90
Ismuha sendiri menyimpulkan ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris tidak dikenal dalam hukum Islam kecuali baru Hazairin yang menyatakan cucu
dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.
141
Berdasarkan uraian diatas, Para cucu atau garis turun ke bawah telah lama diinterpretasi para ahli hukum Islam klasik dalam pengertian walad adalah anak laki-
laki dan anak perempuan dan anak turun mereka ketika mereka meninggal dunia. Sedangkan cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan tidak memperoleh hak
kewarisan. Didalam bahasa Arab pengertian walad dengan bin itu berbeda, bin adalah anak biologis sedangkan walad tidak mesti biologis, termasuk cucu adalah walad
karena diasuh dan dibesarkan oleh kakek dan nenek mereka, maka tentu saja ia mendapatkan hak waris menggantikan orang tuannya yang telah meninggal lebih
dahulu. Para ulama yang berada di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe,
mereka membatasi walad tersebut hanya anak kandung dan tidak membedakan antara walad dengan ibnu bin, tentu saja pemahaman yang demikian akan mempengaruhi
pada penetapan hukum kewarisan cucu dari kakeknya.
3. Fatwa Ulama-ulama Setempat
Fatwa-fatwa ulama di Aceh selalu didasarkan pada kitab-kitab klasik yang digunakan oleh para tokoh ulama dan adat di Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe, Dalam menfatwakan setiap kasus ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris masyarakat berpedoman pada fatwa-fatwa ulama dan tokoh adat
141
Ibid, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
91
setempat. Sehingga jika ada kasus mengenai ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris maka merujuk kepada fatwa-fatwa tersebut. Dan ulama-ulama
setempat itu umumnya tamatan dari pesantren-pesantren di Aceh. Para ulama di Aceh dalam memberikan fatwa hukum sangat dipengaruhi oleh
sebagai berikut : a. Kitab-kitab fikih klasik,
b. Adat-istiada yang sudah lama berlaku, c. Teks-teks Al-Qur’an dan Hadist yang didasarkan kepada makna-makna
dhahir, d. Pemikiran guru-guru mereka terdahulu.
Para ulama Aceh menganggap bahwa ahli hukum Islam yang melahirkan Kompilasi Hukum Islam Indonesia tidak memiliki hak untuk berijitihad karena ilmu
mereka belum sampai ketingkat Mujtahid, tentu saja tidak ada kewajiban mereka untuk mengikuti ijitihad ahli hukum yang melahirkan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia.
4. Kesulitan dalam merubah kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat
Untuk merubah kebiasaan di dalam masyarakat tidak lah gampang seperti membalikkan telapak tangan, hal ini memerlukan waktu yang cukup lama dalam
merubah pola pikir yang telah terbentuk bertahun-tahun. Inilah salah satu alasan kenapa sebahagian masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe tidak
menyelesaikan kasus penggantian tempat ahli waris ahli waris pengganti di Mahkamah Syar’iyah Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Kebiasaan itu
Universitas Sumatera Utara
92
dapat dirubah melalui merubah kurikulum dan silabus fikih Islam yang diajarkan di Madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren di samping ceramah-ceramah agama
yang disampaikan para mubaligh disetiap desa. Sebahagian masyarakat menganggap merubaha hukum fikih Islam yang
dilahirkan oleh ulama terdahulu merupakan dosa karena mereka termasuk dalam kelompok waris Nabi Muhammad SAW. Bila masyarakat melawan fatwa waris nabi
Muhammad SAW berarti sama dengan melawan nabi. Untuk merubah kebiasaan tersebut harus dilakukan melalui pendidikan, menjadikan Mahkamah Syar’iyah
sebagai tempat penyelesain perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama. Disamping mencerdaskan masyarakat dengan cara memasyarakatkan
Kompilasi Hukum Islam ditengah-tengah masyarakat baik dilembaga pendidikan atau masyarakat umum.
Universitas Sumatera Utara
93
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENERAPAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Hambatan Yuridis 1.
Pengaruh Kitab Klasik
Para Tokoh Ulama Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe sampai saat ini masih menggunakan kitab-kitab klasik seperti Albajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi
‘ala al-Tahrier, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj dan Al-Syarqawi dalam memutuskan kasus-kasus ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris, para
Tokoh Ulama berpendapat bahwa kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima bukanlha hak yang seharusnya diterima oleh
ahli waris yang digantikan. Disamping itu juga para Tokoh Ulama Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe mengemukakan pendapatnya bahwa yang disebut dengan ahli waris pengganti bagi mereka adalah para ahli waris yang menerima bagiannya bukanlah
bagian ahli waris yang mereka gantikan, yang artinya bahwa mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka
kepada pewaris. Mereka menerima hak waris karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris.
Khusus untuk masalah cucu, ijtihad yang dilakukan oleh Zaid Bin Tsabit dalam menentukan bagian cucu dengan pendapatnya bahwa dalam keadaan apapun
93
Universitas Sumatera Utara
94
cucu yang berhak memperoleh harta kakeknya harus lha cucu melalui garis keturunan laki-laki, sepanjang tidak ada saudara laki-laki dari ayahnya yang masih hidup.
Hal ini terlihat dalam contoh dibawah ini : a. Bagian yang diterima oleh cucu laki-laki adalah sebagaimana yang diterima
oleh anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak perempuan, tidak sebagaimana hak
yang diterima
oleh anak
laki-laki yang
digantikannya dan
yang menghubungkannya kepada pewaris.
b. Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah, baik sebagai dzawil furud maupun sebagai asabah. Tetapi kakek tidak berkedudukan
sebagai ayah sebagaimana terlihat dalam beberapa hal : 1
Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama hanafi, kakek juga menutup
kewarisan saudara. 2
Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga harta menjadi sepertiga dari sisa harta dalam masalah garawayni. Dalam hal ini kakek
tidak dapat disamakan dengan ayah. c. Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena nenek
dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam 16, sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga 13 yaitu bila pewaris tidak ada
meninggalkan anak.
Universitas Sumatera Utara
95
d. Saudara seayah tidak sepenuhnya menepati kedudukan saudara kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini :
1 Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung
menjadi Asabah sedangkan saudara seayah tidak dapat berbuat begitu. 2
Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam masalah musyarakah
sedangkan saudara
seayah tidak
dapat diperlakukan
demikian. e. Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian pula paman
dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri.
Berdasarkan uraian diatas khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan apapun tokoh ulama tetap menempatkannya sebagai cucu bukan sebagai
pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu melalui anak laki-laki, maka cucu yang ayahnya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, tidak berhak
menerima warisan kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup.
142
2. Pemahaman Terhadap KHI belum Maksimal