Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar Harsja W. Kebudayaan dan pendidikan: bersatulah Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1987

Badudu, J.S. 1982. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima

Bangun, Payung, 1980. Kebudayaan Batak dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta, Djambatan

Depdikbud, 2005. Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta balai pustaka.

G.L Tichelman dan P. Voorhoeve, 1936 “Steenplastiek Simaloengoen” Medan, Kohler & Co Medan.

Hornbostel,Erich M.Von and Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument. Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman.

Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent : The Kent State University Press

Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian

Koentjaraningrat. 1973. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1981. Pengantar Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru

M. Soeharto, 1992. Kamus Musik

Manoff, Tom. 1991. “The Musik Kit(Terjemahan)”. Medan. Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

Meriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music . North Western, University press.

Moleong, Lexi j, 1988. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung Remaja Poskakarya

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe. New York

Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis

Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka.


(2)

BAB III

EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNE JAHE

3.1 Eksistensi Sarune Jahe pada Masyarakat Karo Jahe di kota Langkat

Pada tahun 1949 Indonesia mengesahkan dirinya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Mulailah berdatangan para suku-suku karo gugung ke daerah Langkat dan mulai bertempat tinggal dan melanjutkan hidup di Langkat. Banyaknya suku Karo yang mendiami daerah Langkat sehingga menjadikan mereka disebut “karo Jahe”.

Budaya yang sama baik dalam segi bahasa, acara adat, dan lain-lain, sehingga para suku karo yang ada saat mengadakan acara-acara tertentu pasti menggunakan setiap nilai-nilai kebudayaannya baik tata cara maupun alat musik yang digunakan dalam setiap acara tersebut.

Ada beberapa alat musik karo yang digunakan dalam setiap acara adat suku karo seperti : sarune, gong, gendang kitik dan gendang galang. Dan dalam setiap acara adat yang dilakukan semua alat musik ini harus lengkap. Seperti halnya dibawah akan dibahas mengenai salah satu alat musik karo yang merupakan objek penelitian bagi peneliti yaitu sarune jahe.

Awal pertama sekali sarune jahe itu diperkenalkan kepada warga suku karo yang yaitu oleh bapak Amalen Perangin-angin yang merupakan mertua dari bapak Kebal Kaban yang menjadi informan penelitian. Lebih kurang sarune jahe ini diperkenalkan oleh bapak Amalen Perangin-angin sejak 100 tahun yang lalu.


(3)

Namun pada masyarakat di Langkat gendang ini diperkenalkan oleh bapak Kebal Kaban setahun setelah dia pindah ke Langkat pada tahun 1953.

Sarune jahe ini dipergunakan untuk setiap acara-acara yang dilakukan oleh para suku karo seperti : acara pernikahan, masuk rumah baru, memindahkan tulang-belulang para leluhur, upacara agama, dll. Sarune Jahe juga menjadi sesuatu yang dianggap berbau mistik oleh para suku karo dikarenakan mereka mempercayai bahwa saat memainkan alat musik tersebut yang memainkannya adalah para leluhur mereka dan tidak sembarangan orang dapat memainkannya. Namun ada juga yang berpendapat seperti yang diutarakan oleh bapak Kebal Kaban bahwa dalam memainkannya si pemain juga harus merasakan emosi dari lagu yang dimainkan.

Seiring berjalannya waktu, bapak Kebal Kaban semakin terkenal namanya sebagai pemain alat musik karo yaitu pada tahun 1958, yang menyebabkan banyak orang yang mengenal dia hingga akhirnya ada 6 orang yang memesan alat musik karo untuk dia buat seperti : Gendang galang atau sarune. Dan bahkan dia memberikan 3 teman terdekatnya masing-masing 1 alat musik karo.

Masyarakat sekitar baik yang bersuku karo ataupun tidak (pendatang seperti jawa, melayu, dll) menerima keberadaan Sarune Jahe dikarenakan mereka mengerti bahwasanya itu merupakan bagian dari seni budaya yaitu budaya karo. Dan bahkan diantara suku-suku yang lain ada yang menyukai salah satu alat musik karo tersebut yaitu Sarune Jahe.


(4)

3.2 Fungsi Sarune Jahe pada Masyarakat Karo Jahe di Langkat

Dalam musik Karo, ada suatu keyakinan kuat bahwa bunyi-bunyi musik secara langsung dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia serta kejadian-kejadian sepanjang hidupnya.

Menurut penjelasan dari Bapak Kebal Kaban, di dalam ensambel Gendang Langkat, sarunei memiliki peran utama yaitu sebagai pembawa melodi.

Penerapan metode siklus pernapasan yang tidak terputus, tanpa adanya perhentian atau istirahat dari awal hingga akhir sebuah lagu dalam memainkan sebuah repertoar lagu, menjadikan pemain sarune sebagai pemimpin didalam ensambel musik gendang langkat. Hal tersebut disebabkan sarune adalah instrumen pembawa melodi pokok yang menjadi nada khas sebuah lagu dalam setiap gual, yang dibawakan dalam upacara-upacara pada masyarakat karo jahe di Langkat.

Dalam fungsinya sarune dapat digunakan pada upacara-upacara adat, selain itu sarune juga dapat dimainkan secara pribadi untuk keperluan alat hiburan semata. Untuk keperluan hiburan sarune yang digunakan adalah sarune yang tidak khusus, yakni biasa digunakan saat mengisi waktu luang ketika berada di rumah. Akan tetapi pada zaman ini penggunaan sarune tergolong situasional. Maksudnya dalam acara hiburan terkadang bagian gundalnya sudah dipergunakan.

Dalam menuliskan fungsi sarunei, maka penulis mengacu pada teori Alan P.Merriam, yaitu:

…use then refers to the situation in which is employed in human action : function concern the reason for its employment and particulary the broader purpose which it serves….(Merriam 1964:210)


(5)

Dari kalimat di atas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) bahwa menitikberatkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function (fungsi) yang menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.

Menurut hematnya, Alan P. Merriam menjabarkan sepuluh fungsi musik pada umumnya, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) penghayatan estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5) perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) norma-norma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat. Fungsi tersebut menyangkut tujuan pemakaian musik dalam pandangan luas.

3.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional

Musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa atau emosi (misalnya rasa sedih, rindu, bangga, tenang, rasa kagum pada dunia hasil ciptaan Tuhan) bagi para pendengarnya (Merriam,1964:223). Reaksi-rekasi tersebut dapat berupa ekspresi langsung seperti menyanyi mengikuti lagu yang dimainkan atau mendengarkan secara tenang dan seksama tanpa banyak pengungkapan suasana hati yang terlihat secara langsung.

Berkenaan dengan fungsi sarune jahe-Langkat sebagai pengungkapan emosional dapat dilihat pada waktu alat musik ini untuk mengungkapkan perasaan


(6)

seperti rasa rsedih dan rindu kepada kedua orang tua penyajinya yang telah meninggal dunia. Dorongan emosional yang mengakibatkan kesedihan pada diri pemainnya terutama karena kemelaratan dan penderitaan yang dialami, akhirnya rasa rindu kepada orangtuanya mengenang masa-masa indah dan bahagia ketika mereka masih bersama-sama.

3.2.2 Fungsi Penghayatan Estetis

Menurut Merriam, ada empat buah asumsi dalam mendefinisikan kata estetika. Keempat asumsi tersebut adalah:

a) Estetika adalah suatu konsep yang digunakan dalam kebudayaan Barat dan Timur untuk menyatakan sesuatu mengenai kesenian.

b) Konsep estetika dengn berbagai macam konsep pemikiran cenderung lebih bersifat mengaburkan dan bukan memperjelas konsep-konsep pemikiran pokok yang dikandung oleh filsafat estetika.

c) Dalam membahas estetika, biasanya hanya terpaku hanya pada satu macam seni saja. Dengan demikian para pakar telah menegaskan perbedaan antara kesenian murni dan kesenian terapan, maupun antara artis dan pengrajin.

d) Tidak ada sesuatu benda atau kegiatan yang memiliki nilai estetika secara langsung. Maksudnya nilai estetika itu berasal dari si pencipta atau si pengamat itu sendiri yang memberikan nilai estetika kepada benda atau kegiatan tersebut.


(7)

Setiap musik yang dimiliki masyarakat memiliki nilai-nilai estetis dan penilaian terhadap musik tersebut tergantung kepada anggota masyarakat itu sendiri maupun masyarakat luar (Merriam, 1964:223). Merriam juga mengisolir enam buah konsep khas atau faktor yang dapat menyimpulkan apakah suatu masyarakat memiliki pemahaman estetika yang memerankan fungsi tertentu. Keenam faktor tersebut adalah:

1) Pemisahan psikis, yaitu mencakup kapasitas kemampuan seseorang individu untuk menjauhkan diri dari suatu obyek dan kemudian mengamatinya dengan suatu tingkat obyektivitas tertentu. Maksudnya adalah musik dipisahkan dari konteks di mana musik itu biasanya didengarkan dan unsur-unsur penyusunnya dapat dikenali dan dianalisa.

2) Manipulasi bentuk secara positif, merupakan bagian yang berpengaruh kuat pada budaya musik Barat, sebab perubahan dianggap sebagai suatu norma dan menjadi logis. Bila musik dianggap sebagai obyek yang abstrak, maka manipulasi bentuk secara otomatis hampir dipastikan akan selalu terjadi. Untuk memanipulasi bentuk diperlukan adanya konsep-konsep unsur bentuk. Dalam terminologi Barat, konsep-konsep unsur tersebut berkenaan dengan hal-hal seperti interval, melodi, irama, ketukan, keselarasan nada, dan yang lainnya.

3) Sifat menggugah suasana hati pada musik yang dipahami hanya sebagai bentuk bunyi-bunyian. Dalam hal ini Merriam mencurahkan perhatiannya terhadap reaksi emosional yang tampak berlebihan terhadap bunyi musik seperti gembira, sedih, maupun bentuk-bentuk suasana hati yang kita kenal.


(8)

4) Pengakuan keindahan terhadap proses atau produk seni. Dalam masyarakat Barat keindahan merupakan sesuatu yang penting. Keindahan merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesenian.

5) Kesengajaan dalam menciptakan sesuatu yang estetik. Seniman Barat secara sengaja menciptakan suatu obyek atau bunyi-bunyian yang akan dikagumi secara estetik oleh mereka yang menyaksikan atau mendengarnya, dan unsur pengupayaan secara sadar ini menekankan kembali keabstrakan seni dari konteks kebudayaannya.

6) Keberadaan filsafat suatu materi estetik. Menurut Merriam, benar adanya jika dikatakan bahwa apa yang menjadi kekhasan konsep-konsep pemikiran Barat serta idealisme akan bentuk dan keindahan adalah bahasa estetika yang pasti.

Berdasarkan ke enam faktor tersebut, dapat ditentukan bahwa pada dasarnya sarune jahe buatan bapak Kebal Kaban ini memenuhi kriteria tersebut di atas. Oleh sebab itu alat musik ini dapat dikatakan memiliki fungsi estetika.

3.2.3 Fungsi Hiburan

Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan karena musik dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan dan kepuasan tertentu kepada yang mendengar (Merriam 1964:224).

Jika dikaitkan dengan legenda asal usul terciptanya sarune sebagai alat musik karo jahe-Langkat, akan jelas bahwa pada awalnya sarune digunakan sebagai salah satu alat penghibur orang lain, dalam hal ini adalah lingkungan sekitarnya.


(9)

Perkembangan penggunaan sarune berikutnya telah digunakan sebagai alat untuk mengusir rasa jenuh, bosan dan sunyi di lading-ladang atau sawah terutama ketika sedang menjaga padi.

Sebagai akibat yang diditimbulkan instrument ini berkaitan dengan fungsi pengungkapan emosional ialah timbulnya rasa puas di mana pemainnya dapat mengungkapkan kesedihan hati dan penderitaan yang selama ini menggangu hati dan pikirannya kini telah tersalurkan walaupun kondisi ini hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

3.2.4 Fungsi Komunikasi

Musik mampu menyampaikan sesuatu (pesan) kepada siapa yang akan dituju yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang membentuk musik tersebut (Merriam, 1964:224). Merriam berpendapat bahwa kemungkinan yang paling jelas ialah komunikasi dihadirkan dengan cara menanamkan makna-makna simbolis ke dalam musik yang secara tidak disadari diakui oleh para warga komunitas tersebut. Penanaman makna-makna simbolis dapa terjadi dalam salah satu dari kedua macam cara berikut: secara sadar atau secara bawah sadar.

Bunyi musik dapat menyajikan suasana hati tertentu, baik itu sedih, gembira, semangat, ataupun yang lainnya. Dengan demikian bunyi musik dapat mengkomunikasikan lingkup-lingkup nuansa yang sesuai dengan musik yang dibunyikan.

Dalam banyak hal musik berfungsi sebagai alat atau media komunikasi antara pengguna dan penikmat. Sarune berfungsi sebagai alat komunikasi dapat dilihat


(10)

ketika alat ini digunakan oleh anak perana (pemuda) untuk mengkomunikasikan perasaannya kepada seorang gadis yang disukainya.

Dalam kaitan yang lain, dapat dilihat bahwa sarune berfungsi sebagai alat komunikasi antara penggunanya dengan unsur atau oknum yang dituju. Misalnya, pada reportoar gendang mulana, sarune sebagai salah satu perangkat instrument di dalamnya berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan maksud dan permohonan kesukuten (pelaksana pesta) kepada guru (pencipta) agar apa yang diinginkan dapat terkabul.

Juga sebagai alat musik yang dianggap oleh masyarakatnya mempunyai tendi (roh kehidupan) akan jelas terlihat bahwa melodi-melodi yang dikeluarkan sarune adalah merupakan komunikasi yang dianggap sebagai kata-kata kepada unsur-unsur atau oknum-oknum tertentu sebagaimana selalu diucapkan dalam upacara-upacara adat dengan istilah merkata gendang , yaitu memainkan ensambel gendang yang di dalamnya terdapat gong, sarune, dan gendang galang. Jika dikatakan merkata gendang berarti di dalamnya telah terkandung suara dalam bentuk kata-kata untuk mengkomunikasikan sesuatu hal kepada sesuatu hal lain, sesuai dengan repertoar yang dimainkan.

3.2.5 Fungsi Perlambangan

Pada semua masyarakat, musik berfungsi sebagai lambang dari hal-hal, ide-ide, dan tingkah laku (Merriam 1964:225). Menurut Alan P. Merriam, ada empat macam cara bagaimana memandang kesenian sebagai sesuatu yang bersifat simbolis. Keempat macam cara tersebut adalah:


(11)

1) Melalui makna harafiah yang disajikan. Dalam menulis mengenai aspek simbolisme dalam kesenian ini, Merriam mengakui keberadaan makna harafiah dalam kesenian serta penyampaian ini jauh lebih mudah dipahami dalam bentuk-bentuk seni rupa dan tari-tarian dibandingkan dengan seni musik.

2) Melalui refleksi suasana hati dan makna.

3) Melalui refleksi nilai-nlai , pengaturan kondisi sosial dan perilaku budaya lain. Alan P.Merriam berpendapat bahwa musik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan dan sebagaimana aspek-aspek kebudayaan lainnya, musik niscaya akan mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya yang menghidupkan kebudayaan tersebut secara menyeluruh.

4) Melalui prinsip-prinsip aplikasi universal secara luas.

Mengenai fungsi perlambangan akan jelas dapat kita lihat bahwa secara fisik sarune adalah lambang kehidupan yang dinyatakan dalam tiga unsur, yaitu gundal (bayangan) pada resonator, daroh (darah) pada perdah (batang sarune), dan kesah (nafas) pada tiupan yang menghasilkan suara dari pemainnya.

Selain itu pinang muda dan pinang ntasak (pinang tua) yang terdapat pada pangkal sarune dan gundal adalah merupakan lambang dari kesempurnaan suara ataupunmaksud dan tujuan penggunanya. Demikian pula lubang nadanya (tone hole) yang dibuat dari waktu dan situasi tertentu bukan tidak mungkin adalah juga merupakan lambang dari waktu dan situasi tersebut.


(12)

3.2.6 Fungsi Kesinambungan Budaya

Sebagai fungsi kesinambungan kebudayaan, penulis melihatnya dari segi penggunaan sarune sebagai alat untuk mengkomunikasikan perasaan seorang pemuda kepada seorang gadis melalui bunyi dan pitunang yang terdapat di dalamnya. Berhasilnya cara tersebut digunakan hingga samapai ke jenjang perkainan, secara otomatis sesuai dengan tujuan utama perkawinan yaitu untuk mendapatkan keturunan akan mengakibatkan kesinambungan kebudayaan dari generasi orang tua kepada anaknya.

Demikian pula keberadaan sarune pada saat ini dapat dikatakan sebagai kesinambungan kebudayaan masa lampau ke masa kini. Hal ini dapat dilihat di mana sarunemasih tetap digunakan sebagai alat musik di tengah-tengah kehidupan musikal Langkat (gendang binge), walaupun secara kuantitas sangatlah minim.


(13)

BAB IV

KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE JAHE

4.1 Perspektif Sejarah Sarune Jahe

Dari beberapa informan yang telah penulis temui secara terpisah, diantaranya adalah bapak Kebal Kaban dan Jahuat Lape Sitepu pemain sarunei mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui asal-usul alat musik sarunei tersebut. Dan tidak pernah mendengar cerita dari mulut kemulut dari leluhurnya tentang asal-usul alat musik sarunei tersebut.

Darwan Prinst dalam bukunya Adat Karo mengatakan:

“Memang benar adanya bahwa asal-usul alat musik sarune ini tidak jelas dan ,menjadi kabur oleh sekian banyak peristiwa sejrah yang terjadi setelah alat musik ini mulai dikenal di Indonesia. Alat musik sarune, sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang Batak Karo, hanya merupakan salah satu bentuk alat musik sejenis yang dijumpai mulai dari negeri Turki hingga ke wilayah Timur tengah (zurna), Persia (surnay), dan India (shabnai dan nagasvaram)hingga ke Malaysia (sernai), Cina (suoonab), dan Filipina (sabunay).”

Masyarakat di Indonesia pada umumnya mengenal dua macam istilah untuk membedakan alat-alat musik jenis tiup. Salah satu merupakan turunan dari istilah Jawa-Hindu pereret, pleret, atau gem(p)ret dan variasi-variasi nama seperti selompret, tarompet (Sunda), pereret (Bali), dan tetepret (Banyumas) (Kunst 1949:238). Istilah lain, surnay memiliki nama-nama turunan seperti saronen


(14)

(Madura), srune (Aceh), serunai (Dayak), dan sarunei di kalangan masyarakat Batak (Jairazbhoy 1970:386).

Jairazbhoy dalam Jansen menyatakan bahwa orang-orang India mungkin merupakan sumber asal-usul dari alat musik sarunei:

“Tampaknya subbenua Asia Selatan sangat mungkin merupakan sumber penyebaran awal bagi alat musik jenis oboe. Terlepas dari bukti yang ada pada mobori/madbukari yang menyatakan bahwa sejenis bentuk indipenden alat musik oboe telah ada di India saat alat musik surnai mulai dikenal. Ada bukti lebih lanjut yang didapat dari relief-relief ukuran-ukuran dari periode gandhara pada masa sekitar abad kedua dan ketiga masehi. Disitu alat bunyi-bunyian berbentuk kerucut yang ditiup pada bagian ujungnya digambarkan sebanyak lebih dari satu kali.”

Dengan kondisi keterbatasan bukti-bukti yang ada, penjelasan mengenai asal-usul alat musik sarune di masyarakat Karo Jahe dan suku Batak yang lain ialah alat musik ini dulunya di bawa dari timur tengah melalui Gujarat (cambay) ke pesisir Timur Sumatera. Orang-orang melayu pesisir kemudian berperan dalam memperkenalkan alat musik ini kepada orang-orang Batak yang berada di wilayah pedalaman. Kapan berlangsungnya hal ini sulit untuk dikatakan, namun diperkirakan hal ini terjadi tidak lama setelah setelah tahun 1300 saat Islam mulai berkembang di kota dermaga di wilayah timur laut. Dengan memahami ciri kondisi masyarakat Batak pada masa itu yang terpencil, kecendrungan mereka untuk resisten terhadap perubahan-perubahan mendadak serta kemampuan mereka dalam hal memodifikasi dan mengadaptasi hal baru disesuaikan dengan situasi yang mereka miliki. Penerimaan terhadap alat musik sarunei pada zaman dahulu mungkin


(15)

sempat memakan waktu yang cukup lama. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tradisi musik gendang karo kemungkinan telah berusia hingga 500 tahun lamanya. (Darwan Prinst,2004:65)

4.2 Klasifikasi Sarune Karo Jahe

Dalam mengklasifikasikan instrumen sarune, penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu:

”Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: Idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri), Aerofon, (penggetar utama bunyinya adalah udara), Membranofon, (penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran), Kordofon, (penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai).

Mengacu pada teori tersebut, maka sarune adalah instrumen musik Aerofon. Hal ini disebabkan suara yang dihasilkan instrumen tersebut penggetar utama bunyinya adalah udara. Sarune merupakan jenis alat musik tiup dari kayu (wind Instrumen) yang bagian tengahnya dilubangi seperti bentuk kerucut (with conical bore), bila dilihat dari bagian ujung kebagian pangkalnya, diameter bagian ujungnya lebih besar dibandingkan dengan dengan bagian pangkalnya. Sarune Jahe ini memakai lidah sebagai penggetar udara untuk menghasilkan bunyi ( Reed Aerofon). Sarune tersebut memiliki lidah getar ganda (double reed).


(16)

Tabel 1

Klasifikasi instrumen musik sarunei

4 Aerofon

4.2 Wind Instrument/ Non Free Instrument

4.2.2 Reed Aerofon

4.2.2.1.1.2 With Conical Bore

Berdasarkan pengklasifikasian di atas, maka sarune merupakan jenis alat musik tiup yang terbuat dari kayu (wind instrument), yang menggunakan udara sebagai sarana untuk menghasilkan bunyi (Aerofon), memiliki lidah ganda ( double reed), bentuknya sedikit mengerucut (with conical bore).

4.3 Konstruksi Bagian yang Terdapat pada Sarune Jahe

Untuk membahas bagian konstruksi ini, penulis mengacu pada Sarune Jahe buatan Bapak Kebal Kaban.

Instrumen sarunei ini memiliki bagian-bagian yang mempunyai fungsi masing-masing, antara lain :

a) Perdah, adalah bagian laras dari sarune yang terbuat dari kayu yang terdapat tujuh buah lubang tempat jari dan satu lubang sebagai penyetel suara.


(17)

b) Gundal, adalah badan sambungan yang meneruskan diameter lubang yang lebih besar pada ujung bawah perdah. Panjangnya kira kira setengah panjang perdah.

c) Tongkeh, merupakan bagian antara perdah dan anak sarune, yang terbuat dari timah bentuknya seperti selongsong kecil dan pada bagian ujungnya memiliki dua buah kerah yang berfungsi sebagai penahan agar tongkeh tidak masuk terlalu jauh kedalam perdah dan sebagai penahan .

d) Anaki sarune (lidah sarunei), berfungsi sebagai penggetar udara.

e) Ampang-ampang, selain berfungsi sebagai tempat penahan bibir, ampang-ampang juga digunakan sebagai tempat mengikatkan anak sarune.


(18)

Gambar 1 : Bagian-bagian sarune (Dokumentasi penulis)

4.4 Ukuran Bagian-Bagian Sarune

Ukuran dan bagian-bagian sarune yang penulis paparkan berikut ini adalah sesuai dengan ukuran sarune jahe buatan bapak Kebal Kaban, dan dibuat secara terpisah. Dapat dilihat pada gambar berikut ini.

4.4.1 Ukuran Bagian Gundal

Gundal adalah bagian sambungan yang berbentuk selongsong, umumnya memiliki panjang setengah atau dua pertiga panjang perdah.

Berikut ini adalah ukuran dari bagian gundal yang terdapat pada Instrumen sarune buatan bapak Kebal Kaban, antara lain :


(19)

• Panjang gundal : 19,5 cm • Diameter pangkal gundal : 2 cm • Diameter Ujung gundal : 2 cm


(20)

Gambar 3 : Diameter Pangkal Gundal : 2cm (Dokumentasi penulis)

Gambar 4 : Diameter ujung gundal ( Dokumentasi


(21)

4.4.2 Ukuran Bagian Perdah ( Badan Sarunei)

Perdah adalah badan sarunei atau bagian laras pada sarune yang terdapat 8 buah lubang jari. Berikut ini adalah ukuran dari badan sarunei ( perdah) yang terdapat pada Instrumen sarune buatan bapak Kebal Kaban, antara lain :

• Panjang baluh : 33,5 cm • Diameter ujung baluh: 1,3 cm • Diameter pangkal baluh: 0,8 cm • Diameter lubang nada I : 0,3 cm • Diameter lubang nada II : 0,4 cm • Diameter lubang nada III : 0,5 cm • Diameter lubang nada IV : 0,5 cm • Diameter lubang nada V : 0,3 cm • Diameter lubang nada VI : 0,3 cm • Diameter lubang nada VII : 0,3 cm • Diameter lubang nada VIII : 0,3 cm • Jarak lubang nada pada perdah : 3,3 cm


(22)

Gambar 5 : Panjang badan sarunei/perdah

33,5 cm ( Dokumentasi Penulis )


(23)


(24)

Gambar 8 : Diameter lubang jari/ lubang nada


(25)

Gambar 10 : Jarak antar lubang jari 3,3 cm (Dokumentasi Penulis)

4.4.3 Tongkeh

Tongkeh merupakan bagian antara badan sarune dan ampang-ampang, yang terbuat dari timah bentuknya seperti selongsong kecil dan pada bagian ujungnya memiliki dua buah kerah yang berfungsi sebagai penahan agar tongkeh tidak masuk terlalu jauh kedalam badan sarune dan sebagai penahan ampang-ampang (penahan bibir ). Menurut bapak Kebal Kaban zaman dulu tongkeh tersebut terbuat dari bahan bambu namun seiring dengan perkembangan zaman tongkeh tersebut diganti dan dibuat dari bahan timah, karena jika menggunakan bahan bambu bagian tongkeh tersebut sangat mudah pecah. Akan tetapi bapak Kebal Kaban tidak tahu sejak kapan pastinya tongkeh tersebut menggunakan bahan timah. Berikut ini adalah ukuran dari tongkeh yang terdapat pada Instrumen sarunei buatan bapak Kebal Kaban, antara lain :


(26)

• Panjang tongkeh : 2,5 cm

• Diameter bagian ujung tongkeh : 0,3 cm • Diameter bagian pangkal tongkeh : 0,3 cm


(27)

Gambar 12 : Diameter bagian pangkal dan ujung tongkeh : 0,3 cm (Dokumentasi Penulis)

4.4.4 Anak Sarune

Anak sarune terbuat dari daun kelapa yang didikatkan pada potongan bulu ayam. Anak ni sarune tersebut berfungsi sebagai penggetar udara atau sering disebut dengan reed. Berikut ini adalah ukuran dari anak sarune (reed) yang terdapat pada Instrumen sarune buatan bapak Kebal Kaban, antara lain :

• Panjang anak sarune : 1,3 cm • Lebar anak sarune : 0,7 cm • Panjang bulu ayam : 1,25 cm • Diameter bulu ayam : 0,2 cm

Gambar 13 : Anak Sarune (Dokumentasi Penulis)


(28)

4.4.5 Ampang-ampang

Ampang-ampang berfungsi sebagai tempat penahan selain itu ampang-ampang juga digunakan sebagai tempat mengikatkan anak sarune. Ampang-ampang-ampang tersebut terbuat dari tempurung kelapa berbentuk bulat dan berdiameter 3,5 cm.

Gambar 14 : Diameter Ampang-ampang

Gambar 15 : Diameter ampang-ampang 3,5 cm (Dokumentasi Penulis)


(29)

4.5 Bahan Baku yang Digunakan

Bahan baku yang digunakan pada pembuatan sarune jahe cukup sederhana. Karena tidak banyak bahan yang dipakai dalam pembuatannya. Selain itu bahan-bahan untuk membuatnya mudah untuk didapatkan.

Berikut ini penulis akan menjelaskan mengenai bahan-bahan dalam pembuatan sarune jahe, serta fungsi masing-masing.

4.5.1 Kayu Pohon Selantam (Codiaeum variegatum BL.)

Pembuatan bagian perdah pada sarune membutuhkan bahan utama yang diproses menjadi hasil akhir berupa sarune. Bahan utama dalam pembuatan perdah sarune adalah kayu dari pohon selantam, selain cukup ringan berserat padat kayu pohon selantam ini mudah untuk dibentuk.

Alasan pemilihan batang kayu selantam sebagai bahan utama pembuatan badan sarune Bapak Kebal Kaban mengatakan:

Bagian tengah kayu selantam tersebut memiliki gabus pada bagian tengahnya (onong), sehingga sangat mudah untuk melubanginya. Selain itu pohon kayu selantam tersebut sangat mudah didapatkan karena kayu pohon selantam ini banyak ditanam orang Karo di daerah pemakaman karena pohon kayu selantam tersebut tidak terlalu besar dan daunnya juga indah untuk dipandang. Selain itu daunnya biasa dipakai untuk bahan obat-obatan. Badan sarune dari batang kayu selantam semakin lama semakin kuat, dan bunyi yang nyaring membuat kayu ini dipilih sebagai bahan baku utama dalam pembuatan sarune.


(30)

Ga mbar 16 : Onong, bagian tengah kayu selantam

Menurut bapak Kebal Kaban, kayu yang digunakan harus berasal dari pohon yang sudah berumur tua, berkisaran 3-4 tahun, karena kayu dari pohon yang tua tersebut akan menjadi lebih kuat, dan juga gampang untuk dilubangi, sehingga hasil perdah dari sarune yang dibentuk nantinya akan bersuara nyaring, kuat, tahan lama.

Pemilihan pohon yang tua biasanya dilakukan di daerah pemakaman/kuburan, biasanya bapak Kebal Kaban mendapatkan kayu pohon dari daerah kuburan dekat rumahnya di desa Baguldah. Kami bersama-sama mencari pohon selantam di kuburan Nini Penawar (kuburan keramat di daerah desa Baguldah). Selain itu pohon ini sering difungsikan sebagai bahan obat-obatan. Pohon yang sudah berumur tua dan berdiameter kurang lebih 4 cm - 10 cm adalah pohon yang kayunya layak untuk dijadikanbahan dasar dalam pembuatan sarune.


(31)

Gambar 17 : Pohon Kayu Selantam (Dokumentasi Penulis)

4.5.2 Bambu Tali (Asparagus cochinchinensis)

Bambu adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat bagian gundal dalam pembesaran lubang gundal, kemudian bamboo ini juga berfungsi sebagai tempat pencetakkan pembuatan tongkeh dan sumbi pada sarune. Pada instrumen sarune, dari penjelasan bapak Kebal Kaban, bambu ini didapatkannya dari ladang atau tepian-tepian sungai. Jenis bambu yang biasa dipakai bapak Kebal Kaban untuk membuat bagian gundal tersebut adalah bambu tali atau bambu yang biasa dipakai untuk membuat keranjang. Bagian bambu yang biasa digunakan adalah bagian


(32)

pucuk yang berukuran kecil. Bagian pucuk yang digunakan dipilih dan disesuaikan dengan bagian sarune.

Dari bahan bambu tersebut juga digunakan sebagai bahan untuk membuat cetakan badan tongkeh dan cetakan lubang tongkeh. Untuk membuat cetakan badan tongkeh tersebut digunakan bambu dengan diameter yang kecil. Sedangkan untuk membuat bambu cetakan lubang tongkeh digunakan bambu biasa yang dibelah dan dibentuk menyerupai temper kecil.

Gambar 18 : Bambu Tali ( Dokumentasi Penulis )


(33)

4.5.3 Daun Kelapa (Drynaria quersifolia)

Daun kelapa digunakan untuk membuat bagian ipit-ipit (lidah sarunei). Daun kelapa yang digunakan adalah daun kelapa yang sudah tua. Berdasarkan informasi yang didapat penulis dari informan Kriteria pemilihan daun kelapa yang biasa digunakan untuk membuat ipit-ipit tersebut adalah berdasarkan kehalusan dan kelenturannya. Menurut bapak Kebal Kaban hanya daun kelapa yang beliau ketahui bisa digunakan menjadi bahan dasar pembuatan lidah/anak sarune.

Gambar 19 : Daun Kelapa (Dokementasi Penulis)

4.5.4 Timah

Timah digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bagian tongkeh pada instrumen sarune. Bapak Kebal memperoleh timah tersebut dari membelinya di toko-toko bahan bangunan.


(34)

Gambar 20 : Timah(Dokumentasi Penulis) 4.5.5 Batang Bulu Ayam

Batang bulu ayam yang berfungsi sebagai penahan reed dan sebagai lubang tiup agar dapat dimasukkan kedalam bagian tongkeh.

Gambar 21 : Bulu Ayam (Dokumentasi Penulis) 4.5.6 Benang

Benang yang digunakan adalah benang suntil/ benang jahit dengan merek singer. Benang tersebut digunakan untuk mengikat reed yang terbuat dari daun kelapa pada ujung bulu ayam yang berfungsi sebagai lubang tiup.

Dalam proses pembuatannya sarune tidak lepas dari peran serta peralatan yang digunakan. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan sarunei memiliki jenis


(35)

yang beragam dan untuk fungsi yang beragam pula. Sebab pembuatan sarunei oleh bapak Kebal Kaban masih tetap menggunakan peralatan yang sedehana.

Gambar 22 : Benang (Dokumentasi Penulis)

4.6 Peralatan Yang Digunakan

4.6.1 Parang

Parang yang dipergunakan adalah jenis parang yang biasa dipakai, yaitu parang yang berukuran besar dan bergagang kayu. Parang ini berfungsi untuk memotong batang kayu pohon selantam.

Gambar 23 : Parang


(36)

4.6.2 Pisau belati

Pisau yang dipakai untuk pembuatan sarune tersebut adalah pisau belati. Pisau belati tersebut digunakan untuk mengikis badan sarune kayu pohon selantam.

Gambar 24 : Pisau Belati (Dokumentasi Penulis)

4.6.3 Kertas Pasir

Kertas pasir yang digunakan adalah kertas pasir yang biasa digunakan oleh pekerja bangunan. Kertas pasir tersebut berfungsi sebagai alat bantu untuk menghaluskan badan sarune, biasanya pada zaman dulu alat yang digunakan adalah daun jati. Akan tetapi pada zaman sekarang lebih mudah untuk mendapatkan kertas pasir untuk mempersingkat waktu, daripada menggunakan daun jati.


(37)

4.6.4 Temper Galang

Temper galang digunakan oleh bapak Kebal Kaban untuk melubangi pohon selantam yang sudah dibentuk untuk dijadikan perdah sarune. Temper galang ini terbuat dari besi tajam yang bentuknya mengerucut dan panjangnya sekitar 70cm. Bentuk dari temper ini akan membentuk pola dasar dalam pembuatan perdah pada sarune.

Gambar 26 : Temper galang (dokumentasi penulis)

4.6.5 Temper Kitik

Temper kitik digunakan bapak Kebal Kaban untuk melubangi lubang nada pada bagian perdah sarune. Temper kitik ini berukuran jauh lebih kecil namun memiliki ketajaman yang sama dengan temper galang. Temper kitik ini terbuat dari besi yang berbentuk agak sedikit mengerucut dan sangat tajam sekali karena sesuai dengan fungsinya sendiri yaitu untuk melubangi lubang nada pada sarune.


(38)

Gambar 27 : Temper kitik (dokumentasi penulis) 4.6.6 Kikir

Kikir digunakan untuk mengasah temper kitik jika temper kitik ini sudah mulai agak tumpul. Ukuran kikir ini juga seukuran dengan temper kitik.

Gambar 28 : Kikir (dokumentasi penulis)

4.6.7 Kayu Bakar dan Tempat Pengapian

Kayu bakar yang digunakan oleh bapak Kebal Kaban adalah kayu bakar yang biasa dia ambil dari hutan dan kayu ini biasa dipergunakan untuk memasak bahan makanan pokok di rumahnya sendiri.

Tempat pengapian yang disediakan bapak Kebal Kaban juga adalah tempat pengapian yang sudah biasa digunakannya dalam memasak kebutuhan keluarganya sehari-hari.


(39)

Gambar 29 : Kayu bakar dan tempat pengapian (dokumentasi penulis)

4.6.8 Kaleng Susu

Kaleng susu yang digunakan adalah kaleng susu bekas. Kaleng susu ini berfungsi sebagai tempat pembakaran timah untuk pembuatan tongkeh. Bapak Kebal Kaban sudah biasa menggunakan metode ini untuk setiap sarune yang dibuatnya.

Gambar 30 : Kaleng susu (dokumentasi penulis)

4.6.9 Bambu Cetakan Badan Tongkeh

Bambu cetakan tongkeh tersebut dibuat dari dua bilah bambu yang bila disatukan berbentuk silindris dengan panjang 4,65 cm dan diameter 0,3 cm. Bambu


(40)

tersebut berfungsi sebagai alat untuk membentuk badan tongkeh. Dibagian ujung cetakan dikorek agar memberi bentuk kerah pada tongkeh.

Gambar 31 : Bambu cetakan tongkeh (dokumentasi penulis)

4.6.10 Bambu Cetakan Lubang Tongkeh

Cetakan lubang tongkeh tersebut dibuat dari bahan bambu. Bambu tersebut dipotong kecil dan pada bagian tengahnya dibentuk sampai bulat. Fungsinya sebagai cetakan lubang tongkeh.

Gambar 32 : Cetakan Lubang tongkeh (Dokumentasi Penulis)


(41)

4.6.11 Gunting

Gunting digunakan untuk menggunting atau membentuk lidah sarune. Gunting yang biasa digunakan adalah gunting kertas karena diannggap lebih tajam dibandingkan dengan gunting kain.

Gambar 33 : Gunting (Dokumentasi Penulis)

4.6.12 Gergaji

Gergaji digunakan untuk meratakan bagian ujung dan pangkal bagian gundal yang berbahan dasar digunakan. Gergaji digunakan agar bambu tidak pecah atau retak.

Gambar 34 : Gergaji (Dokumentasi Penulis)


(42)

4.6.13 Drag Jari-jari Sepeda

Drag jari-jari sepeda digunakan oleh bapak Kebal Kaban untuk menghaluskan lubang-lubang nada yang telah dibentuk oleh bapak Kebal Kaban. Metode ini baru dilakukan bapak Kebal Kaban karena untuk mempermudah penghalusan lubang dan mencegah agar lubang nada tidak retak.

Gambar 35 : Drag Jari-jari sepeda (dokumen penulis)

4.7 Proses Pembuatan Sarunei

Proses pembuatan sarune memiliki tahapan-tahapan yang harus diikuti untuk mencapai hasil pembuatan yang maksimal. Proses pembuatan sarune yang penulis uraikan dalam tulisan ini adalah pembuatan sarunei oleh bapak Kebal Kaban.

Tabel 2

Tahapan pekerjaan dalam pembuatan sarunei

NO TAHAPAN

PENGERJAAN

BAGIAN PENGERJAAN


(43)

• Membentuk bentuk kasar badan sarune

• Melubangi batang pohon • Menyempurnakan dan

menghaluskan bentuk sarune • Mengukur dan memberi tanda

jarak antara lubang nada • Membuat lubang jari

2 Gundal • Pemilihan pohon dan

pengukuran pohon • Pembuatan bentuk kasar

gundal

• Melubangi gundal

menggunakan temper galang

3 Tongkeh • Membuat cetakan tongkeh

• Memanaskan timah

• Menuangkan timah ketempat cetakan

• Mendinginkan tongkeh • Menyempurnakan bentuk


(44)

4 Ampang-ampang • Memilih batok kelapa

• Membentuk ampang-ampang • Menyempurnakan dan

menghaluskan batok kelapa

5 Anak sarune • Memilih daun kelapa dan bulu ayam

• Membentuk reed

• Pembuatan anak sarune

Keterangan : tahapan yang tertera pada tabel di atas merupakan tahapan pembuatan sarune yang dilakukan oleh Bapak Kebal Kaban.

4.7.1 Pembuatan Badan Sarunei (Perdah)

4.7.1.1Memotong Batang Pohon Selantam

Dalam pemotongan batang pohon bapak Kebal Kaban tidak melakukan ritual-ritual, seperti memilih bulan, hari, dan tanggal. Untuk pemilihan dan pengambilan batang tersebut harus dilakukan dari pagi hari sampai siang hari dan cuacanya harus cerah, karena pada saat sore hari suasana di kuburan biasanya gelap sehingga pemilihan batang pohon yang baik bisa terganggu.


(45)

Dalam proses pembuatan badan sarune tidak ada ukuran standart atau ukuran yang pasti, semuanya tergantung dari ukuran batang kayu pohon selantam yang didapat. Hanya saja yang terpenting dalam pengambilan batang tersebut batang pohon selantam yang dipilih harus dianggap cukup baik dan sudah tua kira-kira berumur 3-4 tahun. Batang yang akan menjadi bagian ujung harus berukuran lebih besar dibandingkan dengan bagian pangkal, hal tersebut dikarenakan bentuk sarune sedikit mengerucut.

Selain itu batang yang akan ditebang harus berukuran cukup besar yang ideal menjadi badan sarune yaitu berdiameter kira-kira 4 cm -10 cm. Setelah memotong batang kira-kira 31-40 cm dengan menggunakan parang. Setelah menebang batang kayu pohon selantam tersebut bapak Kebal Kaban mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah itu ujung batang dan pangkal dari batang tersebut diratakan terlebih dahulu. Kemudian batang tersebut dibawa pulang kerumah yang juga sebagai bengkel instrumen beliau untuk dibentuk.

4.7.1.2Membentuk Bentuk Kasar Badan Sarunei (Perdah)

Setelah kayu tersebut diratakan pada bagian ujung dan pangkal, kayu tersebut dikikis bagian kulit luarnya. Pada tahap pengerjaan membentuk bentuk kasar ini peralatan yang digunakan adalah pisau. Proses ini dilakukan untuk mengurangi ketebalan kayu pada bagian ujung dan pangkal sampai mendapatkan bentuk kasar dari bagian perdah.


(46)

Gambar 36 : Proses Mengikis Kulit

(Dokumentasi Penulis)

Gambar 37 : Membentuk Badan Sarunei (Dokumentasi Penulis)


(47)

4.7.1.3Proses pelubangan

Setelah kayu sudah berbentuk, tahap selanjutnya adalah proses pembuatan lubang. Proses pelubangan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan temper galang dengan cara menusuk bagian tengah dari kayu. Dan memutar bolak-balik temper tersebut sampai temper tersebut masuk kebagian dalam batang kayu. Setelah temper masuk pada bagian tengah kayu, temper tersebut dijepitkan pada bagian tengah kaki. Kemudian bentuk kasar sarune tersebut diputar dengan perlahan-lahan sampai bagian tengah batang tersebut berlubang sesuai dengan bentuk temper yang lancip atau lubang bagian ujung berdiameter lebih besar dibandingkan dengan lubang bagian pangkal. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah membuat lubang pada bagian pangkal sarune dengan menusukkan temper ke bagian pangkal badan sarunei tersebut.


(48)

4.7.1.4Menyempurnakan dan menghaluskan bentuk sarune

Setelah proses pelubangan selesai, hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengikis bagian-bagian luar yang kasar pada badan sarune dengan menggunakan pisau, dan kemudian menghaluskannya dengan bambu dan kertas pasir.


(49)

Gambar: 40 badan sarune setelah di haluskan (Dokumentasi Penulis)

4.7.1.5Mengukur Jarak Lubang Jari Dan Memberi Tanda

Setelah menghaluskan dan menyempurnakan bentuk pada badan sarune tahap selanjutnya adalah menentukan titik-titik lubang jari. Cara menentukan lubang jari pada sarune jahe adalah dengan menggunakan teori persamaan jarak antara panjang sarune dibagi dengan 10 titik yang sebagai acuan untuk membuat jarak lubang jari pada sarune. Setelah mendapatkan panjang keseluruhan perdah dengan mengukur nya, kemudian akan dihasilkan 9ruas sarune dengan 10titik sarune. Lubang jari pertama ditandai pada titik kedua dengan ruas pertama. Setelah lubang jari pertama dapat ditentukan bapak Kebal Kaban dapat melanjutkannya dengan cara yang sama hingga sampai lubang jari ketujuh. Jadi, dapat kita simpulkan letak lubang jari kedua adalah pada titik ketiga ruas kedua, lubang jari ketiga terletak pada titik keempat ruas perbatasan antara ruas ketiga dan keempat. Begitu seterusnya hingga lubang jari ketujuh. Akan tersisa dua titik dan dua ruas pada perdah sarune. Atau lebih jelasnya kita dapat melihat pada gambar berikut.


(50)


(51)

Gambar 42: proses pelubangan


(52)

Gambar 44: proses pengukuran untuk pembuatan lobang bawah


(53)

4.7.2 Pembuatan Gundal

4.7.2.1Pemilihan Kayu

Setelah pengerjaan badan sarune selesai dilanjutkan dengan pengerjaan bagian berikutnya yaitu bagian gundal. Dalam proses pembuatan gundal, proses pertama yang dilakukan adalah pemilihan kayu. Kayu yang di gunakan dalam proses pembuatan tersebut tetap menggunakan kayu selantam, hanya saja ukuran kayunya harus lebih besar daripada bahan dasar membuat badan sarune. Proses pembuatan gundal ini sendiri tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan perdah(badan sarune). Perbedaannya hanyalah terletak pada lubang nada atau lubang jari pada perdah. Gundal sarune tidak memiliki lubang nada atau lubang jari. Kayu selantam yang ukurannya lebih besar dipotong sehingga tampak bentuk kasar dari gundal, kemudian gundal dilubangi dengan menggunakan temper galang seperti halnya dalam proses pengelubangan perdah pada sarune.


(54)

Gambar 47 : proses pengelubangan gundal dengan menggunakan temper galang (dokumentasi penulis)

4.7.3 Pembuatan Tongkeh

4.7.3.1 Membuat Cetakan Tongkeh

Setelah bagian perdah dan gundal selesai, tahap pengengerjaan selanjutnya adalah pembuatan cetakan tongkeh. Pembuatan cetakan tongkeh menggunakan alat yaitu, cetakan badan tongkeh, cetakan lubang tongkeh dan kawat sebagai penutup cetakan tongkeh. Cara membuat cetakan tongkeh adalah dengan menyatukan 2 bilah cetakan badan tongkeh dan memasukkan cetakan lubang tongkeh ditengah cetakan badan tongkeh kemudian diikatkan dengan kawat atau tali. Setelah itu memasukkan corong pada lubang bagian atas.


(55)

Gambar 48 :cetakan badan nalih (Dokumentasi Penulis)

Gambar 49: cetakan lobang nalih (dokumentasi penulis) 4.7.3.2 Memanaskan Timah

Setelah cetakan tongkeh selesai, tahap selanjutnya adalah memanaskan timah dengan memasukkan timah kurang lebih 2-3 ons kedalam kaleng susu untuk dipanaskan dengan kayu bakar di pengapian. Kemudian timah tersebut ditunggu hingga mencair.


(56)

Gambar 50 : Timah dimasak di pengapian kayu bakar (dokumentasi penulis)

4.7.3.3 Menuangkan Timah Cair Kedalam Cetakan

Setelah timah tersebut mencair selanjutnya adalah mengangkat kaleng susu tersebut dengan gagang kayu yang dimodifikasi sendiri oleh bapak Kebal Kaban dan menuangkannya kedalam cetakan tongkeh sampai cetakan tersebut penuh.


(57)

Gambar 52 : Timah telah tertuang penuh di dalam cetakan tongkeh 4.7.3.4 Mendinginkan Tongkeh

Setelah timah cair tersebut dituangkan kedalam cetakan hal selanjutnya yang dilakukan adalah mendiamkan atau mendinginkan cetakan dalam keadaan berdiri dan ditunggu sampai timah tersebut mengeras kembali. Hal tersebut dilakukan kurang lebih 3-5 menit, setelah itu tongkeh dicongkel keluar dari bambu cetakan.

Gambar 53 : tongkeh setelah keluar dari badan cetakan 4.3.7.5 Menyempurnakan Bentuk Tongkeh

Setelah tongkeh tersebut selesai maka proses selanjutnya adalah menghaluskan tongkeh degan kikir halus dan kertas pasir agar bentuk tongkeh


(58)

tersebut sesuai dan pas dengan lubang bagian pangkal badan sarune. Selain proses penghalusan tersebut juga dikikir agar tongkeh tersebut halus dan kelihatan rapi.

Gambar 54 : tongkeh setelah dirapikan

4.7.4 Pembuatan Ampang-ampang

4.7.4.1Pemilihan Batok kelapa

Dalam pembuatan ampang-ampang alat yang dipergunakan adalah parang, pisau, kikir, dan kertas pasir halus. Batok kelapa merupakan bahan utama untuk membuat ampang-ampang. Batok kelapa yang dipakai adalah batok kelapa yang sudah tua dan harus kering agar tetap keras juga mudah dibentuk. Batok kelapa yang biasa dipakai adalah sisa-sisa dari batok kelapa yang kelapanya sudah diparut. Batok kelapa tersebut bisa didapatka di kedai sampah.


(59)

4.7.4.2Membentuk Ampang-ampang

Setelah mendapatkan batok kelapa yang sudah tua, selanjutnya adalah memecahkan bagian pinggir batok dengan menggunakan parang untuk mendapatkan bagian tengah batok. Kemudian membentuk batok kelapa tersebut bulat dengan menggunakan parang dan kikir. Diameter batok kelapa yang dibutuhkan adalah kira-kira 4-5,5 cm. Setelah membentuk batok kelapa tersebut selesai proses selanjutnya adalah melubangi bagian tengah kelapa dengan cara memukulkan paku 5 inci dengan parang pada bagian tengahnya untuk membuat lubang pada bagian tengah batok kelapa. Setelah melubangi bagian tengah batok kelapa tersebut selesai maka bentuk ampang-ampang selesai, dan dilanjutkan ketahap selanjutnya yaitu menghaluskan dan menyempurnakan bentuk ampang-ampang.


(60)

Gambar 56: proses menghaluskan (Dokumentasi Penulis)

4.7.4.3 Menghaluskan dan Menyempurnakan Bentuk Ampang-ampang

Selanjutnya bagian atas batok kelapa dikikis dengan menggunakan parang untuk membuang serabut-serabut kelapa pada bagian luar, dan mengikis bagian dalam batok kelapa dengan kikir. Setelah bagian luar dan bagian dalam batok kelapa tersebut bersih maka selanjutnya menghaluskan bagian luar dan dalam batok kelapa dengan kertas pasir.


(61)

Gambar 57: ampang-ampang (Dokumentasi Penulis)

4.7.5 Pembuatan Anak Sarune

4.7.5.1Pemilihan Daun Kelapa Dan Bulu Ayam

Daun kelapa yang digunakan dalam pembuatan anak sarune adalah daun kelapa yang sudah tua. Daun kelapa tersebut biasa didapatkan di kebun. Daun kelapa tersebut lebih baik dalam keadaan kering dan halus. Bahan selanjutnya yang juga digunakan untuk membuat anak sarunei adalah bulu ayam kampung. Bulu ayam yang biasa digunakan adalah bulu ayam jantan karena dianggap lebih kuat dibanding dengan bulu ayam betina. Bulu ayam yang dapat dipakai adalah bulu ayam jantan yang sudah tua kira-kira berumur 1-2 tahun.


(62)

Gambar 58 : Bulu Ayam Jantan

Gambar 59: daun kelapa tua (Dokumentasi Penulis)

4.7.5.2 Pembuatan Bahan-Bahan Anak Sarune

Setelah mendapatkan bahan tersebut proses selanjutnya adalah melipat dua daun kelapa tersebut dengan panjang 1,3cm dan lebar 0,7cm. Kemudian mengguntingnya dengan bentuk segitiga sama kaki. Lalu memotong batang bulu ayam dengan bagian ujung atas sedikit miring dan bagian pangkal dipotong rata.


(63)

Gambar 60 : Anak Sarune Yang Sudah Dibentuk

Gambar 61 : Lubang tiup dari bulu ayam (Dokumentasi Penulis)


(64)

4.7.5.3 Pengikatan reed

Setelah bahan-bahan dasar pembuatan anak sarune selesai proses selanjutnya adalalah mengikatkan dengan benang dan daun kelapa pada batang bulu ayam dengan bagian yang dipotong sedikit miring dibagian dalam dan bagian pangkal yang tumpul.

Gambar 62 : pengikatan reed

Gambar 63 : pengikatan reed dengan lubang tiup (Dokumentasi Penulis)


(65)

Gambar 64 : gambar reed ( anak ni sarunei) (Dokumentasi Penulis)

4.7.6 Kajian Fungsional

Dalam kajian fungsional, penulis hanya membahas proses belajar, posisi memainkan, teknik memainkan, penyajian sarunei dan perawatan sarueni, nada yang dihasilkan dan wilyah nada.

4.7.6.1 Proses Belajar

Menurut wawancara dengan bapak Kebal Kaban proses pertama yang harus dilakukan sebelum memainkan sarune adalah dengan cara melihat permainan, mendengarkan permainan, menghafalkan bunyi instrumen, yang kemudian menirukan apa yang dilihat, didengarkan, dan dihafalkan. Akan tetapi menurut beliau sebelum memainkan sarune orang yang ingin belajar dan mendapatkan hasil yang makimal proses pertama yang harus dipelajari adalah belajar teknik meniup sarune yaitu pulihnama. Pulihnama merupakan teknik pernapasan dengan menghirup udara melalalui rongga hidung dan memasukkan udara tersebut ke rongga perut(diafragma), lalu mengeluarkan udara tersebut dengan tekanan tiupan


(66)

dari mulut. Kedua pipi cenderung selalu dipertahankan menggelembung terutama pada saat porsi udara terakhir yang dihirup sedang dikeluarkan dari paru-paru menuju rongga mulut kemudian pada saat udara dihirup masuk melalui hidug cadangan udara yang tersimpan pada pada kedua rongga pipi ditiupkan kedalam sarunei sampai dapat mengisinya kembali dengan pasokan udara yang baru dihirup. Cara mempelajari pulihnama pada instrumen sarune adalah dengan menutup semua lubang jari sambil ditiup secara konstan dan mengatur siklus pernapasan.

4.7.6.2 Posisi Memainkan

Dalam memainkan sarune posisi jari tangan kiri menekan lubang jari dibagian belakang dan posisi jari tangan kanan menekan lubang jari dibagian depan bila dilihat dari arah penonton.

Dalam memainkan sarunei pada ensamble gendang binge, si pemain sarune duduk di lantai (bersimpuh atau kaki dilipat), dengan posisi badan tegak dan kepala sedikit menunuduk.

4.7.6.3 Teknik Memainkan Sarune

Dari informasi yang penulis dapatkan dari informan dalam memainkan sarunei ada 2 teknik, yaitu dengan cara:

1. Pulihnama

Pulihnama adalah teknik meniup atau teknik pernafasan yang dipakai dalam meniup sarune jahe. Teknik ini mengharuskan meniup sarune dilakukan sambil menarik nafas secara bolak-balik, tanpa menghentikan bunyi sarunei. Prinsip dasar dari teknik pernapasan pulihnama ini adalah menghirup udara melalalui rongga


(67)

hidung dan memasukkan udara tersebut ke rongga perut(diafragma), lalu mengeluarkan udara tersebut dengan tekanan tiupan dari mulut.

2. Merengget

Merengget adalah salah satu teknik dalam memainkan instrumen sarune jahe. Kata merengget diambil dari suara yang dihasilkan sarune. Teknik ini digunakan dalam memainkan melodi karo jahe. Teknik ini mempermainkan buka tutup lubang jari dengan sangat cepat atau lebih tepatnya menyenggol-nyenggolkan jari kepada lubang jari sehingga nada yang dihasilkan seperti rengget(melodi yang mengayun seperti melisma).

4.7.6.4 Penyajian Sarune yang Baik

Berdasarkan informasi dari bapak Kebal Kaban, bahwa permainan sarune yang baik tidak hanya ditentukan dari kemampuan si pemain sarune, permainan jari tangan dan penghafalan lagu, tetapi ketahanan dalam meniup (stamina) dan kesehatan juga menjadi faktor yang sangat penting. Selain itu penghayatan atau naluri musikal si pemain sarune dalam membawakan melodi pada lagu yang dimainkannya juga sangatlah penting. Apabila perasaan si pemainnya semakin dalam maka semakin sempurnalah rasa yang dituangkan dalam lagu. Faktor instrumen sarunei yang digunakan juga cukup berpengaruh dalam penyajian permainan, semakin baik kulaitas instrumen sarunei yang digunakan, maka akan sangat mendukung untuk penyajian permainan sarunei yang baik.


(68)

4.7.6.5 Perawatan Sarune

Agar sarune dapat bertahan lama dan awet, diperlukan proses perawatan yang baik terhadap instrumen ini, dari hasil wawancara dengan Kebal Kaban, bahwa perawatan sarunei yang baik adalah dengan menyimpan pada tempat yang tidak lembab dan dibungkus dengan kain kemudian membersihkan dari debu dengan menggunakan kain pembersih.

4.7.6.6 Nada Yang Dihasilkan Sarune

Nada yang dihasilkan sarune tersebut diukur dengan menggunakan tuner. Nada yang dihasilkan Sarune dari nada yang terendah sampai nada tertinggi diperkirakan :

D#-E-G#-A#-B-D#`

4.7.6.7 Wilayah Nada

Untuk mengetahui nada-nada yang dihasilkan dari sarune jahe tersebut, penulis akan menyertakan materi lagu yang hasilnya dapat dilihat dalam bentuk (visual) berikut. Lagu yang dimaksud adalah Doah-doah Sarudung. Alasan penulis memilih lagu Doah-doah Sarudung disebabkan lagu tersebut lebih populer pada masyarakat karo jahe di Langkat.

Berikut adalah hasil transkripsi lagu Doah-doah Sarudung yang di transkripsi oleh Fuad Tahan Simarmata, David Si,anungkalit, dan Frans Seda Sitepu.


(69)

(70)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Peranan ilmu Etnomusikologi sangat penting mengangkat suatu konsep dalam sistem musikal di setiap etnis di dunia ini. Dalam pendekatan Curt Sach dan Hornbostel pengklasifikasian alat musik sarune jahe, dapat diklasifikasikan ke dalam aerofon, sarune jahe merupakan jenis alat musik tiup yang terbuat dari kayu (wind instrument), yang menggunakan udara sebagai sarana untuk menghasilkan bunyi (Aerofon), memiliki lidah ganda ( double reed), bentuknya sedikit mengerucut (with conical bore) dan tujuan pengklasifikasian ini memudahkan persmuseuman dalam pengklasifikasian alat musik.

Dalam proses pembuatan sarune jahe, bapak Kebal Kaban masih menggunakan tenaga dan kemampuannya. Mulai dari pemilihan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan sarune ini, beliau sangat telaten dan lebih mementingkan kualitas suara dan ketahanan sarune sekalipun beliau mengetahui memakan waktu yang cukup lama. Beliau mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam membuat gendang tersebut.

Teknik permainan yang digunakan dalam memainkan sarune jahe ini adalah pulihnama dan merengget. Pulihnama adalah teknik meniup atau teknik pernafasan yang dipakai dalam meniup sarune jahe. Teknik ini mengharuskan meniup sarune dilakukan sambil menarik nafas secara bolak-balik, tanpa menghentikan bunyi sarunei. Prinsip dasar dari teknik pernapasan pulihnama ini adalah menghirup udara


(71)

melalalui rongga hidung dan memasukkan udara tersebut ke rongga perut(diafragma), lalu mengeluarkan udara tersebut dengan tekanan tiupan dari mulut. Teknik merengget adalah salah satu teknik dalam memainkan instrumen sarune jahe. Kata merengget diambil dari suara yang dihasilkan sarune. Teknik ini digunakan dalam memainkan melodi karo jahe. Teknik ini mempermainkan buka tutup lubang jari dengan sangat cepat atau lebih tepatnya menyenggol-nyenggolkan jari kepada lubang jari sehingga nada yang dihasilkan seperti rengget(melodi yang mengayun seperti melisma).

5.2 Saran

Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat bagi masyarakat pendukung kebudayaan serta pihak departemen pemerintahan yang mengemban tugas menjaga dan melestarikan budaya nusantara. Kiranya penelitian ini membuka jalan untuk penelitian berikutnya. Mungin kendala yang akan dialami peneliti berikutnya adalah sulitnya memperoleh informasi dari informan-informan di lapangan. Sejauh pengamatan penulis, usia dari para narasumber dan tokoh-tokoh adat yang menguasai kesenian dan budaya dari masyarakat Karo Jahe.

Pemerintah sedang gencar-gencarnya melestarikan budaya nusantara, kiranya bukan hanya budayanya saja diperhatiakan tetapi, memperhatikan kehidupan para informan dan penggiat seni tradisonal karena tidak sedikit dari terlupakan. Habis manis sepah dibuang ibaratnya kata mereka akan diri mereka sendiri. Maksudnya, ada festival atau karnaval budaya pemerintah yang menjadi wadah bagi para


(72)

seniman-seniman daerah lainnya untuk lebih menyemangati para pelaku seni. Hal ini bermanfaat untuk kontiunitas dan kelestarian budaya bangsa kita Indonesia.


(73)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO JAHE DI DESA BAGULDAH KABUPATEN LANGKAT, DAN BIOGRAFI RINGKAS KEBAL KABAN SEBAGAI SENIMAN MUSIK TRADISIONAL SARUNE

JAHE LANGKAT

2.1 Sejarah Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kabupaten Langkat sebelumnya adalah sebuah kerajaan di mana wilayahnya terbentang antara aliran Sungai Seruwai atau daerah Tamiang sampai ke daerah aliran anak Sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya di antara kedua sungai ini yaitu Sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda. Adapun kata “Langkat” yang kemudian menjadi nama daerah ini berasal dari nama sejenis pohon yang dikenal oleh penduduk Melayu setempat dengan sebutan “pohon langkat”. Dahulu kala pohon langkat banyak tumbuh di sekitar Sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang sudah langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar Sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama Kerajaan Langkat.


(74)

Tentang asal mula Kerajaan Langkat berdasarkan tambo Langkat mengatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang terjauh diketahui ialah Dewa Syahdan yang hidup kira-kira tahun 1500 sampai 1580. Dewa syahdan digantikan oleh puteranya, Dewa Sakti yang memerintah kira-kira tahun 1580 sampai 1612. Dewa Sakti selanjutnya digantikan oleh Sultan Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Marhum Guri. Selanjutnya tambo Langkat mengatakan bahwa yang menggantikan Marhum Guri adalah puteranya Raja Kahar (± 1673). Raja Kahar adalah pendiri Kerajaan Langkat dan berzetel di Kota Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai kira-kira pertengahan abad ke-18. Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Perkembangan selanjutnya Kota Binjai pernah jadi Ibu kota Kabupaten Langkat hingga pada saat ini Kabupaten Langkat beribukota Stabat, dan berdasarkan Perda Nomor 11 tahun 1995 telah ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Langkat 17 Januari 1750, dengan Motto: ”Bersatu Sekata Berpadu Berjaya”.

2.2 Gambaran Umum Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Jarak rata-ratanya dari Kota Medan sekitar 60 km ke arah barat laut, dan berbatasan langsung dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.


(75)

Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14’ - 4°13’ LU dan 97°52’ - 98°45’ BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD)

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo

c. Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Tanah Alas

d. Sebeleh timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai. Luas keseluruhan Kabupaten Langkat adalah 6,263.29 km² atau 626.329 Ha. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, secara administratif terdapat dua puluh tiga Kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat .

Kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat : 1. Kecamatan Kuala

2. Kecamatan Sei Bingai 3. Kecamatan Salapian 4. Kecamatan Bahorok 5. Kecamatan Serapit 6. Kecamatan Kutambaru 7. Kecamatan Selesai 8. Kecamatan Binjai 9. Kecamatan Stabat 10. Kecamatan Wampu


(76)

11. Kecamatan Secanggang 12. Kecamatan Hinai

13. Kecamatan Padang Tualang 14. Kecamatan Batang Serangan 15. Kecamatan Sawit Seberang 16. Kecamatan Tanjung Pura : 17. Kecamatan Babalan 18. Kecamatan Gebang 19. Kecamatan Brandan Barat 20. Kecamatan Sei Lepan 21. Kecamatan Pangkalan Susu 22. Kecamatan Besitang

23. Kecamatan Pematang Jaya .

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2012, penduduk Kabupaten Langkat mayoritas bersuku bangsa Melayu (70,87 persen), diikuti dengan suku Jawa (9,93 persen), Karo (7,22 persen), Tapanuli/ Toba (2 persen), Madina (2 persen) dan lainnya (5,94 persen). Sedangkan agama yang dianut penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00 persen), Kristen 7,56 persen), Katolik (1,06 persen), Budha (0,95 persen) dan lainnya (0,34 persen).

2.2.1 Letak Lokasi Penelitian

Desa Raja Tengah merupakan tempat tinggal dari bapak Kebal Kaban, di lokasi tersebutlah beliau membuka bengkel instrumennya dan hidup dengan keluarganya,


(77)

tepatnya di Dusun Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat. Berikut ini merupakan gambaran umum mengenai Desa Baguldah. Desa Baguldah memiliki luas wilayah 258 km², berbatasan dengan:

a) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kampung Tanjung Menggusta b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bandar Meriah

c) Sebelah Barat berbatasan dengan Sunge Binge d) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bakti Karya

2.3 Bahasa

Bahasa karo jahe adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Baguldah sehari-hari sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun di luar rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa karo yang digunakan sudah dipengaruhi dengan kebudayaan Melayu, sehingga didaerah tersebut berbahasa Karo tetapi berdialeg Melayu . Peranan bahasa karo jahe menunjukkan keberadaanya di tangah-tengah masyarakat, di sekolah, upacara adat istiadat dan upacara agama.

2.4 Sistem Kekerabatan

Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo Jahe atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu.

Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu = tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya


(78)

tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Unsur Daliken Sitelu ini adalah Kalimbubu, Sembuyak/Senina dan Anak Beru. Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu,senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

1. Kalimbubu

Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah(Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.

Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal

dilaksanakan atau tidak masalah lain. Oleh Darwan


(79)

Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan).

1.Kalimbubu berdasarkan tutur

a) Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi.

b) Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.

2. Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan)

Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego). (Petra : ego maksudnya orang, objek yang dibicarakan)

a) Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua ego. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.


(80)

b) Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak subclan dari istri saudara laki-laki istri ego.

c) Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina darikalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubuego, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subclan kalimbubu ego. d) Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongankalimbubu ini

berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon (akan dijelaskan pada halaman-halaman selanjutnya) pemilik pesta.

Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo : a) Dihormati oleh anakberunya

b) Dapat memberikan perintah kepada pihak anakberunya Tugas dan kewajiban dari kalimbubu :

a) Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya

b) Memerintahkan pendamaian kepada anakberu yang saling berselisih c) Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga

d) Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam acara-acara adat

e) Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah


(81)

seorang anggota anakberunya yang meninggal, yang menerima seperti ini disebut Kalimbubu Simada Dareh.

Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang.

2. Senina/Sembuyak

Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua :

a. Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga).

b. Senina berdasarkan kekerabatan :

1) Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara. 2) Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling

bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.

3) Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.


(82)

4) Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).

Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu.

Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.

Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian :

a) Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).


(83)

2) Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. 3) Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.

3. Anak Beru

Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.

Anakberu dapat dibagi atas 2: 1. Anakberu berdasarkan tutur :

a) Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

b) Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

2. Anakberu berdasarkan kekerabatan :

a) Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanankalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

b) Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah


(84)

mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.

c) Anakberu Menteri adalah anakberu darianakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepadakalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

d) Anakberu Singikuri adalah anakberu darianakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan acara adat peran anakberu adalah yang paling penting. Anakberulah yang pertama datang dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugas-tugasnya antara lain :

a) Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. b) Menyiapkan hidangan pada pesta.

c) Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta. d) Menanggulangi sementara semua biaya pesta.


(85)

e) Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya.

f) Menjadwal pertemuan keluarga.

g) Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita.

h) Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya.

i) Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya, Anakberu berhak untuk :

a) Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.

b) Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan. Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anakberu, biasanya pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati dengan :

a) Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anakberunya. b) Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena

pihak kalimbubu adalah pendiri kampung, mereka mempunyai hutan sendiri di sekeliling desanya).


(86)

c) Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anakberunya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan kekerabatan yang sudah terjalin.

d) Mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran bayi atau lanjut usia.

e) Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anakberunya pada waktu pesta besar di dalam clan anakberunya.

Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepadaanakberunya adalah : a) Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak.

Maksudnya, bila kalimbubunya ingin pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai pengaman jalan dan sebagai perisai dari bahaya adalah pihakanakberu. Dalam bahasa lain anakberu sebagai tim pengaman jalan.

b) Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda, untuk membawa barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat atau kenderaan yang dipakai kemana saja, termasuk untuk berperang, untuk membawa barang-barang yang diperlukan pihak kalimbubunya atau untuk menyampaikan berita tentang kalimbubunya, dan sekaligus sebagai hiasan bagi kewibawaan martabatkalimbubunya.

c) Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam dipergunakan untuk memotong daging atau kayu api atau untuk


(87)

mendirikan teratak tempat berkumpul. Setiap anakberu harus memiliki pisau yang yang demikian agar tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikankalimbubunya. Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal dunia diserahkan kepada anakberunya. Pisau ini disebut maneh-maneh, pemberiannya bertujuan agar pekerjaankalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh penerimanya. Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan keluarga dari anakberuyang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Karo Jahe sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak warga Karo Jahe yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil), guru, pegawai swasta, dan lain-lain.


(88)

Dari hasil wawancara dengan bapak Lape Sitepu, bahwa beliau selain sebagai seorang seniman juga sebagai seorang pekerja bangunan dan petani. Diakui oleh beliau, penghasilan menjadi seorang pemusik di Kabupaten Langkat tidaklah mencukupi jika dibanding dengan kebutuhan hidup saat ini, sehingga dengan dibantu penjualan instrumen musik yang dilakukannya sedikit mampu meringankan beban ekonomi keluarganya.

2.6 Sistem Kesenian

Dalam musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.

Pada masyarakat Karo Jahe terdapat ensambel musik tradisional, yaitu ansambel gendang Binge. Selain itu ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara tunggal.

2.6.1 Ensambel Gendang Binge

Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gendang Binge adalah sebagai berikut:

1. Sarune, kelompok aerophone yang memiliki reed ganda (double reed) dimainkan dengan meniup terus menerus.

2. Gendang Galang, kelompok membranofone klasifikasi frame drum 3. Gendang Kitik, kelompok membranofone klasifikasi frame drum 4. Gung, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).


(1)

5. Yang terhormat Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., selaku dosen pembimbing II penulis. Banyak inspirasi-inspirasi dan saran-saran yang membangun yang diberikan pembimbing kepada penulis dalam pengerjaan skripsi, sehingga penulis sangat merasa terbantu dalam mengerjakan skripsi.

6. Yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU: Drs. Dermawan Purba, M.Si., Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Dra. Frida Deliana, M.Si., Prof. Mauly Purba, Ph.D., Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Drs. Fadlin, M.Si., Drs. Irwansyah Harahap, M.A.,Dra. Arifni Netrirosa S.ST., dan seluruh Dosen Luar Biasa yang mengajar di Departemen Etnomusikologi yang telah membuka luas wawasan dan pengetahuan penulis selama mengikuti perkuliahan.

7. Yang terhormat kepada mam Adri selaku Staf Tata Usaha, yang telah sabar menghadapi semua mahasiswa Etnomusikologi termasuk penulis dalam setiap kepentingan apapun.

8. Yang terhormat Bapak Kebal Kaban sebagai informan kunci dalam setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis.

9. Kepada teman-teman mahasiswa angkatan 2007 yaitu Batoan Sihotang, Jakup Sinulingga, Jayantha Surbakti, Elieser Barus, Tumpal Saragih, Adi Suranta Ginting, Rizky Yayan Syahreza, Atman Jeremia Barus, Fredy Purba, Surya Chandra Sihombing, Eunike Sitompul, Ariel,Salmon Sembiring, Beri Pana Sitepu, Winka Silaban, terimakasih atas kebersamaan dan waktu luangnya.


(2)

10.Kepada alumni Etnomusikologi, Bang Henry Nick Demod, Bang Jupalman Welly, Bang Markus Bona Tangkas Sirait, (terimakasih atas skripsinya), Bang Frans seda Sitepu, Abang awaq Bang David Simanungkalit, Abangku Bang Ivan Rocky Sianipar BC, Bang Fery Joe, Bang Ucok Silalahi, Bang Tahan Perjuangan, Bang Ken Sihombing buat diskusi filsafatnya, terima kasih untuk semua dukungannya.

11.Kepada Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi (IME) yaitu seluruh mahasiswa Etnomusikologi stambuk 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012, Martin (terima kasih pak bos, dukungan moril dan materialnya), terimakasih buat adek-adekku Benny Purba, Eric Sitorus, Jusuf Siregar buat keyboardnya, makasih banyak ya adek-adekku, Surung Solin, Upay Tarigan, Maharahi Tarigan, Yenni Alexandra Marpaung, dan seluruh keluarga besar BLACK CANAL. Kepada Maruli Purba, Herman, Rendy Sirait,Etno BC Football Club terima kasih untuk waktunya di Liga Ilmu Budaya. Juga terlebih kepada Guitar Conspiracy, diharapkan konser berikutnya.

12.Kepada pacarku tercinta Heny Zhuita Marpaung, terimakasih buat dukungannya yang sangat maksimal, buat pengertiannya ya jelek. Terimakasih buat keluarga besarku, kakak, adek-adekku yang sangat kusayangi. Pokoknya terimakasih buat semuanya yang sudah saya sebutkan dan yang belum tersebutkan, Tuhan Yesus memberkati kita semua, Amin. Akhirnya penulis memohon kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan jasa-jasa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(3)

Medan, Agustus 2013

Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

HAL

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR……….. iii

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Pokok Permasalahan………. 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 3

1.3.1 Tujuan Penelitian………... 3

1.3.2 Manfaat Penelitian………. 4

1.4 Konsep dan Teori……….. 4

1.4.1 Konsep……… 4

1.4.2 Teori……… 6

1.5 Metode Penelitian……….. 7

1.5.1 Studi Pustaka……….. 8

1.5.2 Kerja Lapangan……… 8

1.5.3 Wawancara………. 9

1.5.4 Kerja Laboratorium……… 10

1.5.5 Lokasi Penelitian……… 10

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO JAHE DI DESA BAGULDAH KABUPATEN LANGKAT, DAN BIOGRAFI RINGKAS KEBAL KABAN SEBAGAI SENIMAN MUSIK TRADISIONAL SARUNE JAHE LANGKAT…… ………... 11 2.1 Sejarah Kabupaten Langkat………….………... 11

2.2 Gambaran Umum Kabupaten Langkat.……….. 12

2.2.1 Letak Lokasi Penelitian………... 14

2.3 Bahasa………...………. 15

2.4 Sistem Kekerabatan………... 15

2.5 Mata Pencaharian……….. 25

2.6 Sistem Kesenian……… 26

2.6.1 Ensambel Gendang Binge………. 26

2.7 Pengertian Biografi……… 27

2.8 Alasan Dipilihnya Kebal Kaban……… 29

2.9 Biografi Kebal Kaban……… 30

2.9.1 Latar Belakang Keluarga……… 30

2.9.2 Latar Belakang Pendidikan dan Karir Militer Kebal Kaban……… 31

2.9.3 Keluarga Kebal Kaban……….. 33

2.10 Kebal Kaban Sebagai Pemusik Tradisional Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe……….. 33


(5)

2.11 Kebal Kaban Sebagai Pembuat Alat Musik……….

BAB III EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNE JAHE………. 37

3.1 Eksistensi Sarune Jahe pada Masyarakat Karo Jahe di Kota Langkat………. 37

3.2 Fungsi Sarune Jahe pada Masyarakat Karo Jahe di Kota Langkat………. 39

3.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional………. 40

3.2.2 Fungsi Penghayatan Estetis……….. 41

3.2.3 Fungsi Hiburan………. 43

3.2.4 Fungsi Komunikasi……….. 44

3.2.5 Fungsi Perlambangan……….. 45

3.2.6 Fungsi Kesinambungan Budaya………. 46

BAB IV KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE JAHE……….. 48

4.1 Perspektif Sejarah Sarune Jahe………..……… 48

4.2 Klasifikasi Sarune Karo Jahe………. 50

4.3 Konstruksi Bagian yang Terdapat pada Sarune Jahe………. 51

4.4 Ukuran Bagian-bagian Sarune………... 53

4.4.1 Ukuran Bagian Gundal……….. 53

4.4.2 Ukuran Bagian Perdah Atau Badan Sarune……….. 56

4.4.3 Tongkeh……… 60

4.4.4 Anak Sarune………. 62

4.4.5 Ampang-ampang……….. 63

4.5 Bahan Baku yang Digunakan……….. 64

4.5.1 Kayu Pohon Selantam………. 64

4.5.2 Bambu Tali……….. 66

4.5.3 Daun Kelapa……… 68

4.5.4 Timah……… 68

4.5.5 Batang Bulu Ayam……….. 69

4.5.6 Benang……… 69

4.6 Peralatan yang Digunakan………. 70

4.6.1 Parang……… 70

4.6.2 Pisau Belati……… 71

4.6.3 Kertas Pasir………... 71

4.6.4 Temper Galang………. 72

4.6.5 Temper Kitik……… 72

4.6.6 Kikir………. 73

4.6.7 Kayu Bakar dan Tempat Pengapian………. 73

4.6.8 Kaleng Susu………. 74

4.6.9 Bambu Cetakan Badan Tongkeh………. 74

4.6.10 Bambu Cetakan Lubang Tongkeh……… 75

4.6.11 Gunting……… 76

4.6.12 Gergaji……….. 76

4.6.13 Drag Jari-jari Sepeda……… 77

4.7 Proses Pembuatan Sarune……….. 77


(6)

4.7.1.1 Memotong Batang Pohon Selantam……… 80

4.7.1.2 Membentuk Bentuk Kasar Badan Sarune... 81

4.7.1.3 Proses Pelubangan……… 82

` 4.7.1.4 Menyempurnakan dan Menghaluskan Bentuk Sarune……….. 83

4.7.1.5 Mengukur Jarak Lubang Jari dan Memberi Tanda……….. 84

4.7.2 Pembuatan Gundal……… 88

4.7.2.1 Pemilihan Kayu……….. 88

4.7.3 Pembuatan Tongkeh………. 89

4.7.3.1 Membuat Cetakan Tongkeh……….. 89

4.7.3.2 Memanaskan Timah……….. 90

4.7.3.3 Menuangkan Timah Cair Ke Dalam Cetakan 91 4.7.3.4 Mendinginkan Tongkeh……… 92

4.7.3.5 Menyempurnakan Bentuk Tongkeh…….. 92

4.7.4 Pembuatan Ampang-ampang……….. 93

4.7.4.1 Pemilihan Batok Kelapa………... 93

4.7.4.2 Membentuk Ampang-ampang………….. 94

4.7.4.3 Menghaluskan dan Menyempurnakan Bentuk Ampang-ampang………. 95

4.7.5 Pembuatan Anak Sarune……… 96

4.7.5.1 Pemilihan Daun Ke;lapa dan Bulu Ayam. 96

4.7.5.2 Pembuatan Bahan-bahan Anak Sarune… 97

4.7.5.3 Pengikatan Reed……….. 99

4.7.6 Kajian Fungsional……….. 100

4.7.6.1 Proses Belajar……….. 100

4.7.6.2 Posisi Memainkan………... 101

4.7.6.3 Tehnik Memainkan Sarune……….. 101

4.7.6.4 Penyajian Sarune yang Baik……… 102

4.7.6.5 `Perawatan Sarune……… 103

4.7.6.6 Nada yang Dihasilkan Sarune……….. 103

4.7.6.7 Wilayah Nada……… 103

BAB V PENUTUP……… 105

5.1 Kesimpulan………. 105

5.2 Saran………... 106

DAFTAR PUSTAKA……… 108


Dokumen yang terkait

Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat

0 33 73

Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat

0 11 73

Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat

0 0 4

Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat

0 1 8

Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat

0 0 20

Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

0 0 12

Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

0 0 2

Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

0 0 10

Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

1 1 26

Kajian Organologis Sarune Jahe Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Kebal Kaban Di Desa Baguldah, Kecamatan Binjai Selatan, Kabupaten Langkat

0 0 1