Elevasi Curah Hujan Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu

dan barat laut NW atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat W atau biru tua, dan barat daya SW atau biru muda Gambar 11.

5.2.3. Elevasi

Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung Fernandez et al. 2008 karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut mdpl Indra et al. 2006. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian 200 - 500 seluas 4.299 ha, 500 - 800 meter seluas 4.306 ha, dan 800 - 1.100 meter seluas 3.403 ha sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil Tabel 6. Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu Ketinggian meter LUAS Ha 200 - 500 4.299 33,5 500 - 800 4.306 33,6 800 - 1.100 3.403 26,5 1.100 - 1.400 661 5,1 1.400 - 1.700 131 1,0 Total 12.800 Menurut Peralvarez et al. 2008 pada ketinggian 300 hingga 1.800 meter umumnya terjadi perubahan yang signifikan pada faktor iklim, terutama curah hujan dan temperatur udara. Hal tersebut menginikasikan bahwa daerah yang memiliki ketinggian 300 mdpl seharusnya mempunyai pelapukan batuan yang lebih besar daripada daerah bawahnya karena memiliki curah hujan lebih besar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa wilayah penelitian yang mengalami kejadian longsor memiliki kisaran ketinggian antara 500 hingga 800 mdpl, sedangkan wilayah yang tidak mengalami longsor, pada umumnya memiliki ketinggian yang lebih rendah yaitu antara 200 hingga 500 mdpl. Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian 500 mdpl.

5.2.4. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun 2004- 2008 dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga 2008. Sebenarnya ada beberapa metode lain untuk menggambarkan persebaran curah hujan di suatu wilayah, seperti isohiet atau poligon thiessen. Menurut ESDM 2009 isohiet merupakan hasil pemrosesan variabilitas nilai curah hujan secara rataan generalisasi, sehingga isohiet sangat baik digunakan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai topografi datar. Adapun poligon thiessen tidak berasumsi titik yang berdekatan lebih mirip nilainya dari titik yang berjauhan ESDM, 2009. Uraian diatas terlihat bahwa metode tersebut kurang sesuai untuk tujuan penelitian ini, karena kondisi topografi daerah penelitian sangat variatif, dari datar hingga pegunungan dan stasiun hujan tersebar tidak merata dan berjauhan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan metode nilai curah hujan puncak pada bulan terbasah. Gambar 13 berikut merepresentasikan data bulan terbasah setiap tahun, yang kemudian didapatkan parameter bulan terbasah untuk diinterpolasi. Gambar 10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian Gambar 11. Peta aspek lereng daerah penelitian Gambar 12. Peta ketinggian tempat elevasi daerah penelitian a. b. c. d. e. curah hujan 2007 200 400 600 800 1000 februari desember januari bulan terbasah cura h hu ja n februari desember januari curah hujan 2008 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640 maret februari november bulan terbasah c ura h hu ja n maret november curah hujan 2006 100 200 300 400 500 600 700 800 desember januari bulan terbasah c u ra h h u ja n desember januari curah hujan 2005 100 200 300 400 500 600 700 800 maret januari februari desember bulan terbasah cura h hu ja n maret januari februari desember curah hujan 2004 500 520 540 560 580 600 620 640 januari april februari juli bulan terbasah cura h hu ja n januari april februari juli Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun a 2004, b 2005, c2006 d 2007, e 2008 Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan ungu, yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain sebagai puncak musim hujan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mmtahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mmtahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mmtahun Tabel 7. Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14. Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu Nilai Curah Hujan mmtahun Keterangan warna Luas Ha 613 - 647 Kuning 211 2 647 - 680 Hijau 393 3 680 - 713 Pink 1.750 14 713 - 746 Biru 4.876 37 746 - 779 Abu-abu 5.570 44 Total 12.800 100

5.2.5. Indeks Vegetasi NDVI dan EVI