INTERAKSI SOLVEN-SOLUT DALAM KROMATOGRAFI

260 antara solven dan solut analit. Semakin besar momen dipol semakin besar pula interaksi yang terjadi. Tabel 18.5. Harga momen dipol dari sejumlah gugus fungsional Gugus fungsi Momen dipol Gugus fungsi Momen dipol Amina -N 0,8 – 1,4 Ester -COO- 1,8 Eter -O- 1,2 Aldehid -CHO 2,5 Sulfida -S- 1,4 Keton -C=O 2,7 Thiol - SH- 1,4 Nitro -NO2 3,2 Asam karboksilat -COOH 1,7 Nitrit -C=N 3,5 Hidroksi -OH 1,7 Sulfoksida -SO- 3,5 Halogen -F, - Cl, -Br, -I 1,6 – 1,8 Momen dipol Debyes Interaksi Ikatan Hidrogen Interaksi ikatan hidrogen terjadi antara molekul donor proton dan akseptor proton seperti yang digambarkan oleh interaksi antara kloroform molekul donor dan trimetilamina molekul akseptor Cl 3 C-H ? : N-CH 3 3 donor proton akseptor proton Ikatan hidrogen menjadi lebih kuat selama donor semakin mampu memrikan proton dan akseptor semakin mampu untuk menrima proton. Akseptor proton dapat diklasifikasikan menurut kekuatan basa atau kekuatan memerima, yang dapat ditentukan secara eksperimen. Solven donor yang kuat lebih suka berinteraksi dan melarutkan senyawa analit akseptor kuat. 261 Interaksi Dielektrik Dielectric interactions mengarah pada interaksi dari ion-ion analit dengan cairan dengan konstanta dielektrik E tinggi misal air atau metanol. Ion analit yang terionisasi mempolarisasi molekul solven yang bersebelahan. Interaksi jenis ini cukup kuat dan menyokong pemutusan istimewa dari sampel ionik atau yang ionisable. Interaksi Keseluruhan “Polaritas” Semakin besar dispersi, dipol, ikatan hidrogen, interaksi dielektrik dalam kombinasi, maka semakin besar pula atraksi molekul –molekul solven fase cair dan solut analit. Kemampuan sampel analit atau solven pelarut untuk berinteraksi dalam keempat cara tersebut diatas disebut sebagi polaritas. Semakin besar interaksi mak semakin polaritas dari suatu senyawa atau sampel.

18.7. FASE GERAK UNTUK KROMATOGRAFI CAIR

Sifat-sifat berikut diperlukan untuk fase gerak dalam Kromatografi Cair. a. Solven pelarut harus siap tersedia b. Pelarut harus sesuai dengan detektor yang digunakkan dengan mempertimbangkan : - Deteksi Photometric – UV - Deteksi Refractive Index – ?RI pelarut dan analit 262 - Ketidakmurnian yang memiliki extinction coeffisient tinggi, yaitu mengabsorbsi dengat kuat. c. Reaktivitas Pelarut. Pelarut sbaiknya tidak bereaksi dengan sampel atau polymerisasi dengan fase diam. Hal ini meniadakan aldehid, olefin dan senyawa sulphur kecuali DMSO misal pH dikontrol untuk kolom basa silika antara 2-8 d. Pelarut sebaiknya tidak terlalu kental. Viskositas tinggi menimbulkan tekanan operasional mengurangi efisiensi pemisahan. Tiik didih dapt menjadi petunjuk viskositas, senyawa dengan titik didih yang rendah lebih kurang kental. Pelarut sebaiknya mendidih pada 20 -50 diatas temperatur pemisahan e.Untuk Kromatografi Cair Partisi dengan fase diam mekanik, fase gerak harus tidak dapat dicampur dengan fase diam. f. Keamanan dalam penggunaan pelarut harus dipertimbagkan terutama kemungkinan timbulnya pembakaran atau keracunan. Pemilihan Fase Gerak dalam Kromatografi Padat Cair Kekuatan Pelarut Solvent Strength Pemilihan fase gerak dalam kromatografi padat cair adsorpsi akan dengan baik tercapai dengan menggunakan parameter kekuatan pelarut e berdasarkan pada pekerjaan Hildebrand dan baru-baru ini diubah oleh Snyder. Kekuatan pelarut ditemukan dengan mengukur panas yang dihasilkan oleh pelarut per unit area materi pengadsorbsi adsorbat selama pelarut teradsorbsi pada adsorbat. Semakin aktif suatu pelarut maka semakin tinggi level pans yang dihasilkan atau energi bonding pelarut untuk adsorbat dan dan secara konsekuen kekuatan pelarut semakin tinggi. Oleh karena itu pelarut non-polar seperti alkana sederhana memiliki kekuatan pelarut yang sangat rendah. Pentana dalam skala kekuatan pelarut Snyder adalah nol. Tabel kekuatan pelarut e disusun dengan