Dampak Program Radio Swara Slenk Fm terhadap Partisipasi

E. Dampak Program Radio Swara Slenk Fm terhadap Partisipasi

Masyarakat dalam Mendukung Program Solo sebagai Kota Budaya Kota berkembang secara dinamis yang dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya dalam berbagai bidang, baik perkembangan ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Perkembangan yang terjadi kemudian menciptakan sejarah yang terekam dalam peninggalan sejarah, baik dalam bentuk tangible maupun intangible. Peninggalan sejarah tersebut tentunya menjadi karakteristik identitas tersendiri bagi suatu kota. Oleh karenanya diperlukan upaya pelestarian peninggalan sejarah atau urban heritage yang dimiliki untuk mempertahankan karakteristik identitas kotanya.

Di tengah-tengah gempuran budaya-budaya asing, baik dari barat maupun dari timur tengah yang terus berupaya menggerus warisan buddaya dan tradisi bangsa. Budaya Barat yang hedonis dan liberalis merupakan sebuah budaya arus kiri, sedangkan budaya Timur Tengah yang primordialis dan anti perbedaan (unegaliter) merupakan budaya arus kanan. Budaya Barat mendominasi di dunia entertainment yang mengubah dunia hiburan menjadi hingar bingar gemerlap dengan hedonism merusak sendi-sendi kesantunan dan etika budaya bangsa. Budaya Timur Tengah muncul dari mimbar-mimbar dakwah, yang menawarkan slogan-slogan kekerasan yang anti pada perbedaan, anti pada budaya dan tradisi negeri sendiri, di mana tradisi-tradisi budaya warisan nenek moyang dianggap

sebagai bid’ah yang harus dimusnahkan.

commit to user

dilakukan oleh pemerintah. Upaya pelestarian juga diharapkan dari partisipasi anggota masyarakat dan swasta agar terjadi kesinambungan dalam pengembangan kebudayaan Jawa. Peran serta masyarakat sebenarnya sangat besar, dan sangat diperlukan, dalam menjaga dan mengembangkan kesenian dan benda cagar budaya. Masyarakat juga berhak menetapkan apa yang menjadi “pusaka“ masing- masing berdasarkan kriteria yang ditetapkan sendiri. Sudah saatnya tumbuh kembali kepekaan dan kemandirian dalam melihat dan mencermati lingkungannya sebagaimana halnya kondisi yang telah mengakar di masyarakat pada masa lalu.

Potensi sosial yang dimiliki sekarang sebagai modal dalam pelibatan masyarakat ini adalah kepedulian masyarakat setempat terhadap pelestarian dan pengembangan semua benda cagar budaya yang ada di Solo. Selain itu, dukungan dari pemerintah kota dalam bentuk kebijakan-kebijakan sudah harus diarahkan kepada upaya pelestarian dan pemanfaatan benda-benda cagar budaya yang ada di Solo. Dengan adanya kebijakan dari pemerintah kota yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, tentu keterlibatan masyarakat setempat akan lebih mendukung upaya pelestarian serta dapat diambil manfaatnya (Wawancara dengan Drs. Budy Sartono, M.Si, tanggal 16 April 2012).

Partisipasi masyarakat dalam mendukung program Solo sebagai kota budaya dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari latihan karawitan dan pedalangan serta macapatan. Ini sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pelestarian budaya. Cara pandang seseorang terhadap suatu budaya tentunya beragam, secara filosofis sebenarnnya kebudayaan adalah identitas utama suatu kelompok masyarakat. Kebudayaan timbul dengan tujuan membedakan ciri khas suatu kelompok dengan kelompok lain.

1. Latihan Karawitan dan Pedalangan

Dalam mewujudkan pelestarian budaya Radio Swara Slenk Fm bekerja sam a dengan sanggar “Sawo Jajar” milik Bapak Priyo. Sanggar Sawo Jajar terletak di daerah perumnas RRI jajar Surakarta. Sanggar Sawo Jajar memiliki misi educaton and entertainment. Sanggar ini menitikberatkan dalam pelatihan

commit to user

gamelan dan karawitan diasuh oleh Bapak Priyo. Dan pelatiahn seni pedalangan di asuh oleh Bapak Edi. Kegiatan seni gamelan dan karawitan diadakan dua minggu sekali setiap hari jum’at sedangka kegitan pedalangan diadakan setiap malam jum’at.

Kegiatan dari sanggar Sawo Jajar adalah pelatihan karawitan dengan para anggota serta monitor setia program klenengan dan karawitan di Radio Swara Slenk. Sawo jajar sendiri selain mengisi acara acara di radio swara slenk juga bekerja sama dengan RRI Surakarta. Sanggar Sawo Jajar sudah dipercaya RRI untuk tampil di acara karawitann yang disiarkan RRI setiap tiga minggu sekali. Kegiatan yang sering dilakukan juga, antara lain pelatihan pedalangan di kelurahan Jajar untuk acara pentas, lomba dan lain-lain. Sanggar Sawo Jajar mempunyai kegiatan dalam rangka melestarikan kebudayaan, kegiatan-kegiatan di atas merupakan salah satu wujud pelestarian seni karawitan. Kegiatan-kegiatanya ikut melibatkan para pendengar setia di dalamnya.

Sanggar yang digunakan oleh monitor Radio Swara Slenk untuk melestarikan seni budaya Jawa ini, selain untuk latihan karawitan juga dilengkapi dengan media latihan pedalangan. Ini disiapkan bagi para monitor yang memang berminat berlatih menjadi dalang atau hanya sekedar mempelajari dunia pewayangan. Awalnya media ini digunakan pihak RT untuk mempersiapkan lomba antar RT/RW dalam hal kepandaian mendalang. Karena terdapat dalam satu lingkup dengan peralatan karawitan atau klenengan, media pedalangan ini digunakan pula oleh para monitor untuk latihan pedalangan.

Peserta latihan karawitan dan pedalangan di sanggra Sawo Jajar ini berasal dari berbagai daerah dan berbagai profesi. Latihan karawitan dan pedalangan ini sebagai media untuk melestarikan seni karawitan dan pedalangan agar tetap eksis di tengah zaman modern ini (wawancara dengan Bapak Purwadi tanggal 15 Februari 2012).

commit to user

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Latihan macapat pada awalnya diadakan untuk memperingati hari jadi Radio Swara Slenk Fm yang diikuti oleh para anak sekolah dasar. Latihan macapat ini diadakan layaknya lomba untuk nembang macapat secara baik. Latihan macapat para monitor Radio Swara Slenk Fm bertempat di studio Radio Swara Slenk Fm. Peserta latihan macapat berasal dari berbagai daerah dan grup macapat. Radio Swara Slenk Fm mengadakan latihan macapat ini untuk mengisi acara live macapatan, namun perlahan acara live ini semakin lama semakin diminati oleh para monitor. Sehingga Radio Swara Slenk Fm berusaha untuk secara rutin mengadakan pagelaran macapatan live. Peserta dapat hadir secara langsung ke studio untuk ikut berpartisipasi nembang macapat (wawancara Ibu Mustoko Eni tanggal 3 Maret 2012)

Dalam upaya untuk nguri-nguri tradisi bangsa sendiri, yang merupakan warisan dari nenek moyang menawarkan kearifan yang lebih cocok bagi kepribadian bangsa. Salah satu budaya yang masih terekam begitu indah adalah tembang-tembang macapat. Menurut Bapak Purwadi, dahulu sewaktu masih anak- anak seringkali menembangkan tembang-tenmbang macapat menjelang tidur. Tembang-tembang itu terasa syahdu dan datar namun sarat makna. Radio Swara

commit to user

program acaranya.

3. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Berkomunikasi Bahasa mengalami perubahan dan perkembangan. Demikian pula bahasa Jawa, juga mengalami perkembangan. Dari bahasa Jawa kuno berkembang menjadi bahasa Jawa Tengahan, dan kemudian berkembang lagi menjadi bahasa Jawa baru. Pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa, dimaksudkan agar bahasa Jawa tetap terpelihara dan mampu merealisasikan fungsinya. Untuk melestarikan bahasaJawa tidak harus selalu berkutat mempertahankan apa yang ada itu sebagaimana adanya. Bahasa Jawa akan lestari justru apabila mampu untuk tetap berfungsi di dalam situasi yang terus berubah.

Identitas lokal sedikit banyak mencerminkan kearifan masyarakat. Begitu pula dengan bahasa Jawa yang mengandung kearifan nilai dan kedalaman filosofis. Entah benar atau tidak, kini bahasa Jawa tampak tak kuasa tergerus arus modernitas. Ibarat ayam mati di lumbungnya, masyarakat tak lagi menaruh minat terhadap keberadaan bahasa Jawa. Bahasa Jawa seolah-olah hanya milik generasi tua. Berbeda dengan generasi muda yang kurang memiliki kebanggaan menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian. Bahasa Jawa hanya dapat dijumpai di pelosok-pelosok desa dan hilang dari peredaran masyarakat kota. Upaya untuk melestarikan bahasa Jawa bukannya tidak ada. Seperti yang dilakukan oleh Radio Swara Slenk yang berusaha menggunakan bahasa Jawa ketika siaran.

Radio Swara Slenk berusaha menampilkan kembali bahasa Jawa dalam bekomunikasi. Ini terlihat dari program acara di Radio Swara Slenk yang ketika siaran para penyiar dan pendengar yang berpartisipasi secara langsung harus menggunakan bahasa Jawa. Derasnya pengaruh arus globalisasi di segala sektor kehidupan juga dianggap menjadi pemicu menurunnya pemakaian bahasa Jawa di masyarakat Jawa. Kalangan muda tidak bisa berbahasa Jawa krama lagi, padahal sebagian besar orang percaya bahwa pemakaian tingkat tutur Bahasa Jawa mencerminkan sopan santun dan budi pekerti. Dengan penggunaan bahasa Jawa yang dilakukan Radio Swara Slenk ketika siaran ini sebagai upaya pelestarian

commit to user

terhadap keberadaan bahasa tersebut. Pada dasarnya kelestarian bahasa Jawa tak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat agar tak punah ditelan masa. Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian bahasa Jawa perlu ditumbuhkan mengingat bahasa Jawa merupakan identitas lokal yang lahir dan ditumbuhkembangkan masyarakat pemiliknya (Wawancara dengan Mas Adi, 1 Maret 2012).

Selain Radio Swara Slenk yang berpartisipasi melestarikan bahasa Jawa, pelestarian bahasa Jawa merupakan tanggung jawab masyarakat yang memiliki bahasa tersebut terutama Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di samping itu, pengajaran bahasa Jawa di sekolah juga perlu diperhatikan. Menurut Ibu Rusmini, sekolah-sekolah yang berdomisili di Solo sudah selayaknya menerapkan penggunaan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari antara guru dan murid. Ini sebagai langkah awal dalam mewujudkan Solo kota budaya. Kebijakan penggunaan bahasa Jawa ini bisa dirumuskan masing-masing sekolah dengan beragam alternatif. Di samping pendidikan formal di sekolah, peran keluarga juga amat penting. Interaksi antara anggota keluarga diusahakan menggunakan bahasa Jawa sesuai kadiah-kaidah baku. Sebagai misal, orang yang lebih muda ketika berbicara dengan orang yang lebih tua harus tahu kapan saatnya menggunakan krama alus maupun krama inggil. Bahasa Jawa merupakan identitas lokal yang memerlukan sinergi pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk melestarikannya. Tanpa kerja sama ketiga pihak, bahasa Jawa dimungkinkan gegap gempita di satu tempat, namun tampak asing di tempat lain (Wawancara dengan Ibu Rusmini, 1 Maret 2012).

Kelestarian bahasa Jawa bukan tanggung jawab masyarakat luar Solo, tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat Solo khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya yang memiliki bahasa tersebut. Hal yang perlu diperhatikan, upaya pelestarian bahasa Jawa bukan berarti mengabaikan penggunaan bahasa lainnya, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sebuah tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan agar peserta didik memiliki kecakapan menggunakan bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa internasional. Terkikisnya bahasa Jawa pada

commit to user

Tidak terkecuali dengan bahasa Inggris, padahal untuk saat ini bahasa Inggris bisa dikatakan sebagai bahasa peradaban dalam komunitas global.

commit to user

101