Pembinaan Tenaga Kerja Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan

Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 pihak perusahaan memperpanjang kontrak kerjanya, maka ia akan terus bekerja pada perusahaan tersebut sampai habis jangka waktu yang tercantum di dalam perpanjangan perjanjian kerjanya.

C. Pembinaan Tenaga Kerja

Dalam hal pembinaan tenaga kerja yang dimaksud dalam pembinaan ini mungkin bermacam- macam cara sesuai dengan kemampuan dari perusahaan yang bersangkutan. Kemungkinan pembinaan yang diberikan oleh perusahaan kepada tenaga kerja adalah berupa pendidikan, keterampilan, kursus dan lain sebagainya yang langsung dikelola perusahaan itu sendiri yang mungkin juga dilakukan di luar perusahaan yang kesemuanya adalah tanggungan perusahaan. Tenaga kerja sebagai bagian yang integral dari pembangunan nasional merupakan salah satu modal utama dalam pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu tenaga kerja harus dibina, baik keahlian maupun keterampilan selaras dengan tuntutan perkembangan pembangunan dan teknologi agar dapat didayagunakan seefektif dan semaksimal mungkin. Pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatan- kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan mengikutsertakan organisasi pengusaha, Serikat Pekerja Serikat Buruh dan organisasi profesi terkait, baik melalui kerjasama nasional maupun Internasional. 25 25 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 22. Pembinaan dimaksud dilakukan pemerintah melalui Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 kebijakan- kebijakan sesuai wewenang yang diberikan undang-undang sehingga tujuan pembangunan ketenagakerjaan dapat tercapai yaitu : 26 a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

D. Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan

1. Pengertian Perjanjian Kerja Jika membicarakan tentang pengertian perjanjian kerja, haruslah terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian. Pengertian tentang perjanjian diatur oleh KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 27 Dengan adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian tentang perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan perjanjian kerja. 28 26 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39. 27 R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001, hlm 338. 28 Di dalam pengertian Perjanjian Kerja, para pihak yang mengadakan perjanjian tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang, karena pihak yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dan bekerja di bawah perintah orang lain, yaitu Pengusaha. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Jika pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut di atas dilihat secara mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat. 29 Suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 30 Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apa pun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Atau dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 31 Perjanjian kerja merupakan kesepakatan untuk mengadakan ikatan, yang di dalamnya ditentukan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti 29 R. Subekti, loc.cit., hlm 338. 30 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, 1982, hlm 78. 31 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet. IV,1979,hlm. 13. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 syarat-syarat dan bentuknya. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. 32 Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah. Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan pasal 1601a KUHPerdata, mengenai Perjanjian Kerja disebutkan bahwa : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.” Kalimat “dibawah perintah pihak lain” menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pekerja dengan majikan yaitu hubungan antara bawahan dan atasan. Pengusaha memberikan perintah kepada pekerja untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dengan adanya wewenang untuk memerintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Selain itu pengertian mengenai Perjanjian Kerja juga di ketengahkan oleh seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia, yaitu Bapak R.Iman Soepomo, yang menerangkan bahwa perihal pengertian tentang Perjanjian Kerja, beliau mengemukakan bahwa : 33 32 Lalu Husni, op. cit., hlm 54. 33 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan bagian pertama Hubungan-Kerja, PPAKRI Bhayangkara, Jakarta, 1968, hlm 75. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Selanjutnya perihal pengertian Perjanjian Kerja, ada lagi pendapat Subekti, beliau menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa Perjanjian Kerja adalah : Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri- ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas bahasa Belanda “dierstverhanding” yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu majikan berhak memberikan perintah- perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. 34 2. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Dalam hukum perjanjian di Indonesia ada menganut asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 35 34 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung, Cet. II, 1977, hlm 63. 35 R. Subekti, op. cit., hlm 307. Setiap orang dapat membuat perjanjian dengan syarat-syarat tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang, sehingga perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Mengenai sahnya suatu perjanjian, diatur dalam Buku III Bab 2 bagian kedua yaitu Pasal 1320, Pasal 1321, Pasal 1322, Pasal 1323, Pasal 1324 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Adapun syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 36 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal; Syarat pertama dan syarat kedua dikenal dengan sebutan syarat obyektif. Disebut syarat obyektif karena berhubungan langsung dengan orang atau subyek yang membuat perjanjian. Jika salah satu dari syarat obyektif ini tidak dipenuhi, Hakim dapat membatalkan perjanjian tersebut setelah sebelumnya diadakan permohonan dari pihak yang bersangkutan. Sepanjang belum diadakan pembatalan, perjanjian tersebut masih berlaku sah bagi para pihak. 37 Syarat ketiga dan keempat, disebut dengan syarat Subyektif. Artinya, dalam hal kedua syarat ini tidak dipenuhi, Hakim dapat membatalkan perjanjian tersebut walaupun pihak yang bersangkutan telah mengadakan permohonan pembatalan. Karena telah dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. 38 36 Ibid., hlm 305. 37 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1977, hlm 16. 38 Ibid., hlm 16. Pasal 1321 KUHPerdata adalah : “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Pasal 1322 ayat 1 bunyinya adalah: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”. Pasal 1322 ayat 2 bunyinya adalah: “Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi menge nai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengikat dirinya orang tersebut”. Pasal 1323, bunyinya adalah: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”. Pasal 1324 ayat 1, bunyinya adalah: “Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikir sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”. Pasal 1324 ayat 2, bunyinya adalah: “Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan Orang-orang yang bersangkutan”. Pasal 1337 bunyinya adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Penjelasan dari keempat syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian dapat dilihat sebagai berikut : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya “Pengertian sepakat dapat diumpamakan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui overeenstomende wilsverklaring antara para pihak”. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran offerte. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Sedangkan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi acceptatie. 39 b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Jadi kata sepakat adalah, bahwa kedua subjek yang membuat perjanjian itu harus setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang harus dibuat itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga harus dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar- benar mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan harus mengetahui benar akan tanggung jawab yang akan dipikulnya sebagai akibat dari perjanjian yang dibuatnya itu. Namun mengenai siapa- siapa yang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum, tidak dinyatakan secara jelas oleh undang-undang. Pasal 1330 KUHPerdata, menyatakan bahwa Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 40 1. Orang yang belum dewasa, 2. Mereka-mereka yang berada dibawah pengampuan curatele, dan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang telah melanggar membuat perjanjian tertentu. 39 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 74. 40 R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001, hlm 341. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 tahun, atau yang berumur kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan No.1 Tahun 1974, batas usia dewasa ditentukan 19 tahun. Tentang batas usia dewasa menurut Mahkamah Agung belum mempunyai kesepakatan bersama. Namun dapat dikatakan bahwa batas usia dewasa dalam KUHPerdata adalah 21 tahun dan yang belum pernah menikah. 41 Orang yang berada di bawah pengampuan curatele adalah orang yang tidak sehat akal pikirannya, dan diasuh oleh pengampunya curator. Menurut Pasal 433 KUHPerdata, apabila orang yang berada dibawah pengampuan hendak melakukan perbuatan hukum, maka dia diwakili oleh pengampunya. 42 c. Suatu hal tertentu Dalam Pasal 108 KUHPerdata, bahwa seorang wanita yang telah menikah hendak membuat suatu perjanjian, memerlukan izin dari suaminya. Maksud dari pasal ini adalah bahwa wanita yang bersuami dianggap tidak cakap membuat perjanjian. Pasal ini dianggap bertentangan dengan kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu. Karena pasal ini dianggap merendahkan derajat kaum wanita, maka dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No.3 Tahun 1963, tertanggal 14 Agustus 1963 yang salah satu isinya menyatakan agar para hakim tidak lagi menerapkan Pasal 108 KUHPerdata dalam pertimbangan hukumnya. 41 Ibid., hlm 539 42 Ibid., hlm 136. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek bepaald onderwerp tertentu. Dalam hal perjanjian kerja yang menjadi objeknya adalah pekerjaan. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, bahwa paling sedikit yang menjadi objek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, baik mengenai benda berwujud atau benda tidak berwujud. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, maksudnya adalah untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi tidak jelas sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibatnya tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi huku m. d. Suatu sebab yang halal Syarat terakhir untuk menentukan sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab adalah isi perjanjian itu sendiri. Dalam hal perjanjian kerja, yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, moral, adat istiadat, kesusilaan dan sebagainya. 43 Perjanjian kerja yang bersumber dari Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku dan 43 R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001, hlm 342. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 44 Persetujuan itu haruslah dilakukan dengan itikad baik, dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya. 45 3. Unsur- Unsur Perjanjian Kerja Persetujuan berlaku sebagai undang-undang, maksudnya adalah dalam hal ini bahwa perusahaan tersebut bersifat memaksa apabila ada pihak yang tidak mematuhinya, maka pihak yang lain dapat meminta kepada Pengadilan agar pihak itu melaksanakan persetujuan, atau dipaksa untuk mentaati persetujuan yang telah dibuat itu. Adapun yang menjadi unsur- unsur dalam perjanjian kerja adalah sebagai berikut : 46 a. Adanya unsur pekerjaan work Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh 44 R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001, hlm 342. 45 Ibid., hlm 342. 46 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1977, hlm 28 Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. 47 b. Adanya unsur pelayanan service Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk melaksanakan pekerjaan itu, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1603 a KUHPerdata bunyinya adalah: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya”. Pekerjaan yang dilakukan pekerja itu sangat bersifat pribadi karena berhubungan dengan kemampuan serta keahliannya, oleh karenanya jika pekerja meninggal dunia, maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, 47 Ibid., hlm 28. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 menunjukkan bahwa si pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu si majikan. 48 Alasannya, karena unsur pelayanan atau service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan tidak di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si klien. Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang misalnya Pengacara dalam melayani kliennya menangani sebuah kasus di pengadilan, mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak bisa disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. 49 Karena itu jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja itu sendiri, maka perjanjian tersebut jelas bukan merupakan perjanjian kerja. Di samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus bermanfaat bagi si pemberi kerja. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam unsur ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh si pekerja dan harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi perjanjian kerja. 50 c. Adanya unsur waktu tertentu time. 48 Ibid., hlm 30. 49 Ibid., hlm 30. 50 Ibid., hlm 31. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tersebut tidak boleh melakukan sekehedak dari si majikan dan juga tidak boleh dilakukan dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di sinilah sisi pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. 51 d. Adanya unsur upah pay Dengan kata lain dalam pelaksanaan pekerjaannya, si buruh tidak boleh bekerja dalam batas waktu yang lama atau seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja, dan pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum. Seseorang yang bekerja dalam melaksanakan pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Sebaliknya jika seseorang yang bekerja tersebut bertujuan untuk mendapatkan manfaat 51 Djumialdji, Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, Cet. I, 1977, hlm 16. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah. Maka unsure keempat dalam suatu perjanjian kerja ini tidak terpenuhi. 52 4. Jenis-jenis Perjanjian Kerja Maka tidaklah heran dikatakan bahwa upah mempunyai peranan yang cukup penting dalam suatu hubungan kerja perjanjian kerja. Suatu hubungan kerja yang tidak mempunyai unsur upah bukanlah merupakan hubungan kerja. Dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja terdapat beberapa macam dan jenis dari perjanjian kerja. Jenis-jenis perjanjian kerja tersebut antara lain sebagai berikut: 53 a. Perjanjian Kerja Tertentu Yang dimaksud dengan pengertian Perjanjian Kerja Tertentu yang sekarang lazim disebut dengan Kesepakatan Kerja Tertentu, terdapat dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05MEN1986, yang bunyinya adalah : Kesepakatan Kerja Tertentu adalah kesepakatan kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang diadakan untuk waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. b. Perjanjian Kerja Persaingan atau Concurentie Beding Perjanjian kerja ini diatur pada Pasal 1601 x ayat 1 KUHPerdata, yang memberikan ketentuan bahwa pengertian Perjanjian Kerja Persaingan adalah : 52 Djumadi, op. cit., hlm 32. 53 Ibid., hlm 49. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 “Suatu janji antara majikan dan buruh di mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja, bekerja dengan atau cara. Perjanjian tersebut hanyalah sah, jika dibuat dalam perjanjian tertulis atau dalam peraturan perusahaan, dengan seorang buruh dewasa”. 54 c. Perjanjian Kerja Di Rumah Dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan secara tegas mengenai pengertian perjanjian kerja di rumah. Tetapi pengertian perjanjian kerja di rumah ada dikemukakan oleh seorang pakar Hukum Perburuhan Belanda yaitu M.G. Rood, yang memberikan batasan-batasan tentang pengertian perjanjian kerja di rumah sebagai berikut : “Perjanjian kerja di rumah adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu, pekerja, membuat suatu persetujuan dengan pihak lain, yaitu orang yang memberi pekerjaan, si majikan, untuk di bawah pengawasan majikan melakukan pekerjaan di rumah dengan imbalan yang saling disetujui sebelumnya antara kedua belah pihak”. d. Perjanjian Kerja Laut Pengertian tentang perjanjian kerja laut dapat ditemukan pada pasal 395 KUHDagang, yang berbunyi: 55 54 R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001, hlm 399. 55 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 110. “Perjanjian kerja laut adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal disatu pihak dan seorang buruh di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk di bawah perintah pengusaha melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai Nahkoda atau anak buah kapal”. Cariny F. Marbun : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II , 2008. USU Repository © 2009 Sedangkan pengertian perjanjian kerja laut menurut G. Kartasapoetra dalam bukunya yang berjudul Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila yaitu: 56

E. Perlindungan Tenaga Kerja Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan