Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta.

(1)

v ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei Pada Siswa-Siswi kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antar kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kota Madya Yogyakarta. Populasi penelitian ini sebanyak 8177 siswa. Sampel penelitian ini 400 siswa. Teknik pengambilan sample adalah proportional sampling dan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh negatif dan signifikan locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,003<α =0,05); (2) ada pengaruh negatif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,005<α =0,05); (3) ada pengaruh negatif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,000<α =0,05).


(2)

vi ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND

SCHOOL CULTURE TOWARDS THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING

ACHIEVEMENT

A Survey at 3rd Grade Students State and Private of Junior High Schools in Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research aims to identify whether: (1) there is influence of locus of control towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there is influence of family culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there is influence of school culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

This research was carried out at private and state Junior High Schools in Yogyakarta. The research population were 8177 students. The samples of the research were 400 students. The techniques of taking the sample were proportional sampling and purposive sampling. The data collecting methods were questionnaire and documentation. The data analysis technique was regression model developed by Chow.

The result of the data shows: (1) there is a negative and significant influence of locus of control towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ =0,003<α =0,05); (2) there is a negative and significant influence of family culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ =0,005<α =0,05); (3) there is a negative and significant influence of school culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ=0,000<α =0,05).


(3)

PENGARUH

LOCUS OF CONTROL

, KULTUR KELUARGA,

DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR

Survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya, Yogyakarta

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

Ima Rachmaningsih 021334123

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(4)

(5)

(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Desember 2008 Penulis


(7)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Ima Rachmaningsih

Nomor Mahasiswa : 021334123

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR

Survei pada siswa -siswi kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya, Yogyakarta

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempub likasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 19 Februari 2009

Yang menyatakan


(8)

v ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei Pada Siswa-Siswi kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antar kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kota Madya Yogyakarta. Populasi penelitian ini sebanyak 8177 siswa. Sampel penelitian ini 400 siswa. Teknik pengambilan sample adalah proportional sampling dan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh negatif dan signifikan locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,003<α =0,05); (2) ada pengaruh negatif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,005<α =0,05); (3) ada pengaruh negatif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (ρ =0,000<α =0,05).


(9)

vi ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND

SCHOOL CULTURE TOWARDS THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING

ACHIEVEMENT

A Survey at 3rd Grade Students State and Private of Junior High Schools in Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research aims to identify whether: (1) there is influence of locus of control towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there is influence of family culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there is influence of school culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

This research was carried out at private and state Junior High Schools in Yogyakarta. The research population were 8177 students. The samples of the research were 400 students. The techniques of taking the sample were proportional sampling and purposive sampling. The data collecting methods were questionnaire and documentation. The data analysis technique was regression model developed by Chow.

The result of the data shows: (1) there is a negative and significant influence of locus of control towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ =0,003<α =0,05); (2) there is a negative and significant influence of family culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ =0,005<α =0,05); (3) there is a negative and significant influence of school culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement (ρ=0,000<α =0,05).


(10)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan hadayah-Nya selama dalam proses pengerjaan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikannya. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Locus of control, Kultur Sekolah, dan Kultur Keluarga terhadap Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“ ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Bersamaan dengan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi, Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi masukan, saran, semangat dan sabar mau membimbing dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih banget………ya pak.

5. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S. Pd., M. Si, yang telah menguji dan memberi masukan, sumbangan pemikiran dan saran dalam penulisan skripsi.


(11)

viii

6. Bapak Drs. Bambang Purnomo, SE., M. Si, yang telah menguji dan memberi masukan, sumbangan pemikiran dan saran dalam penulisan skripsi.

7. Para dosen Program Studi Akuntansi, Universitas Sanata Dharma yang telah memberi bekal ilmu selama penulis belajar dan kuliah di kelas. Mohom maaf jika penulis banyak kesalahan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan. 8. Para karyawan sekretariat Pendidikan akuntansi, Universitas Sanata Dharma

yang telah banyak membantu dalam menyampaikan dan memberikan informasi kepada penulis.

9. Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Yogyakarta, SMP Muhammadiyah 5, SMP Bopkri 3, SMP Pangudiluhur 2, SMP Perintis dan segenap guru dan karyawan yang telah memberi kesempatan penulis melakukan penelitian serta membantu penulis dalam melengkapi segala kebutuhan yang diperlukan dari sekolah. 10.Bapak, Ibu (terma kasih semangat dan doanya selalu) dan adik-adikku atas

segala dukungan baik secara moril maupun materiil selama proses pengerjaan dan penyelesaian skripsi

11.Om, tante, widi dan shinta yang telah banyak membantu dengan menyediakan sarana dan prasarana serta bimbingan, dukungan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terima kasih dan mohon maaf kalau selama ini penulis banyak kesalahan

12.untuk de Erma makasih sarana dan prasarananya saat aku pendadaran, selalu jadi teman becanda, curhatku. Pokoknya is the best………

13.Untuk orang yang masih aku sayangi, favfva makasih ya atas doanya selama ini dan kasih sayangnya yang dulu dapat memberi semangat dalam segala hal.


(12)

ix

14.Teman-temanku sigit, tante, esti, risa, spt, dhita, dewi makasih banget ya doa dan dukungannya.

15.Semua teman-teman PAK’02, khususnya PAK C makasih semua…..semoga kalian sukses.

16.Teman-teman baruku astri, agnes, cheche yang memberi semangat dan kerjasama dalam berjuang…. Cayo kita bisa.

17.Semua phak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulis skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu untuk menyempurnakan skripsi ini dimohon untuk memberikan masukan, saran dan kritikan yang membangun. Sekiranya apa yang telah penulis buat ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan.


(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... iv

ABSTRAK……….. v

ABSTRACT………... vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Batasan Masalah………... 6

C. Rumusan Masalah……… 7

D. Tujuan Penelitian………. 7

E. Manfaat Penelitian……… 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of control………. 9

B. Kultur Keluarga………. 18

C. Kultur Sekolah………... 21

D. Kecerdasan Emosional……….. 25

E. Prestasi Belajar……….. 28

F. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan………... 34

G. Kerangka Berpikir………. 35

H. Rumusan Hipotesis……… 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian……….. 42

B. Tempat dan waktu penelitian……… 42

C. Subjek dan Objek Penelitian……….. 42

D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya………... 43

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi……… 52

2. Sampel……….. 52

3. Teknik Pengambilan Sampel………... 52

F. Tehnik Pengumpulan Data………. 53

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas………. 54

2. Uji Reliabilitas………. 58

H. Tehnik Analisis Data 1. Deskripsi data………... 59

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas……… 59


(14)

xi

3. Pengujian Hipotesis Penelitian……… 61

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data………... 64

1. Deskripsi Responden Penelitian………... 64

2. Deskripsi Variabel Penelitian………... 66

a. Locus of control……….. 66

b. Kultur Keluarga……….. 67

c. Kultur Sekolah……… 73

d. Kecerdasan Emosional………... 78

e. Prestasi Belajar………... 79

B. Analisa Data……….. 81

1. Pengujian Prasyarat Analisa Data……… 81

2. Pengujian Hipotesis……….. 83

C. Pembahasan Hasil Penelitian………. 98

1. Pengaruh Locus of control pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……... 98

2. Pengaruh Kultur Keluarga pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……... 101

3. Pengaruh Kultur Sekolah pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……….. 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………... 105

B. Keterbatasan Penelitian……… 107

C. Saran……….. 107


(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Operasional Variabel Locus of Control………. 43

Tabel 3.2 Operasional Variabel Kultur Keluarga……….. 46

Tabel 3.3 Operasional Variabel Kultur Sekolah ……….. 48

Tabel 3.4 Operasional Variabel Kecerdasan Emosional ……….. 50

Tabel 3.5 Nama-nama Sekolah di Kodya ………. 52

Tabel 3.6 Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control………... 55

Tabel 3.7 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………... 55

Tabel 3.8 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Sekolah ………. 56

Tabel 3.9 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional ……… 57

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden ……… 64

Tabel 4.2 Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ayah) ……….. 65

Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ibu) ……….. 65

Tabel 4.4 Asal Sekolah Siswa ……….. 66

Tabel 4.5 Locus of Control Siswa ……… 66

Tabel 4.6 Kultur Keluarga pada Dimensi Power Distance ……….. 67

Tabel 4.7 Kultur Keluarga pada Dimensi Collectivism vs Individualism …… 68

Tabel 4.8 Kultur Keluarga pada Dimensi Femininity vs Masculinity ……….. 70

Tabel 4.9 Kultur Keluarga pada Dimensi Uncertainty Avoidance …………... 71

Tabel 4.10 Deskripsi Kultur Keluarga ………... 72

Tabel 4.11 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Power Distance ………. 73

Tabel 4.12 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Collectivism vs Individualism 74 Tabel 4.13 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Femininity vs Masculinity …. 75 Tabel 4.14 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Uncertainty Avoidance …….. 76

Tabel 4.15 Deskripsi Kultur Sekolah ………. 78

Tabel 4.16 Kecerdasan Emosional ………. 78

Tabel 4.17 Prestasi Belajar ………. 79

Tabel 4.18 Hasil Pengujian Normalitas ……….. 81


(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ……… 113

Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas ……… 122

Lampiran 3 Data Variabel Penelitian ………. 126

Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ……… 165

Lampiran 5 Normalitas dan Linieritas ………... 208

Lampiran 6 Regresi ……… 209


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan siswa dalam belajar (prestasi belajar siswa) biasanya tampak dari hasil evaluasi belajar yang dilaksanakan oleh seorang guru. Evaluasi belajar umumnya dijalankan secara periodik oleh guru untuk mengetahui apakah siswa mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam suatu program pendidikan (Muhibbin Syah, 2001:85). Dengan demikian evaluasi belajar bermanfaat untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa dalam belajar.

Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan seorang siswa tidak semata- mata diukur dari prestasi saja, tetapi juga dipengaruhi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999:512). Dengan demikian ada dugaan kuat bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka akan semakin tinggi prestasi belajarnya.

Kuat atau lemahnya derajat hubungan kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa diduga dipengaruhi oleh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah. Locus of control adalah suatu konsep yang memberi gambaran akan keyakinan diri seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Dimensi locus of control mencakup recognition


(18)

status (penghargaan status), dominance (dominasi), independence (ketergantungan), protection dependensi (perlindungan ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical commfot (kenyamanan fisik). Ada dugaan bahwa siswa yang memiliki locus of control internal derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hal ini disebabkan pada siswa yang memiliki locus of control internal bercirikan bahwa individu akan merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sebaliknya pada siswa dengan locus of control eksternal akan bercirikan bahwa individu akan merasa apa yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan.

Sebagian besar waktu siswa ada dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Masing- masing lingkungan tersebut memiliki kebiasaan-kebiasaan atau kultur yang akan membedakan siswa satu dengan yang lainnya. Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Kondisi demikian menyebabkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Dimensi kultur keluarga meliputi: power distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity dan uncertainty avoidance. Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance


(19)

3

kecil derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya akan rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional sis wa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok, mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran orang tua,


(20)

peran wanita lebih rendah dari orang tua, dan belajar bersama menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah. Dimensi kultur sekolah meliputi : power distance,. collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya,


(21)

5

bebas berpendapat, ada komunikasi dua arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari adanya kompetensi di dalam kelas, siswa berorientasi pada prestasi, dan kompetensi guru maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.


(22)

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah derajat hubungan kecerdasan emosiona l dengan prestasi belajar siswa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance, kuat maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengidentifikasi apakah ada pengaruh locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam judul “Pengaruh Locus of control, Kultur Sekolah, dan Kultur Keluarga terhadap Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“. Penelitian ini merupakan survei pada siswa kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar, diantaranya: locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur sekolah dan sebagainya.Berdasarkan identifikasi masalah yang sudah ada dan mengingat


(23)

7

luasnya ruang lingkup maka penulis hanya membatasi dan memfokuskan penelitian pada pengaruh locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar ?

2. Apakah ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar ?

3. Apakah ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dirumuskan tujuan penilitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

2. Untuk mengetahui pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

3. Untuk mengetahui penaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.


(24)

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi sekolah mengenai pengaruh locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah dan kecerdasan emosional terhadap pencapaian prestasi belajar pada siswa. 2. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penilitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai topik ini.


(25)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control

1. Pengertian locus of control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter, adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia mengelompokkan locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu yang yang mempunyai locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya. Dari apa yang ia lakukan, ia mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri.

Jika individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit kendali atas apa yang terjadi, maka mereka termasuk dalam golongan locus of control eksternal. Demikian juga dengan individu yang percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir, kesempatan, keberuntungan dan nasib dikelompokkan sebagai individu dengan locus of control eksternal. Keberhasilan atau kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan, karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory). Tiga istilah utama yang digunakan


(26)

Rotter yaitu: potensi perilaku (behaviour potential), harapan (expectancy), dan nilai penguatan (reinforcement value). Mc Millan (Jung 1978:107) menjelaskan hubungan dari tiga istilah tersebut, yaitu perilaku individu tergantung pada harapan- harapan dalam suatu tingkah laku tertentu akan memberikan penguatan, dan nilai penguatan tersebut dapat memuaskan kebutuhan individu. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka selanjutnya individu tersebut akan cenderung meyakini bahwa penguatan tersebut diperoleh bukan dari dirinya sendiri.

Gibson Ivancevich Donelly (1997:113) menyebutkan letak kendali (locus of control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka. Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan (Robbins, 1999:42).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Keberhasilan dirinya tergantung dari diri sendiri. Sedangkan individu


(27)

11

dengan locus of control eksternal keberhasilan dirinya tergantung dari luar dirinya.

2. Penggolongan locus of control

Locus of control adalah suatu keyakinan individu mengenai sumber penentu perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Secara garis besar terdiri dari: 1) kecenderungan internal, yaitu individu merasa bahwa segala peristiwa hidupnya terjadi karena dikendalikan dari dirinya sendiri; 2) kecenderungan eksternal chance, yaitu individu merasa kejadian dalam hidupnya dikendalikan dari luar dirinya seperti keberuntungan, nasib, peluang dsb; 3) kecenderungan eksternal powerfull others, yaitu individu merasa peristiwa dalam hidupnya dikendalikan kekuasaan orang lain (www.ballarat.edu.au/bssh/psych/rot.htm - 8k).

Seseorang kemungkinan memiliki faktor internal lebih besar dari pada faktor eksternal, demikian juga sebaliknya. Keyakinan seseorang akan locus of control ada pada sepanjang kontinum tersebut, semakin dominan locus of control internal seseorang akan semakin lemah locus of control eksternalnya, dan sebaliknya (London dan Exner, 1978:264).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa individu dengan locus of control internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sedangkan individu dengan locus of control eksternal merasa bahwa akibat yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang


(28)

berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan.

3. Perbedaan orientasi locus of control internal dan eksternal

Dengan adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Orang yang mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengutamakan kemampuan dan keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.

Seseorang dengan locus of control eksternal cenderung menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas (Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan locus of control eksternal cenderung conform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan memiliki kecemasan yang tinggi.


(29)

13

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan keberuntungan.

4. Faktor-faktor pembentuk locus of control

Locus of control dikembangkan dari teori belajar sosial (social learning theory), berarti bahwa locus of control berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkunga n sekitar mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan locus of control eksternal.

Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam diri individu yang bersifat bawaan namun terbentuk dan berkembang dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan mengembangkan locus of control sebagai berikut (London dan Exner, 1978:291).


(30)

Faktor- faktor yang mempengaruhinya adalah: a. Faktor usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya mampu mengendalikan bermacam- macam hal dan kejadian dalam hidunya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan bertambahnya usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (1967) dalam London dan Exner (1978:292) menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan locus of control yang relatif lebih eksternal dari pada teman serumah yang telah lama bersama. Locus of control teman serumah yang akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan stabilitas perubahan

Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan mempengaruhi locus of control, misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman dari perubahan peristiwa tersebut menyebabkan kecenderungan ke arah locus of control eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa


(31)

15

dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup mereka.

d. Pelatihan dan pengalaman

De Charms dalam London dan Exner 1978:293 berhasil membuktikan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (dalam London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (dalam London dan Exner, 1978:293) mengenai pengalaman berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri, keberanian dan kemandirian pribadi.

e. Efek terapi

Beberapa peneliti (Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith dalam dalam London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi masalah- masalahnya.


(32)

5. Aspek-aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh locus of control

Perbedaan kecenderungan arah locus of control ternyata membawa akibat dalam berbagai aspek kehidupan (Lefcourt,1982:115-117) yaitu:

a. Sikap terhadap lingkungan

Individu dengan locus of control internal menganalisa situasi dengan sikap yang lebih terarah dan waspada daripada individu dengan locus of control internal juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh, menggunakan, dan mengolah informasi yang relevan dalam rangka memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Di samping itu, individu yang mepunyai locus of control internal terbukti lebih berorientasi pada posisi dengan kekuasaan besar, sedangkan individu yang memilki locus of control eksternal lebih cenderung menyukai posisi dengan kekuasaan kecil (Hrycenko & Milton dalam Lefcourt,1982:115).

b. Pengaruh konformitas dan perubahan sikap

Beberapa penelitian (Crowne dkk dalam Lefcourt 1982:226) menujukkan bahwa individu dengaan kecenderungan internal lebih mampu bertahan terhadap pengaruh dan tekanan lingkungan. Sebaliknya individu dengan kecenderungan eksternal lebih siap untuk menerima pengaruh, mengikuti lingkungan sosial dan menerima informasi dari orang lain.


(33)

17

Individu dengan kecenderungan internal lebih sering menunjukkan perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan eksternal (Midlasky dalam Lefcourt, 1982:118).

d. Pencapaian prestasi

Menurut Shaver (Lefcourt, 1982:116), tingginya prestasi yang dicapai oleh individu dengan locus of control internal merupakan hasil dari kemampuananya untuk menunda menikmati penghargaan atas hasil- hasil usahanya, serta mengurangi reaksi-reaksi negatif yang cenderung muncul pada saat individu mengalami kegagalan. e. Penyesuaian diri, kecemasan dan psikopatologi

Individu dengan kecenderungan internal lebih mampu untuk menyesuaiakan diri daripada individu dengan kecenderungan eksternal. Individu dengan locus of control internal lebih mengandalkan diri sendiri, aktif dan memiliki kecenderungan tinggi untuk berjuang. Hal- hal tersebut mengiring pada keberhasilan– keberhasilan dalam penyesuiaan diri. Kesederhanaan kepercayaan kendali yang ada dalam diri sendiri juga mendorong individu dengan locus of control internal pada penyesuaian diri dengan kecemasan.


(34)

B. Kultur Keluarga

1. Pengertian kultur keluarga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1992), yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku. Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).

Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus dan peneliti. Schien (1985:9) mendefinisikan kultur sebagai:

“a pattern of basic assumption invented, or developed by a group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and therefore to be taught to new members as the correct way to perceived, think, and feel in relation to those problems”.

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di masa mendatang.

Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez dan Early (1993:41), menyatakan bahwa:

“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiments in artifacts: the


(35)

19

essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically derived and sellected) ideas and especially their attached values”.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif. Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur adalah nilai- nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing- masing kelompok selama bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur, sehingga sangat sulit untuk berubah. Nilai- nilai itu dalam diri masyarakat nampak dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.

Hofstede (1991:5) mengartikan kultur sebagai:

a collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the members of one group or category of people from another.

Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai : “software of the mind”. Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada nilai- nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang lama dan perlahan- lahan.

2. Dimensi kultur keluarga

Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan (1995:7)


(36)

menyebut bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga, struktur pendidikan, organis asi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or coporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinism menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian.

Dimensi power distance mencakup indikator: aturan dan norma dalam keluarga, menghormati orang tua dan orang yang lebih tua, orang tua mempunyai otoritas, dan ketergantungan. Indikator dari collectivism vs


(37)

21

individualism, mencakup: demokrasi dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu mengelo la keuangan, upacara keagamaan tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat bersatunya keluarga. Indikator dari femininity vs masculinity, mencakup: relasi antara orang tua dan anak ada jarak, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan belajar bersama menjadi rendah hati. Indikator dari uncertainty avoidance mencakup: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai inisiatif, keluarga menjadi tempat belajar, dan memiliki aturan.

C. Kultur sekolah

1. Pengertian kultur sekolah

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam bentuk fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai- nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya.

Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola


(38)

pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2002) kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu tumbuh dan berkembang sesuai nilai- nilai dan spirit atau keyakinan yang dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.

Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang bersifat unik pula. (Vembrianto, 1993:81-82). Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap sekolah mempunyai aturan, kebiasaan, serta lambang- lambang yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur mempunyai pengaruh mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan dan juga sikap terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang bersifat formal melainkan berasal dari kultur sekolah.


(39)

23

Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah yang tumbuh dan berkembangan berdasarkan nilai atau spirit yang dianut sekolah tersebut. Kualitas ini mewujudkan pada keseluruhan anggota sekolah (Depdiknas, 2002). Jadi, sesuai dengan hal yang terkait dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kulitas kehidupan sekolah.

Menurut Dapiyanta (1995:93), kultur sekolah merupakan perilaku lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti berhenti, melainkan dinamis dan selalu berproses. Kultur sekolah yang positif dapat menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi, terjamin hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang baik serta interaksi yang menyenangkan. Kultur sekolah yang kondusif akan tercermin dalam organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, kebijakan, aturan, tata tertib sekolah, kepemimpinan dan hubungan serta penampilan fisik (Arief Ahmad, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 1004/II/0310.htm).

Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai- nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh


(40)

kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah (http://www.geocities.com/pakguruonline /pradigma_pdd_ms_depan_36.httm)

2. Dimensi kultur sekolah

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, ageneration level, a social class level, dan an organizational or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkat nasional kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian.


(41)

25

Dimensi power distance mencakup indikator: perlakuan guru terhadap proses pembelajaran, proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peran orang tua di sekolah, aturan dan norma di sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan proses pembelajaran sekolah. Indikator dari collectivism vs individualism, mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Indikator dari femininity vs masculinity, mencakup: suasana kompetisi kelas, berorientasi pada prestasi, dan kompetesi guru. Indikator dari uncertainty avoidance, mencakup: tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan guru dalam menerangkan, dan kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua.

D. Kecerdasan Emosional

1. Definisi kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik


(42)

(academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.

Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah kecerdasan emosional, yakni John Mayer dan Peter Salovey (dalam Goleman, 1999:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Dua macam kecerdasan yang berbeda ini intelektual dan emosional mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks, lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak. Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam, dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno. Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan dengan pusat-pusat intelektual.

2. Ciri-ciri kecerdasan emosional

Salovey dan Mayer (Goleman, 1999:513) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan menggendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dasar-dasar kecakapan emosional dan sosial menurut Goleman adalah:


(43)

27

a. Kesadaran diri; mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan menggunakannya untuk memandu pengamb ilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri; menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi; menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati; merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam- macam orang.

e. Ketrampilan sosial; menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.


(44)

3. Perbedaan kecerdasan emosional dan kecakapan emosional

Goleman (1999:39) membedakan antara kecerdasan emosional dan kecakapan emosi. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosi adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional. Inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan: empati, yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan sesama.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kelima aspek tersebut akan mendasari penelitian ini.

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian prestasi belajar

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dsb), sedangkan prestasi belajar adalah penguasaaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditujukan dengan nilai tes atau angka nilai yang


(45)

29

diberikan oleh guru (WJS Poerwodarminto, 1978:94). Menurut Arifin (1990:3) prestasi yang dimaksud tidak lain adalah kemampuan, keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal.

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S Winkel, 2004:59). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang- ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (Hilgard dan Bower, 1975). Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata; proses itu terjadi didalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka hasil tes yang diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut belajar akan nampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar dapat diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Evaluasi merupakan pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan metode materiil, dsb (Nana Sudjana, 1992:28). Usaha untuk mengevaluasi hasil belajar, biasanya


(46)

dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan maupun praktek yang kemudian diberi skor yang biasanya berwujud angka. Hasil dari pengukuran ini merupakan informasi- informasi atau data yang diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang disebut prestasi belajar. Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yeng diberikan guru. Kegiatan penilaian yaitu suatu tindakan untuk melihat sejauh mana tujuan instrusional telah dapat dicapai oleh siswa-siswi dalam hasil belajar. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999;235-253):

a. Faktor internal :

1) Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar.

2) Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tiada motivasi bela jar akan melemahkan kegiatan belajar yang selanjutnya mutu hasil belajar


(47)

31

akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri sendiri (siswa) perlu diperkuat terus menerus agar siswanya memiliki hasil belajar yang baik hingga pada akhirnya nant i semakin meningkatkan motivasi berprestasi.

3) Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam- macam strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan di berbagai mata pelajaran sehingga lebih bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, kesenian, serta ketrampilan mental dan jasmani. Cara memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus, daftar logaritma, atau rumusan matematika.

5) Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara peroleh pesan. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang


(48)

pendek (hasil belajar cepat dilupakan) dan waktu yang lama (hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan. Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti semua proses tersebut berjalan lancar, akibatnya proses penggunaan hasil belajar terganggu.

6) Kemampuan berprestasi

Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan tugas-tugas belajar atau mentrasfer hasil belajar. Kemampuan berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan, prapengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman.

7) Cita-cita siswa

Cita-cita sebagai motivasi intrisik perlu didikan yang harus dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud ekplorasi dan emansipasi siswa.

b. Faktor eksternal :

1) Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan


(49)

33

perhatian kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar yang merupakan wujud emansipasi diri siswa. Sebagai pengajar, guru bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Adapun tugas pengelolaan pembelajaran siswa meliputi: membangunan hubungan baik dengan siswa, mengairahkan minat, perhatian dan memperkuat motivasi belajar untuk berprestasi, mengorganisasi belajar, melaksanakan pendekatan pembelajaran secara tepat, mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan obyektif, melaporkan hasil belajar kepada orang tua/wali siswa.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran

Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti lengkapnya prasarana dan sarana menetukan jaminan terselenggaranya proses belajar dengan baik.

3) Faktor keluarga

Hubungan yang baik antar anggota keluarga dapat membantu dalam kegiatan belajar anak, sehingga dimungkinkan prestasi belajar menjadi baik.

4) Faktor lingkungan

Lingk ungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan siswa.


(50)

5) Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum dapat mempengaruhi: tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan, kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang dapat berubah. Perubahan kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua siswa.

F. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Dari penelitian sebelumnya “Hubungan antara Pola Asuh Autoritatif Orang Tua dan Prestasi Belajar“. Studi kasus pada siswa SD Godean I Sleman (Lisa Retno Handayani, 2000) bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara pola asuh autoritatif dengan prestasi belajar siswa di SD. Penelitian menyimpulkan semakin tinggi pola asuh autoritatif maka semakin tinggi pula prestasi belajar pada anak. Menggunakan alat analisis korelasi parsial

Sedangkan penelitian lain mengenai kecerdasaan emosional “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“. Studi kasus pada SMUN I Mlati Sleman (Diah Wulan Arum, 1999). Penelitian ini


(51)

35

bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kecerdasan emosional mendorong tingginya prestasi belajar. Penurunan prestasi belajar berarti kecerdasan emosional turun. Menggunakan alat analisis korelasi product moment.

Penelitian lain “Hubungan antara Presepsi Terhadap Dukungan Keluarga dan Locus of Control Pada Remaja”. Studi kasus pada SMU SANTO MIKAEL, Warak (Rukmi Cahyaningsih, 2001). Penelitian ini bertujuan mengungkapkan hubungan antara persepsi terhadap dukungan keluarga dengan locus of control pada remaja. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan positif antara persepsi keluarga dan locus of control. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan pada remaja maka semakin tinggi locus of control yang dimiliki. Menggunakan alat analisis korelasi product moment.

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar.

Locus of control merupakan sua tu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus of control eksternal. Locus of control internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sedangkan


(52)

locus of control eksternal adalah individu yang merasa bahwa akibat yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan. Seorang individu dengan demikian dapat diklasifikasikan ke dalam locus of control internal atau locus of control eksternal.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh dirinya sendiri sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan belajar giat untuk mencapai prestasi belajar. Sebaliknya siswa dengan locus of control eksternal cenderung lebih pasrah dan menerima nasibnya.

2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar

Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Kultur keluarga dapat diklasifikasikan ke dalam empat dimensi, meliputi: 1). power distance; 2). collectivism vs individualism; 3). femininity vs masculinity; 4). uncertainty avoidance.


(53)

37

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok, mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa


(54)

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan belajar bersama menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. .

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah. Kultur sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam


(55)

39

empat dimensi, meliputi: 1). power distance; 2). collectivism vs individualism; 3). femininity vs masculinity; 4). uncertainty avoidance.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi dua arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada


(56)

siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa berorientasi pada prestasi, dan kompetensi guru, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.


(57)

41

H. Rumusan Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori yang telah dikemukakan dalam kerangka berpikir maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Ada pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

2. Ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

3. Ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.


(58)

42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian verificative research dengan metode explanatory survey. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang akan terjadi bila variabel- variabel tertentu dikontrol atau dimanipulasi secara tertentu (Mardalis, 1989:26). Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan atas pengaruh variabel locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah terhadap hubungan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP-SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten di Daerah Kota Madya Yogyakarta.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2007

C. Subjek dan Obyek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Swasta dan SMP Negeri kelas 3 yang ada di Daerah Kota Madya Yogyakarta


(59)

43

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, kecerdasan emosional, dan prestasi belajar.

D. Variabel Penelitian dan Pengukuran 1. Variabel Locus of control

Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus of control eksternal. Indikator dari locus of control mencakup : kebutuhan untuk dihargai, ingin dianggap kompeten, kesuksesan dalam berkarya, kebutuhan untuk mengontrol aktivitas orang lain, kebutuhan untuk berkuasa, keyakinan diri, menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri, menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan, menggantungkan diri pada orang lain, kebutuhan untuk dicintai, kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang, kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit, mencari kesenangan jasmani). Berikut disajikan table operasionalnya:

Tabel 3.1

Operasional Variabel Locus of Control

Dimensi Indikator No. Item

1. Recognition status

(penghargaan status). 2. Dominance

(dominasi).

a. Kebutuhan untuk dihargai b. Ingin dianggap kompeten c. Kesuskesan dalam berkarya d. Kebutuhan untuk mengontrol

aktifitas orang lain

4,5,10,14, 23


(60)

3. Independence (ketergantungan) . 4. Protection-dependensi (perlindungan-ketergantungan). 5. Love and

affection (cinta dan kasih sayang).

6. Physical comfot (kenyamanan fisik).

e. Kebutuhan untuk berkuasa f. Keyakinan diri

g. Menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri

h. Menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan

i. Menggantungkan diri pada orang lain

j. Kebutuhan untuk dicintai orang lain

k. Kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang.

l. Kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit, mencari kesenangan jasmani).

8,9,11,13, 15,18,21, 2528 1,2,6 16,19,29 20,26 27

Pengukuran locus of control yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari instrumen yang pernah digunakan Indriantoro (1993) yang bersumber pada penelitian Rotter (1966). Pada penelitian ini, item pertanyaan yang mengukur locus of control terdiri dari 29 pertanyaan. Instrumen dibuat dalam bentuk format pilihan, yaitu pernyataan internal berpasangan dengan pernyataan eksternal. Nilai atau skor nol (0) diberikan untuk pernyataan eksternal yang dipilih, dan skor satu (1) untuk pernyataan internal yang dipilih. Jika total skor locus of control responden tinggi, maka responden tersebut cenderung memiliki internal locus of control, dan sebaliknya jika skor total locus of control resonden rendah, maka responden tersebut cenderung memiliki eksternal locus of control. Pengukuran locus of control pada penelitian didasarkan


(1)

REGRESI KULTUR SEKOLAH

(Sesudah dipengaruhi oleh Variabel M oderating)

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Y Prestasi Belajar 7.1529 .46027 400

X1 Kultur Sekolah 60.89 4.883 400

X2 Kecerdasan Emosional 86.80 7.751 400 X1*X2 Int.Kultur Sekolah *

Kecerdasan Emosional 5291.68 686.342 400

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables

Removed Method 1 X1*X2 Int.Kultur Sekolah *

Kecerdasan Emosional, X1 Kultur Sekolah, X2 Kecerdasan Emosional(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .229(a) .053 .045 .44971

a Predictors: (Constant), X1*X2 Int.Kultur Sekolah * Kecerdasan Emosional, X1 Kultur Sekolah, X2 Kecerdasan Emosional

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 4.443 3 1.481 7.323 .000(a)

Residual 80.087 396 .202

1

Total 84.529 399

a Predictors: (Constant), X1*X2 Int.Kultur Sekolah * Kecerdasan Emosional, X1 Kultur Sekolah, X2 Kecerdasan Emosional


(2)

Coefficients(a)

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 3.259 2.686 -1.213 .226

X1 Kultur Sekolah .161 .044 1.705 3.640 .000 X2 Kecerdasan Emosional .117 .031 1.978 3.763 .000 1

X1*X2 Int.Kultur Sekolah *

Kecerdasan Emosional -.002 .001 -2.696 -3.535 .000

a Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Power Distance

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Y Prestasi Belajar 7.1529 .46027 400

KS1 Kultur Sekolah Power Distance 26.12 2.909 400 X2 Kecerdasan Emosional 86.80 7.751 400 Int.KS1 (Power Distance) * Kecerdasan

Emosional 2271.12 353.011 400

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Int.KS1 (Power Distance) * Kecerdasan

Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS1 Kultur Sekolah Power Distance(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .189(a) .036 .028 .45372

a Predictors: (Constant), Int.KS1 (Power Distance) * Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS1 Kultur Sekolah Power Distance


(3)

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 3.007 3 1.002 4.870 .002(a)

Residual 81.522 396 .206

1

Total 84.529 399

a Predictors: (Constant), Int.KS1 (Power Distance) * Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS1 Kultur Sekolah Power Distance

b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.096 2.151 .509 .611

KS1 Kultur Sekolah Power

Distance .208 .083 1.312 2.514 .012

X2 Kecerdasan Emosional .068 .025 1.143 2.743 .006 Int.KS1 (Power Distance) *

Kecerdasan Emosional -.002 .001 -1.774 -2.446 .015

a Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Collectivism vs individualism

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Y Prestasi Belajar 7.1529 .46027 400

KS2 Kultur Sekolah Collectism VS Individualism 14.56 1.637 400

X2 Kecerdasan Emosional 86.80 7.751 400

Int.KS2 (Collectism VS Individualism)* Kecerdasan Emosional 1264.37 186.147 400

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Int.KS2 (Collectism VS Individualism)* Kecerdasan

Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS2 Kultur Sekolah Collectism VS Individualism(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar


(4)

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 2.884 3 .961 4.663 .003(a)

Residual 81.645 396 .206

1

Total 84.529 399

a Predictors: (Constant), Int.KS2 (Collectism VS Individualism)* Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS2 Kultur Sekolah Collectism VS Individualism

b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.766 2.151 .821 .412

KS2 Kultur Sekolah

Collectism VS Individualism .324 .148 1.151 2.195 .029 X2 Kecerdasan Emosional .059 .025 1.000 2.388 .017 Int.KS2 (Collectism VS

Individualism)* Kecerdasan

Emosional -.004 .002 -1.433 -2.080 .038

a Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Feminity vs masculinity

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Y Prestasi Belajar 7.1529 .46027 400

KS3 Kultur Sekolah Femininity VS Masculinity 9.60 1.266 400

X2 Kecerdasan Emosional 86.80 7.751 400

Int.KS3 (Femininity VS Masculinity)* Kecerdasan Emosional 834.50 139.944 400

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Int.KS3 (Femininity VS Masculinity)* Kecerdasan

Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS3 Kultur Sekolah Femininity VS Masculinity(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar


(5)

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .229(a) .053 .045 .44970

a Predictors: (Constant), Int.KS3 (Femininity VS Masculinity)* Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS3 Kultur Sekolah Femininity VS Masculinity

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 4.446 3 1.482 7.328 .000(a)

Residual 80.083 396 .202

1

Total 84.529 399

a Predictors: (Constant), Int.KS3 (Femininity VS Masculinity)* Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS3 Kultur Sekolah Femininity VS Masculinity

b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Coefficients(a)

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 296 1.845 -.161 .873

KS3 Kultur Sekolah

Femininity VS Masculinity .704 .192 1.937 3.675 .000 X2 Kecerdasan Emosional .087 .021 1.463 4.074 .000 1

Int.KS3 (Femininity VS Mas culinity)* Kecerdasan

Emosional -.008 .002 -2.496 -3.717 .000

a Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Uncertainty avoidance

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Y Prestasi Belajar 7.1529 .46027 400

KS4 Kultur Sekolah Uncertainty Avoidance 10.61 1.860 400

X2 Kecerdasan Emosional 86.80 7.751 400

Int.KS4 (Uncertainty Avoidance)* Kecerdasan


(6)

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Int.KS4 (Uncertainty Avoidance)* Kecerdasan

Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS4 Kultur Sekolah Uncertainty Avoidance(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .184(a) .034 .027 .45411

a Predictors: (Constant), Int.KS4 (Uncertainty Avoidance)* Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS4 Kultur Sekolah Uncertainty Avoidance

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 2.866 3 .955 4.633 .003(a)

Residual 81.663 396 .206

1

Total 84.529 399

a Predictors: (Constant), Int.KS4 (Uncertainty Avoidance)* Kecerdasan Emosional, X2 Kecerdasan Emosional, KS4 Kultur Sekolah Uncertainty Avoidance

b Dependent Variable: Y Prestasi Belajar

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 3.019 1.463 2.064 .040

KS4 Kultur Sekolah Uncertainty

Avoidance .322 .136 1.303 2.376 .018

X2 Kecerdasan Emosional .047 .017 .788 2.763 .006 Int.KS4 (Uncertainty Avoidance)*

Kecerdasan Emosional -.004 .002 -1.448 -2.315 .021


Dokumen yang terkait

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

0 1 282

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo.

0 1 294

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta.

0 0 265

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta - USD Repository

0 0 263

SKRIPSI PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 205

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 2 203

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

0 0 292

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta - USD Repository

0 1 280

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 210

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta - USD Repository

0 0 318