2 Biomasssa
49.810 MW
e
445,0 MW
e
0,89 3
Tenaga Surya 4,80
kWhm
2
hari 12,1 MW
e
-
4 Tenaga Angin
9.290 MW
e
1,1 MW
e
0,1 5
Kelautan 240 GW
e
1,1 MW
e
0,1
Sumber : Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2012-2021
2.5.2 Elastisitas Energi
Elastisitas energi adalah hasil dari perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien penggunaan energi di suatu negara.
Dari data Statistik Ekonomi Energi Departemen Energi Sumberdaya Dan Mineral DESDM menggambarkan kalau tingkat
elastisitas pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia dalam rentang tahun 1991-2005 sekitar 2,02. Hal ini menunjukkan kalau tingkat efisiensi
elastisitas energi di Indonesia masih kecil dibandingkan Negara-negara lainnya.Efisiensi elastisitas energi diharapkan mencapai angka kurang dari
1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan elastisitas energi negara-negara maju. Bahkan
Jerman dapat mencapai elastisitas -0.12 dalam kurun waktu 1998–2003 DESDM 2006. Energi di Indonesia masih banyak digunakan untuk
kegiatan yang tidak menghasilkan, tercermin dari tingginya elastisitas energi Indonesia. Perbandingan elastisitas dan intensitas pemakaian energi
sejumlah negara periode tahun 1998-2003 diperlihatkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Sumber : DESDM, 2006
Gambar 2.3: Perbandingan elastisitas pemakaian energi sejumlah Negara tahun 1998-2003
Dari grafik diatas dapat dilihat nilai intensitas Indonesia 1,84 yang sangat jauh diatas dari beberapa negara lainnya. Hal ini menunjukkan laju
pertumbuhan konsumsi energi yang jauh diatas laju pertumbuhan eknomi. Maka harus diadakan tindakan untuk mensiasati permasalahan ini untuk
menekan angka elastisitas menjadi lebih kecil.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: kementrian ESDM, 2009
Gambar 2.4: Perbandingan penggunaan intensitas pemakaian energi primer beberapa Negara
Selanjutnya pada Gambar 2.5 dapat disimpulkan kalau intensitas konsumsi energi akhir per kapita di Indonesia terkesan mengalami peningkatan. Pada
tahun 2000, intensitas konsumsi energi akhir per kapita sebesar 2.26 SBM per kapita kemudian meningkat menjadi 2.82 pada tahun 2008. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun, terjadi peningkatan pemborosan penggunaan energi sebesar 24.78 persen.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: kementrian ESDM, 2009
Gambar 2.5. Intensitas konsumsi energi akhir Per Kapita di Indonesia, tahun 2000-2008
Dari aspek harga energi memperlihatkan kalau harga energi di Indonesia belum menyentuh harga yang seharusnya.Hal ini dikerenakan
harga energi di Indonesia masih di subsidi oleh Negara. Beberapa dampak negatif masih di subsidi oleh pemerintah adalah : 1 tingginya
ketergantungan pada sumber energi minyak bumi yang ditunjukkan oleh dominasi minyak bumi dalam kombinasi pasokan sumber energi domestik
energi mix. Sinyal harga yang rendah tersebut menjadi disinsentif bagi usaha diversifikasi maupun konservasi penghematan energi, 2 Subsidi
BBM di APBN mengancam keberlangsungan fiskal fiscal sustainability pemerintah, 3 tidak optimalnya pemanfaatan sumber energi lain, baik
fosil energi seperti gas alam dan batu bara yang cadangannya jauh lebih besar dari minyak bumi maupun energi baru dan terbarukan, 4 maraknya
penyelundupan BBM ke luar negeri sehingga tingkat permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan nyata di sektor transportasi,
industri, dan rumahtangga, 5 maraknya kegiatan pengoplosan BBM yang merugikan negara dan konsumen umum, dan 6 sinyal harga mendistorsi
kelayakan investasi di sektor hilir migas [20]. Beberapa kendala dalam penyediaan energi di Indonesia adalah
karena teknologi yang digunakan belum terlalu memadai atau mendukung serta investasi dalam bidang energi di Indonesia yang masih kurang [20].
Universitas Sumatera Utara
Karena teknologi yang belum mendukung banyak aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia terpaksa diberikan kepada kontraktor perusahaan
minyak asing dengan sistem kontrak produksi sharing KPS dengan skema pembagian 85 persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk
kontraktor. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai Negara Indonesia belum bisa menikmati sepenuhnya sumber daya alam yang kita miliki.
Sementara itu investasi energi masih terbatas.Hal ini terlihat dengan jumlah kilang minyak yang berproduksi di Indonesia. Berdasarkan
data Kementrian Energi Sumber Daya Mineral tahun 1990-2008 menunjukkan pertumbuhan rata-rata jumlah kilang minyak sebesar 1.39
persen dari 8 kilang minyak tahun 1990-2003 menjadi 10 kilang minyak tahun 2007- 2008. Penyebab rendahnya investasi di Indonesia dalam
bidang energi disebabkan : 1 regulatory environment problem, karena berbagai peraturan menciptakan ketidakpastian dan inkonsistensi sehingga
menciptakan regulatory risk yang besar sehingga menjadi disensentif bagi investor dalam dan luar negeri, 2 pricing policy problem, kecenderung
penetapan harga di dalam negeri yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor dan ini mensyaratkan agar harga energi menjadi masalah
strategik, 3 high cost economy, dengan proses pasar energi yang menyangkut perencanaan proyek di Indonesia perlu dibangun suatu proses
menyeluruh yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka sehingga para investor dapat menghemat biaya dan efisien dalam melakukan proses
eksplorasi, 4 inconsistency tax sistem, ada inkonsistensi di bidang perpajakan yang berkaitan dengan implementasi regulasi baru, dan 5
limited infrastructure , infrastruktur jalan, transmisi, transportasi, dan
pelabuhan yang menghubungkan wilayah eksplorasi dan distribusi dirasakan sangat kurang sehingga menghambat investasi [20].
Seiring dengan ketersediaan energi fosil yang semakin langka, karena merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui, dewasa ini
berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, kembali menggalakkan penggunaan energi biomass sebagai salah satu energi yang dapat
diperbaharui. Biomass merupakan seluruh bahan organik, berasal dari
Universitas Sumatera Utara
kayu, tumbuhan, kotoran hewan, dan sumber-sumber organik lainnya, yang dapat didigunakan sebagai sumber energi.
Elastisitas energi Indonesia pada 2009 masih cukup tinggi yaitu 2,69. Sebagai perbandingan menurut penelitian International Energi
Agency IEA tahun 2009,angka elastisitas Thailand adalah 1,4, Singapura
1,1 dan negara-negara maju berkisar dari 0,1-0,6. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi
energi per produksi domestic bruto PDB. Semakin rendah angka intensitas, maka semakin efisien penggunaan energi di sebuah negara.
Intensitas energi primer Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 565 TOE
ton oil equivalent per 1 juta US. Artinya untuk meningkatkan PDB sebesar 1 juta US, Indonesia memerlukan energi sebanyak 565
TOE . Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia adalah 493
TOEjuta US dan rata-rata intensitas energi negara maju dalam organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan OECD hanyalah 164
TOE perjuta US.
Disadari atau tidak, Indonesia tergolong negara yang sangat boros dalam mengonsumsi energi, termasuk energi listrik. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari dua indikator, yakni intensitas dan elastisitas energi. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi
dengan produk domestik bruto PDB, sedangkan elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan
ekonomi. Dengan demikian, semakin kecil angka intensitas dan elastisitas energi suatu negara maka semakin efisien pula penggunaan energi di
negara yang bersangkutan. Berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPPT 2005, elastisitas energi di Indonesia mencapai angka 400 atau empat kali lebih besar dibanding Jepang.Angka ini juga masih lebih boros
dibanding negara-negara Amerika Utara yang mencapai angka 300. Sementara itu, berdasarkan data Lembaga Konservasi Energi Nasional
2004, elastisitas energi Indonesia berkisar antara 1,04-1,35 dalam kurun waktu 1985-2000. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding dengan negara
Universitas Sumatera Utara
maju yang pada kurun yang sama angka elastisitasnya rata-rata hanya mencapai 0,55-0,65. Dalam hal ini yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan gerakan hemat listrik adalak Kementrian ESDM dan Kementrian Dalam Negri.
Dalam hal ini budaya yang harus dilakukan dalam kalangan masyarakat adalah dengan melakukan penghematan pemakaian energi
terutama energi listrik. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengeffisiensikan sebaik mungkin dalam setiap menggunakan energi. Ada
dua keuntungan utama apabila hal ini dilakukan yaitu pengeluaran masyarakat dalam menggunakan energi akan berkurang dengan sendirinya
serta bisa ikut serta dalam menjaga pasokan energi agar tidak habis dengan percuma. Karena apapun itu alasannya persedian energi akan habis, Cuma
kita bisa menundanya dengan melakukan pengeffisiensian dalam setiap pemakaian energi.
Beberapa cara yang bisa dilakukan dalam rangka menggunakan energi secara effisien seperti mematikan lampu yang tak terpakai di siang
hari, mematikan televisi yang tidak sedang ditonton, mematikan AC di ruangan yang tak terpakai, juga tindakan-tindakan lain yang bisa
menghemat energi listrik. Jika sekian juta pelanggan rumah tangga bisa melakukan, penghematannya pasti cukup besar nilainya.
Dan juga sesuai dengan yang diteliti di dalam skripsi ini adalah dengan melakukan effisiensi energi dalam bidang pemakaian energi dari
penggunaan AC dengan cara pemasangan yang sesuai standarisasi serta letak bangunan yang sesuai dengan standarisasi agar bisa menghemat
pemakaian energi sedikit mungkin. Apabila cara ini bisa disosialisasikan dengan baik kepada seluruh masyarkat maka bisa dapat dipastikan
Indonesia menjadi salah satu negara yang pemakaian energinya paling sedikit serta penyumbang aktif dalam penghematan menjaga sumber daya
energi yang ada. Oleh karena itu, diperlukan penyadaran yang lebih intensif dan
lebih dapat menyentuh masyarakat golongan menengah ke atas untuk berpartisipasi lebih aktif dalam melakukan penghematan listrik.Pada
Universitas Sumatera Utara
golongan masyarakat ini, isi hemat baiya dari penggunaan energi tidak akan terlalu berpengaruh, tetapi masalah yang bisa diberikan kepada
masyrakat golongan menengah keatas ini adalah akibat yang timbul dari pemakaian energi terlalu banyak dengan percuma. Karena dengan itu
mereka akan menyadari pentingnya dalam hal menghemat energi dengan cara mengeffisienkan setiap pemakaian energi.
2.5.3 Optimasi Penggunaan Energi