106
kemerdekaan, lalu kita ada ekstrakurikuler untuk mengasah potensi siswa terutama nonakademik dan
fasilitas untuk siswa, ada ekstra yaitu Robotik, Basket, Taekwodo, Tari, ESC English Student Club, Karawitan,
ada juga jurnalistik juga” GH13062016. Dari penjelasan di atas, pihak sekolah dalam kegiatan rutin
untuk mengasah potensi akademik siswa sudah baik, namun pengawasan dan penerapannya yang kurang, buktinya pada
tahun ini prestasi di SMP Negeri 3 merosot. Hal ini perlu menjadikan perhatian pihak sekolah agar hal ini tidak terus-
menerus terjadi, karena sebenarnya di SMP Negeri 3 Yogyakarta siswa-siswanya memiliki skill nonakademik.
c. GagasanIde warga sekolah mengenai kultur SMP Negeri 3
Yogyakarta yang berada di kawasan berisiko
Menurut gagasan dari warga sekolah terhadap kultur yang berkembang di SMP Negeri 3 Yogyakarta bahwa ketika dunia
pendidikan yang di depannya ada hotel, Malioboro itu kurang sesuai dan dikhawatirkan akan berdampak pada pergeseran nilai-nilai. Hal ini
dikemukakan oleh bapak GH dalam kutipan wawancara sebagai berikut: “Kalau sekarang menurut saya udah mulai pudar, karena
kaitannya dengan sejarah kita berangkatnya bahwa kita sekolah dari keraton itu kan sudah mulai tidak melekat lagi pada kita
karena memang kita dah jadi sekolah umum lah, ya hampir sama kita dengan sekolah negeri itu ya orientasinya hanya pada lulusan
terbaik kita mau mencoba ada terseliblah di SMP 3 itu kaitanya
budaya tradisional”GH13062016.
107
Hal yang sama diperkuat oleh bapak S dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
“Kalau di lingkungan sekolah ini sama anak yang rajin anak yang pandai itu pasti berprestasi kalau di lingkungan keluarga beda-
beda namun biasanya ini suka dibawa ke lingkungan sekolah contohnya anaknya kalau di rumah tidak dididik oleh orang tua di
rumah tentang kejujuran, tidak boleh mengambil punya orang lain disini kan ada yang suka kehilangan gitu, jadi ini CCTV
membantu saya untuk memantau, jadi yang melakukan pengotrolan dan pengeledahan itu BK bersama guru, bersama
kesiswaan”S18062016. Berdasarkan wawancara tersebut, ada siswa yang membawa
pergaulan di rumahnya ke sekolah, hingga nanti akan berpengaruh kepada teman di sekolahnya. Hal ini biasanya terjadi kepada siswa
pemegang kartu KMS, karena guru-guru di SMP Negeri 3 memandang siswa pemegang kartu KMS siswa yang bermasalah, namun memang di
SMP Negeri 3 Yogyakarta adalah siswa yang bermasalah adalah siswa pemegang kartu KMS tersebut. Hal ini diperkuat oleh wawancara
bapak GH sebagai berikut : “........apalagi kita negeri murid-murid disini itu pemegang kartu
KMS hampir lima puluh persen kemudian masuk disini inputnya terakhir, kita dari enambelas smp negeri kita ranking 16, tapi ya
penting kan bibit itu, mbak. Saiki didik wong sek nem e las-lasan yo bedo e karo sek nem e kur-kuran apalagi anak KMS, waa.....
KMS ki ra cukup sabar mbak, wes dadi bapak wes dikancani isih manjane setengah mati, neng ora dong, Isih apa-apa gratis mek
ujian njaluk dipetuk we ra gelem og, karena apa? tingkat kesadarannya rendah, motivasi dari keluarga itu rendah bedo karo
sek cah pinter anak dosen, anak dokter motivasi dari keluarga
kuat banget.”
108
Berbeda dengan siswa SMP Negeri 3 Yogyakarta yang mempunyai cara pandang tersendiri tentang kultur sekolah mereka, seperti yang
diungkapkan oleh B dalam kutipan wawancara berikut: “Lingkungannya, mbak, trus juga sekolah yang deket ama toko
toko”B18062016. Hal yang sama juga diungkapkan oleh siswa T dalam kutipan
wawancara sebagai berikut: “Ya seneng-seneng, tapi ada enggaknya senengnya kalau pulang
gasik bisa jalan-jalan kalau eng gaknya ya rame”T201072016.
Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan gagasan dari warga sekolah mengenai kultur sekolah di SMP Negeri 3 Yogyakarta adalah
sekolah yang dekat sekali dengan kota wisata dan kawasan yang berisiko dan lingkungan yang rawan. Hal ini perlu adanya ketegasan
lagi dari pihak sekolah agar siswa-siswa tidak terpengaruh terhadap pergaulan dikarenakan usianya yang masih labil, namun tetap berbuat
baik kepada warga sekitar. Selain itu, guru beranggapan di SMP Negeri 3 Yogyakarta bahwa
siswa pemegang kartu KMS yang berangkat dari latar belakang keluarga yang kurang mampu memiliki motivasi yang kurang dari
keluarga, karena secara ekonomi, lingkungan orang pemegang KMS pasti berbeda, namun tidak semua anak KMS itu seperti itu, dan anak-
anak Pajeksan yang pemegang kartu KMS banyak yang bersekolah di SMP Negeri 3 Yogyakarta. Selain itu SMP Negeri 3 Yogyakarta,
karena berada di lingkungan kawasan berisiko, dekat pusat
109
perbelanjaan, apalagi wali murid yang berasal dari Jogja sedikit banyak tahu bagaimana masyarakat di sekitar Malioboro, tentu hal itu ada
kekhawatiran dari pihak orang tua.
B. Pembahasan
Kultur sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja sekolah dan mutu pendidikan dan juga dapat mengembangkan kultur positif
yang sudah ada dan diharapkan menjadi prestasi siswa dan meninggalkan hal yang berdampak negatif atau kultur negatif. Sifat dinamik kultur sekolah
tidak hanya diakibatkan oleh dampak keterkaitan kultur sekolah dengan kultur sekitarannya, melainkan juga antar lapisan kultur tersebut Farida
Hanum, 2008: 10. Segenap warga sekolah perlu memiliki wawasan bahwa ada unsur
kultur yang bersifat positif, negatif, dan ada yang netral dalam kaitannya denga visi dan misi sekolah. Sebagai contoh bila visi dan misi sekolah
mengangkat persoalan mutu, moral, dan multikultural; sekolah harus dapat mengenali aspek-aspek kultural yang cocok dan menguntungkan, aspek-aspek
yang cenderung melemahkan dan merugikan, serta aspek lain yang netral dan tak terkait dengan visi misi sekolah Farida Hanum, 2008: 14.
SMP Negeri 3 Yogyakarta yang terletak di kawasan berisiko secara artefakfisik seperti penataan buku, kelengkapan pada fasilitas kelas tampak
bersih, namun jika dilihat lebih mendalam masih ada coret-coretan dari tangan jahil yang merusak fasilitas, dan kurang pada perawatan oleh warga
sekolah terutama siswa.