8
Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma
membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma akan menentukan kualitas
pertanyaan yang akan ditanyakan oleh peneliti dan jenis data yang bagaimana untuk menghasilkan jawaban Bulaeng, 2004: 2. Paradigma menawarkan cara
pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia. Perspektif atau paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak
perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu
pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Paradigma tertanam
kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial dan epistemologis yang panjang Mulyana,
2003: 9.
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif Sunarto Hermawan, 2011: 9. Perspektif atau paradigma yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan
subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari
Universitas Sumatera Utara
subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud- maksud tertentu dalam setiap wacana Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151. Setiap
pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.
Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme
memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk Eriyanto, 2001: 37.
Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau
keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku. Ketiga,
dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik,
melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru
mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia Ardianto dan Q-Anees, 2007: 153.
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek
sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme-
subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151-153.
Universitas Sumatera Utara
Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui
proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya Wibowo, 2011: 27. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah
yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan
bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu Ardianto dan Q-Anees, 2007: 154.
Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun,
konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Pengetahuan
dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.
Robyn Penmann Ardianto dan Q-Aness, 2007: 158 merangkum kaitan konstruktivis dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:
1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang
dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikasi dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.
2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagai diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam
kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.
3. Pengetahuan bersifat konstektual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran
waktu. 4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara
pandang yang ikut mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau
Universitas Sumatera Utara
dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “segala
sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil
pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya. 5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Pandangan ini mendasarkan pada penafsiran
teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam
penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
2.2 Kajian Pustaka