65 Berbagai ritual upacara masih dilaksanakan sampai sekarang oleh
masyarakat Kalang. Bagi mereka, tradisi tersebut dipertahankan agar dapat memperkuat identitas ke-kalangan dan memperkuat kehidupan
beragama mereka. Dengan keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Kalang, akan membuat kehidupan beragama disana semakin
dinamis. Dengan memisahkan identitas adat dan agama dalam kehidupan bermasyarakat, warga Kalang dapat mempertahankan tradisi upacara
obong sampai sekarang.
b. Upacara Obong Dilihat dari Faktor Sejarah
Upacara obong dilihat dari sejarah, dapat diuraikan berdasarkan zaman Hindu dan zaman Mataram adalah sebagai berikut.
1 Zaman Hindu
Timbulnya gologan Kalang bersamaan dengan kedatangan agama Hindu ke Indonesia, khususnya di Jawa pada kira-kira tahun
400 sesudah Masehi. Orang-orang Hindu yang telah menetap di Indonesia dan bergaul dengan penduduk asli itu dengan sendirinya
masih tetap menganut adat istiadat serta agama yang mereka kenal di negara mereka, yaitu India. Lama kelamaan setelah mereka
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat disekelilingnya, merekapun menanamkan kepercayaan dan adat
mereka itu kepada penduduk bangsa Indonesia. Diantara adat yang mereka terapkan di Indonesia adalah sistim kasta dan upacara
kematian dengan membakar jenazah.
66 Telah diketahui, bahwa kasta adalah suatu pembagian
golongan-golongan di dalam masyarakat Hindu. Kasta berarti keturunan. Masyarakat Hindu mengenal 4 kasta, yaitu sebagai berikut:
a kasta Brahmana, merupakan keturunan Dewa dan para ahli agama,
b kasta Ksatria, merupakan ketutrunan golongan bangsawan dan
tentara, c
kasta Waisya, merupakan keturunan golongan petani dan pedagang,
d kasta sudra, merupakan keturunan golongan pekerja kasar dan
budak. Orang Hindu yang tidak termasuk di dalam salah satu dari
keempat kasta tersebut diatas, maka mereka itu orang-orang bernoda, yaitu orang-orang yang berada di luar kasta, hal ini dikarenakan
mereka melakukan kejahatan besar. Baik bersalah terhadap agama, maupun melanggar tata kesusilaan. Mereka termasuk orang yang hina,
dan tidak mempunyai hak apapun di dalam masyarakat. Mereka disebut golongan Paria, karena orang-orang demikian tidak
dikehendaki oleh
masyarakat dan
mereka terpaksa
harus meninggalkan pergaulan dan hidup mengembara di hutan-hutan.
Menurut anggapan peradapan agama Hindu, orang Kalang termasuk golongan di luar kasta, yang mempunyai martabat dan derajat rendah
di dalam pergaulan masyarakat.
67 Selain sistem kasta, mereka juga memperkenalkan upacara
kematian dengan membakar jenazah hingga semua menjadi abu, dan dilarutkan ke sungai. Tradisi membakar jenazah tersebut yang
sekarang telah diadopsi oleh golongan Kalang di Desa Montongsari, namun jenazah dalam upacara obong diganti dengan sebuah boneka
penganten, yaitu boneka tiruanpengganti jenazah. 2
Zaman Mataram Setelah zaman Majapahit runtuh, pulau Jawa terpeceh menjadi
daerah-daerah kecil yang dikuasai oleh raja-raja dan para bupati. Makin lama pengaruh agama Islam makin luas dan besar sehingga
mendesak agama Hindu. Keadaan semacam ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap sejarah orang-orang golongan Kalang. Menurut
anggapan agama Hindu, orang Kalang termasuk orang dari golongan Paria, yaitu golongan orang di luar kasta. Kini oleh agama Islam yang
tidak mengenal akan sistem kasta, orang Kalang dianggap sebagai manusia sesamanya yang sederajat dengan golongan-golongan lain
yang terdapat di dalam masyarakat. Orang-orang
golongan Kalang
diberi kesempatan
berorganisasi dalam susunan pemerintahan. Keistimewaan daripada bangsawan yang menguasai orang-orang Kalang ialah, bahwa
meskipun ia berpangkat Wedana, ia berhak mendapat sebutan Tumenggung. Pada hal pangkat Wedana lainnya hanya mempunyai
sebutan Ngabehi, tetapi pangkat itu dinaikkan menjadi Bupati juga.
68 Mengenai upacara obong telah dijelaskan sebagai berikut:
berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Wanti, selaku dukun upacara obong 12 Mei 2011.
Asal ceritanya, jaman dahulu ada seorang raja yang sedang berburu di hutan. Di dalam hutan beliau kencing, beliau tidak tahu bahwa air
kencingnya tertampung di dalam tempurung kelapa, selanjutnya babi hutan betina lewat dan meminum air di dalam tempurung kelapa tersebut,
selanjutnya babi hutan hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang berwujud manusia. Anak tersebut sangat cantik. Dua puluh tahun
kemudian, bayi anak babi hutan tersebut telah dewasa, ia sangat senang bertenun di panggung, pada suatu hari saat ia menenun ia menjatuhkan
alat tenunannya, yang susah diambil, dan ia mengikrarkan siapa saja yang dapat mengambilkan alat tenunannya apabila perempuan akan dijadikan
saudara, apabila laki-laki akan dijadikan suami, dan apabila hewan akan dijadikan hewan peliharaan. Bersamaan dengan itu lewatlah seekor anjing
jantan dan mendengar ikrar putri tersebut. Kemudian anjing mengambilkan alat tenunan dan diletakkan di dekat putri tersebut,
sungguh sejak saat itu anjing menjadi hewan peliharaan dan juga menjadi keluarganya. Akhirnya anjing menjadi suaminya dan menghasilkan
seorang anak laki-laki dan diberi nama Jaka Sona. Jaka Sona senang berburu, dan pada suatu hari ia berburu ditemani anjing ayah. Di hutan ia
bertemu dengan babi hutan neneknya. Kemudian anjing tersebut disuruh mengejar babi hutan namun anjing memilih untuk diam. Karena marah,
anjing dibunuh dan babi hutan juga dibunuh, sesampainya di rumah, Jaka Sona menceritakan bahwa ia telah membunuh anjingnya dan babi hutan.
Ketika ibunya mendengar cerita anaknya, lalu ia marah dan memukul anaknya dengan kayu di kepala sang anak, dan mengatakan bahwa
sebenarnya anjingnya adalah ayahnya, dan babi hutan adalah neneknya. Mendengar cerita ibunya, Jaka Sona sangat menyesal dan pergi
meninggalkan rumah. Ia mengembara ke suatu tempat ke tempat lainnsampai bertahun-tahun lamanya. Akhirnya Jaka Sona kembali ke
tempat asal, dan bertemu dengan seorang wanita cantik, akhirnya Jaka Sona menyunting wanita tersebut menjadi istrinya. Pada suatu hari istri
melihat belang dikepala suaminya dan tidak salah lagi bahwa suaminya adalah anaknya. Setelah ia mengetahui Jaka Sona pergi dan menikah lagi
hingga mempunyai seorang putra yang diberi nama Kalangjoyo. Dan Kalangjoyo
inilah yang
dianggap sebagai
nenek moyang
orangmasyarakat Kalang. Menurut kepercayaan asli atau naluri masyarakat Kalang,
bahwa setiap anak harus berbakti terhadap orang tua dan sampai
69 meninggalnya pun harus tetap dimulyakan. Karena menurut anggapan
mereka, bahwa mereka telah berhutang budi kepada orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik sampai menjadi
seorang manusia yang sukses. Maka dari itu mereka harus membayar dengan jalan berbakti terhadap orang tua yang masih hidup dan
memulyakan arwah orang tua mereka yang sudah meninggal.
c. Upacara Obong Dilihat dari Faktor Budaya