Peran rumah sahabat anak puspita dalam pembentukan sikap toleransi beragama pada anak binaan di Duren Sawit Jakarta Timur

(1)

PERAN RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA DALAM PEMBENTUKAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA PADA ANAK BINAAN DI DURENSAWIT

JAKARTA TIMUR

Disusun Oleh; ABDUL MAJID NIM: 102051025581

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanki yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Oktober 2008


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan bangsa ini penuh dengan dinamika konflik, baik itu konflik masalah sosial, politik maupun budaya. Pada akhirnya sampai detik ini pun kita masih saja mendengan kata konflik itu, apakah benar hal ini yang menjadikan masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan?

Kita tidak akan rela kalau bangsa ini terus-menerus dirundung konflik, bangsa yang kita sayangi ini sepatutnya harus kita jaga dengan sekuat tenaga. Kalau semua anak bangsa sepakat bahwa musuh kita semua adalah kemiskinan, kebodohan dan diskriminasi, tidak menonjolkan egoisme, kelompok atau golongan, tentu bangsa ini akan penuh dengan cinta kasih. Masih banyak persoalan-persoalan masyarakat yang perlu kita perhatikan, seperti kemiskinan yang masih kuat yang mengakibatkan merebaknya anak jalanan di Indonesia. Hal ini menjadikan persoalan yang komplek bagi bangsa ini. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka tidak dalam kondisi yang tidak bermasa depan, jelas dalam keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, baik itu keluarga maupun masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap anak jalanan atau anak yang kurang mampu tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita, mereka merupakan amanah Allah SWT yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,


(4)

sehingga tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan yang cerah.

Permasalahan anak jalanan atau anak kurang mampu dalam hal ekonomi sehingga dia hidup di alam bebas tanpa adanya perhatian khusus dari orang tua mereka yang pada akhirnya mererka hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas. Padahal kita juga tahu bahwa anak terlantar itu dijamin dan dipelihara oleh negara sebagai mana tercantum dalam UUD 1945. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Pada hakekatnya hak-hak anak terlantar itu sama saja hak asasinya sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kepres RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention on the right of the child (pengesahan tentang hak-hak anak). Anak-anak tersebut harus mendapat hak-haknya sebagaimana layaknya anak-anak yang lain seperti halnya anak mempunyai hak sipil dan kemerdekaan (civil right and freedoms), kemudian hak lingkungan keluarga (family environment) kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare) pendidikan (education) serta perlindungan khusus (special protection)

Persoalan hak-hak di atas itu menjadi penting bagi kita semua untuk memperhatikan dan banyak terlibat dalam hal itu, karena walau bagaimanapun anak jalanan atau anak yang kurang mampu merupakan bagian dari anak bangsa ini yang perlu dipelihara, dibina dan dibimbing. Nah, kemudian persoalan pendidikan dan perlindungan anak yang menurut penulis adalah hal yang sangat urgent pada anak,


(5)

walaupun itu semua merupakan tanggung jawab orang tua, akan tetapi sampai hari ini pun masih banyak orang tua-orang tua si anak yang menghadapi masalah sosial seperti kemiskinan dan kebodohan. Makanya tidak disadari banyak para orang tua yang tidak sanggup memenuhi fungsi sosialnya, dengan baik dalam mendidik, melindungi dan mengarahkan anak-anak mereka. Kelompok masyarakat ini kelompok kaum dhuafa yang ekonominya dan SDM (sumber daya manusia) sangat lemah, jangankan untuk mengurusi persoalan pendidikan anak, bahkan untuk makan sehari-hari pun mereka masih kesulitan. Nah, bagaimana fungsi sosial di dalam masyarak kita sementara al-Qur’an pun menegaskan bahwa orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah. Seperti firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa 4:9

“Hendaknya (orang beriman) takut kepada Allah sekiranya mereka meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir kesejahteraan anak-anak mereka oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa 4:9)


(6)

Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitab Al Mufradat Al Fadh Al Qur’an

menjelaskan bahwa perkataan (dhiaf’an) memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

Pertama: (dha’if fi al jism) yakni lemah secara fisik. Maksudnya menerangkan bahwa orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka mempunyai fisik, tubuh dan badan yang lemah. Orang tua mereka harus memperhatikan kualitas kesehatan anak-anak mereka dengan memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Bagi orang-orang yang beriman makanan dan minuman yang bergizi itu selain memenuhi gizi yang seimbang seperti yang dirumuskan empat sehat lima sempurna tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayyiban yakni halal secara fiqih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh.1

Sesungguhnya di dalam Islam, anak adalah titipan Allah SWT yang harus dijaga, masa kanak-kanak di dalam Islam digambarkan sebagai suatu keindahan di dunia yang diliputi oleh kebahagiaan, cita-cita, cinta dan angan-angan. Perserikatan bangsa-bangsa mulai menaruh perhatian terhadap nasib dan kesejahteraan anak-anak dengan menetapkan tanggal 12 Nopember sebagai hari anak-anak-anak-anak. Namun begitu perlu dikemukakan di sini bahwa perhatian Islam terhadap nasib dan kesejahteraan anak-anak telah dimulai sejak 14 abad yang lalu.2

1

Al-Raghib Al Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadh Al Qur’an. (Beirut: Dar al Fikr) h. 304-306

2

Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam. (Pustaka Sadra, 2004) hal. 7


(7)

Pada dasarnya Islam mempunyai pandangan terhadap sikap perilaku anak jalanan. Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah berperilaku tidak baik. Selama mereka berperilaku baik, seperti tidak mencuri, menodong maka mereka tetap orang baik di mata agama.

Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu untuk belajar. Selain itu si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah untuk anak istrinya. Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak jalanan yang meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama Islam. Kalau kita sadar bagaimana fungsi zakat sebagai lumbung kesejahteraan bagi orang-orang yang kurang mampu. Di situ ada zakat fitrah yang setiap tahun seluruh umat Islam wajib mengeluarkannya, kemudian ada zakat mal yang cukup besar potensi dana tersebut yang datang dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu orang-orang yang berkecukupan dalam segi materi (kaya) juga harus diingatkan, bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para mustahik (melalui amil yang professional), harus aktif mencari dana zakat tersebut dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin.

Adapun bentuk pembinaan terhadap anak jalanan atau anak kurang mampu harus komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat,


(8)

lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid kemudian yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak tersebut. Selain itu pembinaan juga bukan hanya saja dari sisi moral, akan tetapi harus juga bersifat jangka panjang. Misalnya seperti mereka diberi bekal keterampilan baik itu skill maupun agama, sikap toleransi terhadap sesama, dan yang pada akhirnya mereka dapat hidup mandiri dan terarah sesuai cita-citanya masing-masing.

Selain itu pemerintah seharusnya mempunyai data base yang konkrit menganai anak jalanan dan anak kurang mampu yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Sehingga mudah sekali ketika akan melakukan penataan serta penanganannya. Jadi intinya untuk menanggulangi permasalahan anak jalanan atau anak kurang mampu ini perlu kaki tangan pemerintah yaitu sebuah organisasi baik yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri atau swasta bahkan perorangan yang bisa mewadahi aktivitas mereka sudah barang tentu dengan berbagai fasilitas yang memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu kerjasama dengan takmir masjid yang sangat banyak, sehingga takmir masjid tugasnya bukan hanya ritual menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial seperti membina dan mendidik anak jalanan atau anak kurang mampu.


(9)

1. Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dan untuk membatasi permasalahan dalam skripsi ini agar tidak terlalu luas pembahasannya serta jelas sasarannya, maka peneliti hanya membatasi masalah tentang proses pembentukan sikap toleransi beragama pada anak binaan.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada skripsi ini adalah:

a. Apakah peran Rumah Sahabat Anak Puspita mengajarkan sikap toleransi beragama?

b. Bagaimana pola penanaman sikap toleransi beragama sejak dini pada anak binaan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita?

C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah peneliti rumuskan di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

a. Untuk mengetahui model dakwah seperti apa yang diajarkan kepada anak-anak bianaanya.

b. Untuk mengetahui bagaimana pola penanaman sikap toleransi beragama sejak dini pada anak binaan.


(10)

a. Kegunaan Akademis

Sebagai wacana pemikiran dan khazanah referensi serta menjadi bahan pustaka bagi mahasiswa khususnya dan berbagai kalangan umumnya. Bagaimana kita dapat mengenal rumah sahabat anak yang akrab disebut dengan rumah singgah anak jalanan atau anak kurang mampu yang di dalamnya ditanamkan keterampilan dan diajarkan bertoleransi antar umat beragama.

b. Kegunaan Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan sebuah lembaga sosial yang selalu berperan aktif membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa, yang siap hidup rukun, antarsesama anak bangsa walaupun berbeda keyakinan demi tujuan yang sama yaitu hidup sejahtera.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan, undang-undang dan peraturan yang terkait dengan anak dan keluarga. Hasil telaah kepustakaan dijadikan sebagai kerangka pemikiran atau landasan teori dalam operasionalisasi penelitian ini.

Dari segi data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis, penelitian ini juga merupakan perpaduan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif, karena mengandalkan pada kekuatan hasil wawancara, Focus Group Discussion (FGD),


(11)

studi dokumentasi, observasi dan dikombinasi dengan hasil olah statistik yang didasarkan pada hasil penyebaran angket kepada responden.

Sumber penelitian ini pada dasarnya ada dua. Pertama adalah data pustaka yang bersifat normatif. Data ini dihimpun dari literatur, buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar-surat kabar, dokumentasi-dokumentasi, undang-undang, website, dan sebagainya. Kedua adalah data lapangan yang bersifat empiris. Data ini dikumpulkan melalui observasi, wawancara, FGD dan penyebaran angket kepada responden.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik atau instrumen sebagai berikut:

1. Studi Dokumentasi dan Pustaka

Berbagai dokumen penting mengenai penanganan anak jalanan, baik dari Departemen Sosial maupun Pemerintah DKI, artikel dalam surat kabar, tulisan dalam majalah atau jurnal, dan buku-buku yang relevan yang akan dikaji, dipadukan dan dijadikan sebagai kerangka teori dari peneletian ini. Program kerja instansi pemerintah dan organisasi sosial di masing-masing wilayah mengenai penanganan masalah anak jalanan juga ditelaah secara kritis dan mendalam guna diperoleh informasi kunci mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam penanganan anak kurang mampu melalui pemberdayaan masalah ekonomi.


(12)

Agar penelitian lapangan ini membuahkan hasil yang maksimal, dipandang penting dilakukan obsevasi langsung terhadap objek penelitian, yaitu di Rumah Sahabat Anak Puspita JL. Tegal Amba, Duren Sawit Jakarta Timur. Obsevasi ini bertujuan untuk melihat “potret” kehidupan anak binaan dan keluarganya, mobilitas sosial ekonomi masyarakat sekitar dan sebagainya, sehingga hasil observasi ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam pengumpulan data selanjutnya dan dalam mendalami persoalan anak binaan. 3. Angket

Sebenarnya penyebaran angket ini diperlukan hanya untuk mengungkap: a. Pola Hidup Keluarga.

b. Pola Kerja Sehari-hari

c. Cara penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan pendidikan anak. 4. Wawancara dan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD)

Wawancara dan diskusi kelompok terfokus ini dilakukan secara terbatas, baik kepada informan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu keluarga dari anak-anak binaan maupun informan pendukung, yaitu aparat kelurahan setempat serta tidak lepas dari warga sekitar.

Adapun yang hendak diungkap dan diekplorasi dari informan adalah: a. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam keluarga

b. Cara menyelesaikan masalah

c. Pola pengasuhan dan pendidikan anak d. Pola interaksi sosial


(13)

e. Cita-cita masa depan yang diharapkan. 5. Prosedur dan Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan melalui empat instrumen tersebut akan dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu dengan pendekatan normatif kualitatif dan pendekatan empiris kuantitatif.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yaitu meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian

BAB II Kerangka Teoritis, yang meliputi pengertian peran, pengertian aktivitas, bentuk aktivitas, proses pembentukan sikap, pengertian toleransi beragama, upaya menumbuhkan toleransi beragama dan pengertian tentang anak.

BAB III Membahas Tentang Gambaran Umum RSA Puspita, meliputi profil, visi dan misi, struktur organisasi, dan pola pembinaan.

Bab IV Analisis Tentang Peran Aktifitas Rumah Sahabat Anak Puspita Dalam Pembentukan Sikap Toleransi Beragama Pada Anak Binaan meliputi, analisis bentuk-bentuk aktivitas, analisis masalah anak bianaan, analisis hasil aktivitas dan analisis tentang respon anak terhadap pola pembinaan.


(14)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Peran dan Aktivitas 1. Pengertian Peran

Dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah beberapa tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat dan harus dilaksanakan.1

Peran tidak dapat dipisahkan dari status (kedudukan) walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya, peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali seseorang dikatakan berperan. Karena dia mempunyai status (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan dengan statusnya.

Sedangkan Gross, Mason dan A.W. Mc Eachern sebagaimana dikutip oleh David Barry mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 667


(15)

yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu,2 harapan tersebut masih menurut David Barry, merupakan hubungan-hubungan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu dapat ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, artinya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Sarlito Wiraman Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa harapan tentang peran adalah harapan-harapan yang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.3

Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya. Di dalam status tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan di mana dia berada.

2. Pengertian Aktifitas

Kata aktivitas menganut pengertian tentang kegiatan, salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan di tiap bagian perusahaan.3

2

David Barry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke 3. h 99

3

Sarlito Wiranwono Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1984),cet ke-1,h. 235

3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2002). hal. 23


(16)

Sedangkan dalam kehidupan harian aktivitas berarti menjalankan kegiatan rutinitas sehari-hari, misalnya saja seorang ibu yang setiap harinya tidak pernah lepas dari pekerjaan membersihkan rumah, mengurus anak-anaknya, atau seorang pelajar yang selalu menjalankan aktivitasnya rutinnya ke sekolah, untuk belajar dan berkreasi. Itulah aktivitas yang tidak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia yang masih bernafas, berbeda dengan manusia yang sudah tidak bernafas lagi.

Dari beberapa aktivitas atau kegiatan yang dilakukan di atas, bisa juga berdampak positif atau negatif bagi pelakunya, karena menurut Samuel Soeltoe sebenarnya aktivitas bukan hanya sekedar kegiatan, beliau memandang bahwa aktivitas dipandang sebagai usaha mencapai atau memenuhi kebutuhan.

Salah satu kebutuhan manusia adalah menuntut ilmu untuk menjadi pintar dan pandai, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia harus belajar dengan tekun melalui sekolah, majlis-majlis tempatnya ilmu atau juga bisa dengan membaca buku. Ternyata untuk memenuhi satu kebutuhannya saja manusia harus melakukan berbagai kegiatan atau melakukan berbagai aktivitas.4

B. Pembentukan Sikap

Kita pasti sering mendengar kata sikap, atau bahkan telah kerap menggunakannya dalam percakapan keseharian. Mungkin kita sudah biasa ditanya sikap kita terhadap sesuatu. Misalnya bagaimana sikap Anda dengan kekerasan

4


(17)

aparat polisi pada aksi demonstrasi di kampus UNAS (Universitas Nasional) Pasar Minggu? Apa sikap Anda dengan pelacuran? Apa sikap Anda dengan korupsi para pejabat kita? Bagaimana sikap Anda tentang masalah kemiskinan? kita mungkin akan menjawabnya dengan pendapat berbeda untuk masing-masing kasus.

Saat ini kita mungkin menjadi pendukung partai tertentu, penggemar tokoh tertentu, anggota klub penggemar tanaman hias, pecinta lingkungan, pecinta demokrasi, atau yang lain. Kita bisa menjadi hal-hal tersebut karena adanya sikap yang kita miliki.

Apa sebenarnya sikap? Sikap bisa kita artikan sebagai kecenderungan reaksi penilaian terhadap segala sesuatu di dunia ini. Bisa saja sesuatu itu orang lain, peristiwa atau masalah, ide-ide maupun suatu keadaan fisik. Di dalam sikap terkandung aspek afeksi (emosi atau perasaan), aspek kognisi (keyakinan), dan aspekperilaku (perilaku dalam bentuk nyata ataupun kecenderungan berperilaku).

Sebagai ilustrasi, ambil contoh sikap tentang minuman keras. Mula-mula kita harus memiliki keyakinan tertentu tentang minuman keras, misalnya minuman keras itu enak, merusak tubuh, mahal, teman saat stres, kadar alkohol tinggi bisa memabukkan, diharamkan agama, atau lainnya (aspek kognisi). Lalu kita bisa memiliki perasaan positif atau negatif terhadap minuman keras. Kita bisa menyukai minuman keras atau tidak suka (aspek afektif). Kemudian, kita juga memiliki kecenderungan perilaku tertentu terhadap minuman keras. Jika kita menyukainya maka kita meminumnya, mengatakan bahwa minum-minuman keras itu baik, bersedia mengeluarkan uang untuk membelinya, atau yang lain. Jika kita tidak


(18)

menyukainya maka kita tidak meminumnya, ikut operasi minuman keras, melarang teman kita meminumnya, mengeluarkan artikel tentang bahaya minuman keras, tidak mau mengeluarkan uang untuk membelinya dan sebagainya (aspek perilaku).

Jadi, belum sikap namanya jika kita hanya memiliki pendapat terhadap sesuatu (misalnya miras itu haram). Namun jika kita memiliki perasaan tertentu terhadap miras (misalnya tidak suka), dan bertindak tertentu terhadap miras (misalnya tidak mau meminumnya), barulah pendapat itu merupakan sikap.

Proses Pembentukan Sikap

Bagaimana kita bisa memiliki sikap tertentu terhadap suatu hal? Bagaimana anda menjadi pendukung partai, fans klub sepakbola Persebaya, fans klub AC Milan, fans artis, pecinta binatang, penggemar tanaman hias, atau semacamnya? Kita memperolehnya karena anda belajar untuk memilikinya.

Ada banyak jalur yang membuat kita bisa memiliki sikap tertentu. Bisa karena pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, pengaruh media massa, pengaruh lembaga pendidikan/lembaga agama, dan pengaruh emosional. Adapun proses pembentukan sikap adalah melalui pembelajaran. Kita belajar untuk memiliki sikap tertentu. Bagaimana caranya? Secara garis besar, orang belajar melalui pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental, pemodelan dan pengalaman langsung.

Pengkondisian klasik (classical conditioning). Inilah belajar berdasarkan asosiasi. Jika sesuatu (stimulus) muncul maka kita berharap adanya sesuatu yang


(19)

lain (stimulus kedua) mengikutinya. Artinya, sesuatu diasosiasikan dengan yang lain. Misalnya kita mula-mula bersikap netral terhadap anjing. Kita tidak menyukainya, juga tidak membencinya. Namun kemudian kita tahu bahwa penggemar anjing dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kelas sosial tinggi. Maka kemudian kita jadi bersikap positif karena kita juga memandang positif kelas sosial tinggi.

Sikap bisa muncul sejak kecil. Seorang anak pada awalnya bersikap netral terhadap semua orang. Mereka memiliki sikap negatif atau positif karena mempelajari sikap orang lain. Misalkan orangtuanya selalu menggerutu jika bertemu dengan rombongan suporter sepakbola. Ia sering mengatai-ngatai negatif suporter sepakbola. Nah, sang anak akan belajar untuk bersikap negatif juga terhadap suporter sepakbola, karena suporter sepakbola diasosiasikan dengan hal-hal negatif. Pendek kata, mengasosiasikan sesuatu dengan hal-hal-hal-hal negatif akan membentuk sikap negatif dan mengasosiasikan sesuatu dengan ha-hal positif akan membentuk sikap positif.

Pengkondisian instrumental (instrumental conditioning). Ini adalah prinsip di mana sikap tertentu muncul karena adanya imbalan atas perilaku yang diharapkan, dan adanya hukuman jika berperilaku tidak seperti yang diharapkan. Misalnya di dalam rumah, kita diharapkan untuk bertindak tanpa kekerasan dalam kondisi apapun. Maka, ketika kita melakukan kekerasan, kita akan dimarahi. Jika kita tidak melakukan kekerasan, kita akan dipuji bahkan diberi hadiah.


(20)

Pemodelan (modeling). Inilah belajar melalui peniruan atau observasi. Kita memiliki sikap tertentu karena mengamati dan meniru orang lain. Jika orang lain bersikap positif terhadap minuman keras (meminumnya sering-sering), kita juga bersikap positif (meminumnya juga). Boleh jadi kita meniru dari yang Anda ketahui secara langsung, maupun secara tidak langsung melalui media massa atau orang lain. Lagipula umumnya orang lebih banyak menerima pendapat, gagasan, dan sikap orang lain daripada menghindarinya.

Pengalaman. kita menyukai bakso atau tidak dengan cara bagaimana? Sudah tentu dengan cara mencicipi bakso. Kita menyukai kuliah yang diberikan dosen tertentu dengan cara apa? Sudah pasti dengan cara mengikuti kuliahnya. Banyak sikap muncul dari pengalaman yang dialami secara langsung. Namun demikian, kadang orang hanya berasumsi belaka. Misalnya kita berasumsi bahwa jika Anda pergi ke diskotik pasti akan tidak menyenangkan bagi kita. Oleh sebab itu kita bersikap negatif terhadap diskotik. Padahal, jelas kita belum sekalipun masuk diskotik.

C. Toleransi Beragama 1. Pengertian Toleransi

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W. J. S Poerwadarminta mengungkapkan bahwa toleransi berasal dari kata “toleran” yakni sikap atau sifat tenggang rasa (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang lain atau yang


(21)

bertentangan dengan pendiriannya. Menurut Puis A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry dalam kamus ilmiah populer mendefinisikan kata toleransi sebagai sikap atau sifat menghargai, pembiaran. Sedangkan pengertian toleransi menurut Abdullah bin Nuh dalam kamus baru, disebutkan bahwa toleransi berawal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti menahan diri, sikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, berhati lapang dan bertenggang rasa terhadap orang yang berlainan pandangan atau agama. Sahibi Naim dalam bukunya ”Kerukunan Antar Umat Beragama” menerangkan bahwa istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu; tolerance yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa melakukan persetujuan. Dalam bahasa Arab biasanya toleransi biasanya disebut dengan “tasamuh” dari akar kata “samaha” yang berarti bersikap membiarkan, murah hati, ramah, lunak dan berhati ringan.

Kamus Oxford mengartikan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai “kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sakit”. Sedangkan dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO menyatakan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan


(22)

cara-cara menjadi manusia.5 Sebagaimana yang diutarakan Michael Walzer, dalam buku On Toleration, pada dasarnya toleransi, dalam kehidupan bernegara bangsa, dilandaskan pada pemenuhan hak-hak individu sebagai warga negara tanpa memandang keanggotanya dalam suatu kelompok primordial tertentu.

Namun, Walzer mengingatkan bahwa hal ini berwajah ganda: pada satu pihak ada pergulatan untuk masuk menjadi warga yang setara, pada pihak lain —karena tuntutan hak-hak kelompok, khususnya kelompok minoritas, untuk bersuara, memperoleh tempat, dan menjalankan politiknya— dapat juga berarti pemisahan6

Pendapat senada juga diungkapkan Habermas. Menurutnya, Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya yang didasarkan pada hak dan kewajiban yang sama. Sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab senantiasa meniscayakan dalam konteks yang sama.

Sebagaimana yang dikutip Yudi Latif & Abdul'dubun 'Hakim, Habermas juga menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan

5

Christelle Sadeghi dan Josiane Bechara, Toleransi, 17 Juli 2007, diakses pada

www.commongroundnews.org, pada 12 Maret 2008.

6

Sebagaimana yang dikutip Trisno S Sutanto, Melampaui Toleransi, Menerung bersama Walzer, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008.


(23)

kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.7

Dalam litelatur agama Islam, toleransi disebutkan dalam bahasa Arab sebagai at-tasamuh. Toleransi merupakan salah satu di antara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ’ammah), keadilan (’adl).

Abd. Muqsith Ghazali –pakar ilmu fiqih dan ushul fiqh Islam–, menjelaskan beberapa prinsip ajaran agama Islam di atas, meminjam bahasa ushul fiqh, disebut sebagai qath’iyyat dan kulliyat. Maksudnya, sebagai ajaran yang qath’iy, prinsip-prinsip itu tidak bisa dianulir atau dibatalkan dengan nalar apapun. Dan sebagai kulliyat, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi waktu dan ruang (shalihatun li kulli zaman wa makan). Singkatnya, prinsip-prinsip ajaran itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.8

7

Yudi Latif & Abdul'dubun'hakim, Melampui Kosmopolitanisme Politik, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008

8

Abd. Muqsith Ghazali, Cetak Biru Toleransi di Indonesia, www.islamlib.com, diakses pada 20 Maret 2008.


(24)

Sikap toleran tegas mengajarkan kepada umat Islam untuk menghormati, menyayangi dan mengkasihi orang lain, tanpa melihat latar belakang atau asal usulnya. Walaupun mempunyai perbedaan prinsip, ideologi bahkan akidah.

Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, surat al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:

“Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah Maha Tahu dan Maha Waspada.” (QS. al-Hujurat: 13).

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwasannya Sang Khaliq, telah menghendaki penciptaan manusia beragam, tidak tunggal. Keberagaman sengaja diciptakan sebagai media untuk saling mengenal, berdialog dan bekerjasama. Karena hanya dengan saluran mengenali, berdialog dan bekerja sama, akan memunculkan keindahan, kedamaian dan ketentraman, di alam dunia ini.


(25)

Dalam buku “Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama”,

Alwi Shihab, menegaskan, ada dua komitmen penting dalam menumbuh kembangan kehidupan antaragama guna menciptakan keharmonisan. Pertama, toleransi, dan kedua, pluralisme.9

Dalam surat al-Anbiya: 107 yang berbunyi:

“Dan saya tidak mengutus (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih sayang bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Juga mempertegas urgensi toleransi dalam kehidupan umat manusia. Di dalam ayat itu, kata rahmatan secara linguistik berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf). Selain itu berarti ampunan dan rezeki. Berikutnya ada kata li al-alamin. Menurut Imam al-Razi, kasih sayang Nabi Muhammad SAW tidak hanya bagi orang-orang muslim dan non muslim, melainkan juga untuk agama dan dunia. Jadi Tuhan sesungguhnya telah menggariskan dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjadi rahmat dan pembawa kasih sayang bagi seluruh umat manusia.10

9

Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan, 1997), h. 41.

10

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta: Fitra), h. 240-242


(26)

Mempertegas asumsi di atas, diungkapkan di dalam al-Qur’an, tentang kebebasan untuk menentukan dan memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing, tanpa ada paksaan.

“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun: 6)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan diberi petunjuk, orang Nasrani, shabi’in, yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada ketakutan serta kekhawatiran atas mereka.” (QS. al-Baqarah:62).

Dua ayat terakhir secara eksplisit menerangkan setiap manusia mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinan dan ada jaminan atasnya. Sebagai konsekuensinya orang lain juga wajib untuk menghormati, dan menerima pilihan itu sebagai bentuk adanya keniscayaan keberagaman.

Dalam lintasan sejarah, dari praktik Nabi Muhammad SAW, bisa dilihat bagaimana toleransi terhadap umat lain ditegakkan. Misalnya pada tahun 628 H Nabi Muhammad SAW menurut A. Zahoor dan Z. Haq –


(27)

sebagaimana disebutkan oleh Robert Spencer– memberikan piagam prevelise

kepada biarawan Kristen dari Biara Santo Catherine. Dalam piagam itu, Nabi berkata kepada umat Kristen, “Sesungguhnya aku, hamba, penolong, dan pengikut-pengikutku berusaha untuk membela mereka, karena orang-orang Kristen merupakan wargaku; dan demi Allah! Aku akan berjuang untuk melawan setiap sesuatu yang dapat mengganggu mereka. Tidak ada pemaksaan terhadap mereka.” Di samping itu Nabi Muhammad SAW juga melarang merusak dan menghancurkan rumah ibadah mereka. Gereja-gereja harus dihormati. Mereka juga tidak boleh dihalang-halangi untuk memperbaiki gereja-gereja mereka atau kesucian perjanjian mereka. Dr. Zahoor dan Haq menegaskan bahwa “Piagam yang memberikan hak-hak istimewa ini telah dihormati dan diterapkan secara jujur oleh kaum muslim sepanjang berabad-abad di seluruh negeri yang dikuasai.11

Demikian beberapa pengertian toleransi yang diartikan sebagai sifat atau sikap menghargai atau membiarkan, akan tetapi pengertian toleransi yang penulis maksud adalah toleransi beragama. Apabila dihubungkan dengan masalah agama dan keyakinan yang dianut oleh seseorang atau kelompok, maka kita harus membiarkan orang lain hidup dan menjalankan agama menurut keyakinanya dengan tidak bersikap mencela dan memusuhinya. Dalam toleransi di sini, mengandung pengertian kesediaan menerima

11

Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, Penerjemah Mun’im Sirry, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 226-228.


(28)

pendapat yang berbeda-beda dan dapat menghargai agama dan keyakinan orang lain serta memberikan kebebasan untuk menjalankan apa yang dianutnya.

Dalam ajaran Islam, sikap dalam hidup beragama, di samping harus yakin dengan agamanya sendiri, juga tidak boleh memaksakan keyakinan itu kepada orang lain bahkan harus menghargai dan menghormati agama dan keyakinan orang lain. Sikap inilah yang dikembangkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sewaktu beliau di Madinah, ketika Islam berkembang dalam masyarakat yang majemuk.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap memberikan kebebasan kepada setiap orang yang berbeda baik dalam pendapat, sudut pandang, agama dan keyakinan tanpa ada rasa benci dan permusuhan atau pertentangan. Namun perlu adanya suatu pendekatan dengan cara dialog atau bermusyawarah untuk saling memberikan argumentasi dan informasi tentang apa yang diterima sebagai kebenaran, sehingga tidak menimbulkan konflik.

2. Dasar dan Landasan Toleransi

Dasar dan landasan toleransi yang disepakati oleh orang Islam dalam hal ini adalah sesuatu yang datang pada kita. Musthafa Al-Ba’i menjelaskan bahwa dasar dan landasan toleransi adalah sebagai berikut:

a. Sesunguhnya agama-agama samawi itu berasal dari sesuatu yang satu (QS. asy-Syura: 13)


(29)

b. Sesungguhnya para nabi adalah bersaudra tidak ada yang dilebihkan dari segi risalah (utusan) dan diwajibkan bagi umat Islam untuk mengimani merekan semua (QS. al-Baqarah: 136)

c. Akidah atau keyakinan tidak boleh dipaksakan tetapi harus ada keridhoan (QS. al-Baqarah: 256 dan QS. Yunus: 99)

d. Tempat-tempat ibadah bagi semua agama samawiitu dimuliakan dan wajib dilindungi atau dijaga seperti perlindungan terhadap masjid-masjid umat Islam (QS. al-Hajj: 40)

e. Tidak diperkenankan kepada manusia untuk menghadapi atau menanggapi perbedaan-perbedaan dalam agama itu dengan saling membunuh di antara mereka atau saling bermusuhan, tetapi mereka diwajibkan untuk saling tolong-menolong dalam melaksanakan kebaikan dan memerangi kemungkaran (QS. al-Maidah: 4)

f. Saling menghormati antarsesama manusia dalam kehidupannya dan di sisi Allah SWT diukur dengan ukuran kebaikan yang diberikan kepada dirinya sendiri dan orang lain (QS. al-Hujurat: 13)

g. Bahwa perbedaan yang ada dalam agama-agama itu tidak merubah sikap untuk berbuat kebaikan dan jalinan komunikasi atau dialog (QS. al-Maidah: 4)

h. Perbedaan-perbedaan dalam agama boleh untuk didialogkan dengan cara yang baik selama dalam batas-batas etika (QS. al-‘Ankabut: 46)


(30)

i. Bila terjadi pemaksaan kehendak dan keyakinan pada suatu umat maka wajib ditentang, karena menolak atas pemaksaan atau suatu keyakinan dapat menghindari fitnah atau malapetaka (QS. al-Mumtahanah:9) j. Bila ada umat yang bermaksud memaksa seseorang untuk memeluk

suatu agama, namun tidak dapat merubah keyakinan orang tersebut, maka wajib baginya menghargai dan menghormati kebebasan orang tersebut untuk memegang teguh keyakinannya.

Melihat dari perspektif al-Qur’an di atas, maka dasar-dasar toleransi yang bersumber dari firman Allah SWT ini, sangat penting dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa dalam kehidupan beragama, Islam membolehkan adanya kerjasama dalam masalah perniagaan atau muamalah dengan cara yang adil dan bijaksana dengan landasan saling menghormati hak-hak mereka masing-masing tanpa adanya permusuhan dan perselisihan di antara mereka.

3. Aspek-Aspek Toleransi

Aspek-aspek toleransi menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut:

a. Toleransi Kehidupan Antar Umat Beragama

Al-Qur’an banyak memberikan petunjuk kepada umat Islam untuk bersikap toleransi kepada penganut agama lain. Beberapa prinsip tersebut anta lain:

1) Tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama 2) Tidak mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain


(31)

3) Islam tidak menghalangi pemeluk agama lain untuk melakukan ibadah dan upacara keibadatan ritual agamanya.

4) Islam memerintahkan untuk selalu berbuat baik 5) Dialog dengan cara yang bijaksana dan arif

6) Islam tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap pemeluk agama lain.

Untuk merealisasikan hal tersebut hendaknya memiliki sikap: 1) Menghormati alam pikiran orang lain

2) Menghargai status sosial orang lain

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa sikap toleransi antarumat beragama adalah bagaimana menjalin hubungan yang baik dalam lingkungan umat beragama yang berbeda, misalnya perlindungan terhadap rumah ibadah seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama. Di sinilah prinsip keadilan yang harus ditegakkan dalam mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Sebagimana dijelaskan dalan firman Allah SWT:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjdikan kamu berbangsa-bangsa dan


(32)

bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat: 13)

b. Toleransi kehidupan intern umat Islam

Beberapa prinsip ajaran Islam dalam menata kehidupan sesama muslim yang dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 9-12 yang intinya sebagai berikut:

1) Prinsip perdamaian (islah)

2) Prinsip persatuan dan persaudaraan 3) Prinsip persamaan

4) Prinsip perasaan kasih sayang

Dengan demikian toleransi perlu dijalin dan bekerja sama dalam mengembangkan sikap saling menghormati, serta bagaimana cara menciptakan dan memelihara hubungan baik dengan umat seagama. Namun perlu digarisbawahi bahwa Islam melarang adanya hubungan, kerjasama atau tukar-menukar dalam hal akidah ibadah mahdah dengan pemeluk agama lain. Prinsip ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.


(33)

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun: 1-6)

Dalam hal ini, perlunya toleransi dalam pergaulan hidup, baik intern umat beragama maupun antarumat beragama. Toleransi dalam pergaulan hidup antarumat beragama harus didasarkan kepada tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah dengan sistem dan cara tersendiri.

Atas dasar itu, maka diperlukan sebuah toleransi dalam pergaulan antarumat beragama. Di samping itu, diperlukan strategi penyebarluasan konsep teologi kerukunan antarumat beragama yang disusun dalam dialog intensif oleh pemuka agama. Harun Nasution menyatakan, sebagaimana yang dikutif Muslih Musa dan Aden Widjan SZ bahwa konsep teologi kerukunan , yaitu:

1) Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain 2) Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. 3) Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama. 4) Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan

5) Memusatkan usaha pada pembianaan individu dan masyarakat manusia yang baik, yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6) Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada

toleransi beragama.


(34)

Ketujuh uraian di atas merupakan nilai-nilai toleransi Beragama yang cukup relevan untuk dikembangkan melalui lembaga pendidikan baik formal maupun informal. Upaya untuk mensosialisasikan dan merealisasikannya menjadi prioritas baik dalam proses belajar mengajar maupun pola interaksi sehari-hari demi terciptanya hubungan yang sehat, harmonis.

4. Upaya Menumbuhkan Toleransi Beragama

Ada beberapa upaya untuk menumbuhkan toleransi beragama sejak dini, yaitu dengan cara membimbing anak sedini mungkin untuk dikenalkan dengan berbagai agama atau kepercayaan yang ada disekitarnya, anak-anak diajarkan sejarah agama, karena di sekolah tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana proses keberagaman agama di Indonesia. Nah, hal ini yang menjadi perhatian penuh para orang tua untuk mendidik, membina dan mengarahkan sang anak supaya bisa menyikapi secara bijak terhadap perbedaan-perbedaan yang ada.

D. Anak

Berbicara mengenai pengertian anak selalu dikaitkan dengan batasan umur anak itu sendiri. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat dalam menentukan batasan umur seorang anak yang dihubungkan dengan kecakapannya. Berikut ini beberapa pendapat tentang anak:


(35)

Agus Sujanto menyatakan bahwa, masa kanak-kanak, yaitu sejak lahir sampai 5 tahun, masa anak, yaitu umur 6 tahun sampai 12 tahun.13 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia anak merupakan “turunan kedua” turunan yang dilahirkan dari dari sepasang pria dan wanita dalam sebuah ikatan perkawinan.14

Sehubungan dengan adanya berbagai pendapat tentang batasan umur seorang anak, penulis setuju pada pendapat yang mengatakan batasan usia anak adalah nol sampai 12 tahun. Masa anak sekolah (umur 6 – 12 tahun)

Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, atau masa laten, di mana apa yang terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.15 Dengan memasuki SD salah satu hal penting yang perlu dimiliki anak adalah kematangan sekolah, tidak saja meliputi kecerdasan dan keterampilan motorik, bahasa, tetapi juga hal lain, seperti dapat menerima otoritas tokoh lain di luar orang tuanya, kesadaran akan tugas, patuh pada peraturan dan dapat mengendalikan emosi-emosinya.

Pada masa anak sekolah ini, anak-anak membandingkan dirinya dengan teman-temannya dimana ia mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman. Bila pada masa ini ia sering gagal dan merasa cemas, akan tumbuh rasa rendah diri, sebaliknya bila ia tahu tentang bagaimana dan apa yang

13(Agus Sujanto Psikologi Perkembangan.(Jakarta: Aksara Baru, 1982) cet. Ke.3. h.1

14

W.J.s. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), cet ke-8, h. 38

15

Singgih D. Gunarsa, Yulia Singih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003) cet ke-10, h. 13


(36)

perlu dikerjakan dalam menghadapi tuntutan masyarakatnya dan berhasil mengatasi masalah didalam hubungan dengan teman dan prestasi sekolahnya, akan timbul motivasi yang tinggi terhadap karya.

Dengan memasuki dunia sekolah dan mayarakat, anak-anak dihadapkan pada tuntutan sosial yang baru, yang menyebabkan timbulnya harapan-harapan atas diri sendiri (self-expectation) dan aspirasi-aspirasi baru, dengan lain perkataan akan muncul lebih banyak tuntunan dari lingkungan maupun dari dalam anak sendiri yang kesemuanya ingin dipenuhi. Beberapa keterampilan yang perlu dimiliki anak pada tahap ini meliputi:

1. Keterampilan menolong diri sendiri (self-help skills) 2. Keterampilan bantuan sosial (social-help skills) 3. Keterampilan sekolah (school skills)

4. Ketrampilan bermain (play skills).16

Di dalam segi emosinya, nampak pada usia ini anak mulai belajar mengendalikan reaksi emosinya dengan berbagai cara atau tindakan yang dapat diterima lingkungannya.

Pada akhir masa sekolah, karena tujuan utama masa ini adalah diakui sebagai anggota dari suatu kelompok, maka biasanya anak-anak cenderung lebih senang memilih aturan-aturan yang ditetapkan kelompoknya daripada apa-apa yang diatur oleh orang tuanya.


(37)

Melalui pengasuhan di rumah dan pergaulan sosial sehari-hari anak belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana ia menentukan identitas diri dan peran jenis kelaminnya, bagaimana ia melatih otonomi sikap mandiri dan berinisiatif, bagaimana belajar mengatasi kecemasan dan konflik secara tepat, bagaimana mengembangkan moral dan kata hati yang benar dan serasi.

Sedangkan dalam Islam memandang bahwa masa kanak-kana adalah masa penentuan masa depan, dan di antara kewajiban generasi sekarang adalah menanamkan berbagai kemungkinan tanggung jawab dalam mengemban kepemimpinan secara sukses.17 Satu-satunya jalan untuk memperbaiki, mendidik dan membangkitkan semangat generasi mendatang adalah kepedulian atau sikap peduli terhadap anak sekarang, mendidik dengan pendidikan yang baik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan untuk mengarungi kehidupan nanti.

Betapa tinggi kepedulian Islam terhadap pendidikan anak, hal ini dapat dibuktikan melalui sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Jabir bin Samroh:

“Pendidikan atau bimbingan yang diberikan orang tua kepada anaknya lebih baik dari bersedekah sejumlah satu sha’” (HR. Turmudzi).18

17

Muhammmad Athiyah al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996) h. 81

18

Muhammad Abdul Ar Rahman bin Abd Al Rahim Al Mubarakafuri, Tukhfah al Akhwazi bin Syarh Jami Al Turmudzi, juz 6, (Beirut: Dar Al kutub al Ilmiyah, 1990) cet ke-1, h. 70


(38)

BAB III

GAMBARAN UMUM RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA

A. Profil Rumah Sahabat Anak Puspita

Dalam Konvensi Hak Anak dijelaskan bahwa anak memiliki beberapa hak di antaranya: 1. Hak untuk kelangsungan hidup (Survival), yaitu anak berhak melanjutkan hidupnya dengan mendapatkan fasilitas berupa pangan, sandang dan papan. 2. Hak untuk tumbuh kembang (Development), yaitu anak berhak untuk tumbuh dan berkembang secara normal, tidak mencari nafkah di jalan, tidak tereksploitasi. 3. Hak mendapatkan perlindungan (Protection), yaitu anak mendapatkan pelindungan dari tindak kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan lainnya, baik yang dilakukan keluarga maupun orang lain. 4. Hak berpartisipasi dalam masyarakat (Participation), yaitu anak berhak ikut berpartisipasi/berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan berbangsa. Oleh karena itulah rumah sahabat anak mencoba ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.12

Rumah Sahabat Anak Puspita adalah tempat berkumpul anak-anak yang terlupakan. Hidup dari mencari sesuatu yang orang lain tidak butuhkan atau menadah untuk belas kasihan dan bukan penuntutan hak sebagai anak bangsa yang sebetulnya mempunyai hak seperti layaknya anak-anak lainnya yang

12


(39)

terbilang mampu. Dan sering orang menyebut mereka dengan sebutan anak jalanan.

Rumah Sahabat Anak Puspita berdiri pada tahun 1999 di Jl. Tegal Amba No. 07 Duren Sawit Jakarta Timur, sampai saat ini mendampingi 88 anak dampingan dan juga orang tua/keluarga anak di lokasi tempat berkumpulnya sekelompok orang yang sehari-harinya penuh dengan keterbatasan dan dalam kehidupan yang sangat keras.

Berawal dari ketertarikan dan keprihatinan dengan kehidupan warga Ibukota Jakarta yang sangat terbelakang dari aspek sosial, budaya, etika, kultur, ekonomi, dan politik. Yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat bebas dan lepas dari semua nilai yang berlaku pada masyarakat pada umumnya, dan mereka tidak terhitung sebagai sekelompok orang yang seharusnya mempunyai hak-hak sebagaimana warga negara.2

Boleh orang bicara mereka adalah sampah masyarakat atau apapun namanya, namun yang perlu diingat mereka adalah manusia sebagaimana halnya manusia lain yang mempunyai harapan untuk lebih baik, walaupun hak-hak mereka selama ini sering terlanggar.

Segudang probematika kehidupan di Ibukota Jakarta, masih adakah secercah harapan untuk meraih apa yang menjadi cita-cita besar bangsa ini untuk kehidupannya. Anak bangsa yang terlupakan oleh sistem negri tercinta ini

2


(40)

berteriak “Di planet apakah saya sekarang ini, kenapa perbedaan status kehidupan menjadi kejam kepada kami.“

Dengan dasar inilah Rumah Sahabat Anak Puspita berdiri hingga saat ini, walaupun dengan keterbatasan yang ada, dan akan terus berupaya bertahan dengan sekuat tenaga untuk memperoleh apa yang menjadi cita-cita bersama keluarga besar Rumah Sahabat Anak Puspita.

B. Visi, Misi Serta Program RSA Puspita 1. Visi

Rumah Sahabat Anak Puspita Memiliki visi :

a. Membebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan. b. Kemandirian untuk masa depan yang lebih baik.

c. Memperoleh hak-hak yang sesungguhnya sebagai warga negara Indonesia.

2. Misi

Misi yang diemban Rumah Sahabat Anak Puspita adalah: a. Anak mendapatkan pendidikan yang layak.

b. Memperkaya kreatifitas anak.

c. Mampu beradaptasi dengan masyarakat luas yang tidak membedakan kelompok, golongan, agama, ras, dan status sosial.


(41)

3. Program

Ada beberapa hal yang menjadi Program Rumah Sahabat Anak Puspita, di antaranya:

a. Membeasiswakan anak ke sekolah formal.

b. Mengajarkan kerajinan tangan, musik, bahasa, dan pendidikan keagamaan. c. Mengajarkan etika bersosialisasi dengan masyarakat luas.

d. Menampilkan anak dalam pentas-pentas kreasi dari hasil karya mereka. e. Membuka jaringan kepada setiap elemen masyarakat baik yang formal

maupun non formal, yang berhubungan dengan kepentingan Rumah Sahabat Anak Puspita.

f. Mencari dan mengupayakan sumber-sumber baik yang berupa materi atau non materi.

4. Target

Target yang ingin dicapai oleh Rumah Sahabat Anak Puspita adalah:

a. Anak mendapatkan haknya memperoleh pendidikan yang layak.

b. Mengajarkan kerajinan tangan, musik, bahasa, dan pendidikan keagamaan. c. Mengajarkan etika bersosialisasi dengan masyarakat luas.

d. Menampilkan anak dalam pentas-pentas kreasi dari hasil karya mereka. e. Membuka jaringan kepada setiap elemen masyarakat baik yang formal

maupun non formal, yang berhubungan dengan kepentingan Rumah Sahabat Anak Puspita.


(42)

f. Mencari dan mengupayakan sumber-sumber baik yang berupa materi atau non materi.

C. Struktur Organisasi Rumah Sahabat Anak Puspita

Struktur Organisasi Rumah Sahabat Anak Puspita

Dewan Pembina : F. Welirang dan Prof. DR. KH. Said Agil Siroj. MA

Dewan Pengawas : P. Soegiono. D. MBA, Anton Juardi

Ketua : Ali Qohar

Sekertaris : Syahrozi

Bendahara : Edy Saptaji

Divisi RSA : Syahrudin

Divisi Pendidikan : Ngatia Divisi Seni dan Ketrampilan : Daniel Divisi Buletin Sirumput : Muzakir Divisi Puspita Printing : Riadin


(43)

Divisi Puspita Prodoction : Remo Yulianto Divisi Wedding Organizer : Sarmada

D. POLA PEMBINAAN

Di dalam Rumah Sahabat Anak Pusita terdapat beberapa program yang telah dijalankan oleh anak binaan, mereka dididik mandiri, agar kelak setelah keluar dari Rumah Sahabat Anak Puspita mempunyai kemampuan untuk membuka usaha sendiri, karena di dalam program Rumah Sahabat Anak Puspita ini terdapat beberapa program yang bertujuan agar anak binaan mampu mengembangkan kemampuannya untuk hidup lebih baik.

Di bawah ini terdapat program yang telah dijalani oleh anak binaan: 1. Pendidikan keagamaan

2. Biaya pendidikan gratis 3. Kesehatan

4. Keterampilan 5. KUBE


(44)

BAB IV

ANALISIS TENTANG PERAN AKTIVITAS RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA DALAM PEMBENTUKAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA

PADA ANAK BINAAN

A. Analisis Bentuk-Bentuk Aktifitas

Rumah Sahabat Anak Puspita melakukan beberapa proses aktifitas, tentunya melalui program-program yang dicanangkan setiap pertiga tahunan. Adapun dalam pelaksanaan aktifitas Rumah Sahabat Anak Puspita, dalam memberikan pembinaan kemandirian serta solusi terhadap masalah anak binaan, dalam hal ini masalah keberlangsungan pendidikan formal bagi anak binaan. Dan setelah melakukan perencanaan, kemudian para relawan Rumah Sahabat Anak Puspita melaksanaan program tersebut melalui:

1. Pendidikan Agama

Program pendidikan agama sangat perlu ditanamkan sejak usia dini, dalam hal ini Rumah Sahabat Anak Puspita tidak mengajarkan materi tentang keislaman semata, akan tetapi para relawan mengajarkan tentang hubungan antaragama, hubungan manusia satu dengan lainnya dan mengajarkan tentang toleransi beragama, hal ini menjadi penting karena tidak ada masa depan pluralisme jika anak-anak kita tidak diajarkan semangat toleransi dan solidaritas. Pluralisme adalah tantangan bagi agama-agama, yang harus direspon dengan arif dan bijak. Toleransi tidak hanya dibangun di antara


(45)

kelompok yang sama, melainkan di seluruh kelompok masyarakat, dalam kedudukan apapun, dalam identitas apapun, dan di manapun. Pada semua manusia, terutama anak-anak, harus ditanamkan sikap toleransi antar umat beragama, sekaligus hidup beragama secara sungguh-sungguh.

Masa kritis bagi pengembangan kognitif, mental, dan moral anak-anak, terjadi pada usia sekitar 6 sampai 15 tahun. Pada masa itu terjadi transisi kognitif, wawasan anak kian luas, anak mulai memahami persoalan yang lebih komplek. Anak seharusnya mulai belajar memahami apa yang dilihatnya dengan logika, rasio, dan tidak lagi dengan fantasi, ilusi, apalagi mistik. Sayangnya, televisi di Tanah Air bukanlah lingkungan dan tontonan yang sehat untuk anak-anak masa kini.

Anak seharusnya mulai mampu melihat dan menilai sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, tidak hanya terpusat pada diri sendiri (egosentris). Oleh karenanya, masa ini sungguh momentum yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral universal, seperti cinta kasih, perasaan kasihan, kejujuran, empati, toleransi, keharmonisan, persaudaraan, kedamaian, pluralisme, demokrasi, serta nilai-nilai moral agama yang ditanamkan orang tua.

Oleh karena itu, perlu penanaman nilai moral terhadap anak-anak sedini mungkin. Nilai-nilai universal itu harus dimiliki oleh anak-anak Indonesia yang hidup di dalam pluralisme (keragaman) lokal (Indonesia) maupun global (keragaman dunia).


(46)

Akan tetapi, proses penanaman nilai bukanlah perkara mudah. Banyak faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan nilai dalam diri seorang anak, mulai dari faktor pendidikan di keluarga hingga pendidikan formal di sekolah.

Pendidikan agama lebih ditekankan kepada moral improvement. Bila dalam paradigma lama, metode pengembangan misi agama lebih bersifat emosional dan sering kurang jujur melihat agama-agama lain, dalam paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah metode kebijaksanaan (hikmah), keteladanan (mauizhah hasanah), dan dialog (jadal bil ahsan). Karena itu, pemaksaan, indoktrinasi, dan debat tidak mendapat tempat dalam paradigma baru ini

Asumsi kita selama ini, penanaman dasar-dasar pendidikan agama sebagai kerangka pembentukan watak dan sikap kepribadian, telah dilaksanakan dengan intensif pada tingkat dasar, yang mungkin diteruskan pada tingkat menengah dan perguruan tinggi. Namun, di tingkat manapun, sebaiknya pendidikan agama harus lebih berorientasi untuk menumbuhkan wawasan keagamaan dalam kaitan dengan religious intellectual building.

Oleh karenanya, selain mungkin lebih cocok disajikan dalam kelas-kelas seminar dan evaluasi melalui karya tulis, materi kuliah agama itu hendaknya bersifat perspektif. Misalnya, Islam dalam perspektif kebudayaan, dalam perspektif sejarah, dalam perspektif perkembangan sains, dan lain sebagainya.


(47)

Aspek lain dan yang paling penting dalam pendidikan agama, selain

kognitif, adalah psikomotoris dan afektif. Persoalannya, untuk perkembangan jiwa anak, cara apa yang bisa menghidupkan dua hal itu. Di sinilah, mungkin justru pentingnya mengembangkan bentuk-bentuk permainan psikologis yang dapat merangsang pertumbuhan religiusitas anak dalam proses belajar-mengajar agama.

Dalam menumbuhkan religiositas anak tersebut, bentuk-bentuk kunjungan sosial, seperti ke rumah jompo, lokasi bencana alam, permukiman kumuh, pusat-pusat pengembangan teknologi kontemporer, tentunya juga bermanfaat. Ini adalah cara visual untuk “memberi pelajaran agama”, yang sekaligus dapat menghidupkan rasa kepekaan sosial, rasa mencintai sains, dan seterusnya.

Masalah pendidikan agama berkaitan dengan menanamkan nilai-nilai dan penanaman adab bagi generasi penerus, maka sudah waktunya sistem pendidikan guru agama juga harus mengandung aspek pandangan budaya. Kalaupun hal itu sudah ada, porsinya harus ditambah. Dengan demikian, pendidikan agama tidak sekadar proses belajar-mengajar agama, apalagi dalam konsep schooling, tetapi lebih merupakan proses inkulturasi dan

akulturasi, yaitu proses memperadabkan generasi.

Islam adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ajaran Islam tidak diarahkan kepada eksklusivisme, seperti membenci agama lain, merendahkan nonmuslim, atau memusuhi. Sikap pluralis jauh dari itu semua,


(48)

bahkan sebaliknya, mempromosikan toleransi dan kerja sama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi.

Sejak awal (periode Rasul SAW), Islam senantiasa menganjurkan untuk merangkul umat non muslim, bekerja sama membangun masyarakat. Maka dengan sendirinya Islam mempromosikan perdamaian, bukan kekerasan.

Selain itu, solidaritas merupakan jalan pencerahan bagi setiap ajaran agama. Agama selayaknya berfungsi sebagai etika kehidupan sosial yang menaungi segenap misi kemanusiaan sepanjang zaman.

Dalam sejarah Islam, pada suatu riwayat, pernah diceritakan tatkala Hari Raya Idul Fitri, Nabi Muhammad SAW melihat anak kecil yatim piatu berdiri sendirian. Raut mukanya sedih berusaha untuk menahan air mata dari kegundahan. Anak itu melihat teman-teman seusianya sedang berhari raya, bergembira, memakai baju baru pemberian orang tua, serta menikmati hidangan hari raya dari ibunya.

Pada saat hari baik itu, anak itu merasakan alangkah sedih hatinya ketika melihat orang lain bergembira dan serba kecukupan. Lalu, anak itu melantunkan lagu kesedihan, “Teringat pada nasib diri sendiri, di mana Bapak tempat meminta, di mana tempat Ibu mengadu, di mana tempat rumah untuk pulang, tak ada jawab bagi semua itu.”

Ketika melihat anak itu, Nabi Muhammad menghampiri dan bertanya, “Kenapa kamu berdiri sendirian di sini dan di mana rumahmu, Nak?” tanya


(49)

Muhammad. “Tidak ada, aku yatim piatu,” jawab anak kecil itu. Anak itu lalu diam merasakan beban yang sangat mendalam. Hanya air matanya bercucuran. Nabi Muhammad SAW meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala anak yatim piatu itu. Dengan penuh cinta kasih, beliau bertanya, “Bersediakah bila Aisyah menjadi Ibumu, Muhammad menjadi bapakmu, dan tempat tinggalku jadi rumahmu?”

Anak itu merasakan kebahagiaan yang besar ketika mendengar tawaran Nabi Muhammad SAW yang diucapkan spontan dan ikhlas. Akhirnya, anak kecil itu merasa bukan yatim piatu lagi. Dia kembali mempunyai ibu dan bapak. Anak itu menerima sesuatu yang tak ternilai harganya. Kemudian Nabi Muhammad SAW pun tersenyum. Anak kecil itu segera menghapus air matanya dan mengucap syukur dengan wajah gembira dan senyum yang berseri-seri.

Cerita di atas merupakan sekadar contoh bagaimana membangun solidaritas. Toleransi dan solidaritas kemanusiaan bukan sekadar mengakui kemajemukan.

Kemajemukan memang sebuah realitas. Namun, pengakuan bahwa ada realitas agama yang majemuk, belum tentu mencirikan penghormatan dan sikap saling menghargai. Oleh sebab itu, semangat pluralisme adalah pertalian kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Sikap saling menghargai dan saling memahami diwujudkan pula dalam kerja sama mengusung agenda-agenda kemanusiaan.


(50)

Kehidupan beragama yang sangat rutin, bila tanpa keprihatinan yang melahirkan tanggung jawab, toleransi, dan solidaritas sosial, akan terasa hambar. Marilah kita kaum agama menjadi guru yang cerdas dan arif bagi anak-anak generasi masa kini, menjadikan anak yakin dengan agamanya dan orang lain juga yakin terhadap agama mereka. Seperti yang diungkapkan Willy:13

“Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang ada di Rumah Sahabat Anak Puspita, yang telah menerima saya dengan baik dan layaknya satu keluarga. Padahal awalnya saya merasa minder dan sangat sedih karena disekeliling saya semuanya muslim, akan tetapi setelah saya tinggal, saya mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Saya selalu aktif dalam melakukan kegiatan keagamaan saya tanpa ada yang mengejek atau mencela walaupun saya satu-satunya anak non muslim yang hidup dalam komunitas anak-anak muslim. Terima kasih Tuhan yang telah memberikan kedamaian bagi saya dan teman-teman saya di Puspita”

2. Pemberian Biaya Pendidikan Gratis

Pada program pemberian biaya pendidikan secara gratis buat anak binaan ini sudah sudah sejak tahun 2000-an dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita, perjalanan Rumah Sahabat Anak Puspita selama ini sudah

13


(51)

membina dan menamatkan anak binaannya tidak kurang dari 120-an anak, hal ini sesuai dengan program dari Rumah Sahabat Anak tersebut.

Ada beberapa catatan bagi Rumah Sahabat Anak Puspita untuk anak binaan yang mendapatkan biaya pendidikan gratis, dari mulai seragam, alat kebutuhan menulis dan biaya sekolah, mereka (anak binaan) harus mengikuti beberapa kegiatan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Seperti mengaji, berdiskusi, pelatihan dan belajar bersama. Nah, dari proses kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita penulis melihat bahwa semuanya akan menjadi faktor pendukung bagi kemanjuan sumber daya manusia dan perkembangan otak para anak binaan.

Inilah data anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita Tahun 2007:

Tabel. Data sekolah anak yang dibiayai oleh Rumah Sahabat Anak Puspita yang

No Nama Pendidikan

1 Wahyuni SMEA BPS&K I Kelas X-AP-2 2 Taci Astiningsih SMEA BPS&K I Kelas X-AK-2

3 Fitriya SMAN 36 Kelas X


(52)

5 I Irma Wati SMEA Pusaka Kelas X-AK I 6 Putri Aspriyati SMA PR3 Kelas XI-IPA 7 Dian Alpiyani SMP PGRI 20 Kelas IX

8 Masitoh SMPN 96 Kelas VIII

9 Mirza Izzatu Rachmat SMPN 96 Kelas VIII 10 Ahmad Nur SMPN 6 Kelas IX

11 Muhammad Rohali SMPN 165 Jakarta, Kelas VIII 12 Tio Hara SMK Teratai Putih Kelas X 13 Muhamad Zaenal SMK Teratai Putih I Kelas X 14 William I Rettob Bonaventura Kelas XI IPA 15 Haman Prima Smp Budaya Kelas VII 16 Duryono STM Teratai Putih I 17 Dani Rianto SMP PGRI 20 Kelas IX 18 Abdul Ghafur Madrasah HD Kelas IV

19 Joko Saputro SMEA BPSK Jakarta Kelas X Ak I 20 Usman Nur Ali SMP Perguruan Rakyat 3 Kelas XI 21 Slamet Hendi Prastio SMK Teratai Putih Jakarta Kelas X 22 Tommy Mts Hasanatu Daratain Kelas VIII 23 Fauzi SMK Budi Murni Kelas XI


(53)

Yuni adalah salah satu anak binaan yang dibiayai sekolahnya sekarang dia sedang menempuh di sekolah menengah atas. Menurut Yuni “Saya pastinya senang banget, karena saya bisa melanjutkan sekolah saya yang hampir putus karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah, saya sangat berterimakasih pada Rumah Sahabat Anak Puspita karena telah membimbing saya dan membiayai sekolah saya”14

Lain hal menurut Fitri: “Saya mendapatkan biaya pendidikan gratis dari Puspita sejak kelas 2 SMP sekarang sudah kelas 2 SMA, alhamdulilah setelah saya diajarin dan selalu belajar dengan teman-teman saya mendapatkan rengking bagus terus, di SMA-nya pun saya masuk SMA Negeri dan sekarang selalu dapat ranking 1.”15

Pada program pemberian biaya pendidikan gratis ini memang Rumah Sahabat Anak Puspita mempunyai maksud yang baik, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan seperti visinya yaitu membebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan. Dimulai dari pendidikanlah generasi bangsa ini akan lebih memperhatikan nasib bangsanya, mereka punya cita-cita dan mimpi besar untuk membangun menjadi negeri yang besar dan berprestasi.

14

Wawancara pribadi penulis dengan Yuni yang mendapat biaya pendidikan gratis September 2007

15

Wawancara pribadi penulis dengan Fitri salah satu anak binaan yang mendapatkan biaya pendidikan gratis September 2007


(54)

3. Program Kemandirian

Pada program kemandirian ini, Rumah Sahabat Anak Puspita melalui usaha produktifnya yaitu seperti Puspita Printing, Cuci steam motor dan jagung bakar. Pada program ini dilakukan atau dikerjakan oleh para alumni Rumah Sahabat Anak Puspita. Kebanyakan dari mereka tidak mau bekerja di perusahaan orang lain, meraka memilih bekerja sendiri atau bekerja pada usaha Rumah Sahabat Anak Puspita itu sendiri. Karena mereka berpikir hal ini akan membangun dan menjaga keberlangsungan usaha lembaga. Seperti wawancara dengan beberapa anak yang memilih usaha di lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita.

Saya senang dengan percetakan, karena selama ini saya selalu dididik oleh kakak-kakak pendamping untuk bisa mendesain berbagai macam gambar, saya bisa merasakan manfaatnya ketika ada orang yang membutuhkan jasa saya untuk membuat model sertifikat.”4

Setiap sore menjelang sekitar jam lima sore setelah pulang sekolah, saya sudah harus menyiapkan peralatan untuk jualan jagung bakar di samping Rumah Sahabat Anak Puspita, alhamdulillah walau tidak banyak yang kami jual hasilnya lumayan buat ongkos sekolah.”5

4

Wawancara pribadi penulis dengan Eko salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita Desember 2007.

5

Wawancara pribadi penulis dengan Joko salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita Desember 2007.


(55)

Saya tidak malu untuk bekerja di lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita, kami disediakan oleh Dinas Sosial DKI Jakarta mesin cucu steam motor, oleh karena itu saya merawatnya dan saya jadikan usaha di lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita, supaya bisa saling membantu”6

4. Program Ketrampilan

Sebagai rumah sahabat anak yang memiliki visi “kemandirian untuk masa depan yang lebih baik” setidaknya visi Rumah Sahabat Anak Puspita tersebut dibuat untuk menjadi motivasi tersendiri untuk Rumah Sahabat Anak Puspita terhadap anak kurang mampu yang mereka bina, kelak setelah diberikan program keterampilan yang diajarkan di dalam Rumah Sahabat Anak Puspita, anak binaan akan dapat memiliki kemampuan atau keterampilan untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak menuju arah yang positif.

Inilah beberapa keterampilan yang diajarkan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita pada anak binaan.

a. Pelatihan teknisi komputer

Pada pelatihan komputer ini dipandu oleh kakak-kakak relawan dari Universitas Atmajaya. Ada 5 anak yang sangat berminat dan serius dalam belajar teknisi komputer, mereka selalu asyik dalam latihan

6

Wawancara pribadi penulis dengan Jamaludin salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita Desember 2007.


(56)

membongkar pasang beberapa perangkat komputer yang telah disediakan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita untuk praktek.

“Awalnya saya tidak mau pusing dengan banyaknya barang-barang rongsokan di Puspita, lebih baik saya kiloin barang-barang itu, ternyata barang-barang rongsokan itu milik mahasiswa Universitas Atmajaya yang sedang praktek kerja lapangan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Setalah mereka datang dan berkenalan dengan kami, mereka mengutarakan maksud dan tujuan mereka datang ke Rumah Sahabat Anak Puspita, mereka mau mengajarkan bagai mana cara merakit komputer atau merakit komputer, saya terus dibimbing dan diarahkan untuk bisa merakit, tapi awalnya saya diberi pengetahuan materi dulu, saya dikasih tahu yang namanya memory, hardisk dan perangkat-perangkat yang lainnya. Alhamdulillah setelah saya serius dan tekun belajar akhirnya sedikit demi sedikit saya sudah lumayan bisa merakit komputer. Dari hasil belajar saya di Puspita saya sekarang bekerja di tempat penjualan komputer di daerah Rawamangun Jakarta Timur”7

b. Menjahit

Pada keterampilan Rumah Sahabat Anak Puspita membuaka bordir untuk umum, agar kelak anak binaan yang sudah mahir dapat bekerja di kompeksi tersebut dan dapat mencari order sendiri kemudian dikerjakan

7

Wawancara pribadi penulis dengan Daniel salah satu anak binaan Puspita 25 September 2007


(57)

sendiri. yang ikut keterampilan ini ada 2 anak laki-laki dan 9 anak perempuan pada keterampilan menjahit ini walaupun banyak perempuannya tapi bagi dua anak laki-laki ini tidak menyurutkan semangatnya untuk belajar. Seperti yang dikatakan Saprol.

“Saya dari dua anak laki-laki yang ikut pelatihan menjahit, saya tidak merasa kecil hati ketika banyak dari peserta pelatihan menjahit itu semuanya anak perempuan, karena rasa ingin belajar dan terus belajar, maka saya selalu rajin dan giat dalam setiap latihan, cita-cita saya menjadi desainer terkenal.”8

c. Membuat susu kacang ijo dan ice cream

Pada keterampilan ini para anak binaan dibimbing dan dilatih oleh ibu yayasan Rumah Sahabat Anak Puspita untuk membuat susu kacang ijo dan ice cream kemudian mereka memasarkannya. Pola pemasaran yang mereka rintis adalah melalui warung-warung terdekat, kemudian yang kedua mereka memasarkan hasil olahan yang mereka buat ke rumah-rumah orang tua mereka tinggal, dan pada sore harinya mereka mengecek sudah berapa yang ke jual. Dan ternyata pada keterampilan ini hasilnya lumayan baik, karena dari semua yang mereka pasarkan 70 % itu laku terjual.

8

Wawancara pribadi penulis dengan Saprol salah satu anak binaan Puspita 25 September 2007


(58)

“Membuat susu kacang kedelai awalnya tidak semudah yang kita bayangkan, saya dan teman-teman terus belajar dan mencoba beberapa racikan, yang pertama memang gagal, kami tidak putus asa sampai di situ, kami terus mencoba untuk meracik kembali dan belajar dari kekurangan yang pertama, setelah proses yang kedua hasilnya kurang bagus karena terlalu banyak kedelai yang kami masukan sehingga terlalu kental dan masih ada ampas kedelai yang kami olah. Kami terus belajar dan belajar dan sampai akhirnya kami bisa membuat susu kacang kedelai yang siap dipasarkan di lingkungan sekitar. Sebenarnya ide pembuatan susu kacang kedelai yang kami olah adalah untuk mengisi liburan panjang sekolah pada semesteran kemarin, daripada tidak ada kegiatan, lebih baik kami berkreasi membuat susu kacang kedelai. Alhamdulillah setelah susu kacang kedelai kami kemas, oh ia kami membuat susu kacang kedelai itu mengolahnya jam 3 pagi loh. Kami bangun pagi mengolah dan mengemasnya, setelah shalat subuh kami berlima berpencar berjualan di pasar-pasar sekitar Kecamatan Duren Sawit, dan hasilnya cukup memuaskan bagi kami sebagai pemula, sekitar 70 % susu kacang kedelai yang kami buat itu terjual, bahkan ibu tetangga penjual gorengan juga ikut berjualan susu kacang kedelai yang kami buat.” 9

9

Wawancara pribadi penulis dengan Chify salah satu anak binaan Puspita. Jakarta, September 2007


(59)

Sebenarnya masih banyak keterampilan yang bukan berbasis usaha yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita ini, seperti pelatihan photografer, pelatihan jurnalistik, pelatihan penyiar dan pelatihan motivator. Dari berbagai macam program keterampilan yang diterapkan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita, semuanya didirikan memang bertujuan untuk membina kemandirian anak binaan, kelak mereka dapat hidup lebih baik dan di kemudian hari mereka mampu untuk hidup mandiri dengan bermodalkan keterampilan yang diajarkan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita.

Visi dari Rumah Sahabat Anak Puspita adalah “membebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan dan menciptakan kemandirian untuk masa depan yang lebih baik”

Untuk itu agar terciptanya misi dari Rumah Sahabat Anak Puspita tidak pernah membedakan anak binaan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini supaya terciptanya hubungan sosial yang harmonis dan dengan tujuan itu pula didirikanlah KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yaitu program pemberdayaan perekonomian anak-anak binaan yang mengembangkan pola usaha kolektif, di mana sesama anak binaan mereka mengembangkan keterampilan yang mereka miliki, kemudian bekerja sama untuk mengembangkannya.

Dengan terciptanya program keterampilan, para anak binaan memiliki motivasi untuk dapat berusaha menjadi lebih maju, dan


(60)

mendirikan usaha bersama anak jalanan yang lain. Setelah melewati beberapa keterampilan di atas, Rumah Sahabat Anak Puspita mengadakan bimbingan kewirausahaan, yang dilakukan dengan tujuan:

1) Meningkatkan sikap mental hidup mandiri 2) Meningkatkan semangat kewirausahaan

3) Meningkatkan optimisme dan kepercayaan anak binaan

Secara lebih spesifik, bimbingan kewirausahaan yang diberikan kepada anak bianaan dilakukan agar mereka dapat hidup mandiri, tidak lagi menggantungkan hidup pada orang lain di jalanan, serta mempunyai

skill, bermental produktif, serta memiliki kesadaran, kesabaran, dan semangat juang untuk maju dan memperbaiki keadaan.

B. Analisis Tentang Masalah Anak Binaan

Untuk dapat mendalami masalah anak binaan yang sedang dibahas, ada beberapa tahapan yang harus diperhatiakan oleh para pekerja sosial. Masalah kenapa anak bisa putus sekolah? Masalah yang dihadapi oleh anak disini sangat kompleks, di samping faktor lingkungan yang dapat berpengaruh besar terhadap tingkah laku anak, juga perekonomian keluarga yang sangat kurang, yang akhirnya para orang tua rela membiarkan anaknya putus sekolah dan menyarankan kerja di usia dini. Padahal usia 10-15 tahun usia yang paling rawan dalam pembetukan karakter anak, di mana pada usia itu anak-anak perlu banyak menerima kasih sayang dan perhatian penuh oleh orang tua mereka.


(1)

sungguh. Kemudian Rumah Sahabat Anak Puspita memberikan biaya pendidikan gratis pada anak binaan dan beberapa keterampilan sangat membantu memecahkan masalah yang dihadapi anak binaan, yaitu mereka tidak dapat bersekolah karena tidak adanya biaya, dan dengan adanya Rumah Sahabat Anak Puspita mereka sudah bisa bersekolah seperti layaknya anak-anak yang lain pada umumnya. Pelatihan keterampilan yang diterapkan pada anak binaan membawa dampak positif bagi anak binaan, mereka mempelajari keterampilan komputer, menjahit,dan usaha susu kacang ijo serta pembuatan ice cream yang mereka pasarkan di sekitar lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita

2. Respon dari pembinaan Rumah Sahabat Anak Puspita terhadap kemandirian anak binaan belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, karena para anak binaan masih membutuhkan bantuan biaya dari RSA Puspita mereka yang dikatakan berhasil adalah mereka yang sudah dapat membiayai hidupnya sendiri dan tidak lagi bergantung sama Rumah Sahabat Anak. Tetapi setidaknya Rumah Sahabat Anak Puspita sangat berperan penting bagi keberhasilan anak binaan yang mereka bina. Dari hasil penelitian penulis, di antara anak binaan sudah mempunyai penghasilan, walaupun hanya untuk uang saku mereka, dan tentunya hal itu memberikan motivasi tersendiri untuk anak binaan tersebut agar bisa membiayai hidup mereka sendiri dengan penghasilan mereka.


(2)

1. Keberhasilan seorang anak binaan tidak lepas dari pembinaan Rumah Sahabat Anak Puspita, yang diharapkan di sini, adalah para relawan Rumah Sahabat Anak Puspita mampu mendidik anak binaan dengan sebaik-baiknya karena anak adalah aset bangsa yang harus diberdayakan, tentunya dengan para pekerja sosial yang berpendidikan, serta program-program yang mendidik, agar anak jalanan tidak bergantung pada Rumah Sahabat Anak, karena tujuan Rumah Sahabat Anak mendidik untuk membebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan dan kembali untuk membangun masyarakat.

2. Dengan sarana dan prasarana seadanya di Yayasan Rumah Sahabat Anak Puspita ini, perlu adanya pengembangan dan peningkatan, baik secara pendidikan, olahraga, keterampilan dan kewirausahaan melalui kerjasama dengan para pengusaha, maupun instansi-instansi terkait agar lebih diintensifkan dalam memperjuangkan hak pendidikan anak baik moril maupun materiil.

3. Para pengurus, relawan dan tenaga pengajar perlu adanya peningkatan pemahaman ilmu tentang anak itu sendiri, agar dalam pelaksanaanya bisa terarah dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar, Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya, (Solo: Ramadhani, 1984)

Al Mubarakafuri, Muhammad Abdul Ar Rahman bin Abd Al Rahim, Tukhfah al Akhwazi bin Syarh Jami Al Turmudzi, juz 6, (Beirut: Dar Al kutub al Ilmiyah, 1990)

Al-Abrasy, Muhammmad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)

Al-Ba’i, Musthafa, Min Rawaa’I Hadaratina (Dam: Darul Irsad, 1968)

Al-Raghib Al Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadh Al Qur’an. (Beirut: Dar al Fikr) Arief, Armai, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan Dalam Rangka Mewujudkan

Kesejahteraansosial Dan Stabilitas Nasional, dalam jurnal Fajar, LPM UIN Jakarta, edisi 4 No.1, November 2002

Barry, David, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)

Buletin Cilik, Cita-cita Anak Indonesia, edisi 005/Mei/2006

Christelle Sadeghi dan Josiane Bechara, Toleransi, 17 Juli 2007, diakses pada www.commongroundnews.org, pada 12 Maret 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998)


(4)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2002)

Depsos, Peta Permasalahan Anak Jalanan, www.depsos.gi.id, diakses pada 25 Oktober 2007

Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Dirjen Pemberdayaan Sosial, Standarisasi Pemberdayaan Peran Keluarga, Jakarta: Depsos, 2002

Ghazali, Abd. Muqsith, Cetak Biru Toleransi di Indonesia, www.islamlib.com, diakses pada 20 Maret 2008.

Gunarsa, Singgih D, Yulia Singih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003)

Latif, Yudi & Abdul Hakim, Melampui Kosmopolitanisme Politik, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008

Mendatu, Achmanto, Apakah Sikap Itu? diakses pada smartpsikologi.blogspot.com, diakses pada 25 Oktober 2007

Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta: Fitra)

Moleong, Lexy.J Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000)

Munadi, Yudhi, ‘” Toleransi Beragama pada Masa Rasulullah Saw di Madinah” Penelitian Dosen, (Fakultas Tarbiyah, 2000)

Munawir, Imam Sikap Islam Terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi dan Solidaritas, (Surabaya: Bina Ilmu)


(5)

Naim, Sahibi, Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT. gunung agung. 1983) A.W. Munawir, Al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (yaogyakarta: PP. Al-Munawir, t.th)

Poerwadarminta, W.J.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985)

Puis A. Partanto dan M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola. 1994)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003)

Rahman, Fazlur Islam, terj. Ahsin Muhammda, (Bandung: Pustaka, 2001)

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka 1985)

Rumah Sahabat Anak Puspita, diaksep pada, www.anakpuspita.blogspot.com, pada, 25 Desember 2007

Sarwono, Sarlito Wiranwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1984) Sebagaimana yang dikutip Trisno S Sutanto, Melampaui Toleransi, Menerung

bersama Walzer, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008.

Sihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan, 1997)

Sirumput, Buletin Dwi Mingguan, edisi xxxv tahun 2005

Sobur, Alex Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004) Soeitoe, Samuel, Psikologi Pendidikan II (Jakarta: FEUI, 1982)


(6)

Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan.(Jakarta: Aksara Baru, 1982)

Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam. (Pustaka Sadra, 2004)

W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982)

Wirawan, Sarlito, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999).