A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Individu dalam perkembangannya melalui berbagai tahap perkembangan. Tahap yang cukup berkesan bagi sebagian besar individu adalah masa remaja. Individu mulai terbebas dari berbagai aturan yang mengikatnya sejak masa kanak- kanak ketika menginjak usia remaja. Individu juga sudah mulai merasakan pengaruh lingkungan sosial terutama teman sebaya terhadap dirinya. Kaczman dan Riva dalam Yusuf, 2004 menyatakan bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu. Masa remaja merupakan masa yang ditandai dengan berkembangnya: 1 sikap dependen kepada orangtua kearah independen, 2 minat seksualitas, dan 3 kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral Salzman Pikunas, dalam Yusuf, 2004. Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi yang tinggi dalam kesehariannya, yang menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock 1999 menyebut gejolak tersebut dengan “badai” dan “tekanan” yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapinya. Hal- hal seperti ini yang kemudian akan membuat kehidupan remaja berkesan tetapi juga menjadikan masa remaja sebagai masa yang sulit. Universitas Sumatera Utara Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok daripada dengan keluarganya Papalia, 2007. Hal ini bukan dikarenakan remaja menolak keluarganya namun lebih dikarenakan kebutuhan akan perkembangan Larson, dalam Papalia, 2007. Orangtua juga menginginkan anak yang sudah remaja untuk dapat mandiri sehingga memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan kemandiriannya Papalia,2007. Teman sebaya mempunyai peran yang penting dalam kehidupan remaja. Papalia 2007 menyatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, dan pembimbing moral bagi remaja. Kelompok teman sebaya juga merupakan tempat bagi remaja dalam mengembangkan hubungan yang akrab, yang merupakan kebutuhan bagi mereka. Menurut Mappiare dalam Jayantini, 2007 ketika merasa cocok dengan teman yang telah dikenalnya, seorang remaja akan membentuk berbagai macam komunitas. Salah satunya muncul bentuk ikatan yang disebut sebagai hubungan persahabatan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Papalia 2007 bahwa salah satu jenis hubungan yang dialami oleh remaja adalah persahabatan. Ikatan dalam hubungan persahabatan banyak ditemui atas dasar minat yang sama dan adanya kemiripan satu dengan lainnya. Persahabatan merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, seimbang, dan stabil. Remaja cenderung memilih teman yang mirip dengan mereka, baik itu dalam hal gender, ras, dan aspek-aspek lainnya. Selain itu mereka juga saling mempengaruhi satu sama lain Papalia, 2007. Remaja dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan pribadi mereka. Mereka juga memperoleh tempat yang Universitas Sumatera Utara memungkinkan untuk berani menyampaikan opini, kelemahan, dan memperoleh bantuan ketika berada dalam masalah Buhrmester, dalam Papalia, 2007. Hal ini sesuai dengan pernyataan N, seorang remaja penderita leukemia: “Dari awal, sebelum sakit, sahabat itu udah penting. Mereka yang perhatian ma kita, mereka jadi tempat curhat kita, tempat berbagi, segala macam lah....” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 ”… Mungkin ya, secara psikologis karena kedekatan karakter itu bisa mendekatkan orang. Jadi kami karakter kami gak jauh-jauh beda amat gitu. Kesukaanya sama, orangnya juga... Gimana ya? Kami di sekolah tuh ada 7 orang. Kami sampe-sampe dibilang genk akhwat. Emang terkadang ada marahannya tapi dikit-dikit. Jadi itu kesamaan karakter tadi yang bisa mendekatkan, kesamaan ide, nyambung di ajak ngomong, ngerti, peduli...” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Berdasarkan wawancara di atas dapat dilihat bahwa peran sahabat bagi responden itu penting. Sahabat merupakan tempat bagi responden untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya. Menurut responden hal yang membuatnya menjalin persahabatan adalah adanya kesamaan-kesamaan diantara mereka, seperti kesamaan karakter, kesamaan ide, adanya saling pengertian, dan lain-lain. Sahabat adalah orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam suatu hubungan dan biasanya menjadi prioritas utama bagi remaja. Individu akan menempatkan seseorang sebagai sahabat ketika mereka telah menaruh rasa percaya dan harapan kepada sahabat sebagai seseorang yang perhatian terhadap dirinya. Cutrona dan Rock dalam Myers, 1996 menyatakan bahwa dengan memiliki sahabat berarti individu mempunyai seseorang yang akan siap membantu ketika mereka menghadapi masalah. Berscheid Peplau dalam Universitas Sumatera Utara Myers, 1996 menemukan bahwa sahabat menjadi salah satu hal penting bagi kebahagiaan individu dan membuat hidup menjadi lebih berarti. Remaja yang memiliki penyakit kronis berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Mereka juga sering merasakan kesulitan dalam menerima penyakitnya. Penyakit kronis dapat mempengaruhi remaja dengan berbagai cara, misalnya remaja dengan penyakit asma memiliki keterbatasan dalam bidang olahraga. Selain itu, meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah Sawyer, Couper, Martin, Kennedy, 2003. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan fisik yang mereka alami. Misalnya saja N, dimana kondisi fisiknya yang lemah membuat N tidak dapat keluar rumah. Hal ini dikarenakan N tidak mampu bertahan pada cuaca panas yang membuat N merasa ingin pingsan. N juga terbatas dalam aktivitasnya, dimana N tidak dapat melakukan aktivitas yang banyak dilakukan oleh remaja normal lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti tehadap N: ”Kalo persahabatan si enggak ada. Yang berpengaruh itu karna kakak terbatas, jadi aktivitas kakak juga terbatas. Jadi itu dipengaruhi kondisi fisik kakak yang lemah. Kayak kalo cuaca panas kayak gini ni, kalo keluar bawaannya mau pingsan. Kakak juga gak bisa kerja, cuma bisa diam. Kan ada perasaan gak enak, kalo ngeliat orang kerja, kitanya cuma bisa diam...” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Diagnosa penyakit kronis pada tahap manapun dalam kehidupan akan mempengaruhi fungsi psikologis, spiritual, sosial, dan emosional individu Cadman, et al.; Shooter, dalam Venning, Elliot, Wilson, Kettler. Individu Universitas Sumatera Utara dengan penyakit kronis merasa ‘berbeda’, ‘kesepian’, ‘sakit, ‘menjijikkan’, dan ‘menderita’, karena pengalaman mereka yang ‘menakutkan’, ‘keras’, ‘mengekang’, dan ‘tidak normal’ Venning, Elliot, Wilson, Kettler. Kondisi- kondisi tersebut akan mendorong individu untuk melakukan berbagai bentuk coping yang adaptif, seperti mencari dukungan sosial, mencari alternatif pengobatan, berpikir positif dan lain-lain, yang dapat mengurangi efek negatif dari penyakitnya. Namun tidak semua individu dapat melakukan coping yang adaptif. Bradford dalam Swanston, Williams, dan Nunn, 2000 menyatakan bahwa kondisi kronis dapat mendorong pada coping yang maladaptive, seperti menutup diri, pasrah dengan penyakitnya, tidak berusaha mencari kegiatan positif, dan lain sebagainya. Coping yang maladaptif diasosiasikan dengan peningkatan intensitas penyakit yang diderita individu. Salah satu dari sekian banyak penyakit kronis adalah leukemia. Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam sel darah tepi Permono, dkk, 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Mehta, et al 1995 menunjukkan bahwa individu dengan penyakit kronis memiliki berbagai masalah perilaku, seperti agresif, social withdrawal, kecemasan berlebihan, dan sebagainya. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat keparahan serta durasi penyakit yang dialami individu. Seperti juga coping yang maladaptif, masalah perilaku juga dapat meningkatkan efek negatif dari penyakit. Oleh karena itu diperlukan adanya peran sahabat untuk mengurangi masalah-masalah perilaku tersebut. Hal ini sesuai Universitas Sumatera Utara dengan penelitian yang dilakukan oleh Varni, et al dalam Helgeson, Reynolds, Shestak, dan Wei, 2005 yang menunjukkan bahwa pada remaja dengan penyakit kronis, adanya dukungan sahabat mendorong pada masalah perilaku yang lebih sedikit. Salah satu peran sahabat bagi individu adalah sebagai pemberi dukungan sosial Shaffer, 2005. Seseorang yang sedang menjalani penyembuhan suatu penyakit memerlukan dukungan sosial yang seringkali sulit mereka peroleh karena tidak semua orang dapat memperoleh dukungan sosial yang ia butuhkan Sarafino, 2006. Taylor 2003 mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan kemungkinan penyakit, meningkatkan kecepatan untuk segera pulih dari penyakit yang diderita, dan mengurangi resiko kematian yang disebabkan oleh penyakit. Kobasa dalam Sarafino, 2006 menambahkan bahwa dukungan sosial memiliki kemungkinan untuk dapat mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap N: “… Ketika keluar vonis itu, seperti kita jatuh dari lantai tingkat tinggi. Ancur semuanya... Jadi butuh proses untuk mengumpulkan puing-puingnya. Dan sahabat-sahabat kakak mencoba melakukan apapun unuk membantu kakak. Dan itu membuat kakak terpacu. Kakak berpikir, mereka udah berjuang, masak aku kayak gini aja? Kasian dong perjuangannya jadi sia-sia? Jadi kakak pun berpacu dengan hal itu. Kan ada juga yang mereka sakit, tapi keluarga, teman, sahabat mereka gak ada yang peduli…” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 ”... Kami yang leukemia kan harus rutin transfusi darah. Pemasok- pemasoknya itu ya dari kawan-kawan kakak juga...” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Universitas Sumatera Utara ... Malah kakak dapat dukungan gak hanya moril, tapi juga materiel. Mereka menyumbang darah untuk kakak, mereka menggalang dana untuk membantu kakak, ya semampu mereka.” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa sahabat memberikan berbagai fungsi bagi responden. Sahabat berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan responden. Sahabat membuat responden bangkit ketika didiagnosa leukemia, memberikan sumbangan dana, juga mendonorkan darah mereka untuk diberikan kepada responden. Theofanidis 2009, mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi individu dalam mengkonfrontasi penyakit kronis. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan pada 30 anak yang baru didiagnosa dengan kanker pada usia 8-13 tahun, menemukan adanya hubungan yang kuat dan konsisten antara penyesuaian pasien dengan dukungan dari teman. Pasien dengan penerimaan dukungan yang tinggi merasa kurang depresi, kurang cemas, memiliki self-esteem yang lebih tinggi, dan lebih sedikit masalah perilaku dibandingkan dengan individu yang menerima lebih sedikit dukungan dari teman Varni, Katz, Colegrove, Dolgin, dalam Suzuki Kato, 2009. Hal ini juga sesuai dengan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah seorang remaja penderita leukemia: ”Sebenarnya dibanding masa awal kakak didiagnosa, kondisi kakak udah sangat jauh berbeda. Kalo dulu sampe tinggal tulang sama kulit. Terus kakak juga gak bisa bergerak. Pokoknya semua kakak mulai dari nol. Tapi kakak kemudian semakin semangat, dengan adanya dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabat kakak, kakak belajar untuk menggerakkan badan kakak. Mulai belajar dari kepala, sampai kakak bisa berjalan sampai sekarang. ” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Universitas Sumatera Utara ”Itu di awal kakak didiagnosa. Rambut kakak gugur, fisik juga lemah. Itulah badan jadi kurus. Tapi yah itu, adanya sahabat-sahabat kakak membuat kakak gak merasa sendirian...” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 ”... kami gak pernah loosing contact. Selalu tanya kabar... Makanya walaupun gini, kakak nggak pernah merasa sendirian.” Komunikasi personal, 5 Desember 2009 Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat fenomena persahabatan yang dimiliki oleh remaja penderita leukemia. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.

I. B. PERUMUSAN MASALAH