Pengumpulan dan Perdagangan Hasil Karet.

36 ikuti dengan pembatasan produksi karet pada 1922 dan peningkatan permintaan karet dunia yang mengakibatkan harga karet dunia naik, terutama pada 1925.Ketika peraturan Stevenson’s Scheme 51 Dalam satu hari seorang penyadap karet dapat menyadap pohon karet sebanyak kurang lebih 400 pohon. telah berjalan selama satu tahun. Karena di Hindia Belanda peraturan ini tidak diberlakukan, maka produksi semakin melonjak tinggi bahkan melampaui komoditas lainnya.

3.2 Pengumpulan dan Perdagangan Hasil Karet.

Kegiatan penyadapan karet oleh petani baru dapat dilakukan setelah berumur lima tahun, penyadapan karet biasanya dilakukan oleh pemilik kebun ataupun dikerjakan oleh tenaga kerja pendatang. Para pemilik kebun biasanya menggunakan tenaga kerja pendatang dalam mengerjakan penyadapan di kebun mereka. Tenaga kerja berasal dari Kerinci , Minangkabau, Jawa dan Banjar. 52 51 Suatu kebijakan yang dilakukan secara sepihak oleh produsen karet dari koloni-koloni Inggris untuk mengurangi produksi agar harga karet membaik.Aturan ini dipelopori Stevenson dan diberlakukan selama tahun 1922 – 1928. 52 N..R. Pekelharing, “Djambi”, dalam De Bevolkingsrubbercultuur in Nederlandsch- Indie, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925.hlm .16. Sistem pembayaran pada penyadap tidak berupa uang, melainkan berupa getah karet.Dengan sistem pembagian” bagi dua” yang dapat diartikan hasil yang diperoleh dari hasil sadapan di bagi dua dengan pemilik lahan.Selain pembagian hasil para penyadap karet juga mendapatkan fasilitas dari pemilik kebun, seperti tempat tinggal, pangan, dan penyediaan alat penyadapan serta bahan yang digunakan untuk koagulasi. Universitas Sumatera Utara 37 Selain bekerja sebagai penyadap karet, penyadap juga mengerjakan pengolahan getah yang selanjutnya menjadi karet olahan, proses pembekuan getah dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu mula-mula getah ditempatkan pada kaleng dan kemudian dicampur dengan larutan tawas. Proses pembekuan berlangsung tidak lebih dari pada 8 menit lamanya. 53 Hasil koagulasi dengan tawas ini dinamakan slab, yaitu bekuan karet kira-kira 45 x 35 cm panjang kali lebar dan tebalnya 6 cm atau lebih. 54 Harga Karet pikul Tabel 3.3 Perkiraan Pendapatan penyadap pertahun dengan 400 pohon karet yang disadap: Pendapatan 80 400 70 350 60 300 50 250 40 200 35 175 30 150 Sumber : Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, perkeboenan, hal.10. Produksi hasil karet rakyat Jambi mengalami peningkatan, maka tidak heran mengapa penanaman karet di Jambi mengalami peningkatan sehingga produksinya 53 Ibid.,hal.15. 54 A.H.P. Clemens,” De inheemse rubbercultur in Djambi”,hlm.15. Universitas Sumatera Utara 38 dalam beberapa tahun mengalami perkembangan. Ekspor karet pada tahun 1914 hanya 130 ton saja, namun pada tahun 1919 produksi karet di Jambi mengalami peningkatan menjadi 6.163 ton per tahun. Walaupun terjadi penurunan produksi pada tahun 1920-1921, produksi karet di Jambi di tahun setelahnya telah naik secara signifikan. Tabel 3.4 Jumlah Ekspor Karet Rakyat pada tahun 1927-1935. Tahun Karet basah Karet kering equivalent Rata-rata bulanan 1927 38.644 19.630 1.636 1928 33.240 19.610 1.634 1929 31.496 22.808 1.901 1930 27.193 19.870 1.656 1931 29.124 21.178 1.765 1932 24.793 17.566 1.464 1933 34.615 24.385 2.032 1934 34.658 25.574 2.131 1935 22.927 21.593 1.799 Sumber: koninklijke Vereeniging koloniaal instituut Amsterdam ,Djambi. hal.315. Universitas Sumatera Utara 39 Masa kejayaan budidaya karet Jambi adalah tahun 1920-an, sesudah itu bisnis tersebut ambruk selama Depresi besar dan bangkit lagi pada akhir 1930-an. 55 Maka tidak mengherankan kalau karet Jambi memiliki reputasi yang buruk di Singapura. Setelah Depresi besar tersebut harga karet internasional mengalami kenaikan pada 1922 dan mengalami puncaknya pada tahun 1925. Produksi karet di Jambi memperoleh pendapatan yang sangat menakjubkan yakni f 46.000.000, pendapatan ini menempatkan Jambi ke tempat teratas ekspor Hindia Belanda bersama dengan dua daerah di Kalimantan. Kenaikan harga pada tahun 1922-1925 memberikan dampak bagi perekonomian Jambi.Namun, selain melambungkan produksi, kenaikan harga ini menyebabkan praktek curang.Hal ini dapat di lihat dari hasil produksi karet yang pada tahun sebelumnya lebih tipis dan kering, kemudian masyarakat mulai menjual hasil karet yang lebih tebal dan basah. Tidak sampai disitu banyak masyarakat yang memasukan pasir, potongan-potongan besi, sol sepatu bekas dan kadang di isi juga dengan monyet mati untuk menambah berat, dan karena pengangkutan melalui sungai, mereka sengaja memasukan karet ke sungai sehingga berat dari karet terebut adalah berat dari air. 56 55 Elsbeth Locher-Scholten , op.cit.hal. 323 56 Ibid. Banyak keluhan yang diberikan oleh para pedagang, sebagai akibatnya pada tanggal 2 Mei 1928 dibentuk pengawas karet oleh pemerintah daerah dan Universitas Sumatera Utara 40 diumumkan sebagai tambahan khusus dari de Javasche Courant tanggal 22 Mei 1928 dengan nomor 41. 57 2. Karet harus diolah secara kering dan diangkut dalam keadaan kering, ketentuan ini diadakan agar kualitas karet dapat dilihat dan diawasi. Peraturan ini telah menyudahi nasib para saudagar “ lintas air” Jambi. Pengawasan terhadap pemalsuan karet tanggal 2 Mei 1928 mengandung ketentuan- ketentuan sebagai berikut: 1.Gumpalan-gumpalan karet tidak boleh lebih dari 3 cm tebalnya, ini untuk mencegah agar tidak sampai terjadi pemalsuan. Untuk mengikuti keinginan penduduk di tahun 1929 telah di izinkan scrabs dapat lebih tebal dari 3 cm, sampai dengan 6 cm. 58 Masyarakat Jambi tidak mempersoalkan peraturan poin 1 dan 3, mereka menyatakan ketidak senangannya atas poin 2, karena karet di angkut dengan rakit melalui sungai Batang Hari.berlakunya persyaratanlebih ketat Ini menjadi kejatuhan harga dan depresi,alasan yang menyebabkan adanya keberatan adalah, karet yang dipasarkan dari daerah pedalaman dan tidak boleh bersentuhan dengan air. Sedatangnya di pelabuhan bomm batu Jambi, karet yang dibawa dari pedalaman akan 3. Karet hanya boleh dicampur dengan tawas alimunium sulfat, tidak boleh dengan barang lain, juga dengan scrabs dari karet. 57 J. Tideman dan P.L.F. Sigar.op,cit. hlm.254. 58 A.H.P. Clemens. op,cit, hal.218-219. Universitas Sumatera Utara 41 menyusut 20 sampai 25 hal ini terjadi karena alam perjalanan karet menjadi kering. Alasan lainnya, karet yang dijual dan diangkut ke Jambi dengan menggunakan kapal atau perahu besar, segera harus dijual.Hal ini karena tidak tersedianya tempat penimbunan yang murah, sedangkan pada biasanya jika di angkut dengan rakit para penjual dapat menunggu harga, sampai jelas dan mantap harganya. Selain itu menunggu diatas kapal akan sangat mahal jika berada di atas rakit. 59 Dari pajak ekspor karet dikeluarkanlah dana agar penduduk Jambi melalui perantara pemerintah mendapatkan gilingan karet secara kredit tanpa bunga. Pada tanggal 1 April1936 telah dapat dibeli 596 gilingan halus dan 600 gilingan bergerigi dari firma Lindeteves dan dari Industrieele Maatschappij Palembang. Namun sejak pertengahan tahun 1934 oleh pedagang Cina telah didatangkan 1280 gilingan buatan Cina yang juga dijual dengan kredit yang murah. Penerapan restriksi karet direncanakan peraturan yang diberlakukan untuk memperbaiki cara pengolahan hasil karet. Kesulitan yang paling besar dalam melakukan penyuluhan perbaikan kualitas pengolahan karet adalah tersebarnya letak kebun karet pada sebuah daerah, banyaknya pemilik kebun,jalan yang tidak baik dan sikap penduduk Jambi yang tidak suka menerima bantuan dari luar. 60 Disamping itu penyuluhan yang dilakukan untuk memberikan contoh dengan gilingan karet, bak kogulasi dan asam semutnya. Hal ini dilakukan untuk 59 J. Tideman dan P.L.F. Sigar.op,cit. hlm.255. 60 Ibid., hal.256. Universitas Sumatera Utara 42 mendapatkan hasil lebih bersih dan tipis, selain itu penyuluhan ini dilakukan untuk menghilangkan cara penggunaan tawas dan sebagai langkah awal untuk mendapatkan karet jenis smoked sheets. Untuk tujuan ini di setiap marga, dana dari pajak ekspor karet digunakan untuk membangun rumah pengasapan karet. Dengan pembangunanya tersedia kredit tanpa bunga untuk membangun rumah pengasapan karet. 61 Pada tahun 1930 telah berdiri 8 buah rumah pengasapan dengan ukuran kapasitas 765 ton per bulan. Di Jambi terdapat rumah pengasapan sebanyak 11 buah dalam keadaan beroperasi dan ada 6 buah yang akan dibangun di Jambi. Selanjutnya pada tahun 1936 ada 3 buah rumah pengasapan di Onderafdeeling Muara Bungo, 6 buah rumah pengasapan ada di Onderafdeeling Muara Tembesi,6 buah rumah pengasapan ada di Onderafdeeling Muara Tebo, 7 buah rumah pengasapan ada di Onderafdeeling Bangko, dan 130 buah rumah pengasapan ada di Onderafdeeling Sarolangun. 62 61 Ibid. 62 Ibid. Universitas Sumatera Utara 43 Gambar 1 Rumah pengasapan yang ada di distrik Jambi Sumber: http:media-kitlv.nl., diakses 12 September 2016 Depresi ekonomi yang terjadi tahun 1929 yang mengakibatkan mundurnya industri otomotif di Amerika Serikat dan Eropa menjadi alasan yang mendasar terhadap menurunnya jumlah produksi. Disampingitu, dihapuskannya Stevenson’s Scheme di tahun 1928 membuat terjadinya over produksi, sehingga negara-negara industri tidak dapat menampungnya. 63 Pada Tanggal 7 Mei 1934, pemerintah dari berbagai produsen karet di dunia seperti Inggris, Belanda dan Perancis berkumpul dan mengadakan pertemuan di London. Mereka yang kemudian bergabung didalam IRRA International Rubber Regulaton Agreement mengadakan pembicaraan untuk mengatur produksi dan ekspor karet dari daerah produksi dibawah kontrolnya. 63 Edi Sumarno. Perkebunan Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942 Tesis, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 1998, hlm. 116. Universitas Sumatera Utara 44 Untuk menjalankan aturan ini, setiap anggota diberikan kuota yang diatur berdasarkan kapasitas maksimal. Beberapatahun berselang, aturan inilah yang kemudian dikenal sebagai restriksi karet. Oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu kemudian, aturan ini dilakukan dengan melakukan penerapan restriksi berdasarkan jenis produksinya, kemudian dibagi berdasarkan kuota tertentu.Untuk karet rakyat, sejak 1 Juni 1934 diberlakukanlah pajak ekspor khusus kepada masyarakat. Pajak ekspor khusus ini dalam beberapa tahun terus menerus di tingkatkan; dari 16 sen per kilo pada tahun 1934 menjadi 59 sen per kilo pada tahun 1936.Baru pada tahun 1936 produksi karet di Hindia Belanda di turunkan pada batas- batas yang di izinkan. Karena pajak ekspor khusus tidak diberlakukan terutama karena alasan-alasan fiskal, uang di simpan dalam bentuk dana bagi daerah daerah penghasil karet, alhasil sektor publik Jambi mendapatkan suntikan pendapatan yang substansial. 64 Terjadi perubahan dalam mengatur produksi hasil karet yang akan di ekspor. Perubahan tersebut mengatur tentang sistem kuota individual petani dalam menjual hasil karet, setiap produsen dipaksa mengikuti suatu sistem yakni sistem dengan penggunaan kupon untuk mengatur hasil yang boleh dihasilkan.Sistem ini dapat diterapkan karena sebelumnya dibelakukan sistem pendaftaran untuk perkebunan karet. Perbandingan dengan daerah-daerah penghasil karet seperti Palembang, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tenggara memperlihatkan intensitas budidaya komoditas ini di Jambi. Dapat dilihat pada tabel 3.5. 64 Elsbeth Locher-Scholten , op.cit.hal. 324. Universitas Sumatera Utara 45 Tabel 3.5 Perbandingan daerah-daerah penghasil karet pada tahun 1936 Sumber :A.H.P. Clemens,” De inheemse rubbercultur in Djambi” hal 229 Dengan terjadinya kenaikan harga karet dan pemberlakuan sistem kupon yang membatasi hasil karet bagi pemilik kebun karet. Namun pada tahun 1936 pemberlakuan sistem kuota individual tersebut menyebabkan produsen karet dapat meraup seluruh uang karetuntuk mereka sendiri, dalam beberapa kasus dapat berlipat ganda hingga lima kali lipat. Zaman keemasan ini kali ini disebut sebagai zaman Koepoen, hal ini dikarenakan selain karet itu sendiri ramai pula diperdagangkan Universitas Sumatera Utara 46 kupon, yang berfungsi sebagai izin panen. 65 Pada 1937 Jambi mengalami Boom karetnya yang kedua, meningkatnya harga karet pada tahun ini hanya untuk jatuh lagi pada tahun 1938. Penigkatan harga karet dunia terjadi karena pengaruh peningkatan kebutuhan karet di masa perang pada 1940 sampai 1941, peningkatan ini menyebabkan peningkatan angka produksi yang bertambah menjadi 37.000 ton pada tahun 1940 dan 45.000 ton pada tahun 1941, tetapi pada saat itu Jambi sudah di depak dari tempat teratas oleh Palembang. Peningkatan harga karet ini menyebabkan banyaknya para petani yang membeli kupon untuk meningkatkan kuota karet yang akan dijualnya. Peningkatan harga karet ini menyebabkan peningkatan produksi hasil karet yang cukup signifikan, peningkatan ini terlihat pada tahun 1938 yang menanjak cukup tajam.Peningkatan yang tajam hasil karet di Jambi tidak dapat menyaingi hasil karet dari Palembang yang meningkat dan tidak dapat disaingi oleh daerah penghasil karet lainnya yang ada di Hindia Belanda.Hal ini dapat dilihat pada grafik ekspor karet dari Jambi dan Palembang pada tahun 1918-1940. 65 A.H.P. Clemens. op,cit, hal.230. Universitas Sumatera Utara 47 Tabel 3.6 Ekspor karet dari Jambi dan Palembang pada tahun 1918-1940 Sumber :A.H.P. Clemens,” De inheemse rubbercultur in Djambi” hal 224 Universitas Sumatera Utara 48

3.3 Penyaluran Hasil Karet.