50
Dimana : RRSS = Restricted Residual Sum Square merupakan Sum of Square
Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode pooled least squarecommon intercept.
URSS = Unrestricted Residual Sum Square merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan
metode fixed effect. N= Jumlah data cross section
T= Jumlah data time series K= Jumlah Variabel penjelas
Pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai F-Test atau Chow Statistic F-Statistik hasil pengujian lebih besar
dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect.
b. Uji Hausman Test FEM VS REM
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah model fixed effect atau random effect yang akan dipilih. Pengujian ini dilakukan dengan
hipotesa sebagai berikut :
Ho : Model Random Effect
Hi : Model Fixed Effect
51
Dasar Penolakan Ho adalah dengan menggunakan pertimbangan statistik Chi Square. Jika Chi Square Statistik Chi Square Tabel, maka Ho
ditolak model yang digunakan adalah fixed effect.
4. Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
Untuk mengupayakan hasil model yang efisien, maka diperlukan pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi model yaitu gangguan antar
waktu dan gangguan antar individu. Untuk menghasilkan nilai parameter model penduga yang lebih tepat, maka diperlukan pendeteksian apakah
model tersebut menyimpang dari asumsi klasik atau tidak, deteksi tersebut terdiri dari :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak pada variabel terikat dan variabel bebas.
Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Uji normalitas diantaranya dilakukan dengan cara mambandingkan
probabilitas dari hasil pengujian. Apabila nilai probabilitas lebih besar dari 5 maka data dikatakan terdistribusi normal.Wing Wahyu, 2011 : 5.37-
5.39
52
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain. Jika varians residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut
heterokedastisitas. Metode GLS pada intinya memberikan pembobotan pada variasi data yang digunakan, sehingga dapat dikatakan dengan
menggunakan GLS maka masalah heterokedastisitas dapat diatasi. Masalah heterokedastisitas dapat disembuhkan dengan metode WLS yang ada pada
GLS yang memberikan pembobotan pada varians yang digunakan.
Widarjono dalam Wibowo, 2013: 58.
c. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas independent variabel. Uji
multikolinieritas terjadi hanya pada regresi ganda. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi tinggi diantara variabel bebas. Bila terjadi
hubungan linier yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dari suatu model regresi maka dikatakan terdapat masalah multikolinieritas
dalam model tersebut. Masalah multikolinieritas mengakibatkan adanya kesulitan untuk dapat melihat pengaruh variabel penjelas terhadap variabel
yang dijelaskan.
53
Untuk mendeteksi ada tidaknya gejala multikolinieritas dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi parsial. Metode ini dimunculkan
oleh Farrar dan Glaubel, metodenya adalah dengan melihat nilai R square dari model utama yang diestimasi dengan nilai R square dari regresi antar
variabel bebasnya.
d. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara anggota serangkaian observasi runtut waktu atau ruang.
Salah satu cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi digunakan uji Durbin Watson D-W test.
Tabel 3.1 Uji Durbin-Watson
Ada autokorelasi
positif Tidak dapat
diputuskan Tidak
ada autokorelasi
Tidak dapat diputuskan
Ada autokorelasi
negatif
dl du
4-du 4dl
1,10 1,54 2
2,46 2,90
Apabila D-W berada diantara 1,54 hingga 2,46 maka model tersebut tidak terdapat autokolerasi. Sebaliknya, jika DW tidak berada diantara 1,54 hingga
2,46 maka model tersebut terdapat autokolerasi. Wing Wahyu, 2009:5.27 Hipotesanya adalah :
Ho : Tidak ada autokorelasi positif Ho : Tidak ada autokorelasi negatif
54
Kriteria Pengujiannya adalah sebagai berikut. 1. Bila nilai D-W statistik terletak antara 0 d dl, Ho yang
menyatakan tidak ada autokorelasi positif ditolak 2. Bila nilai D-W statistik terletak antara 4-dl d 4, Ho yang
menyatakan tidak ada autokorelasi negatif ditolak. 3. Bila nilai D-W statustuk terletak antara du d 4-du, Ho yang
menyatakan tidak ada autokorelasi positif maupun Ho yang menyatakan tidak ada autokorelasi negatif diterima.
4. Ragu-ragu tidak ada autokorelasi positif bila dl d du 5. Ragu-ragu tidak ada autokorelasi negatif bila du d 4-dl
5. Uji Statistik a. Uji Secara Parsial Uji Statistik t
Uji t dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat dengan menganggap
variabel bebas lainnya adalah konstan. Uji t menggunakan hipotesis sebagai berikut Gujarati, 2003 :
H : bi = b
H
1
: bi ≠ b
Dimana bi adalah koefisien variabel inddependen ke-1 sebagai nilai parameter hipotesis. Nilai b biasanya dianggap nol, artinya tidak ada
pengaruh variabel Xi terhadap Y. Penolakan H terjadi apabila
55
-t
hitung
-t
tabel
atau jika nilai t
hitung
t
tabel.
Hal ini berarti bahwa variabel bebas yang diuji berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
Nilai t
hitung
dirumuskan dengan : t
hitung
=
�−
Dimana : bi
= Koefisien bebas ke-i b
= Nilai hipotesis nol Sb
= Simpangan baku dari variabel bebas ke-i
b. Uji Secara Simultan Uji Statistik F
Uji F diperuntukkan guna melakukan uji hipotesis koefisien slope regresi secara bersamaan. Dengan demikian, secara umum hipotesisnya
dituliskan sebagai berikut : H
: β
1
, β
2
, β
3
, β
4
,................................................= β
= 0 H
1
: Tidak demikian setidaknya ada satu slope yang tidak sama dengan 0 Dimana k adalah banyaknya variabel bebas.
Adapun cara pengujiannya yaitu dengan tabel ANOVA Analysis Of Variance, dimana setelah didapatkan F hitung, maka langkah
selanjutnya adalah membandingkannya dengan tabel F dengan df sebesar k dan n-k-1.
Jika : F
hitung
F
� �
maka tolak H
atau dengan kata lain bahwa paling tidak ada satu slope regresi yang signifikan secara statistik
Nachrowi D Nachrowi, 2006 :17.
56
c. Koefisien Determinasi R
2
Nilai koefisien determinasi R
2
ini mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat Y dapat diterangkan oleh variabel bebas X. Bila
nilai koefisien determinasi sama dengan nol R
2
= 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara jika R
2
= 1, artinya variasi Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X, dengan kata lain bila
R
2
= 1 maka semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi, dengan demikian baik atau buruknya suatu persamaan regresi ditentukan oleh R
2
– nya yang mempunyai nilai antara nol dan satu Nachrowi D Nachrowi,
2006:20.
6. Operasional Variabel Penelitian
Berdasarkan dari permasalahan dalam penelitian, maka ada beberapa definisi operasional yang perlu dijelaskan :
1. Variabel Dependen a. Pertumbuhan ekonomi digunakan PDRB yang merupakan PDRB
atas dasar harga konstan yang menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan memakai harga yang berlaku pada satu
tahun tertentu sebagai tahun dasar. Dalam penelitian ini digunakan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000.
57
2. Variabel Independen a. Aglomerasi Industri yaitu suatu pengelompokan dalam kegiatan
industri yang dihitung dari rasio perbandingan tenaga kerja sektor industri dengan tenaga kerja keseluruhan di suatu wilayah.
b. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK merupakan suatu kelompok penduduk tertentu yaitu perbandingan antara jumlah
angkatan kerja dengan penduduk dalam usia kerja dalam kelompok yang sama.
c. Nilai output industri manufaktur merupakan sebuah nilai dari hasil kegiatan industri manufaktur. Dalam penelitian ini digunakan nilai
output industri manufaktur besar dan sedang.
58
Tabel 3.2 OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Variabel Definisi
Satuan
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu adanya
kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di
wilayah tersebut.
Pertambahan pendapatan menggambarkan pertambahan
balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah tersebut tanah,
modal, tenaga kerja, dan teknologi dimana pendapatan tersebut diukur dalam nilai riil
dinyatakan dalam harga konstan. Hal ini juga dapat menggambarkan kemakmuran
daerah tersebut. Tarigan Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data laju
pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap kabkota di Provinsi Jawa Tengah.
Presentase
Aglomerasi Aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari
aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan, Angka Indeks
Balassa 1- 4
59
karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan economies proximity yang
diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen.
Montgomery dalan Kuncoro, untuk mencari tingkat aglomerasi, penelitian ini
menggunakan indeks balassa. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja TPAK
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK, merupakan suatu rasio
perbandingan dari jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja. Dalam
penelitian ini digunakan data penduduk usia 15-64 usia kerja dan data angkatan kerja di
tiap kabkota di Prop Jawa Tengah. Presentase
Nilai Output Industri
Manufaktur Nilai input industri manufaktur merupakan
suatu nilai besaran akibat dari hasil kegiatan industri manufaktur. Dalam penelitian ini
digunakan data nilai output industri manufaktur sedang dan besar di tiap
kabkota di Propinsi Jawa Tengah. Miliyar
Rupiah
60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Propinsi yang ada di Pulau Jawa, terletak pada
5 40
′
dan 8
30
′
Lintang Selatan dan antara 108
30
′
dan 111
30
′
Bujur Timur. Propinsi ini diapit oleh dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Secara administratif, Propinsi Jawa
Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Kabupaten tersebut antara lain adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo
Gambar 4.1 Kondisi Geografis Propinsi
Jawa Tengah
61
Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Tegal, Kabupaten Brebes serta 6 Kota di Jawa Tengah antara lain adalah Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan,
dan Kota Tegal. Propinsi Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan di Kota Semarang secara administratif berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Jawa Timur
Sebelah Selatan : Samudra Hindia Sebelah Barat
: Jawa Barat
Secara umum kondisi perekonomian di Propinsi Jawa Tengah dilihat salah satunya melalui laju pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun. Laju
pertumbuhan PDRB dihitung dalam persen dengan menghitung nilai PDRB tanpa migas atas dasar harga Konstan 2000. Dihitung atas dasar harga
konstan 2000 karena pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan lebih bisa menggambarkan pertumbuhan yang sebenarnya jika dibandingkan dengan
pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku. PDRB atas dasar harga konstan
62
menggunakan harga tetap dari tahun ke tahun sehingga perubahan harga tidak berpengaruh terhadap perhitungan. Menurut uraian dari Badan Pusat Statistik,
pada tahun 2011 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan tertinggi terhadap ekonomi di Propinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 33 persen.
Selanjutnya sektor yang memberikan kontribusi terbesar kedua adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restaurant sebesar 22 persen. Sektor pertanian
memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa Tengah sebesar 18 persen yang menempatkannya pada posisi ketiga dalam kontribusi terhadap PDRB di
Propinsi Jawa Tengah.
Gambar 4.2 Distribusi Presentase PDRB Propinsi Jawa Tengah
Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka 2011
18 1
33
1 6
22 5
4 10
Pertanian Pertambangan dan Galian
Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan Perdagangan, Hotel dan
Restaurant Pengangkutan dan
Komunikasi Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
63
Berdasarkan Angka Sementara Sensus Penduduk SP 2010, jumlah penduduk Jawa Tengah pada tahun 2011 tercatat sebesar 33,27 juta jiwa atau
sekitar 13,52 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini menempatkan Jawa Tengah sebagai propinsi ketiga di Indonesia dengan
jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki.
Ini ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan sebesar 98,34 persen.
Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota
dibandingkan kabupaten. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2012 tercatat sebesar 1022 jiwa setiap kilometer persegi, dan wilayah
terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan lebih dari 11 ribu orang setiap kilometer persegi. Jawa Tengah Dalam Angka 2012
Tenaga Kerja yang terampil merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era
globalisasi. BPS merujuk pada konsepdefinisi ketenagakerjaan yang direkomendasikan oleh International Labour Organization ILO. Penduduk
usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan dibedakan sebagai Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan
penduduk tiap tahun akan berpengaruh pada pertumbuhan angkatan kerja. Gambar dibawah ini menunjukkan pengelompokan penduduk berdasarkan
64
usia di Propinsi Jawa Tengah tahun 2011. Dalam gambar tersebut dijelaskan bahwa Propinsi Jawa Tengah didominasi oleh penduduk dengan usia 15-64
tahun sebesar 67 persen, dimana kelompok umur tersebur merupakan kelompok umur yang masuk ke dalam kategori tenaga kerja. Selanjutnya
didominasi oleh kelompok umur 0-14 tahun sebesar 25 persen dan yang terakhir sebesar 7 persen merupakan kelompok umur 65 tahun keatas.
Gambar 4.3 Penduduk Jawa Tengah Berdasarkan
Usia Tahun 2011
Sumber : BPS Jawa Tengah diolah
Berdasarkan hasil Sakernas, angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2012 mencapai 17,10 juta orang atau naik sebesar 1,04 persen dibanding
tahun sebelumnya. Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 71,43 persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di
Jawa Tengah sebesar 5,63 persen. Bila dibedakan menurut status pekerjaannya, buruhkaryawan sebesar 30,63 persen. Status pekerjaan ini
26
67 7
Usia 0-14 Usia 15-64
Usia 65+