Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan
turut serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa, 3 otonomi asli, bahwa kewenangan pemerintah desa
dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun
harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi desa, 4 Demokrasi, artinya penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus
menampung aspirasi-aspirasi masyarakat yang di musyawarahkan dan kemudian dipilih untuk dilaksanakan melalui BPD dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai
mitra Pemerintah Desa, 5 Pemberdayaan Masyarakat, artinya penyelenggaraan dan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan pokok masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Dapt
disimpulkan bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintah Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat.
3
Pemerintah desa harus melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan desa akan tetapi peraturan perundang-undangan itu tidak bisa
langsung dilaksanakan. Hal ini karena desa berbeda kondisi sosial, politik dan
3
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, h.181.
4
budayanya. Salah satu contohnya yaitu dalam pengambilan keputusan yang diatur dalam pasal 59 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 bahwa untuk
melaksanakan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa danatau Keputusan Kepala Desa. Namun pada prakteknya pengambilan
keputusan juga dilakukan melalui proses musyawarah karena pada dasarnya sifat masyarakat desa yang statis, apabila menemukan suatu masalah mereka
menyelesaikannya dengan cara „musyawarah’ karena mereka masih memiliki rasa kekeluargaan yang kuat.
Dalam proses pengambilan keputusan di desa dilakukan dengan dua macam keputusan.
4
Pertama, keputusan-keputusan yang beraspek sosial, yang mengikat masyarakat secara sukarela, tanpa sanksi yang jelas. Kedua, keputusan-
keputusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga formal desa yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengambilan keputusan. Bentuk keputusan pertama, banyak
dijumpai dalam kehidupan sosial masyarakat desa, proses pengambilan keputusan dilakukan melalui proses persetujuan bersama, dimana sebelumnya alasan-alasan
untuk pemilihan alternatif diuraikan terlebih dahulu oleh para tetua desa ataupun orang yang dianggap memiliki kewibawaan tertentu.
Adapun pada bentuk kedua, keputusan-keputusan didasarkan pada prosedur yang telah disepakati bersama, seperti proses Musyawarah Pembangunan Desa
MUSBANGDES yang dilakukan setiap setahun sekali di balai desa. Proses
4
Kushandjani, Otonomi Desa Berbasis Modal Sosial Dalam Perspektif Socio-Legal. Semarang: Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip UNDIP, 2008, h. 70-71.
5
pengambilan keputusan tersebut dilakukan pihak-pihak secara hukum memang diberi fungsi untuk itu,
5
yang kemudian disebut dengan Peraturan Desa Perdes. Peraturan desa adalah produk hukum tingkat desa yang ditetapkan oleh kepala
desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah desa. Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
undang-undang yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarkat setempat.
Badan Permusyawaratan Desa yang kemudian disebut BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat, oleh karenanya BPD sebagai badan permusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan
penghubung antara kepala desa dengan masyarakat desa, juga harus menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi Perwakilan.
6
Badan Perwakilan Desa yang ada selama ini berubah namanya menjadi Badan Permusyawaratan Desa, perubahan ini didasarkan pada kondisi faktual
bahwa budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi “musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara
tentang hasil. Hasil yang baik diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat meminimalisir berbagai konflik antara para elit
politik, sehingga tidak sampai menimbulkan perpecahan yang berarti.
5
Ibid., h. 33
6
Sadu Wasistiono, MS. M.Irawan Tahir, Si., Prospek Pengembangan Desa, Bandung: CV Fokus Media, 2007, h. 35.
6
Namun dengan demikian terkadang apa yang telah disepakati oleh Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa tidak sesuai apa yang
diinginkan masyarakat sehingga pembentukan peraturan desa hanya menjadi sebuah agenda Pemerintah Desa yang tidak substantif dan kooperatif atas
kepentingan Rakyat, yang seharusnya BPD Badan Permusyawaratan Desa menjadi wadah penyaluran aspirasi masyarakat. Kurangnya sosialisasi peraturan
yang dibuat oleh Perangkat Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa yang menjadi permasalahan yang dalam proses penyusunan dan penetapan peraturan
tidak sesuai apa yang diinginkan masyarakat sehingga masih banyak yang melanggar peraturan desa.
Dalam menjalankan perannya Badan Permusyawaratan Desa belum mampu bermitra dengan pemerintah desa dalam menciptakan kesejahteraan pada
tingkat dasar yakni Desa. Penyusun merasa tertarik untuk meneliti proses serta kendala Badan Permusyawaratan Desa di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun
Selatan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat dalam pembentukan Peraturan Desa Perdes, maka seyogyanya penyusun memandang penelitian ini harus
dilakukan agar bisa melakukan identifikasi proses BPD dalam pembentukan dan penetapan peraturan desa di desa Tridayasakti secara komprehensif yang akan
dituangkan dalam skripsi yang berjudul:
OPTIMALISASI PERAN
BADAN PERMUSYAWARATAN
DESABPD DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA Studi Kasus Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi.
7