19
2. Bagaimana Menyelesaikan Kasus Munasakhah. 3. Apakah yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
kasus Munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77Pdt.P2009PA. Mdn.
Dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran dan
menjelaskan suatu masalah.
26
Menurut Neuman “ Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstarksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai
ide yang memandatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”
27
Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian teori adalah :
1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan
argumentasi. 2.
Penyelidikan eksperiment yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi dan argumentasi.
28
26
R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Bandung : PT. Reflika Aditama, 2004, hal 21
27
W.L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 2004, Cet 6, hal.20
28
Pusat bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka, 2002, hal. 1177.
Universitas Sumatera Utara
20
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman dan petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.
29
Sedangkan kerangkat teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan
yang menjadi dasar pertimbangan atau pegangan teoritis.
30
Teori dipergunakan untuk menjelaskan secara teoritis antara variable yang sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antara variable bebas
independent dan variable tak bebas dependent. Telaah teoritis dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan
prediksi dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.
31
Dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai pisau analisis grand
theory penelitian ini juga didukung dengan teori Maslahat Mursalah serta teori positif dan teori kepastian hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting
dalam memecahkan masalah dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya. Teori keadilan diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh
hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi
oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengatualisasikannya. Yang kemudian oleh John Rawls yang hidup pada awal abad
29
Lexy Meleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remma Rosdakarya, 2002, hal. 35
30
M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : CV. Mandar Maju, 1994, hal. 27
31
Agusri Pasaribu, Metodelogi Nomotetik dan Idiografi serta Triangalasi, Medan : Perpustakaan USU, 1998, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
21
21 lebih menekankan pada keadilan sosial,
32
Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah :
1. Jaminan stabilitas hidup, dan;
2. Keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Teori keadilan dalam hukum Islam, persyaratan adil sangat menentukan besar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Umpamanya dalam
kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Husanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyariatkan aturan hukum yang adil karena
menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain.
33
Disini akan terjadi pemindahan pemilikan harta dari yang meninggal kepada ahli warisnya mustahik harus adil, tidak boleh berlaku aniaya atau pengurangan
yang satu untuk ditambahkan kepada bagian yang lain. Ini semua telah diatur oleh agama, seperti warisan yang diperoleh bagian laki-laki adalah dua bagian dari bagian
perempuan, atau suami memperoleh setengah harta warisan jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak, dan seterusnya QS.An-Nisa : 11-12, dan 176. Ini merupakan
ketentuan atau keadilan dari Allah SWT dan siapa yang mematuhinya akan masuk syurga QS.An-Nisa : 13.
Salah satu asas penting dalam sistem kewarisan dalam hukum Islam adalah asas keadilan berimbang, yang maksudnya adalah seseorang akan memperoleh hak
32
John Rawls, Modern Jurisprudensi, Kuala Lumpur : Internasional Law Book Review, 1994, hal. 278
33
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2013, hal. 106
Universitas Sumatera Utara
22
dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya. Salah satu bentuk keadilan berimbang ini dapat dilihat pada kasus Aul dan Radd.
Contoh lain, kasus ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris, berdasarkan asas keadilan berimbang ini, bila seorang cucu yang secara kebetulan
ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari kakek, dan pamannya, kehidupannya sudah terlunta-lunta, lantas tidak diberikan pula harta warisan dari kakeknya
kepadanya.
34
Keadilan dalam warisan tidak berarti membagi sama harta warisan semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada
perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Disamping teori keadilan diatas, juga digunakan teori Maslahat Mursalah
Untuk menjamin proses penegakan hukum waris Islam di kalangan umat muslim, teori maslahat mursalah dapat digunakan sebagai teori aplikasi, terutama kaitannya
dengan ahli waris pengganti Penggantian tempat ahli waris menurut hukum Islam. Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-mashlahah, artinya adalah
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
35
istilah ini dikemukakan ulama Ushul Fikih dalam membahas metode yang dipergunakan saat melakukan
istinbath menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada nash.
34
Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Medan : Magister Kenotariatan, 2011, hal. 17
35
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2013, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
23
Keberadaan maslahat menurut syarak, Mustafa asy-Syalabi membaginya sebagai berikut :
1. Kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
Misalnya, hukuman bagi orang-orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadist Rasulullah SAW ketika melaksanakan
hukuman bagi orang yang meminum minuman keras.
2. Kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertentangan dengan ketentuan syarak.
Misalnya, syarak menenunkan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan dikenakan hukuman
memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan bagi enam puluh fakir miskin HR Bukhari dan Muslim.
Yahya bin Yahya al-laitsi, ahli fikih mazhab maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang
penguasa Spanyol yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya disiang hari dalam bulan Ramadhan.
Ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara
berurut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan puasa dua bulan berturut-turut.
Karenanya, ulama Ushul Fikih memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan
kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga hukumannya batal ditolak syarak. Kemaslahatan seperti ini menurut
kesepakatan ulama di sebut al-mashlahah al-mulghah.
3. Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula dibatalkan ditolak syarak melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam
bentuk ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik
secara rinci maupun secara umum, dan b. Kemaslahatan yang tidak ada dukungan dari syarak secara rinci, tetapi
didukung oleh makna sejumlah nash. Kemaslahatan yang pertama disebut dengan al-mashlahah al-Gharibah
kemaslahatan yang asing, namun para ulama tidak dapat mengemukakan contoh
Universitas Sumatera Utara
24
secara pasti. Bahkan Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada teori.
36
Sedangkan kemaslahatan dalam bentuk kedua disebut al-mashlahah al- mursalah. Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan makna nash ayat dan hadist
bukan nash yang rinci. Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa al-mashlahah al-mu’tabarah
dapat dijadikan
sebagai hujjah
alasan dalam
menetapkan hukum
Islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk metode Qiyas. Mereka juga sepakat menyatakan
bahwa al-mashlahah al-mulghah tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dengan al-mashlahah al-Gharibah, karena tidak
ditemukan dalam praktek.
37
Adapun terhadap kehujjahan al-mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya jumhur ulama mazhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan
hukum syarak, sekalipun dalam menentukan syarak, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapat.
Untuk bisa menjadikan al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, mazhab Maliki dan Hambali mensyaratkan tiga hal, yaitu :
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syarak, dan termasuk ke
dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum. 2.
Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-maslahah al-mursalah itu
benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudharatan.
36
Ibid, hal. 43
37
HA Djazuli,Ushul Fiqh: Metode Hukum Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2001, hal. 185
Universitas Sumatera Utara
25
3. Kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
38
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab Ushul Fiqihnya, membahas permasalahan al-maslahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam melakukan istinbath, yaitu: 1.
Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syarak. 2.
Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syarak. 3.
Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang ad-Dharuriyah, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang
banyak.
39
Untuk syarat yang terakhir, al-Ghazali juga menyatakan bahwa yang al- hajiyyah, baik menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi ad-Dharuriyah.
Berdasarkan uraian diatas, Pemberian warisan kepada cucu sebagai ahli waris pengganti penggantian tempat ahli waris termasuk dalam kategori Mashlahah al-
Mursalah karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak ada pula ada ayat dan hadist yang bertentangan dengan konsep ahli waris pengganti
penggantian tempat ahli waris tersebut. Digunakan pula teori positif dalam penulisan ini juga, yaitu sebagaimana yang
dipelopori oleh Jhon Austin. Hukum itu sebagai a command of the law giver perintah dari pembentuk hidup terhadap atu penguasa yaitu suatu perintah mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu system yang logis, tetap dan bersifat tertutup close logical system. Hukum
secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik
38
Zamakhsyari, Op.Cit, hal 46
39
Ibid, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
26
buruk.
40
Yang dinamakan sebagai hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan.
Sedangkan Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan
nilai-nilai dalam
masyarakat dari
nilai-nilai tradisional
ke nilai-nilai
modern.
41
Namun, masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang akan menggantikannya, sudah barang tentu
dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang- kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam
masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan
utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai
yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, baik yang tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
42
Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence menyatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat law as a
tool of social engineering, tidak hanya sekedar melestarikan status quo.
43
40
Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi, Pengantar Filasafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2002, hal. 55
41
Ibid. hal. 20
42
Kuntjaraningrat, Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Banacipta, 2009, hal. 25
43
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, pokok-poko Filsafat Huku, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 197
Universitas Sumatera Utara
27
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-
undang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.
44
Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
45
Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi : 1. Asas legalitas;
2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;
3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut; 4. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.
46
44
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 158
45
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1999, hal. 145
46
Ida Bagus Putu Kumara Ady Adyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Malang; Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, 2010, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
28
2. Konsepsi