57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Krisis di Indonesia
4.1.1. Kronologi Krisis 1997
Krisis di Asia tahun 1997-1998 adalah krisis yang terjadi secara bersamaan antara krisis nilai tukar dan krisis perbankan twin crisis. Di sisi nilai tukar terjadi
penurunan nilai tukar yang sangat tajam sehingga menambah beban utang luar negeri yang didominasi oleh perusahaan swasta. Sementara pada krisis perbankan
ditandai dengan tata kelola governance yang buruk sehingga menyebabkan bank runs, bank closures, mergers, takeovers, dan bail out
oleh pemerintah dalam jumlah besar untuk bank atau sekelompok bank tertentu.
Krisis ini menyentak banyak pihak dikarenakan setelah beberapa dasawarsa kawasan tersebut mengalami kinerja ekonomi yang fantastis.
Pertumbuhan GDP negara ASEAN Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand setiap tahunnya tumbuh rata-rata mencapai 8 dalam kurun waktu
sepuluh tahun. Sampai saat terjadinya krisis, modal asing yang masuk ke kawasan Asia merupakan separuh dari keseluruhan modal asing di dunia yang masuk ke
negara – negara berkembang, atau mencapai USD 100 miliar di tahun 1996. Share ekspor dari Asia meningkat dua kali lipat atau merupakan seperlima dari total
ekspor dunia. Di samping itu kawasan Asia juga merupakan kawasan tujuan ekspor yang penting bagi negara – negara lain. Di tahun 1996, kawasan ini
merupakan pasar bagi 19 ekspor AS. Perkembangan ini menjadikan kawasan Asia sebagai kawasan penyangga cushion bagi lesunya perekonomian dunia
yang terjadi pada tahun 1991-1993 Arifin dkk, 2007. Krisis yang terjadi di kawasan Asia ini berawal dari krisis Thailand.
Perekonomian Thailand selama periode 1987 hingga 1995 tumbuh rata-rata sebesar 10 per tahun, yang secara umum merupakan akibat dari pengelolaan
makro ekonomi yang berhati-hati. Dari sisi fiskal senantiasa menghasilkan surplus. Kondisi ini menarik modal asing untuk masuk ke Thailand, yang
sebagian besar merupakan dana jangka pendek. Modal asing yang masuk sangat cepat dan dalam jumlah yang banyak
menyebabkan penyaluran kredit oleh perbankan di dalam negeri juga meningkat pesat. Tetapi penyaluran kredit tersebut tidak disertai dengan kehati-hatian di
mana sebagian besar kredit disalurkan ke sektor properti yang tidak menghasilkan valas. Akibatnya harga-harga properti melambung tinggi di atas harga yang
sewajarnya. Di tengah derasnya arus modal masuk, Thailand pada era sebelum krisis
menetapkan nilai tukar bath yang sejalan closely tied dengan dolar AS, sehingga risiko nilai tukar pada saat itu sering diabaikan. Sementara itu arus modal masuk
telah mendorong pesatnya pertumbuhan utang luar negeri Thailand yang kebanyakan merupakan utang luar negeri sektor swasta dan bersifat jangka
pendek. Berbeda dengan utang sektor publik yang dikelola dengan sistem manajemen yang efektif, utang sektor swasta kurang disiplin pengelolaannya
adanya moral hazard sehingga menimbulkan berbagai permasalahan, seperti
pinjaman yang melebihi modal perusahaan, risiko nilai tukar yang kurang diperhatikan, banyaknya pinjaman jangka pendek yang digunakan untuk
membiayai pinjaman jangka panjang. Thailand secara bertahap mulai kehilangan daya saingnya, tercermin dari
menurunnya ekspor dan meningkatnya defisit transaksi berjalan pada tahun 1996. Di sisi moneter, beberapa faktor penyumbang terhadap menurunnya daya saing
tersebut yaitu penguatan dolar AS di pertengahan tahun 1990-an yang menyebabkan Bath yang di-peg terhadap dolar AS menjadi overvalued, tingkat
inflasi Thailand yang secara konsisten lebih tinggi dari pada inflasi di AS, dan pengeluaran dana dalam jumlah besar oleh Bank of Thailand BOT guna
menyelamatkan lembaga keuangan yang lemah pada periode tersebut. Goldstein 1998 dalam Arifin, dkk 2007 mengatakan bahwa krisis di
Asia menyebar dan semakin parah akibat efek tular contagion effect. Menularnya krisis di Tailand ke negara-negara lain di kawasan Asia seperti tak
dapat dihindari. Beberapa efek tular yang terjadi mencerminkan perilaku pasar yang rasional rational market behaviour karena pasar melihat permasalahan di
negara-negara lain seperti Indonesia, Korea, dan negara-negara tetangganya tidak jauh berbeda dengan permasalahan di Thailand, khususnya masalah di sektor
keuangan. Sehingga ketika terjadi serangan spekulatif terhadap bath Thailand karena dinilai overvalued terhadap dolar AS, maka krisis akan cepat menjalar ke
negara-negara Asia lainnya.
4.1.2. Latar Belakang dan Dampak Terjadinya Krisis di Indonesia