Alat yang Digunakan Untuk Ambulasi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

3.4. Alat yang Digunakan Untuk Ambulasi

Alat bantu yang digunakan untuk ambulasi adalah; 1 kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari logam dan kayu dan sering digunakan permanen, misalnya Conventional, adjustable dan lofstrand. Kruk biasanya digunakan pada pasien fraktur hip dan ekstremitas bawah, kedua lengan yang benar-benar kuat untuk menopang tubuh, pasien dengan keseimbangan yang bagus 2 Canes tongkat adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan sehat, meliputi tongkat berkaki panjang lurus single straight-legged dan tongkat berkaki segi empat Quad cane 3 walkers adalah suatu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat penyangga yang kokoh. Klien memegang pemegang tangan pada batang dibagian atas, melangkah memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh, usila, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan, pasien dengan fraktur hip dan ekstremitas bawah Gartland, 1987; Potter Perry, 1999.

3.5. Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa pasien memerlukan bantuan dari perawat untuk bergerak dengan aman Hoeman, Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. 2001. Berikut ini diuraikan beberapa tahapan ambulasi yang diterapkan pada pasien: preambulation bertujuan mempersiapkan otot untuk berdiri dan berjalan yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari tempat tidur Hoeman, 2001. Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur dengan bantuan yang diperlukan Berger Williams, 1992. Pasien dengan disfungsi ekstremitas bawah biasanya dimulai dari duduk ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali selama 10 sampai dengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan kebutuhan pasien Lewis et al, 1998. Jangan terlalu memaksakan pasien untuk melakukan banyak pergerakan pada saat bangun untuk menghindari kelelahan. Standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan. Perhatikan waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukkan gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostatik. Menurut Berger Williams, 1992 Memperhatikan pusing sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat mempersiapkan pasien untuk ambulasi. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik adalah komplikasi yang sering terjadi pada bedrest jangka panjang, meminta pasien duduk disisi tempat tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat sebentar, ukur denyut nadi Asmadi, 2008. Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus berdiri tepat didepannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat dan Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien. Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati- hati untuk tidak membuat pasien merasa letih: lamanya periode ambulasi pertama beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien Brunner Suddarth, 2002. Ambulasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan berjalan dengan menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan perawat harus tahu weight bearing yang diizinkan pada disfungsi ekstremitas bawah Lewis et al, 1998. Ada tiga jenis weight bearing ambulation, meliputi; 1 non weight bearing ambulation; tidak menggunakan alat Bantu jalan sama sekali, berjalan dengan tungkai tidak diberi beban menggantung dilakukan selama 3 minggu setelah paska operasi. 2 partial weight bearing ambulation; menggunakan alat Bantu jalan pada sebagian aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk 3-6 minggu setelah paska operasi 3 full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari- hari memerlukan bantuan alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh dilakuka n setelah 3 bulan paska operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi Lewis et al, 1998. Pasien paska operasi fraktur hip pangkal femur dengan ORIF dianjurkan untuk ambulasi dini duduk dalam periode yang singkat pada hari pertama paska operasi, Menurut Oldmeadow et al 2006 ambulasi dini dianjurkan segera pada Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. 48 jam pada pasien paska operasi fraktur hip. Berangsur-angsur lakukan ambulasi dengan kruk tongkat no weight bearing selama 3 sd 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi. Pasien dengan paska operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot kuadriseps dan gluteal untuk melatih kekuatan otot dan merangsang pembentukan kallus, karena otot–otot ini penting untuk ambulasi, proses penyembuhan 10 sd 16 minggu, berangsur-angsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full weight bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan ambulasi weight bearing sesuai dengan kemampuan pasien setelah paska operasi dan lakukan latihan isometris otot kuadriseps dengan lutut berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan fibula lakukan ambulasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan tingkat cedera yang dialami pasien Saxton et al, 1983; Williamson, 1998. 3.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Ekstremitas Bawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini pasien paska operasi ekstremitas bawah adalah: a. Kondisi kesehatan pasien Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas Kozier Erb, 1987. Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. Nyeri paska bedah kemungkinan disebabkan oleh luka bekas operasi tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom dan spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan bahwa nyerinya lebih ringan dibanding sebelum pembedahan dan hanya memerlukan jumlah anlgetik yang sedikit saja harus diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan kestidaknyamanan. Tersedia berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap penatalaksanaan nyeri. Analgesia dikontrol pasien ADP dan analgesia epidural dapat diberikan untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta pengobatan nyeri sebelum nyeri itu menjadi berat. Obat harus diberikan segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat diramalkan misalnya ½ jam sebelum aktivitas terencana seperti pemindahan dan latihan ambulasi Brunner Suddarth, 2002. Menurut Brunner Suddarth 2002 kebanyakan pasien merasa takut untuk bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Efek immobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi orthostatik adalah suatu kondisi ketidak mampuan berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika pasien berubah dari posisi horizontal ke vertikal posisi berbaring ke duduk atau berdiri, yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya 100 mmhg Dingle, 2003 dalam Perry Potter, 2006. Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala dan leher, dan hampir pingsan atau pingsan Gilden, 1993 dalam Potter Perry Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. 1999. Keadaan ini sering menyebabkan pasien kurang melakukan mobilisasi dan ambulasi. Kelelahan dan kerusakan otot dan neuromuskular, kelelahan otot mungkin karena gaya hidup, bedrest dan penyakit, keterbatasan kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot lelah menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot dapat menurunkan kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan pergerakan yang lambat. Kelelahan yang berlebihan bisa menyebabkan pasien jatuh atau mengalami ketidak seimbangan pada saat latihan Berger Williams, 1992. ketidakmampuan untuk berjalan berhubungan dengan kelemahan dan kerusakan otot ekstremitas bawah, terlihat tanda-tanda penurunan kekuatan dan massa otot kaki dan lutut yang selalu ditekuk ketika berusaha untuk berdiri Berger Williams, 1992. Ambulasi dini pada pasien paska operasi fraktur sulit dilakukan karena pemasangan alat fiksasi eksternal, luka bekas operasi dan luka bekas taruma Gartland, 1987 yang mengakibatkan kerusakan pada neuromuskular atau sistem skeletal yang bisa memperberat dan menghambat pergerakan pasien Kozier Erb, 1987. Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan kelainan. Peninggian suhu badan pada hari pertama atau kedua mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan infeksi luka operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfusi darah juga sering menyebabkan demam, dan diperkirakan kemungkinan adanya dehidrasi Sjamsuhidajat jong, 2005. Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispnea selama latihan tidak akan tahan melakukan ambulasi seperti pada pasien yang tidak Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. mengalaminya. Pada pasien lemah tidak mampu meneruskan aktivitasnya karena energi besar diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas menyebabkan kelelahan dan kelemahan yang menyeluruh Potter Perry, 1999. Hipotermia, pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap menggigil. Pasien yang telah menjalani pemajanan lama terhadap dingin dalam ruang operasi dan menerima banyak infus intravena dipantau terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipertermia lebih besar pada pasien yang berada diruang operasi untuk waktu yang lama Brunner Suddarth, 2002. Anemia adalah adalah suatu keadaan dimana kadar Hb danatau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb 14 gdl dan Ht 41 pada pria atau Hb 12 gdl dan Ht 37 pada wanita. Gejala- gejala umum anemia antara lain cepat lelah, takikardia, palpitasi dan takipnea pada latihan fisik Mansjoer et al, 2001. b. Emosi Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang dapat menurunkan kemampuan ambulasi yang baik. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam ambulasi Kozier Erb, 1987. Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah lelah karena mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi Potter Perry, 1999. Hubungan antara nyeri dan takut bersifat Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. kompleks. Perasaan takut seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan takut. Menurut Paice 1991 dalam Potter Perry 1999 melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya rasa takut. Setelah paska operasi fraktur nyeri mungkin sangat berat khususnya selama beberapa hari pertama paska operasi. Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri, iritasi akibat selang drainase, balutan atau gips yang ketat menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Secara signifikan nyeri dapat memperlambat pemulihan. Pasien menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam, mengganti posisi, ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan. Setelah pembedahan analgetik sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis yang memadai. Jenis obat dan pemberian bergantung pada penyebab, letak nyeri dan keadaan pasien Sjamsuhidajat Jong, 2005. Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena mereka mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional Potter Perry, 1999. Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan ambulasi. Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang menonjol keluar akan mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan, seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang sempurna, sehingga klien merasa Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. cemas dengan keadaannya dan tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak bangun dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu Perry Potter, 1999. c. Gaya hidup Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti, dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang teratur, istirahat yang cukup dan penanganan stres Pender 1990 dalam berger Williams, 1992. Menurut Oldmeadow et al 2006 tahapan pegerakan dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau dirumah dapat mempengaruhi pelaksanaan ambulasi. d. Dukungan Sosial Gottlieb 1983 mendefenisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dalam subjek didalam lingkungan soisialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Menurut Sjamsuhidajat Jong 2005 Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan, Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010. membantu pelaksanaan latihan ambulasi atau memberi obat-obatan. Menurut penelitian yang dilakukan Oldmeadow et al 2006 dukungan sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien melaksanakan latihan ambulasi. Menurut Olson 1996 dalam Hoeman, 2001 ambulasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan berpatisipasi dalam latihan Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001. e. Pengetahuan Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal akan mengalami peningkatan alternatif penanganan. Informasi mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi eksternal, alat bantu ambulasi trapeze, walker, tongkat, latihan, dan medikasi harus didiskusikan dengan pasien Brunner Suddarth, 2002. Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi ketakutan pasien. Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah. Menurut Kozier Erb 1987 faktor yang mempengaruhi ambulasi adalah kondisi kesehatan pasien, nutrisi, emosi, situasi dan kebiasaan, keyakinan dan nilai, gaya hidup dan pengetahuan. Menurut Oldmeadow et al 2006 faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah adalah status mental, mobilisasi pre operasi kondisi kesehatan pasien dilihat dari catatan riwayat kesehatannya dan dukungan sosial. Menurut Brunner Suddarth 2002 ambulasi dini ditentukan oleh tingkat aktivitas fisik pasien yang lazim, kestabilan sistem kardiovaskuler dan neuromuskular pasien menjadi faktor penentu dalam kemajuan langkah yang diikuti dengan mobilisasi pasien. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang diteliti adalah kondisi kesehatan pasien, faktor emosi, faktor gaya hidup, faktor dukungan sosial dan faktor pengetahuan.