Analisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS PENGARUH PENERIMAAN DALAM NEGERI

DAN PENGELUARAN RUTIN PEMERINTAH

TERHADAP CICILAN UTANG LUAR NEGERI

SKRIPSI Diajukan Oleh: RIRIS ULI THERESIA S

070501047

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2010


(2)

ABSTRACT

The main objective of this research is to find out the effect of government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2) on the amount of

government foreign debt servicing (Y) in the year 1984 up to year 2008 by secondary data obtained from Bank Indonesia (Library and Website) , Badan Pusat Statistica Medan. Processed data represent time series.

The result shows that determinant coefficient equal to 0,91 meaning that the government foreign debt servicing (Y) is 91% influenced by the government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2), while rest 8,55%

influenced by another factor outside the model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), explains that both of government domestic revenue (X1) and routine government

expenditure (X2) positively and significantly affect the amount of total the

government foreign debt servicing in Indonesian.

The conclusion of the research is that the government domestic revenue and routine government expenditure significantly affect the government foreign debt servicing in Indonesian.

Keywords: The Foreign Debt Servicing, Goverment Domestic Revenue, Routine Government Expenditure


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah terhadap cicilan utang luar

negeri pada tahun 1984 – 2008 dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia (Perpustakaan dan Website), Badan Pusat Statistika kota Medan. Data yang diolah merupakan data runtun waktu (time serias).

Dari hasil penelitian diperoleh R2 sebesar 0,91452 yang berarti cicilan utang luar negeri di Indonesia sebanyak 91% dipengaruhi oleh faktor penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah, sedangkan sisanya

sekitar 8,55% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar dari model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), memberikan arti bahwa secara bersama-sama penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah berpengaruh positif atau

signifikan terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia. Kesimpulan dari hasil penellitian ini adalah bahwa penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh signifikan atau nyata terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.

Kata kunci: Cicilan Utang Luar Negeri, Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Rutin


(4)

KATA PENGHANTAR

Segala puji syukur dan hormat Tuhan yang dengan kasihnya telah membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari program strata I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “ Anlisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri”

Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik melalui dukungan doa, moril dan materil terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku ketua Departemen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Ilyda Sudardjat, Ssi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan bimbingan mulai dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.

4. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, C.A.E, M.Si, selaku Dosen Penguji I dan Ibu Inggrita Gusti Sari, SE, M.Si, selaku Dosen Penguji II. Saran dan kritiknya sangat berarti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(5)

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah mengajar dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

6. Para staf Perpustakaan Bank Indonesia Kota Medan yang telah membantu penulis dalam memperoleh data yang dibutuhkan untuk penyelesaian skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis Anita, Esteria, Nancy, Nirwana, Masni, Agnes, Sherly, Ade, Yan, Jumasi, Yakin, dan Antonius. Terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.

8. Teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, khususnya teman-teman EP’07 secara keseluruhan. Terima kasih telah menjadi bagian terbaik dalam hidup penulis selama masa perkuliahan, semoga kesuksesan ada dalam setiap harapan dan cita-cita kita.

9. Kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan motivasi dan bantuan yang sangat luar biasa dalam penyelesaian skripsi ini.

Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan buat kedua orang tuaku tercinta Ayahanda H. P. Sitanggang dan Ibunda T. Siboro serta saudara-saudaraku: Vonny C. T. Sitanggang, Julvianty A. Sitanggang dan Benhard E. M. Sitanggang. Terima kasih buat segala doa, dukungan, semangat, bimbingan, kasih dan cinta yang telah diberikan.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritikan dan saran yang positif dan membangun demi kesempurnaan skripsi ini.


(6)

Semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang memerlukanya.

Medan, Desember 2010 Penulis

Riris Uli Theresia S


(7)

DATAR ISI

Abstrak ……….. ii

Kata Penghantar ………. iii

Daftar Isi ……….. vi

Daftar Tabel ……….. x

Daftar Gambar ……… xi

Bab I Pendahuluan ……… 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 9

1.3 Hipotesis ………. 9

1.4 Tujuan Penelitian ……….. 10

1.5 Manfaat Penelitian ……… 10

Bab II Uraian Teoritis ……….. 11

2.1 Anggaran Negara ……….. 11

2.1.1 Pengertian Anggaran Negara ………... 11

2.1.2 Fungsi Anggaran Negara ………. 12

2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ……… 13

2.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……... 13

2.2.2 Perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……... 13

2.2.3 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ………….. 14

2.3 Penerimaan Negara ………... 15

2.3.1 Penerimaan (Rutin) Dalam Negeri ……….. 16

2.4 Pengeluaran Negara ……….. 19

2.4.1 Pengeluaran Rutin ……… 19

2.4.2 Klasifikasi Pengeluaran Negara ………... 20

2.4.3 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ……… 20

2.5 Utang Negara ……… 23

2.5.1 Utang Luar Negeri ………... 24

2.5.2 Klasifikasi Utang Luar Negeri ………. 25

2.5.3 Negara dan Lembaga Donor Utama Indonesia ……… 26


(8)

2.6 Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN ………... 30

2.7 Hubungan APBN Terhadap Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri ……… 31

Bab III Metode Penelitian ………. 33

3.1 Ruang Lingkup Penalitian ……… 33

3.2 Jenis dan Sumber Data ……….. 33

3.3 Metode dan Pengumpulan Data ……… 33

3.4 Pengolahan Data ………... 34

3.5 Model Analisis Data ………. 34

3.5.1 Uji Kesesuaian (Test of Goodness Fit) ……… 35

3.5.1.1 Uji Koefisien Determinasi (R-square) ………. 35

3.5.1.2 Uji t-statistik (Partial Test) ……….. 36

3.5.1.3 Uji F-statistik ………... 37

3.5.2 Uji Penyimpangan Klasik ……… 39

3.5.2.1 Uji Multikolinearitas ……… 39

3.5.2.2 Uji Autokorelasi ……….. 40

3.6 Definisi Operasional ……… 42

Bab IV Analisa dan Pembahasan ………. 43

4.1 Gambaran Umum Indonesia ………. 43

4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia ………... 43

4.1.2 Kondisi Demografi Indonesia ……….. 44

4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ………. 45

4.3 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Di Indonesia ………….. 48

4.4 Perkembangan Pengeluaran Rutin Di Indonesia ……….. 51

4.5 Perkembangan Cicilan Utang Luar Negeri di Indonesia ………….. 55

4.6 Analisis dan Pembahasan ………. 59

4.6.1 Analisis dan Pengumpulan Data ……….. 59

4.6.2 Interprestasi Model ……….. 59

4.6.3 Test of Goodness Fit ……… 61

4.6.3.1 Koefisien Determinasi ………. 61

4.6.3.2 Uji t-statistik ……… 61


(9)

4.6.4 Uji Penyimpangan Klasik ……… 66

4.6.4.1 Uji Multikolinearitas ……… 66

4.6.4.2 Uji Autokorelasi ………... 68

Bab V Kesimpulan dan Saran ………. 70

5.1 Kesimpulan ………... 70

5.2 Saran ………. 71

Daftar Pustaka Lampiran


(10)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri

(Rutin) Pemerintah Indonesia 50 4.2 Perkembangan Pengeluaran Rutin

Pemerintah Indonesia 54

4.3 Perkembangan Cicilan Utang Luar Negeri

Pemerintah Indonesia 58


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

4.1 Grafik Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri (Rutin) Pemerintah

Indonesia 49

4.2 Grafik Perkembangan Pengeluaran

Rutin Pemerintah Indonesia 52 4.3 Grafik Perkembangan Cicilan Utang

Luar Negeri Indonesia 56

4.4 Kurva Uji t-statistik Terhadap Penerimaan

Dalam Negeri (X1) 62

4.5 Kurva Uji t-statistik Terhadap Pengeluaran

Rutin (X2) 63

4.6 Kurva Uji F-statistik 65


(12)

ABSTRACT

The main objective of this research is to find out the effect of government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2) on the amount of

government foreign debt servicing (Y) in the year 1984 up to year 2008 by secondary data obtained from Bank Indonesia (Library and Website) , Badan Pusat Statistica Medan. Processed data represent time series.

The result shows that determinant coefficient equal to 0,91 meaning that the government foreign debt servicing (Y) is 91% influenced by the government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2), while rest 8,55%

influenced by another factor outside the model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), explains that both of government domestic revenue (X1) and routine government

expenditure (X2) positively and significantly affect the amount of total the

government foreign debt servicing in Indonesian.

The conclusion of the research is that the government domestic revenue and routine government expenditure significantly affect the government foreign debt servicing in Indonesian.

Keywords: The Foreign Debt Servicing, Goverment Domestic Revenue, Routine Government Expenditure


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah terhadap cicilan utang luar

negeri pada tahun 1984 – 2008 dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia (Perpustakaan dan Website), Badan Pusat Statistika kota Medan. Data yang diolah merupakan data runtun waktu (time serias).

Dari hasil penelitian diperoleh R2 sebesar 0,91452 yang berarti cicilan utang luar negeri di Indonesia sebanyak 91% dipengaruhi oleh faktor penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah, sedangkan sisanya

sekitar 8,55% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar dari model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), memberikan arti bahwa secara bersama-sama penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah berpengaruh positif atau

signifikan terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia. Kesimpulan dari hasil penellitian ini adalah bahwa penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh signifikan atau nyata terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.

Kata kunci: Cicilan Utang Luar Negeri, Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Rutin


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi suatu negara memiliki arah dan strategi untuk senantiasa mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil maupu n spiritual. Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya kemiskinan lewat peningkatan pendapatan nasional per kapita, perluasan kesempatan kerja dan redistribusi pendapatan yang lebih merata. Hal tersebut menggambarkan, bahwa pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih baik, tidak terkecuali bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Tujuan pembangunan memerlukan urutan prioritas pembangunan disesuai dengan tersedianya dana dan kebutuhan pembangunan. Prioritas pembangunan tercermin dalam prioritas dalam anggaran negara, sehingga kebijakan anggaran suatu negara disusun sebagai salah satu kebijakan penting dalam usaha mencapai cita-cita pembangunan. Terlebih dikarenakan negara mengambil bagian pokok sebagai pemimpin pembangunan suatu negara.

Strategi pembangunan dan penyediaan modal yang diperlukan Indonesia terbentuk seperti dua sisi mata uang koin. Pembangunan ekonomi negara berkembang disatu sisi memerlukan dana yang relatif besar, sementara disisi lain juga memerlukan usaha untuk pengerahan dana tersebut. Dan proses untuk membiayai pembangunan tersebut yang kerap kali mengalami kendala. Salah satunya kendalanya adalah konsidi anggaran negara.


(15)

Pengerahan modal yang dibentuk merupakan wujud kemampuan suatu negara menghimpun dana baik bersumber dari penerimaan ekspor barang ke luar negeri maupun dari masyarakat melalui instrument pajak dan instrument lembaga-lembaga keuangan. Untuk itu diperlukan sebuah pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab yaitu berupa bagaimana peranan negara dilaksanakan.

Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi akan dapat berjalan lancar, apabila disertai dengan administrasi yang baik. Administrasi dalam pembangunan akan menunjukkan betapa kompleksnya organisasi pemerintah, sistem manajemennya dan proses kegiatan pemerintah yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satunya adalah melalui politik anggaran dalam struktur perekonomian suatu negara.

Politik anggaran merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempengaruhi stuktur perekonomian suatu negara, karena kegiatan-kegiatan pembangunan suatu negara memang sangat ditentukan oleh tujuan akhir serta dana yang tersedia dalam perekonomiannya, baik yang berada di tangan individu atau swasta maupun pemerintah. Untuk alokasi dana pemerintah Indonesia sendiri, tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertindak sebagai alat pengatur urutan prioritas pembangunan Indonesia dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, serta sesuai ketersediaan dana dan kebutuhan pembangunan.

Pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menggunakan konsep anggaran berimbang, dinamis dan fungsional. Anggaran berimbang dimaksudkan terjadinya


(16)

perimbangan antara anggaran pengeluaran dengan anggaran penerimaan. Anggaran dinamis berarti adanya peningkatan secara terus-menerus akan besarnya tabungan pemerintah. Anggaran fungsional tertuju pada pengertian bahwa fungsi dari pinjaman luar negeri adalah untuk membiayai pengeluaran pembangunan (Basri dan Subri, 2005:41).

Walaupun demikian bentuk anggaran seimbang seperti diatas tidak umum, karena keseimbangan dalam anggaran tersebut sebenarnya defisit anggaran yang ditutup dengan aliran dana yang berasal dari bantuan luar negeri. Namun kebijaksanaan anggaran defisit dapat menimbulkan masalah inflasi di luar kewajaran, jika keadaan yang defisit ditutup dengan jalan mencetak uang selain meminjam dana dari masyarakat.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seimbang seluruh pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mampu dibiayai hanya dengan mengandalkan penerimaan rutin semata, namun tidak terjadi pada keuangan negara Indonesia. Dapat dikatakan sejak Pelita I hingga tahun pertama Pelita IV kita menempuh anggaran yang defisit, karena seluruh penerimaan dalam negeri (rutin) tidak cukup untuk membiayai seluruh anggaran pengeluaran negara baik anggaran pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Salah satu gambaran yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia adalah pada tahun pertama Pelita IV yaitu T.A 1984/1985 tercatat pengeluaran rutin sebesar Rp 9,429 miliar dan pengeluaran untuk membiayai pembangunan sebesar Rp 9,952 miliar, kemudian dijumlahkan menjadi sebesar Rp 19,381 miliar. Jumlah ini tidak dapat ditutupi oleh penerimaan dalam negeri (rutin) yang hanya sebesar Rp 15,905 miliar untuk itu di tahun yang sama utang luar negeri pemerintah Indonesia


(17)

tercatat sebesar US $ 30265,00 juta, jika di konversikan dengan nilai kurs maka utang luar negeri tercatat sebesar Rp 31.021,625 miliar.

Dan uraian diatas juga menggambarkan bahwa komponen anggaran penerimaan pemerintah, anggran pengeluaran pemerintah serta utang sangat berhubungan erat sebagai wujud dari kekuatan anggaran yang dimiliki dalam hal ini negara Indonesia.

Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh negara Indonesia kemudian menghasilkan pengeluaran pembangunan yang selalu besar dan cenderung terus meningkat setiap tahunnya sementara anggaran penerimaan yang mampu dihimpun tidak memadai. Akibatnya selisih dana dari anggaran–anggaran yang rutin dilakukan pemerintah tidak mampu menjamin kelangsungan pembangunan Indonesia. Kekurangan dana mengharuskan pemerintah untuk menggunakan komponene bantuan luar negeri, dengan pertimbangan bantuan yang berasal dari luar negeri dapat mencegah peningkatan inflasi di dalam negeri serta suku bunganya lebih rendah.

Pencapaian konsep anggaran berimbang pemerintah nyatanya hanyalah sebuah konsep defisit anggaran yang diupayakan berimbang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap berimbang ketika defisitnya anggaran dapat ditutup oleh sumber pembiayaan dari luar negeri. Karena suatu anggaran defisit terjadi apabila terdapat kesenjangan antara pengeluaran pembangunan yang lebih besar daripada tabungan pemerintah yang tersedia (Supriyanto dan Sampurna, 1999:117).

Pada umumnya negara-negara berkembang kurang mampu menciptakan simpanan dari selisih anggaran-anggaran yang rutin dilakukan sebanyak investasi


(18)

yang diperlukan untuk pembangunan, oleh karenanya modal luar negeri perlu dikerahkan untuk menutupi kekurangan tersebut. Dalam keadaan ini bantuan luar negeri berfungsi sebagai dana untuk menutupi saving-invesment gap. Bantuan luar negeri memungkinkan negara penerima bantuan melaksanakan penanaman modal (investasi) yang lebih besar sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Perubahan sistem anggaran yang membawa konsekuensi pada politik penerimaan dan pengeluaran pemerintah, seakan memaksa pemerintah untuk membuat anggaran yang lebih bijak tanpa mengesampingkan kepentingan di luar pelunasan utang luar negeri. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 2007 penerimaan dalam negeri (rutin) sebesar Rp 591,427 miliar dan di T.A 2008 sebesar Rp 679,520 miliar (Bank Indonesia).

Peningkatan penerimaan dalam negeri ini memerlukan pengelolaan yang baik, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pembangunan yang selama ini masih didominasi oleh utang luar negeri, walaupun secara riil masih belum maksimal. Penerimaan negara Indonesia merupakan aspek penting dalam pembentukan dana yang akan digunakan sebagai anggaran pembangunan, terutama penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan pajak dan migas. Indonesia belum mampu untuk menciptakan penerimaan dalam negeri secara optimal, dikarenakan Indonesia belum mampu mengolah pontesi alam yang dimiliki serta rendahnya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak.

Kondisi serupa diharapkan berlaku kepada pengeluaran rutin agar mampu dialokasikan efisien dan tidak akan terkuras hanya untuk memenuhi kewajiban


(19)

utang luar negeri. Karena tujuan dari keseluruhannya adalah agar pembangunan dapat terealisasi cepat dan masyarakat mampu menata hidup yang lebih sejahtera.

Indonesia pernah mencapai kondisi yang mulai mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan akan utang luar negeri, yaitu pada tahun 1990-an hingga beberapa tahun sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu belum terjadi lonjakan nilai tukar mata uang seperti ditahun 1998. Ketidakstabilan politik dalam negeri serta masa transisi pemerintahan orde lama menuju gerakan reformasi, mengakibatkan krisis ekonomi dimana nilai tukar rupiah sangat lemah.

Cicilan utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah Indonesua naik sebesar US$ 5,905 miliar atau sebesar Rp 47.487,625 miliar di tahun 1998, yaitu meningkat sebesar Rp 13.554,225 miliar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US$ 7,276 miliar atau sebesar Rp 22,902 miliar tahun 1997. Tahun 1999 pasca krisis ekonomi utang luar negeri terus menunjukkan trend meningkat menjadi US$ 5,800 miliar atau Rp 41.180,000 milliar, merupakan jumlah yang cukup besar dan berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya (Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, 1997–1999). Pengawasan akan nilai tukar menjadi perlu mengingat depresiasi akan meningkatkan pinjaman luar negeri dalam bentuk rupiah, yang tentunya sangat memberatkan pelunasan utang luar negeri berupa bunga dan cicilan pokok utang luar negeri Indonesia.

Utang luar negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya jelas bahwa pemerintah mengambil kebijakan utang luar negeri untuk membiayai defisit anggaran negara. Namun dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan anggaran dan pendapatan negara selalu dalam kondisi defisit sehingga utang luar


(20)

negeri merupakan bagian wajib dari kebijakan pembiayaan negara setiap tahunnya. Sebagai gambaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 1995/1996 lebih dari dua pertiganya adalah anggaran pengeluaran rutin. Artinya kekuatan untuk mengerakkan perekonomian sudah amat kecil. Jika berkelanjutan utang luar negeri bukan lagi menjadi faktor pelengkap tetapi berubah menjadi suatu ketergantungan atau disebut Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan utang pokok yang dibayar, semakin bertambah tinggi utang yang menumpuk (Arief, 2001:103).

Masalah utang luar negeri masih dianggap berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dilema yang terjadi terletak pada perlu tidaknya berutang untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Mengingat peranan utang luar negeri masih besar bagi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Perangkap utang dalam frame bantuan pinjaman akan semakin memojokkan negara-negara pengutang dan memunculkan bentuk intervensi dalam penentuan pengambil kebijaksanaan ekonomi negara pengutang, salah satunya yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Dibawah kontrol IMF, Indonesia harus mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan pengapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Negara pengutang tetap berada dalam kemiskin karena terus-menerus terjerat utang yang semakin menumpuk dari waktu ke waktu. Di Indonesia sejak pemerintahan Seokarno hingga pemerintahan kini, pengelolaan utang luar negeri Indonesia tidak pernah bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standart


(21)

Bank Dunia yakni pendapatan per hari sekitar US $ 2 untuk setiap penduduk yang berpenghasilan menanggung beban utang yang cukup besar. Dan lebih ironisnya lagi bermunculan konsep beban utang luar negeri yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh anggaran-anggaran APBN yang rutin setiap tahunnya dianggarkan oleh pemerintah berupa anggaran penerimaan dalam negeri pemerintah dan anggaran pengeluaran rutin pemerintah terhadap pembayaran cicilan utang luar negeri Indonesia. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul

“Analisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri Dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia?

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, dan masih perlu dikaji kebenaranya melalui data yang terkumpul. Berdasarkan permasalahan diatas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:


(22)

1. Penerimaan dalam negeri pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.

2. Pengeluaran rutin pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menegetahui bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.

2. Sebagai bahan studi dan tambahan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi FE USU khususnya bagi jurusan Ekonomi Pembangunan, yang tertarik untuk mengetahui tentang anggaran rutin APBN dan cicilan utang luar negeri Indonesia.

3. Menambah dan melengkapi bahan masukan bagi penulis dan pembaca, sebagai sumbangan pemikiran yang kiranya dapat berguna dikemudian hari.


(23)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Anggaran Negara

2.1.1 Pengertian Anggaran Negara

Menurut Ibnu Syamsi, anggaran negara adalah hasil dari suatu perencanaan yang berupa daftar mengenai bermacam-macam kegiatan terpadu, baik menyangkut penerimaannya maupun pengeluarannya yang dinyatakan dalam satuan uang dalam jangka waktu tertentu. Negara Indonesia menetapkan anggaran negaranya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Anggaran negara merupakan salah satu alat politik fiskal untuk mempengaruhi arah dan percepatan pendapatan nasional. Adapun mengenai anggaran yang akan digunakan tergantung pada keadaan ekonomi yang dihadapi. Dalam keadaan ekonomi yang normal dipergunakan anggaran negara yang seimbang, kemudian dalam keadaan ekonomi yang deflasi biasanya dipergunakan anggaran negara yang defisit dan sebaliknya dalam keadaan ekonomi yang inflasi dipergunakan anggaran negara yang surplus.

Umumnya anggaran negara dapat diklasifikasikan atas 2 kategori: 1. Anggaran Berimbang (Balanced Budgeting)

Anggaran berimbang disusun sedemikian rupa sehingga setiap pengeluaran pemerintah dapat dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak atau sejenisnya, yaitu suatu kondisi dimana penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah.


(24)

2. Anggaran Tidak Seimbang (Unbalanced Budgeting)

Anggaran tidak seimbang terdiri dari anggaran surplus dan anggaran defisit. Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan sedangkan anggaran defisit yaitu pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Anggaran belanja yang tidak seimbang biasanya akan mempunyai pengaruh yang berlipat ganda terhadap pendapatan nasional.

2.1.2 Fungsi Anggaran Negara

Anggaran yang dimiliki oleh suatu negara mengandung tiga fungsi fiskal utama yaitu:

1. Fungsi Alokasi

Pemerintah mengadakan alokasi terhadap sumber-sumber dana untuk mengadakan barang-barang kebutuhan perseorangan dan sarana yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Semuanya itu diarahkan agar terjadi keseimbangan antara uang beredar dan barang serta jasa dalam masyarakat.

2. Fungsi Distribusi

Pemerintah melakukan penyeimbangan, menyesuaikan pembagian pendapatan dan mensejahterahkan masyarakat.

3. Fungsi Stabilitas

Pemerintah meningkatkan kesempatan kerja serta stabilitas harga barang-barang kebutuhan masyarakat dan menjamin selalu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mantap.


(25)

2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

2.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam menyusun suatu anggaran harus berkaitan antara dana-dana yang akan dikeluarkan dan tujuan yang akan dicapai. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berisikan daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). Namun ada juga yang dimulai dari 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Pola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan realisasinya adalah untuk melaksanakan tugas sehari-hari (rutin) dalam rangka pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan

2.2.2 Perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diajukan oleh presiden dalam bentuk rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah melalui pembahasan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN) selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Berdasarkan perkembangannya jika ditengah-tengah tahun anggaran yang berjalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat mengalami perubahan. Pada kondisi tersebut pemerintah harus mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) kembali. Perubahan


(26)

yang akan dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan Badan Anggaran DPR. Khusus untuk kejadian yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya seperti bencana alam, pemerintah dapat melakukan perubahan anggaran yang belum tersedia.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Suatu anggaran rutin yang terdiri dari:

a. Anggaran penerimaan rutin (dalam negeri) b. Anggaran belanja (pengeluaran) rutin

Sedangkan untuk melaksanakan tugas pembangunan (non rutin) disusun anggaran pembangunan yang terdiri dari:

a. Anggaran penerimaan pembangunan

b. Anggaran belanja (pengeluaran) pembangunan

2.2.3 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki enam fungsi dalam rangka membentuk struktur perekonomian negara antara lain:

1. Fungsi Otoritas

Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja negara pada tahun yang bersangkutan, dengan demikian pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

2. Fungsi Perencanaan

Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun


(27)

tersebut. Bila pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk mendukung pembelanjaan tersebut. Misalnya telah direncanakan atau dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan, maka pemerintah dapat mengambil tindakan untuk persiapan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.

3. Fungsi Pengawasan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4. Fungsi Alokasi

Bahwa suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus diarahkan untuk mengurangi penggangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi

Bahwa kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

6. Fungsi Stabilitas

Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

2.3 Penerimaan Negara

Penerimaan negara adalah penerimaan pemerintahan yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa


(28)

yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya (Suparmoko, 1986:93).

Penerimaan negara baik dari dalam negeri ataupun yang berasal dari luar negeri sangat penting bagi proses keberhasilan proses pembangunan nasional, terutama penerimaan pemerintah dari dalam negeri yaitu berupa penerimaan pajak dan bukan pajak serta penerimaan migas dan non migas. Penerimaan ini digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin pemerintah dan sisanya akan menjadi tabungan pemerintah. Kelebihan dana tersebut yang kemudian akan menjadi sumber pembangunan apabila tidak tersedia, maka pembangunan harus dibiayai dengan pinjaman luar negeri.

Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendapatan Negara dibedakan menjadi (Soetrisno, 1982:97) :

a. Sumber-sumber penerimaan rutin

b. Sumber-sumber penerimaan pembangunan

2.3.1 Penerimaan (Rutin) Dalam Negeri

Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.

Penerimaan perpajakkan

Penerimaan perpajakkan dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu: 1. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak penghasilan merupakan biaya atau tarif yang ditetapkan sesuai dengan besarnya penghasilan seseorang.


(29)

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pajak pertambahan nilai barang dan jasa merupakan tarif yang dikenakan atas nilai tambah barang dan jasa sedangkan pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang mewah yang diimpor dari luar negeri.

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak bumi dan bangunan merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang didirikan di atasnya. Hasil pemungutan tersebut 90% dikembalikan kepada daerah setempat dan sisanya 10% digunakan untuk pemerintah pusat.

4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan jenis penerimaan pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. 5. Pajak Lainnya

Pajak lainnya terdiri bea materai dan cukai. Bea materai merupakan tarif yang dikenakan atas dokumen, dokumen terutang dan tidak terutang. Cukai merupakan pemungutan atas barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir.

6. Cukai

Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas negara tetap juga bertujuan sebagai alat pengatur


(30)

dalam rangka perlingungan bagi masyarakat. Dasar perhitungan besarnya tarif cukai tergantung kepada jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga dasar.

7. Bea Masuk

Bea masuk merupakan tarif yang dikenakan atas barang-barang yang di impor dari luar negeri. Selain sebagai penerimaan negara bea masuk yang bertujuan untuk memproteksi produksi dalam negeri.

8. Tarif Ekspor

Tarif ekspor merupakan tarif atas beberapa komotidi yang akan di ekspor.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBD)

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBD) merupakan penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBD) dapat dikelompokan menjadi:

1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah 2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA)

3. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan 4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah

5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal pengenaan denda administrasi

6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah 7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam UU tersendiri


(31)

2.4 Pengeluaran Negara

Pengeluaran negara diartikan sebagai pengeluaran pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaran negara tergantung pada macam dan sifat dari pengeluaran pemerintah tersebut baik untuk kebutuhan harian atau rutin maupun untuk memenuhi pencapaian pembangunan. Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi (Seotrisno, 1982:339) :

a. Pengeluaran (belanja) rutin

b. Pengeluaran (belanja) pembangunan

2.4.1 Pengeluaran (Belanja) Rutin

Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga dan cicilan utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Pengeluaran rutin digunakan untuk menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintah, kegiatan operasinal dan pemeliharaan asset negara, pemenuhan kewajiban kepada luar negeri, perlindungan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu serta menjaga stabilitas perekonomian.

Terjadinya kenaikan pengeluaran rutin pemerintah yaitu pada belanja pegawai, subsidi serta pembayaran bunga utang luar negeri yang menyebabkan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat. Dana yang dialokasikan kepada belanja pegawai berupa peningkatan gaji pegawai dan dana untuk pensiunan, sementara kondisi lonjakan harga minyak mentah dunia mengakibatkan pemerintah melakukan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berawal di tahun 1997/1998 semakin membengkakkan dana yang


(32)

harus dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian semakin meningkatnya jumlah utang luar negeri serta merta mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah pembayaran bunga utang. Hal ini disebabkan oleh besarnya jumlah utang luar negeri yang jatuh tempo serta perubahan nilai tukar rupiah fluktuatif terhadap mata uang lain.

2.4.2 Klasifikasi Pengeluaran Negara

Menurut Suparmoko pengeluaran negara secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam:

a. Pengeluaran yang merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi dimasa mendatang.

b. Pengeluaran yang langsung memberikan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

c. Pengeluaran yang merupakan penghematan terhadap pengeluaran masa mendatang.

d. Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas dan menyebarkan daya beli yang lebih luas.

2.4.3 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah menurut beberapa para ahli ekonomi, (Basri dan Subri, 2005:49) antara lain:

1. Model Pembangunan Tentang Pengeluaran Pembangunan

Model ini dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan


(33)

tahap-PkPP1

PPKt

<

PkPP2

PPK2

<

PkPPn

PPKn

< …….

tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut.

a. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan lainnya.

b. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi swasta yang sudah semakin besar akan menimbulkan kegagalan pasar dan menyebabkan pula pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. c. Pada tahap lebih lanjut aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan

prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk kegiatan sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya.

2. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Teori Wagner didasarkan pada teori organis mengenai pemerintah yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.


(34)

Dimana:

Pk PP adalah Pengeluaran Pemerintah Pekapita

PPK adalah Pendapatan Perkapita (GDP/jumlah penduduk) 1,2,….. n adalah jangka waktu (tahun)

3. Teori Peacock dan Wiseman

Teori Peacock dan Wiseman (1961) didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar.

a. Perkembangan ekonomin menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat yang kemudian menyebabkan penegeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh akrena itu meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. b. Apabila terjadi keadaan tidak normal misalnya perang, maka

pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang, karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan juga harus meminjam dari negara lain untuk membiayai perang. Setelah keadaan normal, tarif pajak belum dapat diturunkan oleh karaena harus mengembalikan bunga pinjaman dan angsuran utang byang digunakan. Adanya gangguan sosial akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta.


(35)

2.5 Utang Negara

Sumber-sumber penerimaan pemerintah yang paling utama adalah dari pajak, pinjaman, dan pencetakan uang. Di samping itu ada sumber penerimaan lain yang memainkan peranan penting yaitu utang negara. Utang negara merupakan sumber-sumber dana tambahan pemerintah baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang berupa pinjaman negara. Sumber pendanaan ini digunakan untuk menutupi kekurangan dana yang mampu diciptakan oleh pemerintah.

Berdasarkan sumber perolehannya, utang negara dapat dibedakan menjadi menjadi dua (Suparmoko, 1992:243) yaitu:

1. Utang dalam negeri

Utang dalam negeri merupakan pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga sebagai penduduk negara itu sendiri atau dalam lingkungan negara itu sendiri. Utang luar negeri dapat bersifat terpaksa maupun bersifat sukarela.

2. Utang luar negeri

Utang luar negeri merupakan pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Utang luar negeri biasanya bersifat sukrela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain.

Badan atau lembaga yang menjadi sumber utang atau pinjaman negara dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu:


(36)

a. Individu Dalam Masyarakat

Pemberian pinjaman oleh para individu dengan cara membeli obligasi negara. Ini dapat mempengaruhi pola konsumsi dan pola tabungan para individu yang bersangkutan.

b. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Pemerintah dapat pula menjual surat obligasi negara kepada perusahaan asuransi dan sebagainya yang bukan bank. Pembelian obligasi oleh perusahaan jenis ini dilakukan dengan menggunakan dana yang mengganggur yang dimiliki.

c. Bank-Bank Umum

Dengan pembelian obligasi negara maka bank umum mempunyai tambahan reserve requirement 20%. Kondisi ini memampukan bank umum untuk menciptakan uang giral sebanyak lima kali lipat dan tidak menurunkan pendapatan nasional.

d. Bank Sentral

Pemerintah dapat menjual obligasi kepada Bank Sentral. Tindakan ini juga menciptakan tenaga lebih seperti halnya bila pemerintah menjual obligasi kepada bank umum.

2.5.1 Utang Luar Negeri

Utang luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain, yaitu mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara yang meminjamkan (kreditur) ke Negara peminjam (debitur) pada saat terjadinya pinjaman (Basri dan Subri, 2005:27).


(37)

Utang luar negeri yang harus di penuhi oleh pemerintah melalui anggaran rutin setiap tahunnya adalah berupa pembayaran bunga utang beserta cicilan pokok utang. Pemerintah menggunakan utang luar negeri adalah sebagai alat pelengkap dalam memenuhi kekurangan dari sumber dana pembangunan.

2.5.2 Klasifikasi Utang Luar Negeri

Bentuk-bentuk utang luar negeri dapat dibedakan atas: 1. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral

a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara CGI.

b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kredit dari peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat pengembalian bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit.

2. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa

a. Bantuan Program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk devisa kredit.

b. Bantuan Proyek: yaitu bantuan yang diperoleh untuk pembiayaan dan pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.

c. Bantuan Teknik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaga-tenaga Indonesia yang dilatih diluar negeri.


(38)

2.5.3 Negara dan Lembaga Donor Utama Indonesia

Kebijakan utang luar negeri tidak hanya tergantung pada kebijakan negara peminjam dalam mengelola utang luar negeri tetapi hingga tingkat tertentu juga dipengaruhi ole kebijakan dari pihak pemberi. Pemberian utang luar negeri secara ketat akan membuat ketergantungan kepada negara atau lembaga pendonor rendah atau tingkat efektivitas penggunaannya tinggi. Adapun negara-negara atau lembaga pendonor utama Indonesia (Tulus, 2008:269) antara lain :

1. Lembaga-Lembaga Donor

a. Internasional Bank of Reconstruction and Development (IBRD)

Awal berdirinya IBRD (Bank Dunia) hingga sekarang memiliki fokus pemberian utang untuk memerangi kemiskinan di dunia. Untuk mencapai tujuan ini, IBRD memberi bantuan atau pinjaman kepada banyak negara termasuk Indonesia. Indonesia menggunakan dana IBRD untuk mendanai aspek-aspek pembangunan diantaranya pendidikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur dan fasilitas transportasi serta komunikasi, pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan dan banyak lainnya.

b. Asian Development Bank

Fungsi awal ADB adalah sebagai pemberi pinjaman proyek yang mendukung investasi negara berkembang anggota ADB di sektor pertanian, industri, dan infrastruktur. Namun sejak pertengahan 1980-an ADB juga telah mendukung reformasi kelembaga1980-an d1980-an kebijak1980-an yang lebih luas berupa pinjaman proyek dan pinjaman program.


(39)

c. Japan Bank for Internasional Cooperation (JBIC)

Pinjaman lunak yang diberikan oleh pemerintah Jepang ke negara berkembang termasuk Indonesia disalurkan dalam kerangka Official Development Assistance (ODA), yang disalurkan lewat JBIC. Asia Tenggara merupakan wilayah perhatian khusus ODA dengan jumlah hampir 60% dari bantuan bilateral Jepang ke negara berkembang berupa pengembangan SDM dan pembangunan infrastruktur sosial and ekonomi.

2. Negara-Negara Donor

a. Pemerintah Jepang

Berbeda dengan prioritas ODA secara umum, untuk pemerintah Indonesia, pemerintah Jepang memprioritaskan pendanaan oleh pinjaman yen pada pembangunan infrastuktur ekonomi untuk menciptakan iklim investasi yang nyaman dan didukung oleh reformasi pada setiap sektor, dua diantaranya adalah tenaga listrik dan transportasi.

b. Pemerintah Jerman

Pemerintah Federal Jerman menyalurkan bantuan atau pinjaman luar negerinya ke negara berkembang seperti Indonesia melalui German Technical Cooperation (GTZ) dengan tujuan mendukung pelaksanaan proyek-proyek kerja sama teknik yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.


(40)

Pinjaman luar negeri pemerintah Perancis disalurkan lewat France Protocol Loan yang membiayai proyek-proyek di 16 negara berkembang termasuk Indonesia. Sejak tahun1960-an hingga tahun1995 Indonesia penerima kedua terbesar yaitu US$ 150 juta namun pada masa krisis ekonomi hingga tahun 2001 pinjaman dari pemerintah Perancis terhenti akibat situasi politik yang tidak menentu di Indonesia.

d. Pemerintah Korea Selatan

Seperti pemerintah Jepang, pemerintah Korea Selatan juga memberikan pinjaman kepada Indonesia dalam kerangka ODA yang disalurkan melalui the Economic Development Cooperation Fund (EDCF) yang dibentuk pada tahun 1987. Bantuan yang diberikan terutama untuk pembangunan industry dan stabilitas ekonomi di negara-negara peminjam.

2.5.4 Pertumbuhan Utang Luar Negeri Indonesia

Menurut Tulus T. H. Tambunan, masalah utang luar negeri Indonesia tidak lagi menjadi hal baru. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah memiliki utang luar negeri bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Namun utang luar negeri muncul sebagai masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih pada pertengahan dekade 80-an, yakni utang baru yang diterima lebih kecil daripada cicilan pokok dan bunga yang harus dibayar setiap tahunnya. Utang luar negeri yang baru sama sekali tidak bisa digunakan sesuai tujuannya selain untuk membayar sebagian cicilan pokok dan bunganya.


(41)

Utang luar negeri pemerintah Indonesia pada tahun 1950 sebesar US$ 7,8 miliar yaitu berupa warisan utang pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan utang baru US$ 3,8 miliar. Kondisi ini disebabkan sektor swasta yang belum berkembang sehingga pemerintah hanya memiliki utang luar negeri saja.

Pada masa pemerintahan Soekarno jumlah keseluruhan utang luar negeri Indonesia sebesar US$ 6,3 miliar, jumlah tersebut merupakan kumulatif dari utang luar negeri masa penjajahan sebelumnya.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh dua hal pendorong utama yaitu:

1. Pemerintahan Orde Baru pada saat itu menganggap utang luar negri sebagai salah satu langkah tepat untuk memutuskan lingkaran setan kemiskinan melalui pembangunan yang sebagian besar dibiayai oleh utang luar negeri.

2. Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak perusahaan swasta yang melakukan peminjaman dana dari luar negeri selain pemerintah.

Pertumbuhan negatif utang luar negeri Indonesia baru terjadi tahun 1999 yakni 0,2% pemicunya adalah sejak terjadinya krisis ekonomi tahun1998. Pada saat itu perekonomian Indonesia mencapai titik terburuk. Para konglomerat di zaman Orde Baru dituduh sebagai salah satu penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada saat itu.


(42)

2.6 Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN

Utang merupakan salah satu alternatif yang dipilih sebagai sumber pembiayaan karena adanya kebutuhan yang perlu diselesaiakan segera. Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utang luar negeri dimaksudkan sebagai penerimaan pembangunan yang berasal dari pinjaman program dan pinjaman proyek. Dana luar negeri yang diperoleh kemudian digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan di berbagai sektor kehidupan negara.

Dapat dikatakan bahwa utang luar negeri pemerintah Indonesia hanya berfungsi sebagai pelengkap dalam pengeluaran pembangunan maupun total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun semua utang luar negeri pemerintah tetap dan terus saja semakin besar setiap tahunnya pada masa lalu sejak Pelita I hingga Pelita VI.

Selain dari sisi pengeluaran, dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan negara sebagai aspek terpenting dalam pembentukkan tabungan pemerintah. Apabila pemerintah mampu membiayai pembangunan dari tabungan pemerintah yang tersedia yaitu sisa dari penerimaan dalam negeri setelah dikurangi pengeluaran pembanguan, maka Indonesia tidak lagi memerlukan utang dari luar negeri. Namun kenyataannya tabungan pemerintah tidak mampu untuk membiayai semua kegiatan pembangunan, untuk itu pemerintah harus mengusahakan kekurangan dari sumber lain salah satunya dengan fasilitas utang luar negeri yang berperan hanya sebagai pelengkap.

Namun peran pelengkap ini semakin mengkhawatirkan karena adanya beberapa rintangan dan pembatasan. Batasan umum adalah mengenai kapasitas


(43)

negara peminjam tersebut untuk membayar kembali pinjaman dan bunganya di masa yang akan datang. Di negara-negara berkembang oleh karana lambannya pertumbuhan ekspor dan penerimaan devisa yang dapat dipakai untuk mambayar kembali utang beserta bunganya, pemerintah harus menyusun anggaran yang lebih rasional dan bertanggung jawab agar polemik utang luar negeri tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

2.7 Hubungan APBN terhadap Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri

Pembayaran cicilan utang luar negeri beserta bunganya atas pinjaman luar negeri merupakan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memberatkan tahun-tahun fiskal mendatang, karena semakin besarnya jumlah pinjaman luar negeri setiap tahunnya dan semakin berakumulasi.

Sampai sekarang kemungkinan untuk menghentikan pinjaman luar negeri dalam pemeliharaan daya gerak pembangunan belum terlihat pasti. Pinjaman yang diperoleh Indonesia masih berperan dominan dalam beberapa hal dan sepanjang anggaran masih tetap defisit bila tanpa bantuan dari luar negeri.

Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka penyediaan dana untuk pengeluaran rutin akan semakin membengkak. Pembengkakan yang terjadi salah satunya berupa pembayaran bunga utang beserta cicilan pokok utang luar negeri. Sedangkan jumlah bunga utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah cenderung lebih besar dari cicilan pokok utang itu sendiri, bahkan penyediaan dana untuk kewajiban utang luar negeri termasuk komponen terbesar dalam anggaran. Keseluruhan hal tersebut akan semakin


(44)

memperberat pengeluaran rutin pemerintah. Sehingga pemerintah harus memperkuat komponen lainnya seperti penerimaan dalam negeri dan mengefisiensikan jumlah pengeluaran rutin, agar jumlah kewajiban utang tidak perlu diperberat melalui pembentukan utang yang baru.

Anggaran yang semakin ketergantungan akan kemampuan utang luar negeri akan semakin mempersulit perekonomian negara yang bersangkutan untuk memulihkan pembangunan.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dilakukan di Indonesia dengan mengamati dan menganalisa pengaruh anggaran rutin yaitu penerimaan dalam negeri (rutin) dan pengeluaran rutin pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap cicilan utang luar negeri di Indonesia.

3.2 Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk urut waktu (time series) yaitu berupa angka-angka kuantitatif. Sedangkan data diperoleh melalui Bank Indonesia (BI) Kota Medan, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan pencatatan langsung

hasil publikasi instansi yang terkait berupa data tahunan, selama kurun waktu 25 tahun yaitu dari tahun anggaran 1984 – 2008.

3.4 Pengolahan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengolahan data dengan menggunakan program computer Eviews 5.1 dan Microsoft Excel 2007 sebagai


(46)

program pembantu untuk meminimalkan kesalahan dalam pencatatan data jika dibandingkan dengan pencatatan ulang secara manual.

3.5 Model Analisis Data

Dalam menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan model ekonometrika dengan meregresi variabel-variabel yang ada dengan mengunakan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa. Data-data yang digunakan, dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda.

Variabel-variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat dinyatakan dalam fungsi sebagai berikut:

Y = f(X1,X2,X3,…Xn) ………(1)

Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan kedalam bentuk model persamaan linier sebagai berikut:

Log Y = α + Log β1X1 + Log β2X2 + μ ………..………(2)

Dimana:

Y = Cicilan utang luar negeri (miliar rupiah)

α = Intercept/Konstanta

X1 = Penerimaan dalam negeri pemerintah (miliar rupiah)

X2 = Pengeluaran rutin pemerintah (miliar rupiah) β1,β2,β3 = Koefisien regresi


(47)

> 0,

> 0,

∂ LogX1 ∂ LogY

∂ LogY ∂ LogX2

Bentuk hipotesisnya sebagai berikut :

Artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (penerimaan dalam

negeri) maka Y (cicilan utang luar negeri) mengalami kenaikan, cateris paribus.

Artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (pengeluaran rutin) maka

Y (cicilan utang luar negeri) mengalami kenaikan, cateris paribus.

3.5.1 Uji Kesesuaian (Test of Goodness Fit)

Uji kesesuaian (Test of Goodness Fit) dilakukan untuk mengetahui kesesuian garis regresi sampel mencocokan data. Untuk menganalisa model tersebut dilakukan pengujian sebagai berikut:

3.5.1.1 Uji Koefisien Determinasi (R-square)

Uji koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan paling baik dari garis regresi. Uji ini digunakan untuk melihat sebarapa besar variabel-variabel bebas secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai variabel terikat dimana nilai koefisien determinasi (R2) adalah antara 0 sampai dengan 1 (0≤R2≤1)

Koefisien determinasi bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat, sebaliknya nilai koefisien determinasi 1 berarti ada hubungan sempurna antara variabel bebas dengan terikat.


(48)

t-statistik =

Sbi

3.5.1.2Uji t-Statistik (Partial Test)

Uji t merupakan suatu pengujian apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel terikat dengan menganggap variabel bebas lainnya konstan. Nilai t-statistik dapat diperoleh dengan rumus:

(bi – b)

Dimana:

bi = Keofisien variabel bebas ke-i b = Nillai hipotesis nol

Sbi = Simpangan baku dari variabel ke-i Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

Ho : β1 = 0 Ha : β1≠ 0

Dengan ketentuan sebagai berikut:

Ho diterima jika t-statistik < t tabel Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Xi > 0,01 bila α = 1%

b. Probabilitas Xi > 0,05 bila α = 5%

c. Probabilitas Xi > 0,10 bila α = 10%

Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat.

Ha diterima jika t-statistik > ttabel Dalam program Eviews:


(49)

(1 – R2)/(n – k) R2/(k – 1)

b. Probabilitas Xi < 0,05 bila α = 5%

c. Probabilitas Xi < 0,10 bila α = 10%

Artinya variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.

Ho diterima

Ha diterima Ha diterima

-tα/2 0 tα/2

Gambar 3.1 Kurva Uji t-statistik

3.5.1.3 Uji F-Statistik

Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas secara keseluruhan atau bersama-sama terhadap variabel terikat. Nilai F-statistik dapat diperoleh dengan rumus:

=

Dimana:

R2 = Koefisien determinasi

k = Jumlah variabel bebas dan intercept n = Jumlah sampel

Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut: F-statistik


(50)

Ho : β1= β2= β3 = 0 Ha : β1≠ β2≠ β3≠ 0

Pengujian ini dilakukan untuk membadingkan nilai F-statistik dengan F tabel dengan kriteria sebagai berikut:

Ho diterima jika F-statistik < Ftabel Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y > 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y > 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y > 0,10 bila α = 10%

Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat

Ha diterima jika Fstatistik > F tabel Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y < 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y < 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y < 0,10 bila α = 10% Artinya variabel bebas memepengaruhi variabel terikat

Ho diterima

Ha diterima

0


(51)

3.5.1.3Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 3.5.2.1 Uji Multikolinearitas

Multikolinaeritas adalah uji untuk mengetahui apakah ada hubungan yang kuat (kombinasi linier) diantara variabel bebas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai R2 dan nilai F-statistik, nilai t-statistik serta standart error. Suatu model regresi liner akan menghasilkan estimasi yang baik apabila model tersebut tidak mengandung multikolinearitas. Multikolinearitas terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara sesama variabel bebas dari suatu model estimasi.

Adanya multikolinearitas ditandai dengan: 1. Standar eror tidak terhingga

2. Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α=1%, α=5%, α=10% 3. Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori

4. R2 sangat tinggi

3.5.2.2 Uji Autokorelasi

Uji ini merupakan hubungan variabel-variabel dari serangkaian yang tersusun dalam rangkaian waktu. Autokorelasi juga menunjukkan hubungan nilai-nilai yang berurutan dari variabel yang sama. Autokorelasi dapat terjadi jika kesalahan pengganggu suatu periode korelasi dengan kesalahan pengganggu periode sebelumnya.

Untuk menguji apakah hasil-hasil estimasi tidak mengandung autokorelasi, maka dipergunakan:


(52)

∑(et – et – 1)2 ∑et2

d =

Dimana terlebih dahulu harus ditentukan besarnya nilai kritis dari du dan dl berdasarkan jumlah pengamatan dari variabel bebasnya.

Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

Ho : ρ = 0, tidak ada gejala autokorelasi Ha : ρ ≠ 0, ada gejala autokorelasi

Dengan kriteria sebagai berikut:

Ho diterima jika (du< d < 4 − du), artinya data pengamatan tidak terdapat autokorelasi.

Ha ditolak jika (d < dl) atau (d > 4 − dl), artinya data pengamatan memiliki gejala autokorelasi.

Inconclusive Inconclusive

Autokolerasi (−) Autokolerasi (+)

Ho diterima

dl du 2 4 – du 4 – dl

Gambar 3.3 Kurva Uji Durbin Watson

Keterangan:

Ho = Tidak ada autokorelasi


(53)

d > 4 – dl = Tolak Ho (ada korelasi negatif) du < d < 4 – du = Terima Ho (tidak ada autokorelasi) dl ≤ d ≤ du = Tidak dapat disimpulkan (inconclusive) (4 – du) ≤ d ≤ (4 –dl) = Tidak dapat disimpulkan (inconclusive) 2. Uji LM-Test

Menggunakan Uji LM-Test atau juga dikenal Breusch Godfrey Test, dengan hipotesis sebagai berikut:

a. Jika hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Obs* R-square > χ2 atau nilai probabilitas lebih rendah dari 0,05 maka menurut Uji LM-Test terdapat autokolerasi di dalam hasil estimasi. b. Jika hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Obs*

R-square < χ2 atau nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka menurut LM-Test tidak terdapat autokolerasi di dalam hasil estimasi


(54)

3.6 Definisi Operasional

1. Anggaran adalah perencanaan yang berupa daftar mengenai bermacam-macam kegiatan terpadu pemerintah Indonesia, baik yang menyangkut penerimaan maupun pengeluaran yang dinyatakan dalam miliar rupiah. 2. Penerimaan dalam negeri adalah penerimaan pemerintah Indonesia yang

meliputi penerimaan pajak dan bukan pajak (migas) yang dinyatakan dalam miliar rupiah.

3. Pengeluaran rutin adalah pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan roda pemerintahan Indonesia meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi, angsuran dan bunga utang serta pengeluaran lainnya yang dinyatakan dalam miliar rupiah.

4. Cicilan utang luar negeri adalah jumlah kewajiban atas pembayaran utang luar negeri berupa bunga dan cicilan pokok utang pemerintah Indonesia yang dinyatakan dalam miliar rupiah.


(55)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Indonesia

Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi yang dipimpin oleh seorang presiden sebagai pemimpin negara dan Pancasila sebagai filosofi dasar negara. Pancasila terdiri dari 5 (lima) dasar yang saling berhubungan dan merupakan jiwa demokrasi bangsa yang dikenal dengan nama Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila pertama kali dinyatakan oleh presiden Indonesia yang pertama yaitu Seokarno dalam proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.

4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia

Indonesia terletak antara 6º LU − 11º LS dan 97º BT − 141º BT. Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi strategis ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.

Luas laut Indonesia sekitar 7,9 km2 termasuk dalam daerah Zona Exclusive Economic (ZEE) atau 81% dari luas keseluruhan Indonesia. Daratan Indonesia mempunyai luas lebih dari 1,86 juta km2 serta mempunyai ratusan gunung dan sungai. Posisi yang strategis serta masih banyak terdapat beberapa gunung berapi yang masih aktif, menyebabkan Indonesia masih sering dilanda gempa.


(56)

Indonesia merupakan negara berbentuk republik dan memiliki 30 propinsi dengan 4 (empat) propinsi tambahan di tahun 2001 yaitu Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, dan Maluku Utara. Kemudian di tahun 2005 indonesia tercatat memiliki 33 propinsi dengan 3 (tiga) propinsi tambahan yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Irian Jaya Barat.

4.1.2 Kondisi Demografi Indonesia

Pada tahun 2000 Indonesia memiliki penduduk sebesar 205,1 juta jiwa namun belum termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tepat sebesar 421,399 juta jiwa. Pada tahun 2004 jumlah penduduk Indonesia sebesar 216,4 juta jiwa dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 219,2 juta jiwa.

Indonesia selalu berusaha untuk mensejahterakan penduduk nya yang mengarah kepada pemerataan penyebaran penduduk, baik melalui program transmigrasi maupun urbanisasi sebagai salah satu usaha pemerintah dalam rangka mengatasi masalah kependudukan. Usaha pemerintah berikutnya adalah melalui program Keluaraga Berencana (KB) pada awal tahun 1970-an dengan jumlah anggota keluaraga dibatasi dengan memiliki 2 (orang) anak saja dalam setiap keluarga serta program otonomi daerah (otda) yaitu sekitar tahun 2001. Melalui program ini pemerintah Indonesia berusaha menekan perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar yang kerap kali terjadi di pulau Jawa dimana jantung pemerintahan dan perekonomian Indonesia berada.

Dalam pemahaman ekonomi suatu negara yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, diyakini mampu melahirkan jumlah tenaga kerja yang optimal sebagai salah satu motor penggerak pembangunan. Namun dalam kondisi


(57)

Indonesia, jumlah tenaga kerja yang optimal tersebut tidak ikuti oleh mutu tenaga kerja tersebut sesuai permintaan pasar kerja. Penduduk Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan memadai secara menyeluruh sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja dan berproduksi guna memenuhi hidupnya dan keluarganya.

4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia

Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada beberapa tantangan yang tidak ringan. Tantangan tersebut cukup mengemuka dan mencapai puncaknya pada triwulan terakhir tahun 2008. Selama tiga tahun dari tahun 2005, 2006 dan 2007 pula perekonomian Indonesia tumbuh cukup signifikan rata-rata diatas 6%, menjadikan Indonesia saat ini secara ekonomi cukup dipertimbangkan oleh perekonomian dunia.

Namun masih lagi banyak hambatan yang harus dialami perekonomian Indonesia sebelum menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, misalnya (i) kondisi infrastruktur perekonomian (seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan listrik), (ii) tingginya angka pengangguran, (iii) tingginya inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya harga energi dunia, serta (iv) belum optimalnya peranan APBN sebagai stimulus ekonomi.

Pengaruh globalisasi terhadap perekonomian Indonesia yang menganut sistem perekonomi terbuka yang dianut Indonesia, menyebabkan perekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan perekonomian dunia dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat baik melalui arus barang,


(58)

jasa maupun arus modal. Krisis yang melanda kawasan Asia juga sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian Indonesia.

Diantaranya adalah ekspor yang memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian Indonesia, karena ekspor tidak saja sebagai sumber penerimaan devisa tetapi juga sebagai perluasan pasar bagi produksi barang-barang domestik dan penyerap tenaga kerja. Dan faktor penting yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional adalah tingkat pertumbuhan perekonomian dunia, khususnya di negara mitra dagang Indonesia. Kemudian gejolak nilai tukar mata uang rupiah serta merta menjadi komponen penting yang mempengaruhi warna dari perekonomian Indonesia. Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua bulan Juli tahun 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar.

Pada akhir Desember 1990 kurs rata-rata antara rupiah dengan dolar AS adalah Rp 1.901,00 dan mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. Kestabilan nilai rupiah berlanjut sampai dengan tahun 1997 sebesar Rp 4650,00 dan mulai bergejolak sampai pada ahkir tahun 1998 nilai tukar rupiah mnyentuh kurs Rp 8.025,00 (sumber: Bank Indonesia). Kondisi tersebut tercatat sebagai masa suram dalam perekonomian Indonesia.

Perekonomian Indonesia sebelumnya pada masa pemerintahan Orde Baru yaitu pada masa pemerintahan awal Presiden Soeharto, kondisi ekomoni pernah menyentuh inflasi hingga mencapai 650% setahun. Pada masa yang bersangkutan Indonesia masih bergelut dengan keadaan politik dalam negeri yang kacau balau. Untuk menekan inflasi tersebut pemerintahan Orde Baru membuat suatu kebijakan melalui (i) penertiban anggaran, (ii) penerbitan sektor perbankan, (iii) mengembalikan ekonomi pasar, (iv) memperhatikan sektor ekonomi dan (v)


(59)

merangkul negara-negara barat untuk menarikan modal. Pola umum pembangunan jangka panjang (25–30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pembangunan Lima Tahun (Pelita).

Pada masa akhir periode Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999) mengawali berakhirnya rezim Orde Baru. Indonesia mengalami krisi ekonomi serta krisis kepercayaan terhadap pemerintahan yang berkuasa seperti yang telah diuraikan diawal. Perekonomian mengalami krisis yang sulit diatasi, kondisi ekonomi kian terpuruk diakibatkan KKN yang merajalela dan pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata, menunjukkan persoalan perekonomian Indonesia dalam menata diri sebagai negara ekonomi yang besar. Wajah perekonomian di tahun berikutnya diharapkan ada prospek pertumbuhan lebih tinggi, dengan nilai tukar rupiah bergerak menguat sebagaimana terjadi hingga Desember 2010 berada pada Rp 8.978,00 – Rp 9.050,00 per dolar AS (sumber: www.bi.go.id). Dengan demikian perekonomian Indonesia akan berangsur-angsur membaik kembali tentunya dengan harapan bahwa Indonesia akan terkurangi dari resiko ekonomi akibat bencana alam yang akhir-akhir ini mengancam kestabilan perekonomian. Bukan sebuah kebijakan untuk menghalangi tetapi mencegah dampak negatifnya.

4.3 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri (Rutin) di Indonesia

Pendapatan negara yang seluruhnya bersumber dari penerimaan dalam negeri T.A 1984/1985 mencapai 15,905 miliar atau sebesar 2,7% selama kurun waktu 25 tahun hingga tahun 2008. Penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan minyak bumi dan gas alam.


(60)

Anggaran penerimaan dalam negeri memang peranan penting dalam APBN, dimana keuangan negara mampu dihimpun untuk membiayai anggaran rutin serta keperluan pembangunan. Selisih jumlah penerimaan dalam negeri terhadap anggaran rutin dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri berupa tabungan pemerintah, sebagai gambaran pada T.A 2007 tercatat penerimaan dalam negeri sebesar Rp 591,427 miliar, namun selisih terhadap atau pengeluaran rutin Rp 86,651 miliar.

Grafik 4.1

Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Indonesia (1984−2008)

23 24 25 26 27 28

84 86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LPDN

Penerimaan dalam negeri Indonesia sangat bergantung pada kekuatan penerimaaan perpajakan dan penerimaan minyak bumi dan gas alam yang ditetapkan, sejalan dengan membaiknya berbagai variabel yang menentukan penerimaan perpajakan, seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan tingkat harga umum, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Berdasarkan pencapaian di bidang penerimaan perpajakan dan penerimaan migas, dalam T.A 2000 yang terdiri atas Rp 235,910 miliar untuk penerimaan perpajakan dan Rp 169,420 miliar untuk penerimaan bukan pajak (Bank


(61)

Indonesia). Kemudian penerimaan bukan pajak dalam anggaran 2002 ditetapkan lebih tinggi dari tahun 2000 yaitu sebesar 188,440 dikarenakan pertumbuhan ekonomi makro yang diperkirakan lebih baik dari tahun sebelumnya yang berdampak positif terhadap peningkatan basis pemungutan penerimaan bukan pajak. Dengan menggunakan asumsi produksi minyak diperkirakan 1,320 juta barel per hari, harga minyak US $ 22 per barel dan nilai tukar Rp 8.940,00 per dolar AS (www.bi.go.id).

Selanjutnya kondisi serupa berlanjut pada T.A 2007, penerimaan dalam negeri sebesar Rp 591,427 miliar dengan proporsi Rp 414,536 miliar untuk penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak hanya menyumbang kurang lebih setengahnya yaitu Rp 176,891 miliar. Tercapainya sasaran peningkatan penerimaan tersebut melalui upaya (i) intensifikasi pemungutan pajak, (ii) ekstensifikasi subjek/objek pajak, dan (iii) peningkatan pelayanan kepada wajib pajak. Implementasi yang lebih spesifik akan semakin memperkuat basis pertahanan keuangan negara untuk menanggung beban anggaran untuk tahun-tahun ke depan. Sebagai gambaran asumsi makro berikutnya yaitu tahun-tahun 2008 mencatat pertumbuhan ekonomi 6,4% meningkatkan penerimaan perpajakan dengan kisaran inflasi sebesar 6,5% serta nilai tukar menguat di kisaran Rp 7.556,00 (sumber: www.bi.go.id) dengan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 679,520 miliar.


(62)

Tabel 4.1

Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri (Rutin) Pemerintah Indonesia (1984 – 2008)

Tahun Anggaran

Penerimaan Dalam Negeri (Rutin) Rp (miliar)

1984 15,905

1985 19,253

1986 16,141

1987 20,803

1988 23,004

1989 18,740

1990 22,010

1991 41,585

1992 48,863

1993 56,113

1994 46,418

1995 73,014

1996 87,630

1997 212,276

1998 242,809

1999 301,692

2000 305,335

2001 500,600

2002 498,527

2003 440,928

2004 403,030

2005 393,919

2006 636,153

2007 591,427


(63)

4.4 Perkembangan Pengeluaran Rutin di Indonesia

Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintah serta menjaga stabilitas politik dalam negeri. Misi tersebut direalisasikan dengan mengalokasikan anggaran pengeluaran untuk belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Seperti jumlah penerimaan dalam negeri, perkembangan pengeluaran rutin juga sangat dipengaruhi oleh berbagai variabel asumsi makro yang ditetapkan, diantaranya nilai tukar, SBI triwulanan, harga dan produksi minyak mentah, inflasi, serta konsumsi BBM dalam negeri.

Jumlah pengeluaran rutin dalam T.A 1984/1985 hingga tahun 2008 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu Rp 9,429 miliar di tahun 1984 dan Rp 854,660 miliar di T.A 2008 atau meningkat sebesar 4% setiap tahunnya.

Grafik 4.2

Perkembangan Pengeluaran Rutin Indonesia (1984−2008)

22 23 24 25 26 27 28

84 86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LPR

Memasuki masa setelah peristiwa krisis di tahun 1999, Bank Indonesia mencatat pengeluaran rutin dalam T.A 1999 ditetapkan Rp 166,881 miliar dengan menggunakan asumsi makro berupa inflasi sebesar 4,00% dan kurs berkisar Rp


(64)

7.100,00 per satu dolar AS. Kondisi ini sebagai imbas dari proses pemulihan kembali perekonomian dan perbankan Indonesia setelah inflasi sebesar 77,63% di tahun 1998 dengan pengeluaran rutin Rp 147,712 miliar. Perbaikan terus dilakukan hinnga T.A 2000 dimana inflasi mencapai 9,35% dan kurs rata-rata menyentuh angka Rp 9.595,00 per satu dolar AS, pemerintah meningkatkan pengeluaran rutin 0,974% (dari tahun 1999) atau sebesar Rp 162,577 miliar.

Kemudian di T.A 2002 pemerintah menetapkan pengeluaran rutin di tahun tersebut sebesar Rp186,944 miliar. Subsidi ditetapkan Rp 31,162 untuk subsidi BBM dan Rp 11,474 untuk subsidi non BBM kondisi tersebut menurun dibandingkan subsidi BBM sebesar Rp 51,135 di tahun 2000. Pada dasarnya ada tiga faktor penyebab berkurangnya beban subsidi BBM dalam T.A 2002, yaitu (i) semakin menguatnya perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp 10.400,00 di tahun 2001 menjadi Rp 8.940,00 di tahun 2002, (ii) lebih rendahnya asumsi harga minyak mentah dari US $ 24 menjadi US $ 22 per barel, serta (iii) adanya kebijakan atau rencana untuk menaikkan harga BBM dalam negeri (Basri dan Subri, 2005). Hampir serupa dengan tahun-tahun anggaran sebelumnya, di T.A 2002 pun terjadi peningkatan beban belanja pegawai yang disebabkan oleh naiknya alokasi anggaran untuk gaji dan pensiun.

Selanjutnya pemerintah melalui departemen Keuangan menetapkan asumsi makro yang sangat mempengaruhi jumlah pengeluaran rutin di tahun 2008 yang menyentuh nominal Rp 854,660 miliar dengan pertumbuhan ekonomi 6,8% serta inflasi mencapai 6,5% yang merupakan kebijaksanaan penguatan kurs yang diharapkan dapat mengurangi resiko inflasi. Kurs sebesar Rp 7.556,00 dan harga minyak internasional US $ 83 per barel (sumber: www.bi.go.id). Menjadi salah


(65)

satu faktor penyebab meningkatnya pengeluaran rutin yang harus di keluarkan oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tabel 4.2

Perkembangan Pengeluaran Rutin Pemerintah Indonesia (1984 – 2008)

Tahun Anggaran

Pengeluaran Rutin Rp (miliar)

1984 9,429

1985 11,951

1986 13,559

1987 17,482

1988 20,739

1989 24,331

1990 29,998

1991 30,227

1992 33,005

1993 40,290

1994 44,069

1995 50,435

1996 62,561

1997 89,610

1998 147,717

1999 166,881

2000 162,577

2001 218,920

2002 186,651

2003 186,944

2004 236,014

2005 358,903


(66)

2007 504,776

2008 854,660

Sumber: Bank Indonesia, beberapa tahun diolah

4.5 Perkembangan Cicilan Utang Luar Negeri Pemerintah di Indonesia

Kondisi kewajiban pembayaran cicilan utang luar negeri pemerintah Indonesia dalam kurun 25 tahun, berkembang pesat dari US $ 2,737 miliar atau setara Rp 2.808,160 miliar pada tahun 1984 yaitu pada masa Pelita IV meningkat menjadi US $ 9,344 miliar atau setara dengan Rp 70.603,264 miliar pada tahun 2008, setelah dikonversikan dengan nilai kurs.

Selama periode tersebut cicilan utang luar negeri yang harus dibayarkan pemerintah Indonesia bertambah sebesar US $ 6,607 miliar. Kondisi ini tentu saja sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus menyediakan dana besar, dikarenakan pembayaran cicilan utang tersebut selalu menggunakan mata uang dolar sementara nilai tukar rupiah cenderung melemah pada nilai yang stagnasi. Dengan demikian antara tahun 1984 sampai tahun 2008 saja pemerintahan 4 rezim yaitu Presien Soeharto, Presien Abdurahman Wahid, Presiden Megawati, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono negara tidak memiliki kemampuan mengurangi ketergantungan terhadap utang apalagi menghapuskannya.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terus dibebani oleh kewajiban pembayaran bunga cicilan pokok utang. Sebagai gambaran bahwa sejak T.A 1987/1988 sampai dengan T.A 1995/1996 saja, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri terhadap anggaran belanja negara rata-rata di atas 20% (Basri dan Subri, 2005:123).


(1)

Tambunan, Tulus T. Hamonangan, 2008. Pembangunan Ekonomi Dan Utang

Luar Negeri, Jakarta: PT. Rajagrafindo.

Tambunan, Tulus T. Hamonangan, 2009. Perekonomian Indonesia, Bogor: Ghalia

Indonesia

www.depkeu.go.id


(2)

Lampiran 1:

Data Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Rutin

dan Cicilan Utang Luar Negeri Indonesia (miliar Rp)

Tahun

Anggaran

Penerimaan

Dalam Negeri

Pemerintah (X

1

)

Pengeluaran Rutin

Pemerintah (X

2

)

Cicilan Utang

Luar Negeri (Y)

1984

15,905

9,429

2.805,425

1985

19,253

11,951

3.721,500

1986

16,141

13,559

6.489,414

1987

20,803

17,482

13.473,900

1988

23,004

20,739

14.186,445

1989

18,740

24,331

11.247,470

1990

22,010

29,998

12.364,104

1991

41,585

30,227

13.655,160

1992

48,863

33,005

15.242,304

1993

56,113

40,290

17.076,230

1994

46,418

44,069

18.420,600

1995

73,014

50,435

19.890,344

1996

87,630

62,561

21.435,085

1997

112,276

89,610

33.833,400

1998

242,809

147,771

47.387,625

1999

301,692

166,881

41.180,000

2000

305,335

162,577

50.978,235

2001

500,600

218,920

73.299,200

2002

498,527

186,651

65.923,560

2003

440,928

186,944

61.049,250

2004

403,105

236,014

83.907,280

2005

393,919

358,903

58.052,850

2006

636,153

427,598

153.845,120

2007

591,427

504,776

66.427,281

2008

679,520

854,660

70.603,264


(3)

Lampiran 2

Hasil regresi LPDN, LPR terhadap LCULN

Dependent Variable: LCULN Method: Least Squares Date: 11/16/10 Time: 02:57 Sample: 1984 2008

Included observations: 25

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.59929 1.218170 9.521900 0.0000

LPDN 0.261255 0.093530 2.793282 0.0106

LPR 0.505546 0.097538 5.183047 0.0000

R-squared 0.919452 Mean dependent var 30.87712

Adjusted R-squared 0.912129 S.D. dependent var 1.013181 S.E. of regression 0.300338 Akaike info criterion 0.544350 Sum squared resid 1.984463 Schwarz criterion 0.690615

Log likelihood -3.804369 F-statistic 125.5637


(4)

Hasil regresi LPDN terhadap LPR

Dependent Variable: LPDN Method: Least Squares Date: 11/16/10 Time: 20:36 Sample: 1984 2008

Included observations: 25

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.519204 2.664487 0.945474 0.3542

LPR 0.909949 0.106229 8.565946 0.0000

R-squared 0.761350 Mean dependent var 25.31421

Adjusted R-squared 0.750974 S.D. dependent var 1.341755 S.E. of regression 0.669570 Akaike info criterion 2.112255 Sum squared resid 10.31144 Schwarz criterion 2.209765

Log likelihood -24.40319 F-statistic 73.37543

Durbin-Watson stat 0.844073 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Hasil regresi LPR terhadap LPDN

Dependent Variable: LPR Method: Least Squares Date: 11/16/10 Time: 20:36 Sample: 1984 2008

Included observations: 25

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 3.870582 2.475945 1.563275 0.1316

LPDN 0.836695 0.097677 8.565946 0.0000

R-squared 0.761350 Mean dependent var 25.05085

Adjusted R-squared 0.750974 S.D. dependent var 1.286614 S.E. of regression 0.642053 Akaike info criterion 2.028326 Sum squared resid 9.481331 Schwarz criterion 2.125836

Log likelihood -23.35407 F-statistic 73.37543


(6)

Uji LM Test

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.390360 Probability 0.681858

Obs*R-squared 0.939236 Probability 0.625241

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 11/16/10 Time: 03:03

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.057670 1.261044 0.045732 0.9640

LPDN -0.011702 0.105330 -0.111101 0.9126

LPR 0.009473 0.111027 0.085317 0.9329

RESID(-1) 0.193429 0.230228 0.840164 0.4107

RESID(-2) 0.015373 0.261587 0.058769 0.9537

R-squared 0.037569 Mean dependent var 1.57E-15

Adjusted R-squared -0.154917 S.D. dependent var 0.287552 S.E. of regression 0.309023 Akaike info criterion 0.666056 Sum squared resid 1.909908 Schwarz criterion 0.909831

Log likelihood -3.325702 F-statistic 0.195180

Durbin-Watson stat 1.749204 Prob(F-statistic) 0.938028