Perbedaan Prestasi Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran Kontekstual Dan Berbasis Masalah Dengan Kemampuan Awal Pada Mata Pelajaran Fisika Siswa Kelas XII IPA Di SMA Negeri 13 Bandar Lampung

(1)

ABSTRACT

DIFFERENCES BETWEEN STUDENTS’ ACHIEVEMENT USING THE MODELS OF CONTEXTUAL LEARNING AND PROBLEM-BASED

LEARNING WITH DIFFERENT EARLY COMPETENCE IN THE SUBJECT OF PHYSICS OF GRADE XII OF

SCIENCE PROGRAM OF SMAN 13 BANDAR LAMPUNG

By Triyatmo

The purpose of this study is to describe: (1) The interaction between the students’ achievement using contextual learning model and problem -based learning model with different early competence in the subject of physics; (2) The difference

between the students’ average achievement using contextual learning model and

problem-based learning model with different early competence in the subject of

physics; (3) The difference between the students’ average achievement using

contextual learning model and problem-based learning model with high early

competence in the subject of physics; (4) The difference between the students’

average achievement using contextual learning model and problem-based learning model with low early competence in physics.

The research method used is ex post facto research. The data was analyzed quantitatively with ANOVA formula and t-test.

Based on the above results, the researchers conclude as follows: (1) There is interaction between students who use contextual learning model and

problem-based learning and early competence with the students’ achievement in learning

physics with a value of

F

count = 126.645>

F

table = 4.11 at 0.05 level; (2) The

average of the students’achievement in learning physics using contextual learning is higher than that of using problem-based learning with a value

F

count = 26,05>

F

table =4.11 at 0.05 level; (3) The average achievement in learning physics using

contextual learning is not higher than that of using problem-based learning for the students with a value

t

count = 14.974

< t

table = 2.101, with significance level of

0.05; (4) The average achievement in learning physics using contextual learning is not higher than that of using problem-based learning for the students with low early competence with a value:

tcount

= 36,006>

ttable

= 2.101 at significance level of 0.05.


(2)

ABSTRAK

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN BERBASIS MASALAH

DENGAN KEMAMPUAN AWAL PADA MATA PELAJARAN FISIKA SISWA KELAS XII IPA DI SMA NEGERI 13

BANDAR LAMPUNG Oleh

Triyatmo

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan : (1) interaksi antara model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dan kemampuan awal dengan prestasi belajar pada mata pelajaran fisika; (2) perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal pada mata pelajaran fisika; (3) perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal tinggi pada mata pelajaran fisika; (4) perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal rendah pada mata pelajaran fisika.

Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian ex post facto. Data dianalisis secara kuantitatif dengan rumus anava dan uji t.

Kesimpulan penelitian adalah: (1) Ada interaksi antara pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah serta kemampuan awal dengan prestasi belajar fisika dengan nilai Fhitung = 126,645 > Ftabel = 4,11 pada taraf 0,05; (2) Rata-rata prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan Fhitung = 26,005 > Fhitung = 4,11 pada taraf 0,05; (3) Rata-rata prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual tidak lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah pada kemampuan awal tinggi dengan thitung = -14,974 < ttabel = 2,101 dengan taraf signifikan 0,05; (4) Rata-rata prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah pada kemampuan awal rendah dengan thitung = 36,006 > ttabel = 2,101 pada taraf signifikan 0,05.

Kata Kunci: prestasi belajar, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis masalah


(3)

(4)

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN BERBASIS MASALAH

DENGAN KEMAMPUAN AWAL PADA MATA PELAJARAN FISIKA SISWA KELAS XII IPA DI SMA NEGERI 13

BANDAR LAMPUNG

(Tesis)

oleh TRIYATMO

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Diagram Kerangka Pikir ... 70

3.1 Histogram Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-1 ... 85

3.2 Diagram Plot Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-1 ... 85

3.3 Histogram Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-2 ... 86

3.4 Diagram Plot Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-2 ... 86


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar... xvi

Daftar Lampiran... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Pembatasan Masalah ... 12

1.4 Perumusan Masalah ... 12

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS 2.1 Belajar dan Pembelajaran ... 15

2.2 Teori Belajar dan Pembelajaran ... 21

2.3 Teori Desain Pembelajaran ASSURE ... 31

2.4 Prestasi Belajar ... 38

2.5 Model Pembelajaran Kontekstual ... 40

2.6 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) ... 49

2.7 Kemampuan Siswa...60

2.8 Karakteristik Fisika SMA ... 62

2.9 Kajian Penelitian Yang Relevan ... 66

2.10 Kerangka Berpikir ... 67


(7)

3.1 Jenis penelitian ... 72

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian...73

3.3 Populasi dan Sampel ... 73

3.4 Subjek dan Objek Penelitian...74

3.5 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel...74

3.6 Teknik Pengumpulan Data...77

3.7 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 79

3.8 Uji Persyaratan Analisis ... 84

3.9 Teknik Analisis Data...87

3.10 Hipotesis Statistik ... 88

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data Penelitian...91

4.1.1 Data kemampuan Awal...91

4.1.2 Data Prestasi Belajar Siswa dengan Pembelajaran Kontekstual...92

4.1.3 Data Prestasi Belajar Siswa dengan Pembelajaran Berbasis Maslah ... 93

4.1.4 Perbandingan Rata-rata Prestasi Belajar Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 93

4.2 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 94

4.2.1 Hipotesis Pertama... 94

4.2.2 Hipotesis Kedua ... 96

4.2.3 Hipotesis Ketiga ... 96

4.2.4 Hipotesis Keempat ... 97

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 98

4.3.1 Pembahasan Hasil Analisis Hipotesis Pertama ... 98

4.3.2 Pembahasan Hasil Analisis Hipotesis Kedua...100

4.3.3 Pembahasan Hasil Analisis Hipotesis Ketiga...101

4.3.4 Pembahasan Hasil Analisis Hipotesis Keempat...103


(8)

5.1 Simpulan...105

5.2 Implikasi...105

5.3 Saran...106

Daftar Pustaka...108


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Silabus Mata Pelajaran Fisika Kelas XII... .... 111

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Fisika (Model Pembelajaran Kontekstual) ... 116

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Fisika (Model Pembelajaran Berbasis Masalah) ... 128

4. Soal Post Test Pertemuan 1 ... 139

5. Kunci Jawaban Soal Post Test Pertemuan 1 ... 140

6. Soal Post Test Pertemuan 1 ... 141

7. Kunci Jawaban Soal Post Test Pertemuan 1 ... 142

8. Soal Post Test Pertemuan 1 ... 143

9. Kunci Jawaban Soal Post Test Pertemuan 1 ... 144

10. Soal Post Test Pertemuan 1 ... 145

11. Kunci Jawaban Soal Post Test Pertemuan 1 ... 146

12. Daftar Skor Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-1 ... 147

13. Daftar Skor Kemampuan Awal Siswa Kelas XII IPA-1 ... 148

14. Data Pembelajaran Kontekstual Untuk Kemampuan Tinggi dan Rendah ... 149

15. Data Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Kemampuan Tinggi dan Rendah ... 150

16. Uji Normalitas Kemampuan Awal Siswa ... 151

17. Uji Normalitas Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 154

18. Uji Homogenitas Untuk Kemampuan Awal ... 159

19. Uji Homogenitas Untuk Pembelajaran Kontekstual ... 160

20. Uji Homogenitas Pembelajaran Berbasis Masalah ... 161


(10)

23. Uji Hipotesis 4 ... 165

24. Surat Izin Penelitian ... 166

25. Surat Keterangan Penelitian ... 167

26. Lembar Perbaikan Seminar Proposal ... 168

27. Lembar Perbaikan Seminar Hasil ... 170

28. Lembar Perbaikan Ujian Tesis ... 172


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Advance Organizer ... 28

Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 55

Tabel 2.3 Fase Pembelajaran Berbasis Masalah ... 58

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 72

Tabel 3.2 Jumlah Siswa Tiap Kelas ... 73

Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Prestasi Belajar Siswa ... 79

Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Model Pembelajaran Kontekstual ... 81

Tabel 3.5 Kisi-kisi Instrumen Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 82

Tabel 4.1 Jumlah Sampel Penilaian Menurut Tingkat Kemampuan Awal dari Kedua Kelas ... 91

Tabel 4.2 Rata-rata Nilai Pada Pembelajaran Kontekstual ... 92

Tabel 4.3 Rata-rata Nilai Pada Pembelajaran Berbasis Masalah ... 93

Tabel 4.4 Rata-rata Prestasi Belajar Siswa Yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 94


(12)

(13)

(14)

KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur pada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat guna mendapatkan gelar Magister Teknologi Pendidikan pada Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaian tesis ini. Secara khusus pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Sugeng P. Hariyanto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas

Lampung.

3. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Dr. Adelina Hasyim, M.Pd., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, dan sekaligus sebagai Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran, kritik dan masukan demi perbaikan penulisan tesis ini.


(15)

Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas lampung, sekaligus Pembimbing I yang telah memberi saran dan masukan serta kemudahan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Abdurrahman, M.Si., selaku Pembimbing II yang telah memberikan arahan, saran dan masukan serta ide-ide dalam penyelesaian tesis ini.

7. Ibu Dr. Dwi Yulianti, M.Pd., selaku Dosen Pembahas I yang telah

memberikan kritik, saran dan masukan demi perbaikan penulisan tesis ini.

8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Teknologi

Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.

9. Segenap guru, karyawan dan siswa SMA Negeri 13 Bandar Lampung yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis mengadakan penelitian.

10.Istriku tercinta Triaswatiningsih, S.Pd. dan putri-putriku Intan Pratiwi A, Hutami Lestyo R, dan Hasna Kurnia P. beserta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan doa dan dukungan demi keberhasilanku.

11.Rekan-rekan yang telah memberikan dorongan, dukungan dan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan tesis ini antara lain Sunaryo, S.Pd., M.Pd., Joko Purwanto, S.Pd., Hj. Rina Devita, S.Pd., M.Pd., Suranto, M.Pd., Tresna Setya Nuryana, S.Pd., M.Pd., Drs. Nurhamid, Dra. S.R. Bajawati, M.Pd.

12.Rekan-rekan Mahasiswa Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, khususnya Angkatan 2009.


(16)

membantu demi terselesaikannya penulisan tesis ini.

Semoga dukungan dan segala yang telah diberikan selalu mendapatkan imbalan, pahala dari Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangsih bagi dunia pendidikan.

Bandar Lampung, 30 Agustus 2014

Penulis


(17)

MOTO

Hidup Harus Berguna (Triyatmo)


(18)

(19)

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, kupersembahkan karya kecilku ini kepada : 1. Istriku tercinta Triaswatingsih, S.Pd. dan ketiga buah hatiku Intan Pratiwi A,

Hutami Lestyo R., dan Hasna Kurnia P. Yang telah memberikan doa dan dukungan demi keberhasilanku

2. Keluarga besar trah Sastro Wardoyo di Yogyakarta dan keluarga besar trah Djogo Semito di Sukoharjo yang senantiasa memberikan doa dan restunya demi keberhasilanku

3. Teman-temanku Sunaryo, S.Pd., M.Pd., Joko Purwanto, S.Pd., Hj. Rina Devita, S.Pd., M.Pd., Suranto, M.Pd., Tresna Setya Nuryana, S.Pd., M.Pd., Drs. Nurhamid, Dra. SR Bajawati, M.Pd., dan seluruh guru serta karyawan SMA Negeri 13 Bandar Lampung


(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo Jawa Tengah pada tanggal 19 Maret 1960 merupakan putra dari pasangan Bapak Djogo Semito dan Ibu Sayem.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1972 di SD Negeri 1 Puron Kecamatan Buku Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1975 di SMP Pemerintahan Daerah Kecamatan Buku Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, Sekolah Menengah Kejuruan pada tahun 1979 di Jurusan Mesin Umum STM Pancasila I Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, Diploma 3 Kependidikan pada tahun 1985 di Jurusan Ketrampilan Teknik IKIP Negeri Jakarta, Perguruan Tinggi S-1 diselesaikan pada tahun 1999 pada Program Studi Matematika STKIP PGRI Bandar Lampung, dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung.

Selama 3 tahun yaitu dari tahun 1979 – 1982 menekuni pekerjaan dibidang pendinginan dan pengaturan kelembaban di sebuah pabrik pemintalan dan pertenunan di Tangerang Jawa Barat. Pada bulan Februari 1986 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di SMA Negeri 2 Tanjung Karang dan diberi tugas mengajar ketrampilan teknik selama 2 semester. Pada tahun 1987 diberi tugas mengajar mata pelajaran fisika sampai bulan Januari 2010. Kemudian sejak


(21)

tanggal 27 Januari 2010 diberi tugas tambahan oleh Bapak Walikota Bandar Lampung sebagai Kepala SMA Negeri 13 Bandar Lampung sampai sekarang.

Menikah dengan Triaswatiningsih, S.Pd. di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1989 dan telah dikaruniai anak 3 orang putri yaitu Intan Pratiwi A, Hutami Lestyo R, dan Hasna Kurnia P.


(22)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman dengan melihat, mengamati dan memahami sesuatu. Hakekat belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, ketrampilan, kemampuan serta perubahan aspek lain termasuk didalamnya cara berpikir siswa.

Dewasa ini sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang mampu bersaing diera global. Oleh karena itu pemerintah Indonesia sudah menetapkan visi pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka diperlukan suatu reformasi pendidikan dimana pendidikan harus diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran


(23)

paradigma proses pendidikan yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang sebelumnya terpusat pada guru sekarang beralih pada siswa, metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti partisipatori dan pendekatan yang semula tekstual beralih menjadi kontekstual.

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran yakni kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), penyelidikan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).

Makna kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-akomodasi. Implikasinya ialah pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Inti dari inquiry atau penyelidikan adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. Bertanya atau questioning dalam


(24)

pembelajaran kontekstual dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru bertanya dimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry. Masyarakat belajar merupakan sekelompok orang (siswa) yang terikat dalam kegiatan belajar, tukar pengalaman, dan berbagi pengalaman. Sesuai dengan teori kontruktivisme, melalui interaksi sosial dalam masyarakat belajar ini maka siswa akan mendapat kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, oleh karena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. Pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain (siswa) meniru, berlatih, menerapkan pada situasi lain, dan mengembangkannya. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukur dan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yang autentik (senyatanya). Agar dapat menilai kemampuan siswa, penilaian autentik dilakukan dengan berbagai cara misalnya penilaian produk, penilaian kinerja (performance), potofolio, tugas yang relevan dan kontekstual, penilaian diri, penilaian sejawat dan sebagainya. Refleksi pada prinsipnya adalah berpikir tentang apa yang telah dipikir atau dipelajari, dengan kata lain merupakan evaluasi dan instropeksi terhadap kegiatan belajar yang telah ia lakukan.

Landasan filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa seperti halnya mengisi botol kosong, sebab otak siswa tidak kosong melainkan sudah berisi pengetahuan hasil pengalaman-pengalaman sebelumnya. Siswa tidak hanya menerima pengetahuan, namun mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual (asimilasi dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi


(25)

sosial). Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jika materi pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama tersebut sehinggga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasis kompetensi sangat sesuai.

Didalam pelaksanaan model pembelajaran kontekstual, guru dan buku bukan merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak harus takut menghadapi berbagai pertanyaan siswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern.

Selain model pembelajaran kontekstual, didalam proses pembelajaran juga dapat diterapkan model pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri, (Serafino & Ciccelli, 2005 dalam Eggen, 2012: 310). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga karakteristik yaitu pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa dan guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Pelajaran berawal dari satu masalah dan memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran. Siswa memiliki tanggungjawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah yang biasanya dilakukan secara berkelompok yang semua siswanya terlibat dalam


(26)

proses itu, sehingga membuat siswa bertanggungjawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah. Guru menuntun upaya siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha memecahkan masalah. Karakteristik ini penting dan menuntut ketrampilan serta pertimbangan yang profesional untuk memastikan kesuksesan pembelajaran berbasis masalah. Jika guru tidak cukup memberikan bimbingan siswa akan gagal, dan mungkin memiliki konsepsi keliru. Jika diberikan berlebihan siswa tidak akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah.

Didalam merencanakan pembelajaran berbasis masalah diawali dengan mengidentifikasi topik, jika topik-topik tidak memiliki karakteristik spesifik maka perencanaan menjadi kurang konkrit sehingga perlu memahami ide-ide secara detail. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan, saat merencanakan pelajaran untuk pembelajaran berbasis masalah hendaknya kita memiliki dua jenis tujuan belajar, yaitu siswa dapat menguasai materi pelajaran dan siswa dapat mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah dan pembelajaran mandiri adalah tujuan jangka panjang dan tujuan ini akan tercapai jika mereka memiliki pengalaman yang mendorong perkembangan mereka. Tahap ketiga adalah mengidentifikasi masalah, siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis masalah memerlukan satu masalah untuk dipecahkan, masalah menjadi efektif jika jernih, konkrit, dan dekat dengan keseharian pribadi. Saat memilih masalah harus berusaha menentukan apakah siswa-siswinya memiliki cukup banyak pengetahuan awal untuk secara efektif merancang satu strategi demi memecahkan satu masalah tersebut sehingga perlu pengalaman terus menerus untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka tidak akan mampu mengembangkan strategi untuk


(27)

menghadapi masalah dan langkah ketiga mengakses materi, jika pemecahan masalah ingin berlangsung mulus, siswa harus memahami apa yang mereka usahakan untuk dicapai dan mereka harus memiliki akses pada materi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalahnya.

Setelah mengidentifikasi topik, menentukan tujuan, memilih masalah dan mengakses materi kini kita siap menerapkan pelajaran. Menerapkan pelajaran untuk pembelajaran berbasis masalah, yaitu siswa harus memecahkan satu masalah spesifik dan memahami materi yang terkait dengan itu. Kedua, siswa harus mengembangkan kemampuan pemecahan masalah serta menjadi murid mandiri.

Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki bahwa suatu pembelajaran pada dasarnya tidak hanya mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal yang sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis. Oleh karena itu guru harus dapat menerapkan model pembelajaran yang mampu dan mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara konkret dan mandiri.

Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran di sekolah adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini nampak dari rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu.


(28)

Dalam arti yang lebih substansial, proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Oleh karena itu diperlukan perubahan pola pikir dan mindsed guru bahwa orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru beralih berpusat pada siswa.

Mata pelajaran fisika merupakan salah satu pilar utama ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan pemahaman mengenai fenomena alam serta kemungkinan aplikasinya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia. Hampir semua aspek dalam kehidupan ini menggunakan aplikasi konsep fisika, dari hal yang paling sederhana hingga hal yang begitu rumit. Penguasaan pemahaman konsep fisika yang kuat diperlukan siswa untuk mengembangkan konsep-konsep fisika sehingga dapat berguna di masa depan. Pengembangan konsep-konsep fisika dapat dilakukan jika siswa dapat memahami dan meningkatkan kemampuan menggunakan konsep fisika dalam mengkomunikasi ide atau gagasan.

Komunikasi ilmiah sangat diperlukan saat proses pembelajaran fisika supaya pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan siswa dapat memahami konsep fisika. Komunikasi ilmiah dalam ilmu fisika sangat penting, seperti halnya yang diungkapkan oleh Hamid (2011: 3), fisika sebagai bangunan ilmu disangga oleh enam pilar, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, produk ilmiah, penerapan produk ilmiah ke dalam kehidupan sehari-hari, teknologi, dan industri, komunikasi ilmiah, serta peningkatan iman dan taqwa manusia secara ilmiah.


(29)

Proses pembelajaran di SMA Negeri 13 Bandar Lampung, masih menggunakan cara yang sangat sederhana, hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru kepada siswa. Proses pembelajaran tersebut tidak memperhatikan proses mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut sehingga mengakibatkan dalam proses pembelajaran ini siswa kurang berperan aktif dan sangat bergantung oleh guru sedangkan guru sangat aktif dalam proses pembelajaran. Guru fisika di SMA Negeri 13 Bandar Lampung dalam kegiatan proses pembelajarannya masih berpusat pada guru, guru aktif dalam pembelajaran dan pembelajaran menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan pembagian tugas. Proses pembelajarannya guru memberikan materi pembelajaran, siswa memperhatikan dan mencatat penjelasan guru. Kemudian mengerjakan soal, salah satu siswa mengerjakan soal di papan tulis dan siswa lain mengerjakan soal pada buku catatan. Setelah itu, guru melakukan pengecekan jawaban soal dan melakukan pembahasan soal terhadap jawaban siswa, tampak pada kegiatan tersebut siswa tidak memperhatikan atau melakukan aktivitas lain, contohnya mengobrol dengan temannya. Siswa hanya mencatat hasil jawaban guru yang tertulis di papan tulis tanpa ada siswa yang berpendapat atau menanyakan jawabannya yang berbeda dengan jawaban tersebut. Pada kasus lain bahkan terdapat siswa yang tidak melakukan aktivitas pembelajaran dan hanya mengganggu teman yang lain. Hal ini membuktikan bahwa guru lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan siswa hanya mengikuti proses pembelajaran, tidak berperan aktif dalam proses pembelajaran tersebut.


(30)

Pada saat mengerjakan tugas atau soal-soal uraian fisika dilembar jawaban soal uraian, seringkali siswa hanya memberikan atau menuliskan persamaan fisika tanpa memberikan gambar atau ilustrasi dari soal yang diberikan. Hal itu mengakibatkan siswa dapat salah konsep oleh adanya kesalahan pemahaman di saat memahami soal dalam bentuk soal cerita dan belum dalam bentuk matematis sehingga dapat terjadi kesalahan pada saat mensubsitusikan nilai yang diketahui pada soal ke dalam persamaan. Hal itu diakibatkan siswa tidak terbiasa atau tidak dapat mendiskripsikan ilustrasi soal fisika dalam kehidupan nyata disebabkan oleh tingkat komunikasi ilmiah yang kurang, pemahaman siswa yang kurang, dan siswa hanya menghafal persamaan bukan memahami konsep fisika dan kemampuan siswa yang kurang dalam mengubah bentuk soal ke dalam model fisika.

Kondisi lainnya yang sering terjadi adalah terdapat siswa yang hanya mencatat atau menuliskan persamaan fisika yang dijelaskan guru yang tertulis di papan tulis, tanpa siswa mengetahui makna dari persamaan tersebut. Sehingga siswa hanya mengetahui persamaan fisika dan menghafal persamaan tersebut tanpa mengetahui makna, konsep dan arti bahasa yang terdapat didalam persamaan itu. Jadi tidak mengherankan jika siswa memiliki kemampuan komunikasi yang relatif rendah. Pemahaman konsep fisika lebih penting dari pada mengahafal persamaan fisika yang telah ada. Siswa yang mampu memahami konsep fisika dapat menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan ilmu fisika dan penerapannya, tidak hanya mampu menyelesaikan soal-soal fisika yang matematis namun soal yang telah dikembangakan oleh guru. Sedangkan siswa yang hanya menghafal persamaan fisika lebih cenderung hanya mampu mengerjakan soal-soal


(31)

yang matematis, belum penerapan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan belum tentu dapat mengerjakan soal yang dikembangkan oleh guru. Sehingga siswa lebih baik memahami konsep fisika dari pada menghafal persamaan fisika. Siswa dapat memahami konsep fisika maka siswa tersebut mengetahui persamaan fisika, sedangakan siswa yang menghafal persamaan fisika belum tentu memahami konsep fisika tersebut.

Peran guru sangatlah penting dalam proses pembelajaran, guru harus dapat menggunakan model, strategi, metode pembelajaran yang cocok untuk meminimalisir aspek-aspek siswa tidak dapat memahami konsep fisika. Guru harus dapat membuat siswa memahami konsep tidak hanya menghafal karena dengan memahami konsep maka siswa akan lebih mudah memecahkan persoalan fisika. Untuk itu seorang guru harus dapat menerapkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang fisika salah satunya adalah penggunaan model pembelajaran kontekstual dan pembelajaran berbasis masalah.

Inti dari pembelajaran kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya dapat dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga dapat disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya. Sedangkan inti dari pembelajaran berbasis


(32)

masalah adalah pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa dan guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah.

Berdasarkan kajian di atas maka penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian tentang : “Perbedaan Prestasi Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran Kontekstual dan Berbasis Masalah dengan Kemampuan Awal pada Mata

Pelajaran Fisika Siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung”.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Prestasi belajar fisika siswa masih belum optimal dan rendah, sedangkan fisika adalah salah satu mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional dan menjadi salah satu kriteria kelulusan siswa.

2. Kurangnya kemampuan guru dalam mendesain pembelajaran bermakna dalam

menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

3. Penggunaan model pembelajaran yang belum tepat sehingga pembelajaran masih terpusat pada guru.

4. Model pembelajaran kontekstual belum dilaksanakan oleh guru mata pelajaran fisika di dalam kelas untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

5. Model pembelajaran berbasis masalah belum dilaksanakan oleh guru mata pelajaran fisika di dalam kelas untuk meningkatkan hasil belajar siswa.


(33)

1.3Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka penelitian ini difokuskan kepada perbedaan prestasi belajar siswa menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

1.4 Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dan kemampuan awal dengan prestasi belajar pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung?

2. Apakah terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung?

3. Apakah terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal tinggi pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung?

4. Apakah terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal rendah pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung?


(34)

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk memperbaiki proses pembelajaran fisika dan untuk :

1) Mendeskripsikan interaksi antara model pembelajaran kontekstual dan

berbasis masalah dan kemampuan awal dengan prestasi belajar pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung. 2) Mendeskripsikan perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar

menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

3) Mendeskripsikan perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal tinggi pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

4) Mendeskripsikan perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan awal rendah pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

1.6Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Secara Teoritis

Hasil penelitian secara teoritis dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi teknologi pendidikan dalam kawasan disain dan meningkatkan pembelajaran.


(35)

1.6.2 Manfaat Secara Praktis

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1.6.2.1Bagi Siswa

Meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran fisika.

1.6.2.2Bagi Guru

Memiliki gambaran mengenai pembelajaran fisika yang efektif, dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang ada di kelas, dapat mencari solusi untuk pemecahan masalah tersebut dan dapat digunakan untuk menyusun program peningkatan prestasi belajar siswa.

1.6.2.3Bagi Peneliti

Peneliti dapat memperoleh pengalaman secara langsung dalam menerapkan model pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dan meningkatkan profesionalisme peneliti serta dapat dijadikan bahan rujukan penelitian lebih lanjut pada waktu mendatang.

1.6.2.4Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi output (lulusan) yang dihasilkan, sehingga menjadi lebih bermutu dan meningkatkan kualitas sekolah.


(36)

15

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

2.1 Belajar dan Pembelajaran

2.1.1 Pengertian Belajar

Belajar adalah key term,„istilah kunci‟ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar yang sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai displin ilmu yang berkaitan dengan upaya pendidikan. Menurut Slameto (2010: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Djamarah (2008: 13) menyatakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Perubahan yang didapatkan bukan perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan sebab masuknya kesan-kesan yang baru. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Anderson (2001: 35) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif menetap terjadi dalam tingkah laku potensial sebagai hasil dari pengalaman. Gagne dalam Sagala (2011: 17) belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas. Belajar merupakan seperangkat


(37)

16 proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi).

Gagne dalam Sagala (2011: 17) menyatakan bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena yang berlaku yaitu: (1) keterampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur dan latihan yang didapat individu, dan (2) belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien. Gagne berpendapat bahwa, belajar merupakan suatu proses yang bukan terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu. Kondisi ini menyangkut kondisi internal dan eksternal, kondisi internal berhubungan dengan kesiapan siswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya, sementara kondisi eksternal merupakan situasi belajar dan penyajian stimulus yang sengaja diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Belajar yang terbaik ialah dengan mengalami sendiri, dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca indera. Hal-hal yang pokok dalam “belajar” adalah bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial, bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru, bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).

Pengertian belajar yang merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (Sagala : 2011). Sedangkan Garret dalam Sagala (2011 : 13) menyatakan bahwa : ”Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang


(38)

17 tertentu lama melalui latihan pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang”.

Belajar merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Belajar adalah proses berpikir. yang menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui proses interaksi secara individu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated).

Purwanto (2004: 85) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) elemen penting yang mencirikan pengertian belajar yaitu :

1. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang;

2. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek kepribadian baik fisik maupun psikis seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berfikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan ataupun sikap.


(39)

18 Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar adalah seperangkat proses kognitif yang menghasilkan kapabilitas berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang diperoleh siswa melalui pengalaman dan proses latihan. Peristiwa belajar lebih difokuskan pada proses belajar dalam konteks formal yaitu proses belajar yang sengaja didesain atau diciptakan untuk membuat seseorang dapat mencapai kompetensi tertentu. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk mengadakan perubahan dalam dirinya secara keseluruhan baik berupa pengalaman, keterampilan, sikap dan tingkah laku sebagai akibat dari latihan serta interaksi dengan lingkungannya.

2.1.2 Pengertian Pembelajaran

Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ”pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dari pernyataan tersebut agar pembelajaran dikatakan berhasil, harus ada interaksi antara siswa sebagai peserta didik dengan guru sebagai pendidik maupun dengan sumber belajar.

Dimyati dalam Sagala (2011: 62) memberikan pengertian pembelajaran adalah ”kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Dari pengertian tersebut, agar pembelajaran sejarah berjalan dengan baik guru harus mempersiapkan bahan belajar sebelum proses pembelajaran dimulai.


(40)

19 Definisi pembelajaran disampaikan oleh Smith dan Ragan dalam Pribadi (2011: 6) yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah pengembangan dan penyampaian informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan yang spesifik. Miarso (2009: 144) memaknai istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pemelajar (learner centered) untuk menggantikan istilah “pengajaran” yang lebih bersifat sebagai aktivitas yang berpusat pada guru (teacher centered). Miarso (2009: 545) menjelaskan lebih rinci definisi pembelajaran sebagai berikut: “pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan.

Lebih lanjut Miarso (2009: 545) menyatakan bahwa istilah pembelajaran harus dibedakan dengan istilah pengajaran. Pengajaran merupakan istilah yang diartikan sebagai penyajian bahan ajar yang dilakukan oleh pengajar, sedangkan kegiatan pembelajaran tidak harus diberikan oleh pengajar karena kegiatan itu dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar, misalnya seorang teknolog pendidikan atau tim ahli. Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Proses belajar sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa belajar. Peristiwa belajar menurut Gagne seperti dikutip oleh Djamarah (2008: 78) disebut sembilan peristiwa pembelajaran (model nine instructional event Gagne), yaitu :


(41)

20

1) Menarik perhatian agar siap menerima pelajaran;

2) Memberitahukan tujuan pembelajaran agar anak didik tahu apa yang

diharapkan dari belajar itu;

3) Merangsang timbulnya ingatan atas ajaran sebelumnya;

4) Presentasi bahan ajaran;

5) Memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar;

6) Membangkitkan timbulnya unjuk kerja (merespons);

7) Memberikan umpan balik atas unjuk kerja;

8) Menilai unjuk kerja;

9) Memperkuat retensi dan transfer pelajaran.

Pembelajaran merupakan proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya proses belajar dalam diri individu. Pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu. Dick and Carey (2005: 205) mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa jenis media.

Proses pembelajaran mempunyai tujuan yaitu agar siswa dapat mencapai kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro,


(42)

21 pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, guru memegang peran strategis dalam membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Sehingga peran guru sulit digantikan oleh yang lain.

2.2Teori Belajar dan Pembelajaran

2.2.1 Teori Belajar

Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.

Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25) menyatakan untuk terjadinya belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen yang baru dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil belajar


(43)

22 (learning outcomes), Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25) menyatakan dalam lima kelompok, yaitu intelektual skill, cognitive strategy, verbal information, motor skill, dan attitude.

Gagne lebih lanjut menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian, sebaiknya memperhatikan atau menata pembelajaran yang memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru dapat dipahaminya. Kondisi eksternal bertujuan antara lain memberikan stimulasi berpikir siswa, penginformasian tujuan pembelajaran, membimbing belajar materi yang baru, memberikan kesempatan kepada siswa menghubungkannya dengan informasi baru guna memacu siswa agar dapat berpikir kritis.

Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide, mampu berpikir kritis. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya sedangkan Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan dan menetapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk


(44)

23 belajar Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, teori berpikir kritis, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nurhadi, 2009: 80).

Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nurhadi, 2009: 8).

Perkembangan kognitif sebagaian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interakasi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nurhadi, 2009).

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar terbagi empat periode yaitu: a) periode sensori motor ( 0 – 2 tahun); b) periode praoperasional (2-7 tahun); c) periode operasional konkrit (7-11 tahun); d) periode operasi formal (11-15) tahun.


(45)

24 Sedangkan konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget yaitu: skemata (dipandang sebagai sekumpulan konsep); asimilasi (peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang telah dimiliki seseorang; akomodasi (terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama); dan equilibrium (bila keseimbangan tercapai maka siswa mengenal informasi baru).

Menurut Piaget dalam Uno (2010: 3) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran seseorang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif seseorang dalam mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Sedangkan equilibrium adalah pengaturan diri seseorang agar terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Apabila keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi maka disebut dengan disequilibrium.

Tokoh teori belajar konstruktivisme sosial adalah Lev Vygotsky yang berpendapat bahwa belajar bagi peserta didik dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Lebih lanjut dikatakan bahwa, interaksi sosial memegang peranan terpenting dalam perkembangan kognitif peserta didik. Ada dua tahapan belajar, pertama peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang lain, baik keluarga, teman sebaya maupun gurunya, kemudian dilanjutkan secara individual


(46)

25 peserta didik mengintegrasikan apa yang ia pelajari dari orang lain kedalam struktur mentalnya (Herpratiwi, 2009: 80).

Teori belajar Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori yang menjadi dasar dalam cooperative learning. Ausubel seperti dikutip oleh Dahar (2008: 115) menyatakan bahwa bahan subjek yang dipelajari siswa haruslah

“bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses

mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.

Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu harus sesuai dengan keterampilan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (Dahar, 2008: 116) adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu


(47)

26 informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar.

Menurut Ausubel (Dahar, 2008: 116), seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna., Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.


(48)

27 Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.

Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: advance organizer, progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation. Empat tipe belajar menurut Ausubel (Dahar, 2008: 117) yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang

telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.


(49)

28 Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan oleh Ausubel adalah teori model mengajar Advance Organizer adalah salah satu model dalam rumpun pemprosesan informasi. David Ausubel dalam Joyce, (2009:208) mengemukakan teorinya menyangkut empat hal :

1. Bagaimana ilmu itu diorganisasikan artinya bagaimana seharusnya isi kurikulum itu di tata.

2. Bagaimana proses berpikir itu terjadi bila berhadapan dengan informasi baru.

3. Bagaimana guru seharusnya mengajarkan informasikan baru itu sesuai dengan

teori tentang isi kurikulum dan teori belajar.

4. Sintaks

Model pembelajaran Advance Organizer terdiri dari tiga tahap. Tabel 2.1: Sintaks Model Pembelajaran Advance Organizer

Tahap Tingkah Laku Guru Tahap-1

Penyajian Advance Organizer

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran

2. Menyajikan Advance Organizer

3. Menumbuhkan kesadaran pengetahuan dan pengalaman

siswa yang relevan. Tahap-2

Penyajian bahan pelajaran

1. Membuat organisasi secara tegas

2. Membuat urutan bahan pelajaran secara logis dan eksplisit

3. Memelihara suasana agar penuh perhatian

4. Menyajikan bahan

Tahap-3

Penguatan organisasi kognitif

1. Menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif 2. Meningkatkan kegiatan belajar (belajar menerima)

3. Melakukan pendekatan kritis guna memperjelas materi

pelajaran

4. Mengklarifikasikan


(50)

29 2.2.2 Teori Pembelajaran

Di dalam teknologi pendidikan dibedakan antara istilah pembelajaran (instructional) dan pengajaran (teaching). Menurut Miarso (2009: 545) pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik. Istilah mengajar (teaching) sebagai penyampai materi pelajaran kepada peserta didik, dianggap tidak sesuai lagi sehingga dalam literatur teknologi pendidikan hanya digunakan istilah pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses yang sistematis, dimana semua komponen antara lain guru, peserta didik (siswa), material dan lingkungan belajar merupakan komponen penting untuk keberhasilan belajar. Pembelajaran sebagai sebuah sistem menggunakan pendekatan sistem dalam desain pembelajaran. Sistem yang dimaksud adalah bahwa semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Reigeluth dan Merill dalam Miarso (2009: 529) pembelajaran sebaiknya didasarkan pada teori pembelajaran preskriptif, yaitu teori yang memberi resep untuk mengatasi masalah belajar. Teori pembelajaran preskeptif tersebut memperhatikan tiga variabel yaitu kondisi, metode dan hasil. Di dalam setiap metode pembelajaran harus mengandung rumusan pengorganisasian bahan pelajaran, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan dengan memperhatikan faktor tujuan belajar, hambatan belajar, karakteristik siswa agar dapat diperoleh efektivitas, efisiensi dan daya tarik pembelajaran.


(51)

30 Menurut Sanjaya (2005: 78) istilah pembelajaran dipengaruhi oleh perkembangan tekbologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar yang memegang peranan paling utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar peserta didik dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian kalau didalam istilah pengajaran (teaching) menempatkan guru sebagai pemeran utama dalam memberikan informasi kepada peserta didik, maka dalam istilah pembelajaran (instruction) guru lebih banyak sebagai fasilitator yang mengelola berbagai sumber belajar untuk dipelajari peserta didik.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pembelajaran.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu dengan semakin berkembangnya teknologi dalam pembelajaran, maka pola interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar mengalami perubahan dari pola pembalajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered) dimana peran guru sebagai fasilitator dan bahkan ada kecenderungan akan digantikan media.


(52)

31 2.3Teori Desain Pembelajaran ASSURE

Teknologi pendidikan merupakan sebuah bidang yang fokus pada upaya-upaya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dalam diri individu. Hal ini sesuai dengan definisi teknologi pendidikan yang dikemukakan oleh AECT (Association of Educational Communication and Technology), yaitu sebuah studi dan praktik etis yang berupaya membantu memudahkan berlangsungnya proses belajar dan perbaikan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, pengelolaan, proses, teknologi dan sumber daya yang tepat. Seels dan Richey (dalam Pribadi 2011: 63) mengemukakan bahwa

teknologi pendidikan memiliki lima domain atau bidang garapan, yaitu: (1) desain, (2) pengembangan, (3) pemanfaatan, (4) pengelolaan, dan (5) evaluasi. Bidang garapan desain meliputi beberapa bidang kerja yaitu desain pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik siswa. Hal ini menunjukkan bahwa desain merupakan salah satu domain atau bidang garapan yang penting dalam teknologi pendidikan yang berperan sebagai salah satu sarana untuk memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dan memperbaiki kinerja.

Pribadi (2011: 54) mengemukakan bahwa upaya untuk mendesain proses pembelajaran agar menjadi sebuah kegiatan yang efektif, efisien, dan menarik disebut dengan istilah desain sistem pembelajaran atau instructional system design (ISD).

Smith dan Ragan (dalam Pribadi 2011: 55) mengemukakan bahwa desain sistem pembelajaran adalah proses sistematik yang dilakukan dengan menerjemahkan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran menjadi rancangan yang dapat


(53)

32 diimplementasikan dalam bahan dan aktivitas pembelajaran. Desain sistem pembelajaran terus tumbuh sebagai suatu bidang yang dapat dimanfaatkan untuk merancang program pembelajaran dan pelatihan yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan dan pengetahuan sehingga mampu menunjukkan hasil belajar yang optimal.

Lebih lanjut Pribadi (2011: 56) menjelaskan bahwa pada umumnya desain sistem pembelajaran berisi lima langkah yang penting, yaitu (1) analisis lingkungan dan kebutuhan belajar siswa, (2) merancang spesifikasi proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan belajar siswa, (3) mengembangkan bahan-bahan untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran, (4) implementasi desain sistem pembelajaran, dan (5) implementasi evaluasi formatif dan sumatif terhadap program pembelajaran.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa desain sistem pembelajaran berisi langkah-langkah yang sistematis dan terarah untuk menciptakan proses belajar yang efektif, efisien, dan menarik. Secara umum, desain sistem pembelajaran dimulai dari kegiatan analisis yang digunakan untuk menggambarkan masalah pembelajaran yang akan dicari solusinya. Setelah mengetahui masalah pembelajaran maka langkah selanjutnya menentukan solusi untuk mengatasi tersebut. Hasil proses desain sistem pembelajaran berisi rancangan sistematik dan menyeluruh dari sebuah aktivitas atau proses pembelajaran yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah pembelajaran.


(54)

33 Model ASSURE adalah salah satu petunjuk dan perencanaan untuk membantu perancang desain pembelajaran dalam merencanakan, mengidentifikasi, menentukan tujuan, memilih metode dan bahan ajar serta evaluasi. Model desain ASSURE menjembatani antara peserta didik, materi dan semua bentuk media berbasis teknologi dan bukan teknologi. Model ASSURE ini merupakan rujukan bagi guru dalam membelajarkan siswa yang direncanakan dan disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan media sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik.

Model ASSURE menekankan pada pembelajaran dengan gaya belajar yang

berbeda, siswa diwajibkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan tidak secara pasif menerima informasi. Model ASSURE lebih difokuskan pada perencanaan pembelajaran yang digunakan dalam situasi pembelajaran di dalam kelas secara aktual. Pengembangan desain pembelajaran ASSURE didasari pada pemikiran Gagne mengenai peristiwa pembelajaran. Menurut Gagne, desain pembelajaran yang efektif harus dimulai dari upaya yang dapat memicu atau memotivasi seseorang untuk belajar. Langkah yang harus diikuti secara kontinyu yaitu proses pembelajaran yang sistematik, penilaian hasil belajar dan pemberian umpan balik tentang pencapaian hasil belajar.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam model desain sistem pembelajaran ASSURE adalah : (1) Analyze learners yaitu melakukan analisis karakteristik siswa, (2)State objectives yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, (3) Select method, media and materials yaitu memilih media, metode dan bahan ajar, (4) Utilize materials yaitu memanfaatkan bahan ajar, (5) Require learners


(55)

34 participation, yaitu melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran, (6) Evaluate and revise yaitu mengevaluasi dan merevisi program pembelajaran.

2.3.1 Analisis Karakteristik Siswa (Analyze Learners)

Langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan model assure adalah melakukan analisis terhadap obyek yang akan melakukan proses belajar, dalam hal ini siswa. Karakteristik siswa meliputi tiga aspek, yaitu : (1) karakteristik umum, (2) kompetensi spesifik yang telah dimiliki sebelumnya, (3) gaya belajar siswa. Karakteristik umum merupakan gambaran dari kelas keseluruhan, seperti jumlah siswa, usia, tingkat pendidikan, faktor sosial ekonomi, budaya atau etnis, keanekaragaman, dan seterusnya. Dengan demikian karakteristik pembelajaran dapat memberi pengarahan dalam membantu memilih metode pembelajaran dan media. Kompetensi spesifik (specific kompetensi) merupakan gambaran dari jenis pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki peserta didik baik atau kurangnya ketrampilan yang dimiliki sebelum memenuhi syarat yang akan dicapai dalam ketrampilan dan tingkah laku. Gaya belajar (learning style) merupakan gambaran dari prefensi gaya belajar masing-masing peserta didik yang bersifat psikologis yaitu mempengaruhi bagaimana kita menanggapi rangsangan yang berbeda. Gaya belajar siswa meliputi gaya belajar auditorial, visual, dan kinestetik. Guru akan menentukan pengelolaan informasi dari kebiasaan siswa. Kategori ini berisi berbagai variabel yang terkait dengan bagaimana kecenderungan individu dalam pemrosesan informasi kognitif.


(56)

35 2.3.2 Menetapkan Tujuan Pembelajaran (State Objectives)

Langkah kedua dalam model pembelajaran ASSURE adalah menentukan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran digunakan untuk menyatakan gambaran apa yang harapkan siswa dari hasil pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus bersifat spesifik. Tujuan pembelajaran diperoleh dari penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Nasional Pendidikan. Tujuan pembelajaran dirumuskan oleh guru berdasarkan langkah pertama yaitu tujuan

pembelajaran ditulis dengan menggunakan format ABCD, yaitu Audience,

behavior, condition, dan degree.

(a) Audience : pembelajaran ini diberikan untuk siswa sebagai audience, bukan guru untuk lebih fokus pada apa yang dilakukan siswa bukan apa yang dilakukan guru.

(b) Behavior : tujuannya adalah menggambarkan kemampuan baru yang dimiliki siswa setelah mendapatkan pembelajaran. Jadi, perilaku atau kemampuan siswa yang dapat diukur dan dapat diamati perlu ditunjukan sebagai hasil pembelajaran.

(c) Condition : keadaan atau kondisi siswa. Tujuan pembelajaran menunjukan ketrampilan atau kemampuan yang diajarkan. Sebuah pernyataan tujuan harus mencakup kondisi dimana hasilnya dapat diamati. Jadi, harus menyertakan peralatan/alat bantu, atau referensi yang akan digunakan siswa.

(d) Degree : persyaratan terakhir bertujuan agar lebih baik dalam menunjukan hasil belajar yang dapat diterima dan akan dinilai. Jadi, sejauhmana ketrampilan yang dikuasai dan dapat diterima.


(57)

36 2.3.3 Memilih Metode, Media dan Bahan (Select Methods, Media, Materials)

Langkah ini menghubungkan antara siswa dan tujuan pembelajaran yang sistematis yaitu menggunakan media dan teknologi. Metode, media dan bahan ajar harus dipilih secara sistematis. Setelah mengetahui gaya belajar peserta didik dan memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang akan di sampaikan, maka harus dilakukan pemilihan:

a) Metode pembelajaran yang digunakan harus tepat dan lebih unggul dari yang

lain dan memberikan semua kebutuhan siswa dalam belajar.

b) Media bisa berupa teks, gambar, video, audio, dan multimedia komputer. c) Bahan ajar yang disediakan untuk siswa harus sesuai dengan yang dibutuhkan

siswa dalam menguasai tujuan.

2.3.4 Memanfaatkan Bahan Ajar (Utilize Materials)

Langkah keempat dalam model pembelajaran ASSURE adalah memanfaatkan penggunaan ketiganya dalam pembelajaran. Guru menjelaskan penggunaan media yang dipilih kepada siswa, bagaimana pendidik akan menerapkan media dan memahami materi pembelajaran yang tercantum. Media dipilih, dimodifikasi dan didesain agar memenuhi kebutuhan siswa dan membantu siswa dalam pembelajaran. Dalam memanfaatkan bahan ajar ada beberapa langkah yang harus dilakukan guru, yaitu : a) Preview materi, melihat dulu materi sebelum menyampaikannya dalam kelas dan menentukan materi yang tepat untuk audiens dan memperhatikan tujuannya, b) Menyiapkan bahan, guru harus mengumpulkan semua materi dan media yang dibutuhkan siswa dan guru. Guru harus menentukan urutan materi dan penggunaan media. Guru harus menggunakan media terlebih


(58)

37 dahulu (check) untuk memastikan keadaan media, c) Menyiapkan lingkungan, guru harus mengatur fasilitas yang digunakan siswa dengan tepat dan sesuai antara bahan ajar dengan lingkungan sekitar, d) Siswa. Guru memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa dan menjelaskan cara memperoleh informasi dan evaluasi materi pelajaran.

2.3.5 Melibatkan Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran (Require Learners Participation)

Langkah kelima dalam model pembelajaran ASSURE adalah dengan mewajibkan partisipasi siswa. Pembelajaran terbaik jika siswa aktif dalam pembelajaran. Siswa yang pasif lebih banyak memiliki permasalahan dalam belajar, karena guru hanya mencoba untuk memberikan stimulus, tanpa mempedulikan respon dari siswa. Apapun strategi pembelajarannya guru harus dapat menggabungkan strategi satu dengan yang lain, diantaranya strategi tanya-jawab, diskusi, kerja kelompok, dan strategi lainnya agar peserta didik aktif dalam pembelajarannya.

2.3.6 Evaluasi dan Revisi Program Pembelajaran (Evaluate and Revise)

Langkah terakhir dalam model pembelajaran ASSURE adalah evaluasi dan revisi. Evaluasi dan revisi merupakan komponen penting untuk mengembangkan kualitas pembelajaran. Siapa saja dapat mengembangkan dan menyampaikan pelajaran, tetapi guru yang baik harus benar-benar dapat merefleksi pelajaran, mengetahui tujuan, menguasai strategi pembelajaran, menguasai materi pembelajaran, dan melakukan penilaian serta dapat menentukan apakah unsur-unsur dari pelajaran itu efektif. Jika guru menemukan beberapa hal yang terlihat tidak efektif maka mungkin strategi yang disampaikan belum tepat untuk tingkatan kelas itu.


(59)

38 Keefektifan dalam strategi pembelajaran juga bisa terjadi, misalnya peserta didik tidak termotivasi atau strategi itu sulit dilaksanakan pendidik. Oleh karena itu, evaluasi adalah langkah yang penting untuk menilai prestasi peserta didik dan menilai metode pembelajaran dan media yang digunakan. Revisi merupakan langkah terakhir dari siklus pembelajaran yang juga merupakan hal yang penting untuk melihat hasil evaluasi.

2.4Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan tujuan utama dari pengkonsepan pembelajaran. Dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik pengkonsepan pembelajaran diharapkan mampu menciptakan hasil belajar yang baik bagi siswa. ”Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang” (Winkel, 2004: 226). Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Gunarso (2007: 77) mengemukakan bahwa, ”Prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar”. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004: 130) prestasi belajar merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) individu.

Prestasi belajar di bidang pendidikan merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Selanjutnya, menurut S. Nasution (2010: 17) prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa


(60)

39 dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.”

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.

Prestasi belajar merupakan wujud dari hasil pembelajaran yang secara maksimal yang diukur dengan tingkat ketuntasan belajar. Prestasi belajar diperoleh bila nilai melebihi standar kelulusan. Namun, bila nilai yang diperoleh siswa dibawah standar kelulusan maka siswa tersebut wajib mengikuti pembelajaran remedial untuk dapat mencapai tingkat ketuntasan.

Berdasarkan beberapa batasan diatas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai kecakapan nyata yang dapat diukur yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai interaksi aktif antara subyek belajar dengan obyek belajar selama berlangsungnya proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar


(1)

V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada interaksi antara siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran berbasis masalah serta kemampuan awal dengan pencapaian prestasi belajar fisika.

2. Prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah. 3. Prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual

tidak lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah pada kemampuan awal tinggi.

4. Prestasi belajar fisika siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah pada kemampuan awal rendah.

5.2. Implikasi

Dari simpulan di atas tindak lanjut dalam penelitian ini berimplikasi pada upaya efektivitas peningkatan prestasi belajar fisika melalui penerapan model pembelajaran antara lain:


(2)

1. Penggunaan model pembelajaran harus memperhatikan kemampuan awal siswa sehingga akan terjadi interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa, siswa dengan lingkungan sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Diharapkan guru dapat menerapkan model pembelajaran yang bervariasi. Pentingnya mempertimbangkan model pembelajaran yang bervariasi karena sangat terkait dengan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, sedangkan kemampuan awal berkaitan dengan kemampuan siswa dalam merespon materi pelajaran.

2. Penggunaan model pembelajaran kontekstual dengan melibatkan ketujuh komponen secara utuh serta dengan menerapkan langkah-langkah yang benar maka akan semakin memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam merespon materi pelajaran sehingga menghasilkan prestasi yang lebih tinggi.

3. Memberikan bimbingan secara intensif, khususnya kepada siswa yang berkemampuan rendah terutama pada penggunaan pembelajaran kontekstual.

5.3. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi yang telah diuraikan disarankan kepada guru-guru SMA Negeri 13 Bandar Lampung khususnya guru fisika, agar:

1. Menggunakan model pembelajaran kontekstual khususnya pada pokok bahasan menerapkan konsep kelistrikan dan kemagnetan dalam berbagai penyelesaian masalah dan produk teknologi, serta tidak memisahkan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah.


(3)

107 2. Dalam menggunakan model pembelajaran kontekstual hendaknya

memperhatikan kemampuan awal siswa karena dapat menigkatkan prestasi belajar fisika.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Amri, Sofan & Ahmadi, Iif Khoiru. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Cerdas Pustaka Publisher. Jakarta.

Anderson. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. Addison Wesley Longman Inc. New York.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta

Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Wacana Prima. Bandung. Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

Dahar, Retnowilis. 2008. Teori-teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Dick and Carey. 2005. The Systematic Design of Instruction. 2nd Edition. Scott Foresman and Companiy. Illionis.

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Eggen, Paul. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran, Mengajarkan Konten dan Ketrampilan Berpikir. Indeks. Jakarta.

Ensiklopedia Britania. 2006. Physical Science, Britannica Concise Encyclopedia. Britannica Concise. Inggris.

Fajri, Em Zul dan Aprilia Ratu. 2009. Buku Pegangan Kuliah Bahasa Indonesia. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Furchan. 2007. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Rineka Cipta. Jakarta.

Gagne, Roberth, M. 1985. The Conditions of Learning and Theory of Instruction. CBS College Publishing. New York.

Gunarso, Arif. 2007. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Usaha Nasional. Surabaya.


(5)

109 Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan

Sistem. Bumi Aksara. Jakarta.

Herpratiwi. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. 2009. Model-Model Pengajaran. (Diterjemahkan oleh Achmad Fuwaid dan Ateila Mirza. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Refika Adithama. Bandung.

Miarso, Yusuf Hadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana. Jakarta.

Nasution, S. 2010. Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara. Jakarta.

Nurhadi, Burhan Yasin, Agus Gerrad Senduk. 2009. Pendekatan Kontekstual. Publisher. Surabaya

Pribadi, Benny A., 2011. Model Desain Sistem Pembelajaran. Dian Rakyat. Jakarta.

Purwanto, M. Ngalim. 2004. Psikologi Pendidikan. Remadja Rosda Karya. Bandung.

Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru). PT Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Sagala. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Prenada Media. Jakarta.

Sardiman, AM. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Bina Aksara. Jakarta.

Singarimbun, Masri. 2011. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.

Soenarto, Sunaryo. 2004. Pembelajaran Berbasis Masalah. Pelatihan Pengembangan Buku Ajar. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Suparman, Atwi. 2006. Desain Instruksional. Universitas Terbuka. Jakarta.


(6)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Uno, Hamzah B. 2010. Buku Perencanaan Pembelajaran. Pustaka Hidayah.

Jakarta.

Wina, Sanjaya. 2008. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Prenada Media. Jakarta.

Winkel, WS. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Grasindo. Jakarta.


Dokumen yang terkait

Hubungan komunikasi guru-siswa dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS di MAN 15 Jakarta

2 46 130

Perbandingan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Berasrama Dengan Nonasrama Di Smp Kharisma Bangsa Tangerang Selatan

6 45 123

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA PEMBELAJARAN DENGAN METODE SCIENTIFIC INQUIRY DAN DISCOVERY PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 13 BANDAR LAMPUNG

0 13 60

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL TEAM GAMES TOURNAMENT DENGAN SNOWBALL THROWING DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA DI KELAS XI SMA AL-AZHAR 3 BANDAR LAMPUNG

0 8 71

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X SMA DI BANDAR LAMPUNG

1 18 91

KEMAMPUAN BERPIDATO DENGAN MENGGUNAKAN METODE EKSTEMPORAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2010/2011

0 8 9

PENGGUNAAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPA SISWA KELAS V SDN 4 KOTA KARANG BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 6 36

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DAN KEMAMPUAN AWAL SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA SMA NEGERI 1 SIBOLGA.

0 1 21

PERBEDAAN HASIL BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN LATIHAN INKUIRI DENGAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL PADA MATA PELAJARAN FISIKA.

0 4 8

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA SISWA KELAS XII IPA DENGAN SISWA KELAS XII IPS DI SMA NEGERI 7 SURAKARTA Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Kelas XII IPA Dengan Siswa Kelas XII IPS Di SMA Negeri 7 Surakarta.

0 1 13