Analisa Performansi Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Teknik Estimasi Kanal
OLEH :
NAMA
: M. SALMAN
NIM
: 040402033
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
M. SALMAN 040402033
Disetujui oleh : Pembimbing Tugas Akhir,
RAHMAD FAUZI, ST, MT NIP : 132 161 239
Diketahui oleh :
Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU ,
Prof. Dr. Ir USMAN S.BAAFAI NIP : 19461022 197302 1 001
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
combining yaitu MRRC (Maximal Ratio Receiver Combining) dimana teknik ini
lebih mengutamakan banyak antena pada sisi penerima dan hanya digunakan satu antena pada pemancar. Namun hal tersebut tidak efektif dan efisien. Sehingga kemudian Alamouti mengeluarkan suatu rancangan yang disebut Alamouti’s Simple
Transmit Diversity Scheme. Rancangan ini untuk memperbaiki teori MRRC yang
hanya menggunakan 1 antena di pemancar dan 2 di penerima.
Pada Tugas Akhir ini dilakukan simulasi Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Teknik Estimasi Kanal. Selain itu juga dilakukan analisis kinerja Bit
Error Rate (BER). Simulasi dilakukan menggunakan bahasa pemograman MATLAB
7.1.
Dari simulasi yang dilakukan diperoleh besarnya BER untuk Sistem Diversitas Alamouti tanpa Teknik Estimasi Kanal dengan Modulasi BPSK pada Eb/N0 = 0 samapai dengan 1000 adalah 0.1180 sampai dengan 0.0051. Untuk Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Teknik Estimasi Kanal LMS dengan Modulasi BPSK Eb/N0 = 0 sampai dengan 1000 adalah 0.0930 sampai dengan 0.0040. Untuk Sistem Diversitas Alamouti tanpa Teknik Estimasi Kanal dengan Modulasi QPSK Eb/N0 = 0 sampai dengan 100 adalah 0.1050 sampai dengan 0.0046. Untuk Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Teknik Estimasi Kanal LMS dengan Modulasi QPSK Eb/N0 = 0 sampai dengan 1000 adalah 0.2300 sampai dengan 0.0100. Untuk Sistem Diversitas Alamouti tanpa Teknik Estimasi Kanal dengan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate dari 2000 samapai dengan 100.000 adalah = 0.0948 sampai dengan 0.1363. Untuk Sistem Diversitas Alamouti dengan Teknik Estimasi Kanal LMS dengan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate dari 2000 samapai dengan 100.000 adalah = 0.0651 sampai dengan 0.1207.
(4)
yang dilimpahkan sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Adapun Tugas Akhir ini dibuat untuk memenuhi syarat kesarjanaan di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, yang penulis beri judul “Analisa Performansi Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Teknik Estimasi Kanal”.
Tugas akhir ini penulis persembahkan kepada yang teristimewa yaitu ayahanda, Alm, M. Daud Yusuf, ibunda, Sa’diah, Kakanda-kakanda saya Junaidi, Siti Hawa, Rindayani, Tantawi Jauhari, Ismail, Rita Kesuma, Rafiqah, serta adik saya, Malahayati, yang merupakan bagian hidup penulis yang senantiasa mendukung dan mendoakan dari sejak penulis lahir hingga sekarang. Mova Rita S, AMKeb yang selalu mendukung dan membimbing penulis dengan doa dan kasih sayang yang tulus.
Selama masa perkuliahan sampai masa penyelesaian tugas akhir ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan setulus hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Ir. Nasrul Abdi, MT selaku Ketua Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
(5)
3. Bapak Ir, Syahrawardi, selaku dosen wali penulis, atas bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan perkuliahan.
4. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Teknik Elektro USU dan Seluruh Karyawan di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Elektro USU. 5. Teman-teman angkatan ’04, Syamsi, Fauzan, Bayu, Hafiz, Rudi, Tosa, Aris,
Bismo, Aulia, Jhoni, Luthfi, Daus, Rozi, Raul, Harry, Muhfi, Adinata, Fahmi, Hans, Ijal, Jacko, Dedy, Nuel, Alex tepu, Alex Jds, Franklin, Trisno, Made, Kurlub, Hanna, Nurul, Kifly, Anhar, Wahyu, Eko, Ronal, Ai, Augus, Sabri, dan teman-teman ’04 lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
6. Rekan-rekan senior di Elektro, Bang Adi piliang, Bang Usman, Bang Abu, Bang Adhi, Bang Berry, Bang Iqbal, K’Afli, K’wati, K’nanda.
7. Rekan-rekan junior di Elektro, Rozi, Salman A, Muti, Diana, Dewi, Silfi, Rifky, Harpen, Yona.
8. Teman-teman di Kost sahabat 11, Iqbal, Adlin, Fahry, Rikky, Endy, Dedy, Ady, Mufti, Bang Acoenk, Yahya, Asenk, Bang bady, Bang Jhon, Bang Eka, Bang Acip, Bang Rury, Buyunk, Igun, Aprizal, Budy.
9. Dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kesalahan dan kekurangan, namun penulis tetap berharap semoga tugas akhir ini bisa bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi pengembangan selanjutnya
(6)
Penulis
M. Salman NIM 040402033
(7)
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penulisan ... 3
1.4 Batasan Masalah ... 3
1.5 Metodelogi Penulisan ... 3
1.6 Sistematika Penulisan ... 4
BAB II SITEM DIVERSITAS ALAMOUTI DAN TEKNIK ESTIMASI KANAL 2.1 Pendahuluan ... 6
2.2 Propagasai Pada Kanal Wireless ... 5
2.3 Fading ... 8
2.3.1 Parameter Fading ... 8
2.3.1.1 Waktu Pengiriman Tiap Bit (Tb) ... 9
(8)
2.4 AWGN dan Fading Rayleigh ... 21
2.4.1 AWGN. ... 11
2.4.2 Fading Rayleigh ... 12
2.5 Sistem Diversitas Alamouti ... 15
2.5 Sistem Diversitas Alamouti ... 15
2.5 Sistem Diversitas Alamouti ... 15
2.5.1 Metode Diversity Combining ... 15
2.5.1.1 Selection Diversity ... 15
2.5.1.2 EqualGain Combining ... 16
2.5.1.3 Maximal Ratio Receiver Combining ... 16
2.5.2 Metode Alamouti ... 17
2.5.2.1 Rancangan Combiner (Combiner Scheme) ... 20
2.5.2.1 Maximum Likelihood Detector ... 20
2.6 Teknik Tanpa Estimasi Kanal ... 21
2.7 Teknik Estimasi Kanal LMS ... 23
2.8 Konsep Modulasi ... 25
BAB III MODEL SISTEM DIVERSITAS ALAMOUTI DAN TEKNIK ESTIMASI KANAL 3.1 Umum ... 30
(9)
3.4.1 Pembangkit Bilangan Acak Dengan Distribusi Uniform ... 31
3.4.2 Pembangkit Bilangan Acak Dengan Distribusi Rayleigh ... 33
3.4.3 Pembangkit Bilangan Acak Dengan Distribusi Normal ... 34
3.5 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti ... 34
3.5.1 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan LMS . 34
3.5.2. Algoritma Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Kanal ... 35
3.6 Tahapan Simulasi ... 36
3.7 Sistem Diversitas Alamouti Teknik Tanpa Estimasi kanal... 39
3.8 Sistem Diversitas Alamouti Teknik Estimasi Kanal LMS ... 39
BAB IV ANALISA PERFORMANSI SISTEM DIVERSITAS ALAMOUTI MENGGUNAKAN TEKNIK ESTIMASI KANAL 4.1 Umum ... 42
4.2 Pengujian Pembangkitan Data ... 42
4.2.1 Pengujian Pembangkitan Data Masukan ... 43
4.2.2 Pengujian Pembangkitan AWGN ... 46
4.2.3 Pengujian Pembangkitan Fading Rayleigh ... 50
4.3 Selang Kepercayaan (Confidence Interval) ... 53
(10)
4.4.1 Kinerja sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Tanpa Estimasi Kanal menggunakan Modulasi BPSK ... 56 4.4.2 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Estimasi Kanal LMS menggunakan Modulasi BPSK ... 58 4.4.3 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Tanpa Estimasi Kanal menggunakan Modulasi QPSK... 60 4.4.4 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Estimasi Kanal LMS menggunakan Modulasi QPSK ... 62 4.4.5 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Tanpa Estimasi Kanal menggunakan Modulasi QPSK
Untuk High Bit Data Rate ... 64 4.4.6 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik
Estimasi Kanal LMS menggunakan Modulasi QPSK
Untuk High Bit Data Rate ... 66
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 69 5.2 Saran ... 70
(11)
(12)
Gambar 2.2 Multipath Delay Profile (1) ... 8
Gambar 2.3 Multipath Delay Profile (2) ... 9
Gambar 2.4 Karakteristik Frekuensi Non Selective Fading Pada Domain Waktu ... 10
Gambar 2.5 Karakteristik Frekuensi Selective Fading Pada Domain Waktu ... 10
Gambar 2.6 (a) Grafik Kepadatan Spektrum Daya White Noise ... 11
Gambar 2.6 (b) Fungsi Kepadatan Probabilitas AWGN ... 11
Gambar 2.7 Grafik PSD Distribusi Rayleigh ... 14
Gambar 2.8 Selection Diversity ... 16
Gambar 2.9 Equal Gain Combining ... 16
Gambar 2.10 Maximal Ratio Receiver Combining ... 17
Gambar 2.11 Rancangan Alamouti Menggunakan 2 Antena di Pemancar dan 1 Antena di Penerima ... 19
Gambar 2.12 Struktur Penggabungan Linier Adaptive ... 24
Gambar 2.13 Sinyal Binari ASK ... 26
Gambar 2.14 Sinyal Binari FSK ... 27
Gambar 2.15 Diagram Konstelasi BPSK ... 28
Gambar 3.1 Bagan Sistem Alamouti secara Keseluruhan ... 30
Gambar 3.2.1 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti Menggu nakan Kanal .... 35
(13)
Gambar 4.2 Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal
Menggunakan Modulasi BPSK ... 60 Gambar 4.3 Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal
Menggunakan Modulasi QPSK ... 62 Gambar 4.4 Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal
Menggunakan Modulasi QPSK ... 64 Gambar 4.5 Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal
Menggunakan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate ... 66 Gambar 4.6 Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal
(14)
Tabel 4.1 Frekuensi Teramati dan Pembangkitan Data Masukan ... 44
Tabel 4.2 Frekuensi Teramati dan Harapan dari Pembangkitan 10000 Data Masukan... 45
Tabel 4.3 Frekuensi Teramati dan Pembangkitan AWGN ... 46
Tabel 4.4 Frekuensi Harapan dari Pembangkitan AWGN ... 48
Tabel 4.5 Frekuensi Teramati dan Pembangkitan Fading ... 49
Tabel 4.6 Frekuensi Harapan dari Pembangkitan Fading ... 51
Tabel 4.7 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal Menggunakan Modulasi BPSK ... 40
Tabel 4.8 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS Menggunakan Modulasi BPSK ... 42
Tabel 4.9 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal Menggunakan Modulasi QPSK ... 44
Tabel 4.10 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS Menggunakan Modulasi QPSK ... 46
Tabel 4.11 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal Menggunakan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate ... 48
Tabel 4.12 Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS Menggunakan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate... 50
(15)
(16)
1.1 Latar Belakang
Sistem nirkabel (wireless) masa depan dirancang untuk memiliki kualitas sinyal yang semakin membaik di samping memiliki kecepatan data (data rate) yang tinggi. Di samping itu, masih terdapat kebutuhan agar sistem menjadi lebih efisien, baik di dalam penggunaan pita frekuensi (bandwidth) ataupun daya. Rancangan perangkat nirkabel generasi berikutnya juga mengacu pada bentuk yang lebih kecil dan kompak sehingga lebih memiliki sifat mobilitas dan mudah dibawa oleh pengguna.
Fenomena mendasar yang mengganggu dalam transmisi nirkabel selain derau adalah interferensi dan multipath fading. Interferensi ialah gangguan yang muncul pada sinyal yang dikehendaki yang disebabkan oleh sinyal lain. Sinyal lain tersebut bisa berasal dari kanal yang bersebelahan (adjacent channel interference), maupun dari kanal lain yang memiliki frekuensi yang sama (cochannel interference). Fading merupakan fluktuasi amplituda secara cepat yang disebabkan oleh diterimanya dua atau lebih sinyal yang sama oleh penerima akibat banyaknya lintasan sinyal (multipath propagation). Faktor - faktor inilah mengakibatkan sistem nirkabel menjadi tidak andal bila dibandingkan dengan transmisi kabel, transmisi gelombang mikro line of sight (LOS), ataupun transmisi satelit. Berbagai cara telah diusahakan untuk mengurangi efek dari kanal nirkabel, seperti pengendalian daya (power
(17)
control), diversitas ruang dan waktu (time and frequency diversity), serta diversitas
antena (antenna diversity).
Berdasarkan makalah “A Simple Transmit Diversity for Wireless
Communications”, Alamouti mengajukan sebuah sistem diversitas antena untuk
memperbaiki kualitas sinyal yang sederhana dan efektif. Sistem Alamouti bersifat praktis karena hanya mengubah komponen antena pengirim di base station (menggunakan dua buah antena transmisi) sehingga perangkat pengguna tidak akan mengalami perubahan secara fisik. Pada transmiter, terdapat proses modulasi untuk menumpangkan sinyal ke frekuensi yang lebih tinggi untuk mengurangi noise dan interferensi.
Terdapat berbagai alternatif teknik yang dapat diterapkan untuk estimasi kanal, salah satunya teknik tanpa estimasi kanal (no channel estimation) yang diajukan oleh Alamouti, untuk melengkapi sistem yang diajukan sebelumnya karena menggunakan asumsi estimasi kanal / channel estimation telah mengetahui kondisi kanal secara sempurna.
Dilatar belakangi hal tersebut, penulis tertarik untuk menguji teknik estimasi kanal menggunakan algoritma Least Mean Square (LMS).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan antara lain: 1. Bagaimana cara mengatasi fading pada komunikasi wireless
2. Bagaimana prinsip kerja teknik estimasi kanal pada sistem diversitas Alamouti
(18)
3. Apa saja kinerja sistem diversitas Alamouti
4. Bagaimana hasil kinerja sistem diversitas Alamouti.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk menganalisis kinerja sistem diversitas Alamouti menggunakan teknik estimasi kanal, khususnya probabilitas kesalahan bit (BER) terhadap Eb/N0.
1.4 Batasan Masalah
Agar masalah dalam Tugas Akhir ini tidak terlalu luas dan menyimpang dari topik yang ada, maka penulis perlu membatasi permasalahan sebagai berikut :
a. Teknik diversitas yang dibahas hanya teknik diversitas Alamouti. b. Kinerja yang dianalisis hanya probabilitas kesalahan bit (BER). c. Kanal yang digunakan adalah kanal rayleigh multipath fading. d. Kinerja dihitung hanya untuk dua antena pemancar dan satu antena
penerima.
e. Kinerja sistem Alamouti dilakukan pada penerima.
1.5 Metodologi Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah: 1. Studi literatur, berupa studi kepustakaan dan kajian dari jurnal-jurnal dan
artikel pendukung.
2. Perancangan sistem, membuat model, pembangkitan kanal Rayleigh, dan menyusun algoritma simulasi teknik diversitas Alamouti.
(19)
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan Tugas Akhir ini disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II SISTEM DIVERSITAS ALAMOUTI DAN TEKNIK ESTIMASI KANAL
Bab ini menjelaskan landasan teori propagasi beserta karakteristik pada kanal wireless, jenis-jenis dari fading beserta akibat yang ditimbulkannya, noise AWGN, kanal Fading Rayleigh, metode-metode diversity combining, metode-metode Alamouti serta cara mengatasinya dengan teknik diversitas Alamouti, dan teknik estimasi kanal.
BAB III MODEL SISTEM DIVERSITAS ALAMOUTI DAN TEKNIK ESTIMASI KANAL
Bab ini menjelaskan mengenai pembuatan model sistem diversitas Alamouti dan teknik estimasi kanal.
BAB IV ANALISA PERFORMANSI SISTEM DIVERSITAS
ALAMOUTI MENGGUNAKAN TEKNIK ESTIMASI KANAL
(20)
Bab ini menjabar hasil dari perhitungan menggunakan MATLAB dan menyampaikan analisa dari hasil yang telah diperoleh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil analisis yang telah diperoleh.
(21)
2.1. Pendahuluan
Diversitas Alamouti merupakan salah satu teknik diversitas antena yang dikembangkan pada sisi pemancar. Diversitas antena merupakan salah satu teknik diversitas yang memanfaatkan dua atau lebih antena pada sisi pengirim atau penerima untuk meningkatkan kualitas dan keandalan pada komunikasi wireless.
2.2 Propagasi pada Kanal Wireless
Pada sistem komunikasi radio, lokasi di sekitar lintasan berpengaruh terhadap kualitas penerimaan sinyal. Adanya benda-benda penghalang disepanjang lintasan seperti: pohon, gedung dan objek lain, menyebabkan distorsi, sehingga menimbulkan kesalahan pendeteksiaan sinyal pada penerima. Makin jauh jarak antara kedua pihak, apalagi jika pandangan langsung antara keduanya terhalang oleh suatu objek, makin kecil pula daya yang tersisa yang sampai pada penerima, karena sinyal-sinyal yang datang memiliki fase yang berbeda atau bahkan berbeda sama sekali. Fenomena ini biasa disebut dengan multipath fading, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
(22)
Gambar 2.1 Multipath Fading pada Kanal Wireless
Efek dari multipath fading adalah fluktuasi dari amplitudo, fasa dan sudut dari sinyal yang masuk ke penerima.
Ada tiga mekanisme dasar yang terjadi pada propagasi sinyal dalam sistem komunikasi bergerak, yaitu:
1. Refleksi, terjadi ketika gelombang elektromagnet yang merambat mengenai permukaan halus dengan dimensi besar dibandingkan dengan panjang gelombang sinyal.
2. Difraksi, terjadi ketika lintasan radio terhalang oleh objek padat yang lebih besar daripada panjang gelombang sinyal. Biasa disebut juga dengan
shadowing.
3. Hamburan, terjadi ketika gelombang elektromagnet yang merambat mengenai permukaan kasar dengan dimensi yang lebih besar dibandingkan dengan panjang gelombang sinyal atau mengenai permukaan berdimensi kecil.
C A
D
B
Receiver Transmitter
(23)
2.3 Fading
Fading merupakan karakteristik utama dalam propagasi radio bergerak. Fading
dapat didefenisikan sebagai perubahan fase, polarisasi dan level dari suatu sinyal terhadap waktu. Defenisi dasar dari suatu fading adalah yang berkaitan dengan mekanisme propagasi yang melibatkan refraksi, refleksi, difraksi, hamburan dan redaman dari gelombang radio. Kinerja dari suatu sistem komunikasi dapat turun akibat adanya fading.
2.3.1 Parameter Fading
2.3.1.1 Waktu Pengiriman Tiap Bit (Tb)
Pada waktu pengiriman tiap bit yang disimbolkan sebagai Tb, Berikut Gambar 2.2 menunjukkan jarak sinyal yang dikirimkan.
Gambar 2.2 Multipath Delay Profile (1)
2.3.1.2 Multipath Spread (Tm)
Multipaht Spread (Tm) merupakan jarak antara delay sinyal yang satu
dengan delay sinyal yang lain, dimana delay sinyal yang disimbolkan dengan Tm merupakan sinyal yang mengalami multipath. Gambar 2.3 menunjukkan adanya pengaruh multipath pada Tb.
(24)
Gambar 2.3 Multipath Delay Profile (2)
2.3.2 Pengelompokan Kanal Fading
Perbedaan sinyal yang dipancarkan akan mengalangi jenis fading yang berbeda yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu frequency non selective fading dan frequency selective fading.
2.3.2.1 Frequency Non Selective Fading
Apabila delay (waktu tunda) yang terjadi pada sinyal yang mengalami
multipath (Tm) lebih kecil dibandingkan dengan simbol durasi (Tb), maka disebut
dengan frequency non selective tidak terjadi ISI (Inter Symbol Interferensi), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Tb Tb -1
-2
Tidak Mengalami ISI (Inter Symbol Interferensi)
Tb > Tm Frequency Non Selective Fading
Tm Misal : Tb = 1 ms Tm = 0,6 ms
(25)
2.3.2.2 Frequency Selective Fading
Dikatakan frequency selective fading, jika waktu pengiriman sinyal yang mengalami multipath (Tm) mempunyai nilai lebih besar dari waktu pengiriman tiap bit simbol (Tb), sehingga terjadi penumpukan simbol-simbol yang dikirim atau ISI (Inter Symbol Interferensi), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Tb Tb
Misal : Tb = 0,6 ms Tm = 1 ms
Frequency Selective Fading Tb < Tm
Mengalami ISI (Inter Symbol Interferensi) -1
-1
Gambar 2.5 Karakteristik Frequency Selective Fading
2.4 AWGN dan Fading Rayleigh
2.4.1. Additive White Gaussian Noise (AWGN)
Salah satu jenis noise yang ada pada sistem komunikasi adalah noise
thermal. Noise thermal ini disebabkan oleh pergerakan-pergerakan elektron di dalam
konduktor yang ada pada sistem telekomunikasi, misalnya pada perangkat penerima. Pada bidang frekuensi, noise thermal ini memiliki nilai kepadatan spektrum daya yang sama untuk daerah frekuensi yang lebar, yaitu sebesar N0/2, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6 (a) sedangkan fungsi kepadatan probabilitas AWGN ditunjukkan pada Gambar 2.6 (b).
(26)
(a) (b)
Gambar 2.6 (a) Grafik Kepadatan Spektrum Daya White Noise (b) Fungsi Kepadatan Probabilitas AWGN
Karakteristik seperti ini disebut white. Noise yang memiliki karakteristik white disebut white noise, sehingga noise thermal merupakan white noise. Pergerakan elektron penyebab noise thermal bersifat acak, sehingga besarnya noise thermal juga berubah secara acak terhadap waktu. Perubahan secara acak tersebut dapat diperkirakan secara statistik, yaitu mengikut i Distribusi Gaussian, dengan rata-rata nol. Noise ini merusak sinyal dalam bentuk aditif, yaitu ditambahkan ke sinyal utama, sehingga noise thermal pada perangkat penerima ini disebut Additive White
Gaussian Noise (AWGN). Persamaan Distribusi Gaussian yang mewakili AWGN,
yaitu[6]:
(2.1)
Dimana: mean = 0 dan varians = σ2. Varians memiliki nilai:
(2.2)
2 2
2 ) (
2 2
πσ
σ π
− = e n f
b
T N
2
0
2 =
(27)
Dimana: adalah kerapatan spektral daya dari noise dan Tb adalah laju bit. Sehingga:
(2.3)
Dimana: k = konstanta Boltzman (1,38.10-23 J/K) Ts = temperatur noise (K)
B = bandwith noise (Hz) 2.4.2. Fading Rayleigh
Pada sistem komunikasi wireless terdapat gangguan khusus berupa komponen multipath dari sinyal yang dipancarkan. Multipath merupakan jalur propagasi yang berbeda-beda, yang dilalui sinyal antara pengirim dan penerima, yang disebabkan karena pantulan oleh halangan-halangan dan benda-benda yang ada di sepanjang jalur propagasi.
Perbedaaan jalur propagasi menimbulkan komponen multipath dari sinyal yang dipancarkan tiba pada penerima melalui jalur propagasi yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula. Perbedaan waktu tiba pada penerima tersebut menyebabkan sinyal yang diterima mengalami interferensi, yang akan menimbulkan fenomena fluktuasi amplitude dan fasa sinyal yang diterima, dan menimbulkan fenomena mendasar yang disebut fading.
Fluktuasi amplitudo sinyal yang terjadi adalah acak dan tidak dapat ditentukan sebelumnya, besar dan kapan terjadinya. Namun berdasarkan penelitian, fading tersebut dapat diperkirakan secara statistic, berupa perubahan nilai secara acak dengan distribusi tertentu. Salah satu distribusi tersebut adalah Distribusi Rayleigh.
b s
T B kT
2
2 =
σ
2 2
0 kT B
N s
(28)
Distribusi Rayleigh merupakan salah satu distribusi yang dapat menjadi model untuk
mewakili fading, sehingga fading yang memiliki Distribusi Rayleigh ini disebut
Fading Rayleigh. Pada Fading Rayleigh, setiba sinyal yang melalui jalur yang
berbeda-beda tersebut, memberikan sejumlah energi yang sama terhadap sinyal gabungan yang ada pada penerima. Sinyal yang dipengaruhi Fading Rayleigh yang sampai pada penerima dapat dipresentasikan dengan persamaan.[6]
( ) ( )
t r t[
ft( )
t]
e = cos2π +θ (2.4)
Dimana:
r(t)= fluktuasi amplitude sinyal e(t) sebagai fungsi waktu = e
( )
t( )
tθ = fluktuasi fasa sinyal e(t) sebagai funsi waktu = ∠e
( )
tFluktuasi amplitude gelombang pembawa pada sinyal yang dipengaruhi Fading
Rayleigh mengikut i Distribusi Rayleigh, dengan persamaan.[6]
( )
= − 2 22 2
σ
σ
r
e r r
p (2.5)
Dimana:
p(t)= fungsi kepadatan probabilitas munculnya r. r = amplitudo acak.
2
σ = variansi pdf.
(29)
Gambar 2.7 Grafik PSD Distribusi Rayleigh
1/2π untuk -π≤θ≤π
p(θ) = (2.6)
0 untuk 0 < -π dan θ>π
2.5 Sistem Diversitas Alamouti
Di dalam kebanyakan lingkungan fading, diversitas antena adalah metode yang paling praktis, efektif, dan paling luas digunakan untuk menanggulangi efek dari multipath fading. Pendekatan paling klasik adalah dengan menggunakan beberapa antena pada penerima untuk melakukan kombinasi atau pemilihan untuk meningkatkan kualitas dari sinyal diterima. Tetapi terdapat masalah utama dengan diterapkannya diversitas pada penerima / receive diversity, yaitu keterbatasan biaya, ukuran, dan daya dari unit bergerak. Penggunaan lebih dari satu antena akan membuat unit menjadi lebih besar dan mahal. Karenanya, diversitas haruslah dilakukan pada base station yang lebih memungkinkan untuk pasangan antena lebih
(30)
dari satu. Artinya, diversitas yang digunakan adalah diversitas pengirim / transmit
diversity.
Pada tugas akhir ini, diversitas antena yang dipakai adalah sistem MISO (multiple-input singgle-output) yaitu 2x1, dua antena pada transmiter dan satu antena pada reciever.
2.5.1 Metode Deversity Combining
Apapun bentuk teknik diversitas yang digunakan, penerima haruslah tetap memproses sinyal untuk memperoleh efisiensi daya dari suatu sistem komunikasi. Terdapat beberapa teknik diversitas yang dikembangkan pada sisi penerima 2.5.1.1 Selection Diversity
Metode ini adalah sistem diversitas yang paling sederhana, yaitu penerima menerima sinyal yang memiliki daya yang paling besar, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Select Largest Envelope
Detector Envelope
Detector y1
y2
y
(31)
2.5.1.2 Equal Gain Combining
Pada sistem ini, sinyal yang diterima diberi fase yang sama dan dijumlahkan bersama-sama tanpa adanya pemberatan. Dalam arti tidak ada penguatan sinyal yang lemah, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9.
X
+
X y1
y2
y
Gambar 2.9 Equal Gain Combining 2.5.1.3. Maximal Ratio Receiveir Combining
Teori MRRC didasarkan pada teknik diversitas pada sisi penerima dengan melakukan proses penggabungan. Tiap antena penerima menerima sinyal yang telah mengalami proses multipath fading dan berbeda-beda fase dan amplitudonya. Kemudian tiap sinyal ini dijumlahkan dan diberikan suatu pemberatan pada masing-masing cabang untuk mendapatkan sinyal asli, seperti ditunjukkan secara diagram blok pada Gambar 2.10.
(32)
Transmiter
D D D
∑
DecisionWeight
Receiver Channel 2
Channel 1
Channel N
W1
W2
WN
Gambar 2.10 Maximal Ratio Reciever Combining (MRRC)
2.5.2 Metode Alamouti
Metode Alamouti ini adalah teknik yang dikembangkan pada sisi pemancar dengan satu buah antena penerima. Sebelum dipancarkan sinyal dikodekan terlebih dahulu dengan menggunakan Alamouti code. Sistem ini dapat mengirimkan dua simbol yang berbeda dalam satu waktu. Diasumsikan s dan 0 s adalah simbol yang 1
telah dimodulasi oleh PSK modulator. Pada waktu pertama (t) antena ke-1 mengirimkan sinyal berupa simbol s dan antena ke-dua mengirimkan sinyal berupa 0
simbol s . Kemudian pada waktu kedua (t+T) simbol dari masing-masing antena 1
pemancar tersebut dikonjunget sehingga menjadi simbol −s1* pada antena ke-1 dan
(33)
Time Antena 1 Antena 2
T s 0 s 1
t+T *
1
s
− *
0
s
Tabel 2.1 Simbol Complex Conjunget
Pada proses encoding sinyal yang dipancarkan dipengaruhi fading. Kemudian diterima oleh antena penerima dimana sinyal yang diterima tersebut juga dipengaruhi oleh noise. Sinyal yang diterima oleh antena penerima kemudian masuk ke dalam combiner dimana di dalamnya terdapat channel estimate yang fungsinya adalah untuk mengestimasi sinyal yang diterima. Setelah mengalami estimasi kemudian sinyal tersebut masuk ke dalam Maximum Likelihood Detector untuk melakukan proses pengambilan keputusan, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11.
(34)
maximum likelihood detector channel
estimator combiner
Interface & noise rx antena
tx antena 1 tx antena 2
0
h h1
1 s 0 s 0 − s 1 − s 1 h 0 h 0 n 1 n 0 0 θ α j o e
h = 1
1 1
θ
αej
h = 0 s 1 − s 0 − s 1 s
Gambar 2.11 Rancangan Alamouti Menggunakan Dua antena di Pemancar dan Satu Antena di Penerima
Kanal pada time t terbentuk oleh complex multiplicative distortion (penyimpanan distorsi) h0
( )
t pada antena pemancar satu dan h1( )
t pada antena pemancar dua, bila diumpamakan dua simbol tersebut memiliki fading (pelemahan daya sinyal yang diterima) yang konstan maka dapat dituliskan sebagai berikut:h0
( )
t =h0( )
t+T =h0 =α0ejθ0 (2.7)(35)
Dimana T adalah simbol dari periode, kemudian sinyal pada antena penerima dapat dituliskan sebagai berikut:
r0 =r
( )
t =h0s0 +h1s1 +n0 (2.9)
( )
1* 0 1 * 1 0
1 r t T h s hs n
r = + =− + + (2.10)
Dimana r dan 0 r adalah sinyal yang diterima pada antena penerima pada waktu t 1
dan t+T dan n dan 0 n adalah simbol dari noise dan interferensi. 1
2.5.2.1 Rancangan Combiner (combiner scheme)
Sinyal-sinyal yang telah diterima pada antena penerima akan masuk ke alat yang disebut combiner, dimana terdapat kanal estimates, sehingga sinyal menjadi:
s~0 =h0*r0 +h1*r1 (2.11) s~1 =h1*r0 −h0r1* (2.12) Dengan mendistribusi persamaan (2.8),(2.10), dan (2.12) maka didapatkan bentuk sinyal sebagai berikut:
(
)
* 11 0 * 0 0 2 1 0 2 0
~ s h n h n
s = α +α + + (2.13)
(
)
* 01 * 1 0 1 2 1 0 2 1
~ s h n h n
s = α +α − + (2.14)
2.5.2.2 Maximum Likelihood Detector
Sinyal dari combiner akan masuk ke Maximum Likelihood Detector untuk melakukan proses pengambilan keputusan, dimana diharapkan sinyal yang didapatkan adalah sama dengan sinyal input, yaitu s dan 0 s . Apabila sinyal yang 1
(36)
Aturan maximum likelihood detector dilakukan sama seperti pada MRRC karena hasil pengkombinasian yang serupa dengan MRRC, persamaan (2,11) dan (2,12). Perbedaan kombinasi hanya terdapat pada fasa komponen derau. Akhirnya, diversitas ini akan memberikan hasil serupa dengan MRRC.
Skema baru Alamouti merupakan bentuk sederhana dari Space Time Block
Coding (STBC) yang merupakan variasi dari teknik Space Time Coding (STC) yang
dipakai dalam sistem antena banyak multiple-input multiple-output (MIMO). Sistem MIMO yang digunakan untuk standar komunikasi masa depan berfungsi untuk mengatasi fading dan interferensi.
2.6 Teknik Tanpa Estimasi Kanal
Pengetahuan akan karakteristik kanal yang sempurna tidak mungkin bisa terealisasi untuk penggunaan praktis. Alamouti mengantisipasi kekurangan ini
menggunakan teknik tanpa estimasi kanal (no channel estimation)[2]. Teknik ini dipakai untuk menyempurnakan sistem Alamouti sebelumnya dan efektif untuk karakteristik kanal fading yang memiliki variansi tinggi.
Asumsi yang lebih sederhana dan masuk akal dipakai dalam teknik ini, yaitu bahwa untuk empat transmisi berurutan, koefisien kanal fading adalah konstan. Artinya, perioda bit (T) haruslah cukup kecil atau kecepatan bit / bit rate yang difungsikan cukup tinggi. Asumsi lainnya adalah bahwa energi transmisi tiap antena dinormalisasikan bernilai 1/2.
(37)
Sinyal transmisi s dan 0 s adalah semacam sinyal pilot yang telah ditentukan 1
nilainya sebelum transmisi. Berdasarkan analogi dari sistem Alamouti, untuk waktu dari t hingga t+3T.
0 1 1 0 0
0 r(t) h s hs n
r = = + + (2.15)
1 * 1 0 * 0 1
1 r(t T) hs h s n
r = + = − + (2.16)
2 3 1 2 0
0 r(t 2T) h s hs n
r = + = + + (2.17)
3 * 3 0 * 2 1
1 r(t 3T) hs h s n
r = + = − + (2.18)
Untuk decoding, penerima membuat dua parameter sementara A dan B berdasarkan persamaan berikut. * 1 2 * 3 0.r r .r
r
A= − (2.19)
1 0 . 3 1 2 2 1 2
0 | | | ).( . )
(|h h s s s s N
A= + − + (2.20)
* 3 1 * 0 2.r r.r
r
B= − (2.21)
2 * 1 3 * 0 2 2 1 2
0 | | | ).( . . )
(|h h s s s s N
B= + − + (2.22)
N1 dan N2 menunjukkan derau, kemudian s dan 2 s didapat melalui: 3
0 * 1 2 ~ Bs As
s = + (2.23)
0 * 3 1 * 0 2 * 1 * 1 2 * 3 0 2 ~ ) . . ( ) . .
(r r r r s r r r r s
s = − + − (2.24)
3 2 2 1 2 0 2 ~ ) (h h s N
s = + + (2.25)
1 * 0 3 ~ Bs As
s =− + (2.26)
1 * 3 1 * 0 2 * 0 * 1 2 * 3 0 3 ~ ) . . ( ) . .
(r r r r s r r r r s
(38)
4 3 2 1 2 0 3 ~ )
(h h s N
s = + + (2.28)
Seperti sebelumnya, N3 dan N4 merupakan derau. Dari hasil ini, s dan 4 s 5
didapatkan melalui s dan 2 s , demikian seterusnya hingga akhir simbol. 3
Untuk estimasi tanpa asumsi energi yang dinormalisasi, dapat digunakan persamaan: 2 1 2 0 1 1 0 * 0 0 2 1 2 0 1 1 * 0 0 0 ~ | | | | | | | | . . s s n s n s h s s s r s r h ++ + = +− = (2.29) 2 1 2 0 1 0 0 * 1 0 2 1 2 0 0 1 * 1 0 1 ~ | | | | | | | | . . s s n s n s h s s s r s r h + + + = +− = (2.30)
Hasil kinerja teknik estimasi kanal untuk fading sangat lambat, modulasi QPSK, dengan derau dan interferensi terdistribusi Gaussian, dapat dilihat pada makalah teknik tanpa estimasi kanal[2].
2.7 Teknik Estimasi Kanal Least Mean Square (LMS)
LMS[3] adalah salah satu algoritma untuk sistem adaptif yang paling banyak digunakan. Sistem adaptif adalah sistem yang dirancang untuk mengatasi gangguan dari berbagai sumber yang berubah-ubah dengan menyusuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Sistem adaptif mempunyai karakteristik mampu bekerja secara memuaskan dalam kriteria yang dapat diterima oleh pengguna, dalam satu lingkungan yang tidak diketahui dan kemungkinan bersifat berubah terhadap waktu /
time-vareying. Tujuan dari suatu sistem adaptif adalah mencari dan mendapatkan
sistem optimum yang dapat diimplementasikan. Sistem adaptif diharapkan akan mampu mengatasi perubahan akibat beragam gangguan. Sistem adaptif bisa
(39)
dijadikan pilihan solusi bila karakteristik gangguan tidak diketahui atau sifat gangguan tersebut berubah-ubah. Sistem ini sering digunakan atau diidentifikasi sistem, prediksi, menghilangkan interferensi, yang banyak ditemukan dalam telekomunikasi dan optimalisasi industri.
Algoritma LMS, diperkenalkan oleh Widrow dan Hoff, banyak dipakai karena sederhana, efisien, dan memiliki kinerja yang baik. Algoritma ini bekerja dengan meminimalisir galat rataan kuadrat.
ξ =E
[ ]
e2 =(
(
y( ) ( )
n −yˆ n)
2)
(2.31)Galat rataan Kuadarat merupakan metode yang umum digunakan dalam banyak algoritma pembelajaran. Secara sederhana apa yang dilakukan oleh LMS adalah meminimalkan selisih antara keluaran yang dikehendaki dengan keluaran sistem adaptif.
LMS menggunakan struktur yang disebut penggabungan linier adaptif atau adaptive linear combiner seperti Gambar 2.12.
Xn
X1
X2
W1
Wn
W2 ∑
(40)
Keterangan Gambar x = input
w = weight (bobot)
^
y = sinyal keluaran dari kanal LMS
Seperti terlihat, struktur tersebut menyatakan bahwa keluaran sistem adaptif adalah gabungan dari masukan dengan bobot masing-masing
( )
w . Berbasis kriteria ndi atas serta menggunakan struktur adaptive linear combiner.
( )
n w( ) ( )
n x nyˆ = H −1 (2.32)
( ) ( ) ( )
n y n y ne = − ˆ (2.33)
[ ]
2e E =
ξ (2.34)
( ) ( )
n x n edw d
2
− =
ξ (2.35)
( )
nyˆ merupakan hasil keluaran LMS estimasi dari keluaran sinyal yang diinginkan,
( )
ny adalah sinyal yang diinginkan, e
( )
n nilai kesalahan / error, x( )
n nilai masukan / input, w( )
n nilai weight / beban penggali masukan, dan α adalah faktor pembelajaran.Estimasi gradien dengan metode LMS sangat sederhana. Hanya dengan menggunakan kesalahan / error dan masukan saat ini maka kita dapat memperoleh gradien (kemiringan) yang digunakan untuk menyesuaikan bobot pada sistem adaptif. Dengan algoritma mencari nilai minima, bobot berikut nya menjadi:
( ) ( )
dw d n
w n
w = −1 −α ξ (2.36)
(41)
2.8 Konsep Modulasi
Modulasi adalah suatu proses untuk merubah parameter gelombang pembawa (carrier) sebagai fungsi dari sinyal informasi . Kegunaan dari modulasi adalah untuk memudahkan radiasi, multiplexing, mengatasi kerterbatasan peralatan, pembagian frekuensi dan mengurangi noise dan interferensi. Sistem modulasi dibagi menjadi 2 yaitu antara lain:
1. Modulasi Analog
Yaitu teknik modulasi dimana gelombang pembawanya (carrier) merupakan gelombang analog (kontinyu). Meliputi anatara lain:
a. Modulasi Amplitudo (AM) b. Modulasi Frekuensi (FM) c. Modulasi Phase (PM) 2. Modulasi Digital
Yaitu teknik modulasi dimana gelombang pembawanya (carrier) adalah merupakan gelombang pulsa, meliputi antara lain:
a. Amplitudo-Shitf Keying(ASK)
Disebut juga dengan On-Off Keying (OOK). Karena periode sinyalnya tergantung pada on-off sinyal. Digit “1” berarti ada sinyal, sedangkan digit “0” berarti tidak ada sinyal. Misal sinyal informasi 0010110010, seperti ditunjukkan pada gambar 2.13 berikut ini.
(42)
Gambar 2.13 Sinyal Binari ASK (OOK) b. Frekuensi-Shift Keying (FSK)
FSK merupakan konversi sinyal digital 1 atau 0 menjadi sinyal kontinyu yang mempunyai frekuensi yang berlawanan, seperti ditunjukkan pada gambar 2.14 di bawah. Untuk logika “1” dikonversi menjadi frekuensi “mark” (f1) sedangkan untuk logika “0” dikonversi menjadi frekuensi “space” (f2).
{
sin(2 )... 0 1 )... 2 sin(1 2 )
(t fftt forbitforbit
FSK = ππ (2.38)
Dimana f lebih besar dari 1 f . 2
Gambar 2.14 Sinyal Binari FSK c. Phase-Shift Keying (PSK)
PSK digunakan untuk mengkonversi sinyal digital “0” atau “1” menjadi suatu simbol dalam bentuk sinyal kontinyu yang mempunyai
(43)
perbedaan fase tergantung dari input sinyal digital tersebut.
Pada Tugas Akhir ini menggunakan modulator PSK yang meliputi BPSK (Binary Phase Shift Keying) dan QPSK (Quadrature Phase
Shift Keying).
2.8.1. BPSK (Binari Phase Shift Keying)
BPSK (Binari Phase Shift Keying) adalah konversi sinyal digital “0” atau “1” menjadi suatu symbol berupa sinyal kontinyu yang mempunyai 2 fase yang berbeda. Untuk logika “0” mempunyai pergeseran fase 0. Untuk logika “1” mempunyai pergeseran fase 180. Untuk mendapatkan simbolnya menggunakan persamaan sebagai berikut:
simbol1 (2.39)
simbol2 Dimana:
Es = Energi sinyal T = waktu pengiriman
Dengan asumsi nilai dari 2 =1
T Es
dan f =1 maka didapatkan simbol 1 c
bernilai 1 dan simbol 2 bernilai -1, seperti ditunjukkan dengan diagram konstelasi pada Gambar 2.15 berikut:
= + + ) 0 2 cos( 2 ) 2 cos( 2 ) ( t f T E t f T E c s c s t s π π π
(44)
Gambar 2.15 Diagram Konstelasi BPSK 2.8.2. QPSK (Quaternary Phase Shift Keying)
QPSK (Quaternary Phase Shift Keying) adalah konversi sinyal digital 00,01,10,11 menjadi suatu simbol berupa sinyal kontinyu yang mempunyai 4 fase yang berbeda. Digunakan untuk memicu suatu gelombang sinus frekuensi-tinggi dengan empat phasa yang mungkin, satu untuk setiap pasangan biner. Jelaslah ini adalah perluasan keempat phasa transmisi PSK biner, yang dibahas di seksi sebelumnya. Sinyal ke-i, dari keempat yang mungkin , dapat ditulis sebagai:
) cos(
)
( c i
i t t
s = ω +θ i=1,2,3,4
2 2
T t T
≤ ≤
− (2.40) Untuk mudahnya dengan penggadaian pembentukan empat persegi panjang. Jadi ini memperluas representasi PSK biner (4-6).
Dua pilihan yang mungkin untuk sudut-sudut phasa adalah: π
π
θ ,
2 , 0±
=
i (2.41)
4 3 , 4
π π
θi =± ± (2.42)
Dalam kedua kasus phasa-phasa dispasi sejauh π/2 radian. Sinyal type ini dinamakan sinyal-sinyal PSK berempat atau kuatener. Mereka adalah suatu kasus istimewa sinyal-sinyal multi PSK (MPSK).
(45)
3.1 Umum
Secara umum, pemodelan dari sistem pengiriman data dengan sistem Alamouti secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.1, mula-mula bit dikirimkan kemudian bit tersebut dimodulasi dengan modulasi BPSK dan QPSK setelah bit-bit tersebut dimodulasi kemudian dikodekan menggunakan Alamouti code, sistem Alamouti code dapat mengirimkan dua simbol yang berbeda dalam satu waktu, untuk simbol ganjil masuk ke dalam antena pertama dan untuk simbol genap masuk ke antena kedua, pada pengiriman simbol-simbol tersebut diasumsikan terkena fading dan noise sehingga simbol-simbol yang diterima reciever sebahagian menjadi error, dengan adanya channel estimator simbol-simbol yang error dapat meminimalkan selisih antara keluaran yang dikehendaki dengan keluaran sistem adaptif, kemudian simbol dari combiner akan masuk ke Maximum Likelihood
Detector untuk melakukan proses pengambilan keputusan, dimana diharapkan simbol yang didapatkan adalah sama dengan input, yaitu s0 dan s1.
Gambar 3.1 Bagan Sistem Alamouti Secara Keseluruhan
Bit Generator
Antena
Antena Alamouti
Code
Channel Estimator
Combiner &
ML Reciever
Proses Demodulasi Fading
Fading Poses
Modulasi
+ +
Bit Result AWGN
AWGN
Transmitter
Channel
(46)
3.2 Asumsi-asumsi yang Digunakan
1. Modulasi yang digunakan modulasi BPSK dan QPSK 2. Pengkodean menggunakan Alamouti code
3. Noise yang digunakan adalah AWGN, yaitu noise yang terdapat pada semua spektrum frekuensi dan merupakan noise thermal yang sifatnya menjumlah.
3.3 Parameter Kinerja Sistem
Parameter lainnya sistem yang akan dilibatkan dalam simulasi mencekup: a. Jumlah bit per simbol
b. Rentang Eb/N0 yang dipakai c. Channel order
d. Perioda Bit e. Bit pilot
3.4 Pembangkitan Bilangan Acak
Pembangkitan bilangan acak digunakan untuk menghasilkan deretan angka-angka sebagai hasil perhitungan, yang diketahui distribusinya sehingga angka-angka-angka-angka tersebut muncul secara acak.
3.4.1 Pembangkita Bilangan Acak Dengan Distribusi Uniform
Distribusi ini memiliki kepadatan probabilitas yang sama untuk semua besaran yang diambil yang terletak antara 0 dan 1. Fungsi kepadatan probabilitas dinyatakan dengan persamaan[9]:
(47)
b x a a b x
f ≤ ≤
− = 1 , )
(
Dan fungsi distribusi kumulatif dinyatakan dengan persamaan[9]:
b x a a b a x x
F ≤ ≤
− − = , )
(
Dengan nilai: Rata-rata (mean) =
2 a b+ Variansi = 12 2 ) (b−a
Salah satu cara untuk membangkitkan bilangan acak dengan distribusi Uniform adalah dengan menggunakan metode Linear Coongruent Method (LCM).
Linear Coongruent Method (LCM) sangat banyak dipakai untuk membangkitkan
bilangan acak r1, r2, ...,rn yang bernilai [0,m] dengan memanfaatkan nilai sebelumnya, untuk membangkitkan bilangan acak ke n+1 (rn+1) dengan LCM didefenisikan sebagai[9]: m c n ar n
r +1=( + )mod
m n r n
U = /
Dimana: a, c, da, m adalah nilai pembangkitan dan r..adalah bilangan acak ke –n Ui adalah bilangan acak dalam bilangan interval [0,1]
Agar didapat bilangan yang lebih acak (periode bilangan acaknya besar) perlu diperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Konstanta a harus lebih besar dari m. Biasanya dinyatakan dengan syarat:
m a m m atau m m a m > + − < < 100 100
(48)
c. Untuk modulo m harus bilangan prima atau bilangan tak terbagikan.
d. Untuk pertama r..harus merupakan angka integer dan juga ganjil dan cukup besar. 3.4.2 Pembangkitan Bilangan Acak Dengan Distribusi Rayleigh
Pada kanal komunikasi bergerak, distribusi Rayleigh umumnya digunakan untuk menjelaskan kondisi lingkungan yang berubah terhadap waktu secara statistik yang menyebabkan terjadinya fading pada sisi penerima. Distribusi Rayleigh dengan parameter skala b memiliki fungsi kerapatan probabilitas sesuai dengan persamaan[9]:
0, 0
2 2 2 exp 2 )
( > >
−
= x b
b x b x x f
Sedangkan fungsi distribusi kumulatifnya diberikan oleh persaman[9]:
0, 0
2 2 2 exp 1 )
( > >
− −
= x b
b x x
F
Rata-rata dan variansi dari distribusi rayleigh diberikan oleh persamaan
Rata-rata = b 1,2533b
2 = π
Variansi = 2 0,4292 2 2
2 b = b
−π
Bilangan acak berdistribusi rayleigh dapat dibangkitkan dengan invers transformasi.
Untuk setiap nilai yang diberikan, bangkitkan U dengan distribusi uniform (0,1). Kemudian set[9]
) ln(
2 U
b
(49)
X merupakan bilangan acak dengan distribusi rayleigh dengan parameter b. 3.4.3 Pembangkitan Bilangan Acak Dengan Distribusi Normal
Distribusi ini memiliki kepadatan propabilitas yang simetris dan berbentuk seperti lonceng, dan fungsi kepadatannya dinyatakan dengan[9].
( )
21 2exp 2 1
− − =
σµ π
σ
x x
f
Dimana : µ = rata-rata x σ = standar deviasi x = nilai data π = 3,14
Persamaan di atas merupakan fungsi kerapatan probilitas untuk distribusi standart normal. Proses pembangkitan ini mula-mula membangkitkan sebuah variabel Z dengan persamaan[9]:
Dimana Ui dan U2 adalah bilangan acak antara 0 sampai 1 yang berdistribusi Uniform. Nilai distribusi normal, X didapat dari persamaan.
3.5 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti
3.5.1 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Estiamsi Kanal LMS
Algoritma untuk simulasi sistem diversitas Alamouti menggunakan teknik estimasi kanal LMS dapat dilihat pada Gambar 3.3.
(50)
Gambar 3.3 Algoritma Simulasi Menggunakan Teknik Estimasi Kanal LMS
3.5.2 Algoritma Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Estimasi Kanal
Algoritma untuk simulasi sistem diversitas Alamouti menggunakan teknik estimasi kanal LMS dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Penentuan Parameter Awal (bit, bitpilot, rentang Eb/N0 Channel
order, perioda bit)
Proses Modulasi START
Proses Alamouti Code Pembangkitan Kanal ayleigh
Fading Pembangkitan Noise
Pembangkitan Channel
Estimator Perhitungan banyak bit error
Combining & Maximum
Likelihood Detector Perhitungan BER per Eb/N0
FINISH
Semua Eb/N0 selesai?
belum
(51)
Gambar 3.4 Algoritma Simulasi tanpa Teknik Estimasi Kanal
3.6 Tahapan Simulasi
Adapun tahapan simulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut:
Penentuan Parameter Awal
(bit, rentang Eb/N0) Proses Modulasi START
Proses Alamouti Code Pembangkitan Kanal ayleigh
Fading Pembangkitan Noise
Perhitungan banyak bit error Combining & Maximum
Likelihood Detector
Perhitungan BER per Eb/N0
FINISH
Semua Eb/N0 selesai?
belum
(52)
1. Membangkitkan bit transmisi
Parameter yang akan digunakan adalah meliputi: Jumlah simbol sebanyak sepuluh ribu, rentang Eb/N0 yang dipakai 1 sampai dengan 100, panjang equalizer, bit pilot, jumlah bit per simbol sesuai dengan jumlah modulasi, channel order, interation step size.
2. Pembangkitan modulasi sinyal
Pembangkitan modulasi sinyal dengan menggunakan mudulator PSK (Phase Shift Keying) menggunakan perintah:
1. Untuk BPSK
ip = rand(1,N)>0.5; % generating 0,1 with equal probability
s = 2*ip-1; % BPSK modulation 0 -> -1; 1 -> 00
2. Untuk QPSK
%fungsi modulasi qpsk 1 user
datas=randint(1,D);
jml_kelompok_bit=length(datas)/2; user=1;
kelompok_bit-1;
if datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[1 1]; map(user,n+1)=-1-j;
elseif datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[1
0];
map(user,n+1)=-1+j;
elseif datas (1,(2*n+1):(2*n+2))==[0
0];
map (user,n+1)=1+j;
elseif datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[0
1];
map(user,n+1)=1-j; end
end
3. Proses Alamouti Code
Proses encoding yang dilakukan pada sistem alamouti adalah:
% Alamouti
sCode = zeros(2,F);
(53)
% [x1 x2 ...]
sCode(:,2:2:end) = (1/sqrt(2))*(kron(ones(1,F/2),[-1;1]).*flipud(reshape(conj(map),2,F/2))); % [-x2* x1* ....]
4. Pembangkitan kanal transmisi
Kanal transmisi yang digunakan adalah kanal Rayleigh Fading. Bentuk simulasinya sebagai berikut:
h = 1/sqrt(2)*[randn(1,F) + j*randn(1,F)]; % Rayleigh channel
5. Pembangkitan noise
Noise yang digunakan adalah AWGN, yaitu noise yang terdapat pada semua spektrum frekuensi dan merupakan noise thermal yang sifatnya menjumlah. Pada simulasi dituliskan sebagai berikut:
xx = 1/sqrt(2)*[randn(1,F) + j*randn(1,F)]; % white gaussian noise, 0dB variance
6. Pembangkitan kanal LMS
y = sum(hMod.*sCode,1) + 10^(-Eb_N0_dB(ii)/20)*xx; d = real(y');
x = sum(sCode);x=x'; w = zeros(numTaps+1,1);
for n = numTaps+1 : numPoints
% select part of training input
in = x(n : -1 : n-numTaps) ;
y2(n) = w'*in; %sinyal pada kanal LMS
7. Pengurangan sinyal kanal transmisi dan noise dengan sinyal LMS
% compute error
e(n) = d(n)-y2(n); %error
8. Sinyal pada reciver
% Receiver
yMod = kron(reshape(y,2,F/2),ones(1,2)); % [y1 y1 ... ; y2 y2 ...]
(54)
yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10)).*e(n);
yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10)).*e(n);
end
9. Proses combiner dan pengambilan keputusan
hEq = zeros(2,N);
hEq(:,[1:2:end]) = reshape(h,2,N/2); % [h1 0 ... ; h2 0...]
hEq(:,[2:2:end]) =
kron(ones(1,N/2),[1;-1]).*flipud(reshape(h,2,N/2)); % [h1 h2 ... ; h2 -h1 ...]
hEq(1,:) = conj(hEq(1,:)); % [h1* h2* ... ; h2 -h1 ...]
hEqPower = sum(hEq.*conj(hEq),1);
10. Proses decoding
decod = sum(hEq.*yMod,1)./hEqPower; % [h1*y1 + h2y2*, h2*y1 -h1y2*, ... ]
%decod(2:2:end) = conj(yHat(2:2:end));
for b=1:length(decod);
if(-pi<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<-pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 1];
elseif(-pi/2<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 1];
elseif (pi>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 0];
elseif (pi/2>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 0];
end
11. Perhitungan BER
simBer = nErr/N; % simulated ber
for nn=1:ii if nn == 1 continue; else
simBer(nn)=simBer(nn-1)-(simBer(nn-1)*nn*4e-2); end
3.7 Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Estimasi Kanal
Secara sederhana, proses sistem Alamouti dimulai dengan penentuan parameter sistem: berapa jumlah bit yang dikirim, rentang Eb/No yang digunakan,
(55)
selanjutnya dibangkitkan bit transmisi sebanyak bit yang digunakan, kemudian dibangkitkan modulasi sinyal, kemudian dibangkitkan kanal transmisi dan noise sehingga diperoleh sinyal yang terkena noise dan fading pada reciever, sebelum dilakukan perhitungan BER, sinyal didemodulasi terlebih dahulu.
3.8 Sistem Diversitas Alamouti dengan Teknik Estimasi Kanal LMS
Pada proses teknik estimasi kanal LMS, parameter yang dibutuhkan pun bertambah. Bit pilot ditransmisikan terlebih dahulu tanpa pengkodean untuk dimasukkan ke dalam sistem LMS, untuk dipakai mengestimasi kondisi kanal. LMS dibangun menurut struktur Gambar 3.5, dengan sinyal yang telah mengalami fading sebagai sinyal diinginkan / desigred signal dan sinyal oversampling sebagai masukan
:
Gambar 3.5 Struktur LMS
Z-1
x
+
x
+ x
Z-1
Z-1
X(n)
X(n-1)
X(n-oversampling)
Woversampling*
Respon yang diinginkan
y (n) y (n)
Respon LMS
e (n)
error 1
(56)
Setelah beberapa iterasi menggunakan sejumlah tertentu bit pilot. Didapat parameter kanal di dalam weight LMS, parameter tersebut dipakai dalam skema kombinasi bit data. Agar proses perkalian vector di dalam skema kombinasi, (2.11) dan (2.12), menghasilkan satu nilai perkalaian, nilai oversampling haruslah sama dengan jumlah weight. Hal ini disebabkan karena apabila digunakan jumlah weight sebanyak N, maka estimasi kondisi kanal yang diambil dari nilai weight setelah iterasi adalah matriks 1xN. Untuk menghasilkan nilai dari (2.11) dan (2.12) berupa matriks 1x1 (satu estimasi sinyal), maka nilai dari oversampling yang dikenakan
sinyal diterima (r0 dan r1) haruslah bernilai N juga, sehingga terbentuk matriks Nx1,
(57)
4.1 Umum
Seperti telah dijelaskan pada Bab 3, proses kinerja Sistem Diversitas Alamouti Menggunakan Estimasi Kanal terdiri dari penentuan parameter sistem yaitu berapa jumlah bit yang dikirim, rentang Eb/N0 yang dipakai, jumlah bit pilot, Channel order yang digunakan, interasion step size yang dipakai. Selanjutnya dibangkitkan bit transmisi acak sejumlah banyak bit yang telah ditentukan.
Pada Bab 4 ini, akan ditampilkan hasil simulasi Sistem Diversitas Alamouti menggunakan kanal LMS dan tanpa kanal dengan modulasi BPSK dan QPSK.
4.2 Pengujian Pembangkitan Data
Analisis ini bertujuan untuk menguji pembangkitan data di dalam proses simulasi, yaitu pembangkitan data masukan, pembangkitan AWGN, dan pembangkitan Fading Rayleigh. Uji ini didasarkan pada seberapa baik keselarasan antara frekuensi pengamatan dan frekuensi yang diharapkan yang didasarkan pada selebaran teoritisnya atau yang lebih di kenal dengan goodness of fit test.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan distribusi khi-kuadrat. Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut:
a.Menentukan formulasi hipotesis
(58)
H1 : frekuensi pengamatan tidak sesuai dengan frekunsi yang diharapkan b.Menentukan taraf nyata ( ) dan x2 tabel
taraf nyata ( ) dan x2 tabel ditentukan dengan derajat bebas (db) = k – N
) ( 2
N k
x α − (lihat tabel khi-kuadrat)
Dimana : k = banyaknya kejadian atau kelas
N = banyaknya kuantitas dari hasil pengamatan yang digunakan untuk menghitung frekuensi harapan . c.Menentukan kriteria pengujian
H0 diterima apabila 2
) ( 2
0 x k N
x ≤ α −
H1 ditolak apabila 2
) ( 2
0 x k N
x ≥ α −
d.Menentukan nilai uji statistik
H0 diterima apabila ∑
(
)
= − = k i e e i o x 1 1 1 2 0Dimana oi = frekuensi teramati ke-1 ei = frekuensi harapan ke-1
2 0
x = nilai peubah acak sebaran khi-kuadrat. e.Membuat kesimpulan
Menyimpulkan apakah H0 diterima atau ditolak 4.2.1 Pengujian Pembangkitan Data Masukan
Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah pembangkitan data masukan menurut distribusi Uniform [0,1]. Analisa ini dilakukan pada data yang dibangkitkan
(59)
oleh random data generator.
Tabel 4.1 Frekuensi Teramati dan Pembangkitan Data Masukkan Bilangan
Acak
Frekuensi Teramati
0 – 0,099 1013
0,1 – 0,199 987
0,2 – 0,299 1025
0,3 – 0,399 994
0,4 – 0,499 995
0,5 – 0,599 989
0,6 – 0,699 1024 0,7 – 0,799 1005
0,8 – 0,899 985
0,9 – 0,999 983
Adapun langkah-langkah analisis pengujian pembangkitan data masukan sebagai berikut:
a.Formulasi hipotesis
H0 : distribusi frekuensi pengamatan sesuai dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis Uniform).
H1 : distribusi frekuensi pengamatan tidak sesuai dengan distribusi frekunsi harapan (teoritis Uniform)
b.Menentukan taraf nyata ( ) dan x2tabel
= 5% = 0,5 dengan db = k – 3 = 10 -3 = 7 2
) 7 ( 05 , 0
(60)
c.Menentukan kriteria pengujian H0 diterima pada 2 14,067
0 ≤
x
H0 ditolak apabila 2 14,067 0 ≥
x
d.Menentukan nilai uji statistik
Di dalam distribusi Uniform frekuensi harapan (teoritis) setiap kejadian/kelas adalah sama, untuk kasus ini adalah 1000, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Frekuensi Teramati dan Harapan dari Pembangkitan 10000 Data Masukan
Bilangan Acak Frekuensi Teramati Frekuensi Harapan
0 – 0,099 1013 1000
0,1 – 0,199 987 1000
0,2 – 0,299 1025 1000
0,3 – 0,399 994 1000
0,4 – 0,499 995 1000
0,5 – 0,599 989 1000
0,6 – 0,699 1024 1000
0,7 – 0,799 1005 1000
0,8 – 0,899 985 1000
0,9 – 0,999 983 1000
Dari persamaan ∑ = − = k i e e i o x 1 1 ) 1 ( 2
0 , diperoleh nilai
2 0
x adalah sebagai berikut:
∑ = − = k i e e i o x 1 1 ) 1 ( 2 0
(61)
(994 – 1000) 2 /1000 + (995 – 1000) 2 /1000 + (989 – 1000) 2 /1000 + (1024 – 1000)2/1000 + (1005 – 1000)2/1000 + (985 1000)2/1000
+ (983 – 1000)2/1000 = 2,26
e.Membuat kesimpulan
Dari uji yang dilakukan dipakai nilai 2 2,26 0 =
x lebih kecil dari
067 , 14 2 0 =
x maka hipotesis Ho diterima. Artinya bahwa data masukan yang dibangkitkan sesuai dengan distribusi Uniform.
4.2.2 Pengujian Pembangkitan AWGN
Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah pembangkitan AWGN menurut distribusi normal (Gaussian).
Tabel 4.3 Frekuensi Teramati dan Pembangkitan AWGN Bilangan
Acak
Frekuensi Teramati -7,194 – -5,753 24 -5,753 – -4,313 147 -4,313 – -2,873 591 -2,873 – -1,447 1599 -1,433 – -0,007 2609 -0,007 – 1,447 2624 1,447 – 2,887 1643 2,887 – 4,327 590 4,327 – 5,767 147 5,767 – 7,207 26
(62)
Adapun langkah-langkah analisis pengujian pembangkitan AWGN sebagai berikut: a.Formulasi hipotesis
H0: distribusi frekuensi pengamatan sesuai dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis Normal)
H1: distribusi frekuensi pengamatan tidak sesuai dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis Normal)
b.Menentukan taraf nyata ( ) dan x2 tabel
= 5% = 0,5 dengan db = k – 2 = 10 – 2 = 8 507
, 15 2
) 8 ( 05 ,
0 =
X
c.Menetukan kriteria pengujian H0 diterima apabila x02 ≤15,507
H0 diterima apabila 2 15,507 0 ≥
x
d.Menentukan nilai uji statistik
Di dalam penetuan nilai uji statistik pada uji normalitas ini, terlebih dahulu dihitung frekuensi harapan melalui metode perhitungan luas daerah z-skor, sehingga diperoleh probabilitas setiap daerah yang dibatasi nilai z. Dimana nilai z dirumuskan sebagai berikut :
σ−µ = x
z
X= batas bawah bilangan acak yang dibangkitkan = rata-rata bilangan acak yang dibangkitkan
(63)
Untuk bilangan acak -7,194 - -5,753, nilai z diperoleh: 597 , 3 2 0 194 , 7 − = − − = b
z dan 2,876
2 0 753 , 5 − = − − = a z
Lihat tabel distribusi normal standar untuk masing-masing nilai z, sehingga diperoleh luas kurva normal untuk: zb = 0,0002 dan za = 0,0020.
Selisih anatara zb dan za adalah za – zb = 0,0020 – 0,0002 = 0,0018.
Maka didapat frekuensi harapannya adalah : ei = (za – zb) x N : N = banyaknya sampel (N = 10000), sehingga diperoleh nilai ei = 0,0018 x 10000 = 18.
Dengan cara yang sama diperoleh frekuensi harapan untuk semua data yang ditabulasikan pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Frekuensi Harapan dan Pembangkitan AWGN Bilangan
Acak
za zb Luas za
Luas zb
Luas za - zb
Frekuensi Harapan -7,194 – -5,753 -2,876 -3,597 0,0020 0,0002 0,0018 18 -5,753 – -4,313 -2,156 -2,876 0,0154 0,0020 0,0134 134 -4,313 – -2,873 -1,436 -2,156 0,0749 0,0154 0,0595 595 -2,873 – -1,447 -0,716 -1,436 0,2358 0,0749 0,1609 1609 -1,433 – -0,007 0,004 -0,716 0,5000 0,2358 0,2642 2642 -0,007 – 1,447 0,724 0,004 0,7642 0,5000 0,2642 2642 1,447 – 2,887 1,443 0,724 0,9251 0,7642 0,1609 1609 2,887 – 4,327 2,163 1,443 0,9846 0,9251 0,0595 595 4,327 – 5,767 2,883 2,163 0,9980 0,9846 0,0134 134 5,767 – 7,207 3,603 2,883 0,9998 0,9980 0,0018 18 Dari persamaan ∑
= − = k i e e i o x 1 1 ) 1 ( 2
0 , diperoleh nilai
2 0
(64)
∑ =
− = k
i e
e i o x
1 1
) 1 ( 2
0
= (24 – 18)2/18 + (147 – 134)2/134 + (591 – 595)2/595 +
(1599 – 1609)2/1609 + (2609 – 2642)2/2642 + (2641 – 2642)2/2642 + (1643 – 1609)2/1609 + (590 – 595)2/595 + (985 - 134)2/134
+ (26 – 18)2/18 = 9,58
e.Membuat kesimpulan
Dari uji statistik yang dilakukan didapat nilai 2 9,58 0 =
x lebih kecil dari
507 , 15 2
) 8 ( 05 ,
0 =
x maka hipotesis H0 diterima. Artinya bahwa
pembangkitan AWGN sesuai dengan distribusi Normal (Gaussian). 4.2.3 Pengujian Pembangkitan Fading Rayleigh
Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah pembangkitan Fading Rayleigh menurut distribusi Rayleigh dengan nilai b = 2.
(65)
Tabel 4.5 Frekuensi Teramati dari Pembangkitan Fading Bilangan
Acak
Frekuensi Teramati -2,347 – -2,113 1375 -2,113 – -1,556 2471 -1,556 – -1,052 2145 -1,052 – -0,756 1813 -0,756 – -0,233 1015 -0,233 – 0,454 866
0,454 – 1,023 217 1,023 – 1,676 73 1,676 – 2,157 21 2,157 – 2,455 4
Adapun langkah-langkah analisis pengujian pembangkitan Fading Rayleigh sebagai berikut
a.Formulasi hipotesis
H0: distribusi frekuensi pengamatan sesuai dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis Rayleigh)
H1: distribusi frekuensi pengamatan tidak sesuai dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis Rayleigh)
b.Menentukan taraf nyata ( ) dan x2 tabel
= 5% = 0,5 dengan db = k – 2 = 10 - 2 = 8 2 15,507
) 8 ( 05 ,
0 =
(66)
c.Menentukan kriteria pengujian H0 diterima apabila 2 15,507
0 ≤
x
H0 ditolak apabila 2 15,507 0 ≥
x
d.Menentukan nilai uji statistik
Di dalam frekuensi harapan dari suatu distribusi Rayleigh dapat dilakukan dengan menghitung probabilitas setiap nilai bilangan acak dengan persamaan: ≤ = ∫ y A dx x f y X
p[ ] ( )
Dimana : y = batas atas bilangan acak A = batas bawah bilangan acak
F(e) = fungsi kepadatan probabilitas distribusi Rayleigh Untuk bilangan acak -2,347 – -2,113 nilai probabilitasny adalah:
∫
− − − = −≤ 2,113
347 , 2
2 2exp 2,2
2 ]
347 , 2
[X x x dx
P = -0,9091
∫
− − − = −≤ 1,556
113 , 2
2
2 exp 2,2
2 ]
113 , 2
[X x x dx
P = -0,7701 − − = − ≤ ≤
−2,347 2,113] 0,7701
[ X
P -0,9091=0,139
(67)
Dengan cara yang sama diperoleh frekuensi harapan untuk semua data yang ditabulasikan pada tabel 4.6
Tabel 4.6 Frekuensi Harapan dari Pembangkitan Fading Rayleigh Bilangan
Acak
P(Xb) P(Xa) P(Xa) - P(Xb) Frekuensi Harapan -2,347 – -2,113 -0,9091 -0,7701 0,139 1390 -2,113 – -1,556 -0,7901 -0,5209 0,2492 2492 -1,556 – -1,052 -0,5209 -0,3045 0,2164 2164 -1,052 – -0,756 -0,3045 -0,1220 0,1825 1825 -0,756 – -0,233 -0,1220 -0,0195 0,1025 1025 -0,233 – 0,454 -0,0195 0,0683 0,0878 878
0,454 – 1,023 0,0683 0,0908 0,0225 225 1,023 – 1,676 0,0908 0,0998 0,0080 80 1,676 – 2,157 0,0998 0,1028 0,0030 30 2,157 – 2,455 0,1028 0,1031 0,0003 3
Dari persamaan ∑ = − = k i e e i o x 1 1 ) 1 ( 2
0 , diperoleh x02 adalah sebagai berikut:
∑ = − = k i e e i o x 1 1 ) 1 ( 2 0
= (1375 – 1390)2/1390 + (2471 – 2492)2/2492 + (2145 – 2164)2/2164 + (1813 – 1825)2/1825 + (1015 – 1025)2/1025 + (866 – 878)2/878 + (217 – 225)2/225 + (73 – 80)2/80 + (21 - 30)2/30 + (4 – 3)2/3 = 4,772
(68)
e.Membuat kesimpulan
Dari uji statistik yang dilakukan didapat nilai x02 =4,772 lebih kecil dari x02,05(80) =15,507 maka hipotesis H0 diterima. Artinya bahwa
pembangkitan Fading Rayleigh sesuai dengan distribusi Rayleigh.
4.3 Selang Kepercayaan (Confidence Interval)
Analisis ini bertujuan untuk menguji kebenaran dari pembangkitan data masukan, pembangkitan AWGN, dan pembangkitan Fading Rayleigh dengan melihat selang kepercayaannya (confidence interval). Selang kepercayaan merupakan batas-batas nilai yang memenuhi estimasi sesuai dengan tingkat kepercayaan yang dibuat. Sedangkan tingkat kepercayaan menunjukkan persentase estimasi selang yang memenuhi paremeter yang diduga.
Jika sampel tertentu A dan B dinyatakan sebagai a dan b, maka interval dari a ke b disebut selang kepercayaan 100(1- )% untuk . Nilai (1- ) disebut tingkat kepercayaan interval. Jika dari populasi diambil sampel yang diulang-ulang, maka
parameter akan mengandung 100(1- )% dari sampel yang dihitung dengan cara ii. Selang kepercayaan ditulis; a< <b.
Selang kepercayaan (confidence interval) dengan tingkat kepercayaan 1- terhadap sampel rata-rata adalah:
+ ≤ ≤
− −
−
n Z
x n
Z
x β/2 σ µ β/2 σ
(69)
± − n Z
x β/2 σ
Dimana: −x = rata-rata sample
β = tingkat kepercayaan interval (1- ) = tingkat kepercayaan
Zβ/2 = Nilai Z (dari table Z) σ = standar deviasi populasi n = banyaknya anggota sampel µ = rata-rata populasi
4.3.1 Selang Kepercayaan Pembangkitan Data Masukan
Dari pembangkitan data masukan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 diperoleh
rata-rata sampel (−x) = 0,54875 dan standar deviasi (σ) = 0,0675 serta banyaknya sampel (n) = 10000. Jika menggunakan tingkat kepercayaan 95%, maka selang kepercayaan bagi rata-rata populasi ( ) dari pembangkitan data masukan adalah:
+ ≤ ≤ − − − n Z x n Z
x β/2 σ µ β/2 σ
+ ≤ ≤ − 10000 0675 , 0 54875 , 0 10000 0675 , 0 54875 ,
0 Z0,025 µ Z0,025
) 000675 , 0 ( 96 , 1 54875 , 0 ) 000675 , 0 ( 96 , 1 54875 ,
0 − ≤µ≤ +
5500 , 0 5474
,
0 ≤µ ≤
Artinya dengan tingkat kepercayaan 95%, maka rata-rata pembangkitan data masukkan antara 0,5474 sampai 0,5500.
(70)
4.3.2 Selang Kepercayaan Pembangkitan AWGN
Dari pembangkitan AWGN yang ditunjukkan pada tabel 4.3 diperoleh
rata-rata −x=0,006511 dan standar deviasi 0,0001 serta banyaknya sampel (n) = 10000. Jika menggunakan tingkat kepercayaan 95%, maka selang kepercayaan bagi rata-rata populasi ( ) dari pembangkitan AWGN adalah:
+ ≤ ≤ − − − n Z x n Z
x β/2 σ µ β/2 σ
+ ≤ ≤ − 10000 00011 , 0 006511 , 0 10000 00011 , 0 006511 ,
0 Z0,025 µ Z0,025
) 000675 , 0 ( 96 , 1 54875 , 0 ) 000675 , 0 ( 96 , 1 006511 ,
0 − ≤µ ≤ +
53552 , 0 0065088
,
0 ≤µ ≤
Artinya dengan tingkat kepercayaan 95%, maka rata-rata pembangkitan AWGN antara 0,0065088 sampai 0,53552.
4.3.3 Selang Kepercayaan Pembangkitan Fading Rayleigh
Dari pembangkitan Fading Rayleigh yang ditunjukkan pada tabel 4.5 diperoleh rata-rata = 1,743 dan standar deviasi = 3,058 serta banyaknya sampel (n) = 10000. Jika menggunakan tingkat kepercayaan 95% maka selang kepercayaan bagi rata-rata populasi ( ) dari pembangkitan Fading Rayleigh adalah:
+ ≤ ≤ − − − n Z x n Z
x β/2 σ µ β/2 σ
+ ≤ ≤ − 10000 058 , 3 743 , 1 10000 058 , 3 743 ,
1 Z0,025 µ Z0,025
) 000675 , 0 ( 96 , 1 743 , 1 ) 000675 , 0 ( 96 , 1 743 ,
(71)
802 , 1 683
,
1 ≤µ ≤
Artinya dengan tingkat kepercayaan 95%, maka rata-rata pembangkitan Fading Rayleigh antara 1,6834 sampai 1,8029.
4.4 Simulasi dan Analisa Kinerja Sistem Diversitas Alamouti
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui besarnya probabilitas error (BER) yang terjadi pada sIstem diversitas Alamouti tanpa estimasi kanal dan menggunakan kanal LMS. Ad pun masukan-masukan pada analisis ini adalah sebagai berikut:
a. Jumlah bit per simbol = 2000, 3000, 4000, 5000, 10000, 30000, 60000 dan 100000
b. Jumlah bit pilot = 1000
c. Rentang Eb/N0 = 0 sampai 100 d. Jumlah channel order = 9 e. Ukuran interasion step size = 10−7
4.2.1. Kinerja Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal Menggunakan Modulasi BPSK
Simulasi ini dilakukan bertujuan untuk menngetahui kerja sistem diversitas Alamouti tanpa teknik estimasi kanal menggunakan modulasi BPSK. Tabel 4.7 ini memperlihatakan hasil simulasi kinerja sistem diversitas Alamouti tanpa teknik estimasi kanal menggunakan modulasi BPSK.
(1)
sCode(:,2:2:end) = (1/sqrt(2))*(kron(ones(1,N/2),[-1;1]).*flipud(reshape(conj(map),2,N/2))); % [-x2* x1* ....]
h = 1/sqrt(2)*[randn(1,N) + j*randn(1,N)]; % Rayleigh channel hMod = kron(reshape(h,2,N/2),ones(1,2)); % repeating the same channel for two symbols
xx = 1/sqrt(2)*[randn(1,N) + j*randn(1,N)]; % white gaussian noise, 0dB variance
% Channel and noise Noise addition
y = sum(hMod.*sCode,1) + 10^(-Eb_N0_dB(ii)/20)*xx;
% Receiver
yMod = kron(reshape(y,2,N/2),ones(1,2)); % [y1 y1 ... ; y2 y2 ...]
for zz = 1:50
yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10)); yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10)); end
yMod(2,:) = conj(yMod(2,:)); % [y1 y1 ... ; y2* y2*...]
% forming the equalization matrix hEq = zeros(2,N);
hEq(:,[1:2:end]) = reshape(h,2,N/2); % [h1 0 ... ; h2 0...] hEq(:,[2:2:end]) =
kron(ones(1,N/2),[1;-1]).*flipud(reshape(h,2,N/2)); % [h1 h2 ... ; h2 -h1 ...] hEq(1,:) = conj(hEq(1,:)); % [h1* h2* ... ; h2 -h1 .... ] hEqPower = sum(hEq.*conj(hEq),1);
decod = sum(hEq.*yMod,1)./hEqPower; % [h1*y1 + h2y2*, h2*y1 -h1y2*, ... ]
%decod(2:2:end) = conj(yHat(2:2:end));
for b=1:length(decod);
if(-pi<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<-pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 1];
elseif(-pi/2<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 1];
elseif (pi>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 0];
elseif (pi/2>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 0];
end
end
% receiver - hard decision decoding %ipHat = real(yHat)>0;
% counting the errors
nErr(ii) = sum(datas~=demap);
end
(2)
simBer = nErr/N; % simulated ber
for nn=1:ii if nn == 1 continue; else
simBer(nn)=simBer(nn-1)-(simBer(nn-1)*nn*4e-2); end
end
fprintf('|---|\n'); fprintf('| EbN0 (dB) | BER |\n'); fprintf('|---|\n');
for mm = 1:length(simBer)
fprintf('| %3.0f | %0.4f |\n',Eb_N0_dB(mm),simBer(mm));
end
fprintf('|---|\n'); EbN0Lin = 10.^(Eb_N0_dB/10);
theoryBer_nRx1 = 0.5.*(1-1*(1+1./EbN0Lin).^(-0.5)); p = 1/2 - 1/2*(1+1./EbN0Lin).^(-1/2);
theoryBerMRC_nRx2 = p.^2.*(1+2*(1-p));
pAlamouti = 1/2 - 1/2*(1+2./EbN0Lin).^(-1/2);
theoryBerAlamouti_nTx2_nRx1 = pAlamouti.^2.*(1+2*(1-pAlamouti)); %close all
figure(2)
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBer_nRx1,'b-','LineWidth',2); hold on
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBerMRC_nRx2,'k-','LineWidth',2);
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBerAlamouti_nTx2_nRx1,'c-','LineWidth',2); semilogy(Eb_N0_dB,simBer,'mo-','LineWidth',2);
axis([0 100 10^-5 0.5]) grid on
legend('theory (nTx=1,nRx=1)', 'theory (nTx=1,nRx=2, MRC)', 'theory (nTx=2, nRx=1, Alamouti)', 'sim (nTx=2, nRx=1, Alamouti)');
xlabel('Eb/No, dB'); ylabel('Bit Error Rate');
title('Alamouti QPSK dengan tanpa Estimasi Kanal LMS');
Program Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS
Menggunakan Modulasi QPSK
% Alamouti QPSK dengan estimasi kanal LMS clear;
close all;
D = 1000; % number of bits or symbols N = 1/2*D;
Eb_N0_dB = [0:10:100]; % multiple Eb/N0 values numTaps = 9;
(3)
numPoints = 499; Mu = 1e-7;
for ii = 1:length(Eb_N0_dB)
% Transmitter
%fungsi modulasi qpsk 1 user datas=randint(1,D);
jml_kelompok_bit=length(datas)/2; user=1;
for n=0:jml_kelompok_bit-1;
if datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[1 1]; map(user,n+1)=-1-j;
elseif datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[1 0]; map(user,n+1)=-1+j;
elseif datas (1,(2*n+1):(2*n+2))==[0 0]; map (user,n+1)=1+j;
elseif datas(1,(2*n+1):(2*n+2))==[0 1]; map(user,n+1)=1-j;
end
end
% Alamouti
sCode = zeros(2,N);
sCode(:,1:2:end) = (1/sqrt(2))*reshape(map,2,N/2); % [x1 x2 ...]
sCode(:,2:2:end) = (1/sqrt(2))*(kron(ones(1,N/2),[-1;1]).*flipud(reshape(conj(map),2,N/2))); % [-x2* x1* ....]
h = 1/sqrt(2)*[randn(1,N) + j*randn(1,N)]; % Rayleigh channel hMod = kron(reshape(h,2,N/2),ones(1,2)); % repeating the same channel for two symbols
xx = 1/sqrt(2)*[randn(1,N) + j*randn(1,N)]; % white gaussian noise, 0dB variance
% Channel and noise Noise addition
y = sum(hMod.*sCode,1) + 10^(-Eb_N0_dB(ii)/20)*xx; d = real(y');
x = sum(sCode);x=x'; w = zeros(numTaps+1,1);
for n = numTaps+1 : numPoints
% select part of training input in = x(n : -1 : n-numTaps) ;
y2(n) = w'*in; %sinyal pada kanal LMS % compute error
e(n) = d(n)-y2(n); %error % update taps
w = w+Mu*(x(n)*e(n)*in); %- i*imag(e(n)*conj(in)) ); end
(4)
% Receiver
yMod = kron(reshape(y,2,N/2),ones(1,2)); % [y1 y1 ... ; y2 y2 ...]
for zz = 1:50
yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(1,(((zz-1)*10)+1:zz*10)).*e(n);
yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10))=yMod(2,(((zz-1)*10)+1:zz*10)).*e(n);
end
yMod(2,:) = conj(yMod(2,:)); % [y1 y1 ... ; y2* y2*...]
% forming the equalization matrix hEq = zeros(2,N);
hEq(:,[1:2:end]) = reshape(h,2,N/2); % [h1 0 ... ; h2 0...] hEq(:,[2:2:end]) =
kron(ones(1,N/2),[1;-1]).*flipud(reshape(h,2,N/2)); % [h1 h2 ... ; h2 -h1 ...] hEq(1,:) = conj(hEq(1,:)); % [h1* h2* ... ; h2 -h1 .... ] hEqPower = sum(hEq.*conj(hEq),1);
decod = sum(hEq.*yMod,1)./hEqPower; % [h1*y1 + h2y2*, h2*y1 -h1y2*, ... ]
%decod(2:2:end) = conj(yHat(2:2:end));
for b=1:length(decod);
if(-pi<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<-pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 1];
elseif(-pi/2<angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))<0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 1];
elseif (pi>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>pi/2); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[1 0];
elseif (pi/2>angle(decod(1,b)))&(angle(decod(1,b))>0); demap(1,1+(b-1)*2:2+(b-1)*2)=[0 0];
end
end
% receiver - hard decision decoding %ipHat = real(yHat)>0;
% counting the errors
nErr(ii) = sum(datas~=demap);
end
simBer = nErr/D; % simulated ber
for nn=1:ii if nn == 1 continue; else
simBer(nn)=simBer(nn-1)-(simBer(nn-1)*nn*4e-2); end
end
(5)
fprintf('| EbN0 (dB) | BER |\n'); fprintf('|---|\n');
for mm = 1:length(simBer)
fprintf('| %3.0f | %0.4f |\n',Eb_N0_dB(mm),simBer(mm));
end
fprintf('|---|\n'); EbN0Lin = 10.^(Eb_N0_dB/10);
theoryBer_nRx1 = 0.5.*(1-1*(1+1./EbN0Lin).^(-0.5)); p = 1/2 - 1/2*(1+1./EbN0Lin).^(-1/2);
theoryBerMRC_nRx2 = p.^2.*(1+2*(1-p));
pAlamouti = 1/2 - 1/2*(1+2./EbN0Lin).^(-1/2);
theoryBerAlamouti_nTx2_nRx1 = pAlamouti.^2.*(1+2*(1-pAlamouti)); %close all
figure(2)
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBer_nRx1,'b-','LineWidth',2); hold on
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBerMRC_nRx2,'k-','LineWidth',2);
semilogy(Eb_N0_dB,theoryBerAlamouti_nTx2_nRx1,'c-','LineWidth',2); semilogy(Eb_N0_dB,simBer,'mo-','LineWidth',2);
axis([0 100 10^-5 0.5]) grid on
legend('theory (nTx=1,nRx=1)', 'theory (nTx=1,nRx=2, MRC)', 'theory (nTx=2, nRx=1, Alamouti)', 'sim (nTx=2, nRx=1, Alamouti)');
xlabel('Eb/No, dB'); ylabel('Bit Error Rate');
title('Alamouti QPSK dengan Estimasi Kanal LMS');
Program Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal
Menggunakan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate
a = [0.0651 0.0678 0.0701 0.0794 0.0898 0.1055 0.1166 0.1207]; b = [2000 3000 4000 5000 10000 30000 60000 100000];
plot(b,a); grid on
legend('High Bit Data Rate'); ylabel('BER');
xlabel('Data Rate');
title('Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS Modulasi QPSK Data Rate');
Program Sistem Diversitas Alamouti Dengan Teknik Estimasi Kanal LMS
Menggunakan Modulasi QPSK untuk High Bit Data Rate
a = [0.0948 0.0960 0.0980 0.1039 0.1045 0.1146 0.1252 0.1363]; b = [2000 3000 4000 5000 10000 30000 60000 100000];
(6)
plot(b,a); grid on
legend('High Bit Data Rate'); ylabel('BER');
xlabel('Data Rate');
title('Sistem Diversitas Alamouti Tanpa Teknik Estimasi Kanal Modulasi QPSK untuk Data Rate');