasyarakat, baik kebutuhan jasmani maupun rohani.
Islam memerintahkan agar dalam mengkonsumsi barang dan jasa, manusia harus memperhatikan kehalalan dan kebaikan dari barang dan jasa yang dikonsumsi.
Hal ini dimaksudkan supaya dalam menjalankan hidup, mereka dapat menjaga jasmani dan rohaninya. Konsumsi dalam Islam ditempatkan sebagai alat untuk
mencapai tujuan hidup dan bukan meletakannya sebagai tujuan hidup. Menurut Asy- Syatibi pemenuhan penghidupan manusia merupakan salah satu upaya untuk tujuan
kemaslahatan yaitu mendorong kesejahteraan manusia yang dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Dharuriyat pokok, Hajiyat pelengkap, dan Tahsiniyat
penyempurna. Kesejahteraan akan dapat dipenuhi jika kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani telah terpenuhi. Islam juga mengajarkan betapa pentingnya
kepedulian dengan sesama yang dituangkan melalui jalur sadaqah atau infaq. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, hendaklah manusia berpijak
pada aturan-aturan yang ditetapkan Islam agar menjadi sarana bagi kemaslahatan manusia.
Namun dapatkah tujuan yang mulia itu tercapai ?. Tujuan tersebut belum tentu tercapai kecuali apabila semua kekuatan yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakat bekerja seperti dalam sebuah perusahaan dimana perusahaan itu tidak dapat berjalan apabila satu bagian didalamnya tidak melakukan kegiatan yang
menjadi tugasnya. Dalam hal ini pemerintah harus berperan aktif dan positif serta berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Peran yang diharapkan mampu memainkan
dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat, menciptakan iklim ekonomi rakyat yang sehat, dan pengembangan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Hal inipun coba diterapkan oleh pemerintah kita melalui salah satu kebijakannya dengan memberikan bantuan berupa sejumlah uang kepada masyarakat
yang dinyatakan berada pada golongan kurang mampu berdasarkan syarat dan kritetia-kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebesar Rp. 300.000 per 3 bulan
Kebijakan ini dilakukan sebagai kompensasi dari pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak BBM yang dinilai banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas
sehingga tidak tepat sasaran.
Dengan kebijakan tersebut masyarakat yang kurang mampu memang sangat terbantu akan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin sulit atau setidak-tidaknya
dapat mengurangi beban hidup. Kebijakan yang tentunya akan berpengaruh terhadap kegiatan konsumsi mereka. Sebagai umat Islam masyarakat seharusnya dapat
melakukan tindakan-tindakan yang bukan hanya mementingkan kepentingan jasmani berupa makan, minum dan lainnya tetapi juga memperhatikan kebutuhan rohani
supaya tercapai apa yang telah digariskan oleh Islam. Terlebih dengan adanya bantuan dari pemerintah berupa dana Bantuan Langsung Tunai BLT. Dengan ini
mereka diharapkan mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Melihat polemik permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis
sangat tertarik untuk membahas secara mendalam bagaimana pengaruh Bantuan Langsung Tunai BLT terhadap perilaku konsumsi umat Islam. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis akan mencoba membahasnya dalam sebuah karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul “ HUBUNGAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI BLT DENGAN PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT MUSLIM : Studi
Pada Kelurahan Pamulang Timur” .