Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa 30 remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan
gangguan tidur. Hampir 20 mengeluh mengantuk sepanjang siang hari daytime sleepiness, 13,8 mengalami tidur non restoratif, 12,4 mengeluh sulit untuk jatuh
tertidur, sedangkan 9,25 mengeluh kesulitan mempertahankan tidur Moran dan Everhart, 2012.
Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14-33 remaja mengalami masalah tidur, 10-40 siswa Sekolah Menengah Atas SMA mengalami SD sesaat dan SD
skala menengah Liu dkk., 2008. Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai
berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20-57 dalam aspek waktu mulai tidur
malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh, dan parameter tidur polisomnografi. Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40-70 Liu dkk., 2008.
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional. Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu
cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur, dan mengantuk di siang hari. Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime
sleepiness EDS, dan gangguan irama sirkadian Liu dkk., 2008. Remaja usia 12-17 tahun sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada
akhirnya akan menyebabkan SD. Faktor intrinsik dan lingkungan memainkan peranan
dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian mereka yang cenderung akan
menjadi lebih lambat dalam hal keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara fisiologis remaja memang mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa
faktor ekternal seperti kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat malam hari membuat keterlambatan fase tidur lebih parah. Demikin pula dengan
kegiatan sosial remaja di sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat menyebabkan kecenderungan remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar
Lund dkk., 2010. Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada anak-
anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan pergeseran irama sirkadian. Rerata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6
tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam non-
REM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan non-REM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple
sleep latency test MSLT. Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebuuhan
tidur remaja. Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi keterlambatan fase sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan
secara progresif Hoban, 2010.
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang
menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik. Penggunaan komputer atau internet, game video, telepon, lazim digunakan oleh
remaja mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang hari. Paparan media elektronik seperti televisi 3 jam per hari, penggunaan fasilitas
internet 2,5 jam per hari akan meningkatkan risiko lateni tidur dan mengurangi waktu tidur anak dan remaja Hoban, 2010;Schochat dkk., 2010.
Pola tidur remaja dipengaruhi pula dengan sangat kuat oleh keterlambatan fase tidur sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama
sirkadian terutama tipe delayed sleep phase DSP apabila tendensi ini mengakibatkan gangguan memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut
malam dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan terjadinya DSP Hoban, 2010.
Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang menjelaskan tentang kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang
dialami selama periode tidur. Komponen-komponen yang kualitas tidur dapat diukur secara obyektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara
subyektif dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan PSQI Pilcher dkk., 1997.
Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Penurunan kualitas
tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan, mengantuk di siang hari, dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas
tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup dibandingkan dengan kuantitas tidur semata Pilcher dkk., 1997.
Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin 2011, SD merupakan gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur
tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun. Gangguan ini dapat mempengaruhi aktifitas fungsi sistem saraf pusat yang selama
periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya
ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan Dinges dkk., 2011.
Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas marah, sulit berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama
yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan
tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme Lumbantobing, 2008.
Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan
akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan salah, dan memilih kata yang salah Lumbantobing, 2008.
Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak
sekolah yang tergolong remaja usia 11-17 tahun menilai kualitas tidur dan faktor- faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu
PSQI dan Epworth Sleepness Scale ESS dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan,
depresi, kelelahan, dan nyeri somatik. Penelitan tersebut menyebutkan bahwa rerata waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4 dari responden
penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk skor PSQI ≥8 berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif kemarahan,
kecemasan, depresi, kelelahan, dan ketegangan. Responden dengan kualitas tidur buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi
kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara lain mood ketegangan dan stres, konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal
tidur,dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi, dan komputer atau
internet Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012. Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi
kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental
remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur
meningkat. Hiperaktivitas neuroendokrin berkontribusi terhadap kondisi hyperarousal
seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadian-
kejadian pemicu stres Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012. Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang
paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindroma DSP adalah adanya keterlambatan waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya
pertentangan dengan aktivitas harian remaja sekolah, pekerjaan, jadwal aktivitas lain. Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun
terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan amat sulit
bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP
merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis, dan psikososial Mindell dan Meltzer, 2008.
Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS. Stadium tidur ini maksimal pada usia kanak-kanak dan menurun sekitar 40 saat
dekade kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan gelombang delta dan theta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2
meningkat. Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara signifikan. Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi
otak secara fundamental sepanjang masa remaja Bohm, 2012.
Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7-16 pada
populasi remaja Tikotzky dan Sadeh, 2012. Remaja dengan sindroma DSP akan mengalami SD secara kronik dan akan
mengalami “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk bangun secara ekstrem dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini
merupakan salah satu faktor yang ditengarai mendasari sindroma ini disamping adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja
dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan sensitivitas terhadap siklus gelap terang Tikotzky dan Sadeh, 2012.
Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut Diagnostic and Statistical Manual DSM-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan
Sadeh 2012, insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur,
mempertahankan tidur, atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan harian dan distres klinik yang signifikan. Suatu
penelitian berbasis populasi menyatakan bahwa sebanyak sekitar 10,7 remaja usia 13-16 tahun pernah mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4 sedang
mengalami insomnia. Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling prominen dari kualitas tidur yang buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga
berkontribusi menimbulkan insomnia pada remaja.
Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindroma DSP, insomnia, dan sleep- related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi
hari Calhoun dan Ford, 2007.
2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur