Identifikasi Masalah Model pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap kasus perairan laut Suawesi Selatan Bagian Selatan

sebesar US 3,54 milyar, penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri sebesar 4,57 juta ton, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 3,56 juta orang DKP, 2005. Melihat kepada tujuan dan sasaran tersebut jelaslah bahwa harapan pemerintah kepada sektor kelautan dan perikanan, terutama sub sektor perikanan tangkap dapat menjadi andalan. Hal ini memerlukan dukungan dari segi pengelolaan stok sumberdaya perikanan laut. Secara umum dapat dikatakan bahwa potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia masih memungkinkan untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di perairan Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI tahun 2001 diperoleh data bahwa masih terdapat peluang pengembangan usaha perikanan di Indonesia. Dari hasil pengkajian tersebut diketahui bahwa potensi lestari maximum sustainable yield atau MSY sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Dari jumlah potensi tersebut, apabila diasumsikan 80 dari potensi lestari tersebut merupakan jumlah tangkapan yang diperbolehkan maka jumlah ikan laut yang dapat dieksploitasi adalah maksimal 5,12 juta ton. Jumlah produksi ikan laut pada tahun 2004 adalah sebesar 4,5 juta ton atau tingkat pemanfaatan baru mencapai 70,31 dari potensi lestari atau telah mencapai 87,89 dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB. Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi penangkapan, ekspor hasil perikanan, jumlah perahukapal ikan yang beroperasi, nelayantenaga kerja yang terserap, dan penerimaan negara bukan pajak PNBP. Berdasarkan data Ditjen Perikanan Tangkap 2005, selama periode 2001 – 2004, produksi perikanan laut meningkat 4,87, volume ekspor naik 25,04, jumlah nelayan laut meningkat 11,03, serta PNBP juga naik 603,61.

1.2 Identifikasi Masalah

Pembangunan perikanan tangkap menghadapi beberapa persoalan antara lain overfishing tangkap lebih di beberapa WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan. Meskipun sumberdaya perikanan atau sumberdaya pesisir dan laut secara umum belum dimanfaatkan secara optimal namun di beberapa wilayah perairan banyak yang telah mengalami tangkap lebih. Meskipun secara agregat nasional sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 70,31 dari potensi total lestarinya MSY, Maximum Sustainable Yield namun di beberapa kawasan perairan, stok sumberdaya ikan telah terindikasi kondisi tangkap lebih overfishing. Gejala overfishing suatu perairan antara lain : 1 menurunnya produktivitas hasil tangkapan; 2 terjadi booming spesies tertentu; 3 penurunan ukuran ikan hasil penangkapan; 4 grafik penangkapan dalam satuan waktu berfluktuasi atau tidak menentu erratic; dan 5 penurunan poduksi secara nyata signifikan. Selain mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan, kondisi tangkap lebih juga mengancam keberlanjutan ekonomi economic sustainability masyarakat nelayan yang sangat menggantungkan hidupnya dari penangkapan ikan. Dalam jangka panjang, akan sulit bagi pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan perikanan, apalagi mengandalkan sektor perikanan dan kelautan sebagai tulang punggung pembangunan pasca krisis ekonomi. Meskipun overfishing terjadi di mana-mana, tetapi sampai saat ini belum ada upaya penanganan yang sistematis dan terintegrasi. Upaya penanganan overfishing saat ini masih bersifat parsial atau sporadis. Persoalan tangkap lebih juga terkait dengan persoalan krusial dan klasik yaitu kemiskinan nelayan. Masyarakat pesisir atau nelayan sering digolongkan sebagai masyarakat termiskin di tanah air. Kemiskinan akan memaksa nelayan atau masyarakat pesisir lain untuk mengeksploitasi sumberdaya ekosistem pesisir lain seperti hutan bakau mangrove atau terumbu karang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup basic needs. Hal ini terjadi karena untuk beralih profesi bagi nelayan tidaklah mudah karena beberapa hal antara lain kekakuan aset fixity and rigidity of assets yang dimiliki, dan rendahnya nilai oportunitas dari upah kerja low opportuniy cost of labour . Kondisi overfishing disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan karena sumberdaya perikanan yang bersifat open access, yang berarti siapapun dengan kemampuan teknologi dan modal yang cukup bisa masuk kedalam industri atau usaha perikanan. Secara yuridis formal, sebetulnya sumberdaya perikanan Indonesia tidak murni bersifat akses terbuka. Pasal 33 UUD 45 menyiratkan bahwa sumberdaya perikanan adalah milik negara dan ditata pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu juga, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa setiap orang yang hendak memanfaatkan sumberdaya ikan harus memiliki izin usaha. Bila izin usaha ini adalah alat pengendalian maka sebetulnya sumberdaya ikan tidak bebas untuk dimasuki, namun demikian, UU No. 31 tahun 2004 juga menyatakan bahwa usaha perikanan yang dilakukan bukan untuk tujuan komersial, tidak memerlukan izin usaha. Sistem sumberdaya perikanan tangkap dicirikan dengan interaksi yang begitu kompleks antara stok ikan dan faktor input seperti tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam memanfaatkan stok tersebut. Pengelolaan sumberdaya patut mempertimbangkan interaksi ini, yang pada dasarnya merupakan kaitan antara faktor biologi dan ekonomi. Selama ini stok ikan faktor biologi secara parsial telah mendapat perhatian yang cukup banyak, sementara faktor ekonomi serta interaksi bio-ekonomi belum begitu diperhatikan. Interaksi bioekonomi bersifat dinamis. Perubahan temporal yang terjadi pada faktor ekonomi akan menentukan pola dan dinamika pemanfaataan sumberdaya perikanan. Karena itu untuk memperoleh suatu tahap pemanfaatan sumberdaya yang optimum serta pengelolaannya yang berkelanjutan maka hubungan dinamis antara sumberdaya dan faktor ekonomi perlu diketahui. Interaksi biologi dan ekonomi bioekonomi suatu sumberdaya perikanan tergantung rezim pengelolaan yang dianut. Selama ini paling tidak ada dua rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim open akses open access regime dan rezim pengelolaan secara terpusat. Ciri khas rezim akses terbuka yaitu perkembangan nelayan yang tidak terkontrol, penangkapan ikan yang secara de facto berlangsung tanpa ada yang mengendalikan, serta bebasnya nelayan yang sudah ada melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, menangkap ikan, maupun daerah penangkapan. Persoalan yang dihadapi secara khusus di wilayah perairan Sulawesi Selatan adalah persoalan yang umum dihadapi daerah pesisir manapun di Indonesia. Di wilayah ini tekanan populasi penduduk terhadap lingkungan dan sumberdaya alam perikanan dan kelautan di wilayah pesisir menjadi semakin meningkat. Di tingkat nasional, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil ikan terbesar dengan berbagai jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Produksi penangkapan ikan di laut pada tahun 2002 tercatat sebesar 337.316 ton, yaitu naik 10,2 dari produksi tahun sebelumnya. Jumlah alat tangkap yang digunakan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 55.978 unit yang terdiri dari pukat, jaring, pancing, perangkap, dan alat tangkap lainnya. Konsumsi ikan per kapita masyarakat Sulawesi Selatan juga termasuk yang tertinggi yaitu mencapai 44,4 kgkapitatahun pada tahun 2002. Saat ini overfishing merupakan persoalan utama yang dihadapi di perairan Sulawesi Selatan. Perairan Sulawesi Selatan merupakan bagian perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP Laut Flores dan Selat Makassar yang menurut penelitian BRKP dan LIPI 2001 sudah mengalami overfishing . Permodelan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang menggambarkan interaksi antara faktor biologi dan ekonomi atau disebut bio-economic modelling diperlukan untuk menginformasikan status pengelolaan perikanan di suatu wilayahdaerah dan menyediakan alternatif kebijakan pengelolaan yang optimal. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap. Untuk mencapai tujuan akhir ini maka disusun tujuan-tujuan antara spesifik sebagai berikut : 1 Mengkaji status armada perikanan tangkap di masa kini; 2 Menentukan kombinasi optimum struktur armada bila terjadi : kenaikan harga BBM, kenaikan harga ikan, kenaikan bunga pinjaman dan kenaikan upah; 3 Menentukan prioritas kebijakan pengelolaan perikanan.

1.4 Manfaat Penelitian