BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan sangat berkaitan erat dengan kualitas masyarakat. Penduduk yang besar dan berkualitas serta dikelola dengan baik, akan menjadi aset yang besar dan
berharga dalam pembangunan. Sebaliknya penduduk yang besar dengan kualitas rendah, akan menjadi beban yang sangat berat bagi pembangunan bangsa.
Tahun 2007 jumlah penduduk dunia telah mencapai sekitar 26,6 miliar jiwa dan jumlah penduduk Indonesia menempati urutan keempat dunia yaitu 236 juta jiwa.
Tingkat pertumbuhan sekitar 1,48 per tahun dan tingkat kelahiran atau Total Fertility Rate TFR sebesar 2,6 anak per wanita. Jumlah penduduk Indonesia setiap
saat mengalami peningkatan, padahal pemerintah telah berupaya untuk menargetkan idealnya 2,1 anak per wanita. Meski begitu, masih ada saja dari keluarga Indonesia
yang senang mempunyai anak banyak BKKBN, 2009. Banyak hal yang harus dilakukan dalam menekan jumlah penduduk, sekaligus
membangun keluarga berkualitas. Dengan jumlah penduduk yang menempati urutan keempat terbesar di dunia, berdasarkan penilaian United Nation Development People
UNDP pada Tahun 2009 kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui indeks pembangunan manusia Human Development IndexHDI Indonesia menempati
urutan yang memprihatinkan yaitu 111 dari 179 negara. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 109 dari 179 negara. Hal ini menunjukkan
semakin rendahnya
kualitas penduduk
dilihat dari
segi pendidikan,
Universitas Sumatera Utara
kesehatan dan kesejahteraan. Apabila tidak diimbangi dengan
upaya pengendalian kuantitas maka pemerintah akan sulit meningkatkan kualitas penduduk.
Jumlah penduduk yang besar secara umum berdampak terhadap permasalahan-permasalahan sosial lainnya, antara lain: ketersediaan pangan yang
semakin terbatas, pengangguran, kemiskinan, pembangunan perumahan, meningkatnya tingkat kriminalitas, masalah kesehatan, pendidikan dan lain
sebagainya. Untuk itu dibutuhkan suatu gerakan pengendalian dan peningkatan kesejahtaraan penduduk melalui berbagai program- program pemerintah yang salah
satunya adalah gerakan keluarga berencana nasional KB BKKBN, 1998. Program KB nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang
sangat penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sejahtera, disebutkan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan,
pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Hasil program KB
tidak seketika dapat dinikmati, tetapi sangat menentukan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun Sumber Daya Manusia SDM yang tangguh di
masa depan BKKBN Sumut, 2008. Tujuan program KB sesungguhnya bukan untuk mengurangi jumlah
penduduk. Tujuan yang benar dari program KB adalah mengendalikan pertumbuhan penduduk serta meningkatkan keluarga kecil berkualitas melalui penggunaan alat
kontrasepsi sehingga bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak BKKBN, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Angka Kematian Ibu AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara atau keempat di wilayah Asia Pasifik, yaitu mencapai 248 orang per
100.000 kelahiran hidup BPS, 2007. Jika dibandingkan dengan AKI tahun 2002 yaitu 307100.000 kelahiran hidup, angka ini mengalami penurunan namun masih
jauh dari target Millenium Development Goal’s MDGs tahun 2015 yaitu 102100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian ibu tersebut terutama
adalah pendarahan 30, persalinan macet 5, keracunan kehamilan pre eklamsi 25, infeksi 12, dan komplikasi persalinan 8 SKRT, 2002.
Pengaturan kehamilan dan jarak melahirkan diperlukan untuk mencapai target MDGs tersebut. Ada beberapa metode atau alat KB yang bisa digunakan, bagi wanita
antara lain pil KB, suntik KB, susuk atau implant, alat kontrasepsi dalam rahim AKDR dan Medis Operasi Wanita MOW biasa disebut tubektomi sedangkan bagi
pria biasanya dengan cara pantang berkala, senggama terputus, kondom dan Medis Operasi Pria MOP atau vasektomi Manuaba, 1998.
Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan
kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan kontrasepsi pria seperti kondom, pantang berkala, senggama terputus dan vasektomi, suami mempunyai
tanggung jawab utama, sementara bila istri sebagai pengguna kontrasepsi, suami mempunyai peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektivitas
pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan metode kontrasepsi karena KB dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria
atau wanita saja Artikel Kes, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya pilihan alat kontrasepsi bagi wanita dibanding pria membuat seolah-olah KB adalah urusan wanita. Pria yang menyatakan bahwa KB
adalah urusan wanita sebesar 28, wanita yang seharusnya disterilisasi 24 dan yang menyatakan sterilisasi pria sama dengan dikebiri sebesar 12 BKKBN, 2005.
Jumlah akseptor KB di Indonesia telah mencapai 66,2 dimana akseptor kondom sebesar 0,6 dan akseptor vasektomi sebesar 0,3. Artinya, dari total
akseptor KB aktif,, pria yang menjadi akseptor KB hanya 0,9 SDKI 2002-2003. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih
besar daripada pria. Komplikasi akibat penggunaan alat kontrasepsi mulai dari yang ringan hingga
yang berat antara lain: mual, muntah-muntah, pening, bercak-bercak darah di antara masa haid, infeksi jamur di sekitar kemaluan, kram dan nyeri saat haid dan
pendarahan yang cukup serius Manuaba, 1998. Dengan demikian keikutsertaan pria dalam ber- KB sangat diperlukan.
Berdasarkan data BKKBN 2009, angka komplikasi berat akibat penggunaan kontrasepsi pada wanita di seluruh Indonesia terbilang tinggi seperti penggunaan IUD
di Jawa Tengah dengan tingkat komplikasi 165 akseptor 60, begitu juga implant di Nanggroe Aceh Darussalam sekitar 115 akseptor 88,46 mengalami komplikasi.
Di Sumatera Utara, tingkat komplikasi akibat IUD sebanyak 12 akseptor 42,86, MOW 3 akseptor 10, implant 13 akseptor 46,43, dan suntik 18 akseptor
64,29, sedangkan MOP tidak ada yang mengalami komplikasi berat. Tingginya tingkat komplikasi akibat pemakaian kontrasepsi bagi wanita bisa menjadi alasan
untuk pria mengambil alih tanggung jawab menjadi akseptor KB.
Universitas Sumatera Utara
Peran seorang suami dalam program KB dinilai sangat penting karena biasanya suami lebih dominan sebagai penentu kebijakan keluarga. Berdasarkan data
BKKBN Tahun 2008 pencapaian akseptor KB pria baru yang tertinggi berada di Propinsi Jawa Tengah yaitu 29.727 akseptor 0,44, yang terendah di Propinsi
Gorontalo yaitu 607 akseptor 0,01, dan Sumatera Utara berada telah mencapai 0,3 22.161 akseptor dari total 6.799.819 akseptor KB pria baru di Indonesia
3,25. Padahal, perkiraan permintaan masyarakat PPM nasional yang ditargetkan, partisipasi pria dalam ber-KB adalah 4,5 dari seluruh akseptor.
Menurut Notoatmodjo 2003, yang mengutip pendapat Anderson, karakteristik individu dalam memilih pelayanan kesehatan termasuk dalam memilih
metode kontrasepsi dapat digolongkan antara lain : ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin, umur, struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kesukuan
dan manfaat-manfaat kesehatan. Simanjuntak 2007, menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi KB pria di
kalangan prajurit di Kota Medan dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi kesehatan fisik dan pengaruh istri. Menurut Lubis 2009, pengaruh istri dan kompensasi
memiliki pengaruh terhadap keputusan untuk menjadi akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi.
Ada beberapa faktor yang membuat pria enggan untuk ber-KB di antaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak reproduksi,
keterbatasan alat kontrasepsi pria, kondisi sosial, adanya rumor tentang vasektomi serta penggunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif BKKBN Sumut, 2009.
Menurut Notoatmodjo 2003, yang mengutip pendapat Karl, bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat dikaitkan dengan niat orang terhadap kesehatan,
Universitas Sumatera Utara
ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi- informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan
bertindak. Data di BKKBN Sumatera Utara Tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah
akseptor KB sejak Januari hingga September 2009 mencapai 1.388.526 orang dengan total PUS sebesar 2.066.729. Dari seluruh peserta aktif PA tersebut akseptor KB
pria telah mencapai 77.247 orang 5,7 yang terdiri dari MOP 4.288 0,31 dan kondom 5,45.
Akseptor KB pria di Kota Medan pada Tahun 2009 masih belum mencapai target nasional 4,5 yaitu 9.351 akseptor 2,9 dengan rincian akseptor MOP
sebanyak 450 orang dan akseptor kondom sebanyak 8.901 orang. Angka ini mengalami sedikit peningkatan dari tahun 2008 yaitu 2,2 dari total akseptor KB.
Kecamatan Medan Maimun memiliki jumlah penduduk sebesar 41.003 jiwa dengan jumlah PUS 5.888 pasang. Peserta KB aktif dari bulan Januari hingga
Desember 2009 berjumlah 3.667 akseptor 62,27 dengan capaian hanya 17 akseptor MOP 0.46 dan 69 akseptor kondom 1,88 atau total pencapaian
akseptor pria sebesar 86 akseptor 2,34 angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu 58 akseptor 1,02. Dalam dua tahun terakhir pencapaian
akseptor KB pria di Kecamatan Medan Maimun merupakan yang terendah dari 21 Kecamatan yang ada di Kota Medan.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik meliputi: umur, suku ras, agama, pekerjaan,
pendapatan, pendidikan, dan jumlah anak dan persepsi suami meliputi manfaat KB,
Universitas Sumatera Utara
efek samping, kualitas, dan efektivitas tentang KB pria terhadap partisipasi dalam ber-KB di Kecamatan Medan Maimun Tahun 2010.
1.2. Perumusan Masalah