Latar Belakang Masalah Peran rumah sahabat anak puspita dalam pembentukan sikap toleransi beragama pada anak binaan di Duren Sawit Jakarta Timur

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan bangsa ini penuh dengan dinamika konflik, baik itu konflik masalah sosial, politik maupun budaya. Pada akhirnya sampai detik ini pun kita masih saja mendengan kata konflik itu, apakah benar hal ini yang menjadikan masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan? Kita tidak akan rela kalau bangsa ini terus-menerus dirundung konflik, bangsa yang kita sayangi ini sepatutnya harus kita jaga dengan sekuat tenaga. Kalau semua anak bangsa sepakat bahwa musuh kita semua adalah kemiskinan, kebodohan dan diskriminasi, tidak menonjolkan egoisme, kelompok atau golongan, tentu bangsa ini akan penuh dengan cinta kasih. Masih banyak persoalan-persoalan masyarakat yang perlu kita perhatikan, seperti kemiskinan yang masih kuat yang mengakibatkan merebaknya anak jalanan di Indonesia. Hal ini menjadikan persoalan yang komplek bagi bangsa ini. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka tidak dalam kondisi yang tidak bermasa depan, jelas dalam keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, baik itu keluarga maupun masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap anak jalanan atau anak yang kurang mampu tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita, mereka merupakan amanah Allah SWT yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan yang cerah. Permasalahan anak jalanan atau anak kurang mampu dalam hal ekonomi sehingga dia hidup di alam bebas tanpa adanya perhatian khusus dari orang tua mereka yang pada akhirnya mererka hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas. Padahal kita juga tahu bahwa anak terlantar itu dijamin dan dipelihara oleh negara sebagai mana tercantum dalam UUD 1945. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Pada hakekatnya hak-hak anak terlantar itu sama saja hak asasinya sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kepres RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention on the right of the child pengesahan tentang hak-hak anak. Anak-anak tersebut harus mendapat hak-haknya sebagaimana layaknya anak-anak yang lain seperti halnya anak mempunyai hak sipil dan kemerdekaan civil right and freedoms, kemudian hak lingkungan keluarga family environment kesehatan dasar dan kesejahteraan basic health and welfare pendidikan education serta perlindungan khusus special protection Persoalan hak-hak di atas itu menjadi penting bagi kita semua untuk memperhatikan dan banyak terlibat dalam hal itu, karena walau bagaimanapun anak jalanan atau anak yang kurang mampu merupakan bagian dari anak bangsa ini yang perlu dipelihara, dibina dan dibimbing. Nah, kemudian persoalan pendidikan dan perlindungan anak yang menurut penulis adalah hal yang sangat urgent pada anak, walaupun itu semua merupakan tanggung jawab orang tua, akan tetapi sampai hari ini pun masih banyak orang tua-orang tua si anak yang menghadapi masalah sosial seperti kemiskinan dan kebodohan. Makanya tidak disadari banyak para orang tua yang tidak sanggup memenuhi fungsi sosialnya, dengan baik dalam mendidik, melindungi dan mengarahkan anak-anak mereka. Kelompok masyarakat ini kelompok kaum dhuafa yang ekonominya dan SDM sumber daya manusia sangat lemah, jangankan untuk mengurusi persoalan pendidikan anak, bahkan untuk makan sehari-hari pun mereka masih kesulitan. Nah, bagaimana fungsi sosial di dalam masyarak kita sementara al-Qur’an pun menegaskan bahwa orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah. Seperti firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa 4:9 “Hendaknya orang beriman takut kepada Allah sekiranya mereka meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir kesejahteraan anak-anak mereka oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar.” QS. An-Nisa 4:9 Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitab Al Mufradat Al Fadh Al Qur’an menjelaskan bahwa perkataan dhiaf’an memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama: dha’if fi al jism yakni lemah secara fisik. Maksudnya menerangkan bahwa orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka mempunyai fisik, tubuh dan badan yang lemah. Orang tua mereka harus memperhatikan kualitas kesehatan anak-anak mereka dengan memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Bagi orang-orang yang beriman makanan dan minuman yang bergizi itu selain memenuhi gizi yang seimbang seperti yang dirumuskan empat sehat lima sempurna tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayyiban yakni halal secara fiqih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh. 1 Sesungguhnya di dalam Islam, anak adalah titipan Allah SWT yang harus dijaga, masa kanak-kanak di dalam Islam digambarkan sebagai suatu keindahan di dunia yang diliputi oleh kebahagiaan, cita-cita, cinta dan angan-angan. Perserikatan bangsa-bangsa mulai menaruh perhatian terhadap nasib dan kesejahteraan anak- anak dengan menetapkan tanggal 12 Nopember sebagai hari anak-anak. Namun begitu perlu dikemukakan di sini bahwa perhatian Islam terhadap nasib dan kesejahteraan anak-anak telah dimulai sejak 14 abad yang lalu. 2 1 Al-Raghib Al Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadh Al Qur’an. Beirut: Dar al Fikr h. 304- 306 2 Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam. Pustaka Sadra, 2004 hal. 7 Pada dasarnya Islam mempunyai pandangan terhadap sikap perilaku anak jalanan. Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah berperilaku tidak baik. Selama mereka berperilaku baik, seperti tidak mencuri, menodong maka mereka tetap orang baik di mata agama. Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu untuk belajar. Selain itu si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah untuk anak istrinya. Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak jalanan yang meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama Islam. Kalau kita sadar bagaimana fungsi zakat sebagai lumbung kesejahteraan bagi orang-orang yang kurang mampu. Di situ ada zakat fitrah yang setiap tahun seluruh umat Islam wajib mengeluarkannya, kemudian ada zakat mal yang cukup besar potensi dana tersebut yang datang dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu orang-orang yang berkecukupan dalam segi materi kaya juga harus diingatkan, bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para mustahik melalui amil yang professional, harus aktif mencari dana zakat tersebut dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin. Adapun bentuk pembinaan terhadap anak jalanan atau anak kurang mampu harus komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid kemudian yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak tersebut. Selain itu pembinaan juga bukan hanya saja dari sisi moral, akan tetapi harus juga bersifat jangka panjang. Misalnya seperti mereka diberi bekal keterampilan baik itu skill maupun agama, sikap toleransi terhadap sesama, dan yang pada akhirnya mereka dapat hidup mandiri dan terarah sesuai cita-citanya masing-masing. Selain itu pemerintah seharusnya mempunyai data base yang konkrit menganai anak jalanan dan anak kurang mampu yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Sehingga mudah sekali ketika akan melakukan penataan serta penanganannya. Jadi intinya untuk menanggulangi permasalahan anak jalanan atau anak kurang mampu ini perlu kaki tangan pemerintah yaitu sebuah organisasi baik yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri atau swasta bahkan perorangan yang bisa mewadahi aktivitas mereka sudah barang tentu dengan berbagai fasilitas yang memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu kerjasama dengan takmir masjid yang sangat banyak, sehingga takmir masjid tugasnya bukan hanya ritual menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial seperti membina dan mendidik anak jalanan atau anak kurang mampu.

B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah