10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Leasing
2.1.1 Pengertian Leasing
Defenisi sewa guna usaha leasing berdasarkan Keputusan bersama Mentri Keuangan, Mentri Perindustrian dan Mentrierdagangan Nomor Kep.
122MKTV74, Nomor 32MSK2174, Nomor 30KpbI74 Tanggal 7 Januari 1974 bahwa leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala
disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan
nilai sisa yang telah disepakati bersama. Selanjutnya Keputusan Mentri Keuangan Nomor 1169KMK.011991
Tanggal 21 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha Leasing. Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara leasing dengan hak opsi finance lease maupun leasing tanpa hak opsi atau sewa guna usaha biasa operating lease untuk digunakan oleh lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Yang dimaksud dengan finance lease adalah kegiatan leasing dimana lessee pada akhir kontrak
mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sedangkan yang dimaksud dengan operating lease adalah kegiatan
Universitas Sumatera Utara
11
leasing dimana lessee pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing.
Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya leasing mengandung pengertian yang sama yaitu memiliki unsur-unsur:
a. Pembiayaan perusahaan b. Penyediaan barang-barang modal
c. Jangka waktu tertentu d. Pembayaran berkala
e. Adanya hak pilih atau hak opsi f. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
2.1.2 Perkembangan leasing di Indonesia
Usaha leasing sewa guna usaha sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000 SM yang dilakukan oleh orang-orang Sumeria. Dokumen-dokumen yang
ditemukan dari kebudayaan Sumeria menunjukkan bahwa transaksi leasing meliputi leasing peralatan, pengunaan tanah, dan binatang piaraan. Dalam
perkembangan berikutnya, banyak sistem hukum mencantumkan leasing sebagai salah satu metode pembiayaan. Perkembangan usaha di bidang industri pertanian,
manufaktur dan transportasi membawa banyak jenis peralatan yang memungkinkan untuk dibiayai dengan cara leasing.
Menurut Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso 2006 bahwa kegiatan usaha leasing baru diperkenalkan pada tahun 1974 dengan Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Nomor Kep. 122MKIV121974, Nomor 32MSK21974, dan Nomor
Universitas Sumatera Utara
12
301KpbII74 tertanggal 7 Januari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Selanjutnya, Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan mengeluarkan
Surat Keputusan No.6491MKIIV51974 tertanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Untuk mendukung perkembangannya Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 650MKIV511974 tertanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan
Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea Materai terhadap usaha leasing. Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan deregulasi 20 Desember 1988 atau disebut
Pakdes 20 1988 kegiatan usaha leasing termasuk dalam perusahaan pembiayaan. Disamping itu, Keppres Nomor 61 tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1251KMK.0311988 tanggal 20 Desember 1988 merupakan bagian dari Paksdes 88 dimana lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat sehingga pemerintah
membuka lebih luas lagi bagi bisnis pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance, modal ventura dan kartu kredit.
Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur dalam Pakdes 20 Tahun 1988
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251KMK.0131988 Tanggal 20 Desember 1988, dimana jumlah modal disetor atau simpanan wajib dan pokok
ditetapkan sebagai berikut: 1. Perusahaan swasta nasional sebesar Rp. 3 miliar
2. Perusahaan patungan Indonesia-asing sebesar Rp. 10 miliar
Universitas Sumatera Utara
13
3. Koperasi sebesar Rp. 3 miliar Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri leasing relatif
tertinggal dibandingkan yang lain, perbankan, misalnya. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan perbankan pasca Pakto 1988. Pada era inilah bank muncul
dan menjamur bagai musim hujan. Deregulasi yang digulirkan pemerintah di bidang perbankan telah membuahkan banyak sekali bank, walaupun dalam skala
gurem. tetapi banyak kalangan menuding, justru Pakto 88 inilah menjadi biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada
1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank. Langkah itu ternyata masih diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam perawatan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional BPPN. Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup
mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika
sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan
usaha sewa guna leasing kian dikenal pelaku usaha nasional. Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan
perkembangan perusahaan leasing. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar aset. Perburuan asset tersebut
diantaranya disebabkan tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula, tampak
terguncang-guncang dana akhirnya tutup sama sekali. Dengan aset dan skala
Universitas Sumatera Utara
14
usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka berupaya agar tetap tampil
megah dan gagah. Maka, dimulailah saling lirik dan penjajakan di antara sesamanya. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan
penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini membuahkan hasil positif. Selain modal dan asset menggelembung, kredibilitas dan penguasaan
pasar pun ikut terdongkrak. Namun gairah menggelembungkan asset tersebut berangsur-angsur mulai
pudar. Karena pada tahun berikutnya 1990, industri leasing mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Sebetulnya, berubahnya orientasi ini dipicu oleh kian sengitnya persaingan
di industri leasing. Akibatnya, kehati-hatian menjadi agak terabaikan. Indikasinya, persyaratan untuk memperoleh sewa guna usaha menjadi semakin longgar.
Bahkan, kabarnya di Bengkulu, orang bisa mendapatkan sewa guna usaha hanya dengan menyerahkan selembar kartu tanda penduduk KTP.
Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat TMP = tight money
policy, yang lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II – suku bunga pun ikut meroket naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda
pencairannya. Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan multi finance seperti kehabisan darah. Aliran dana menjadi seret. kalaupun ada, harganya tinggi
sekali. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya.
Universitas Sumatera Utara
15
Dengan bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri.
2.1.3 Penggolongan perusahaan leasing