Analisis hasil tangkapan pukat ikan kaitannya dengan kandungan klorofil a dan suhu permukaan laut di Perairan Tapanuli Tengah

(1)

ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA

DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU

PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH

MARDAME PANGIHUTAN SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah” adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Mardame Pangihutan Sinaga NRP C551050051


(3)

ABSTRACT

Mardame P Sinaga. 2008. Catch Analysis of fish net in its relationship to

Chlorophyll-a concentration and Sea Surface Temperature in Tapanuli Tengah Waters.

Supervise byMr. Domu SimbolonandMr. Budy Wiryawan.

Sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a are two important oceanographic parameters determining the abundance and distribution of fish. The aim of this research is to determine distribution of SST, chlorophyll-a, composition of fish catch and the relationship between SST, chlorophyll-a with fish catch. This study was conducted in Tapanuli Tengah waters. Catch analysis data has been taken from field of research on the 7-19 July 2007 and satellite imagery was taken Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur at July 2007. The amount of fish catch from Tapanuli Tengah waters landed at PPN Sibolga city was 31.076 kgs. The catch of 15 species of dominant by peperek/keke (Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus

spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). There was no relationship between SST, chlorophyll-a with fish catch.


(4)

RINGKASAN

Perairan Tapanuli Tengah memiliki peranan yang cukup strategis sebagai sentra produksi perikanan laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil tangkapan ikan pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan ikan demersal selama lima tahun dari tahun 2000-2004, yaitu sebesar 188.190 ton. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan di Sibolga dan sekitarnya adalah ketidakpastian letak dan sulitnya mencari daerah penangkapan (fishing ground), sehingga menyebabkan hasil tangkapan ikan belum optimal. Parameter oseanografi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap variabilitas hasil tangkapan ikan, sperti klorofil-a dan suhu permukaan laut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan sebaran SPL optimum dan kandungan klorofil-a untuk penangkapan ikan pelagis, komposisi hasil tangkapan ikan pelagis dan hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan ikan pelagis di perairan Tapanuli Tengah, bagi industri penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi penangkapan ikan dan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan daerah penangkapan ikan pelagis.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan untuk pengambilan data lapangan, yang meliputi data hasil tangkapan, posisi penangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Pengambilan data lapangan ini dilaksanakan di perairan Sibolga pada tanggal 7-19 Juli 2007. Posisi penangkapan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan serta analisis data klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit diambil dari Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada bulan Juli 2007. Data meteorologi berupa curah hujan, penyinaran matahari, kelembaban udara, kecerahan perairan dan kecepatan angin diperoleh dari Stasiun


(5)

BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan. Data perikanan dianalisis yang meliputi komposisi jenis ikan (spesies), jenis dan jumlah ikan yang dominan tertangkap, komposisi jumlah dan spesies ikan yang dominan tertangkap pada setiap posisi penangkapan yang berbeda. Data hasil tangkapan yang diperoleh selama 11 hari penangkapan, data suhu permukaan laut dan klorofil-a selama bulan Juli 2007, dianalisis secara statistik deskriptif untuk menggambarkan hasilnya dan selanjutnya dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil tangkapan dominan dari 15 spesies dari tanggal 7-19 Juli 2007 untuk setiap posisi daerah penangkapan. Data hasil tangkapan ikan yang dominan tertangkap hubungannya dengan SPL dan klorofil-a ditentukan denganAnalisis Regresi Linear.

Hasil tangkapan ikan pelagis kecil pemakan plankton seperti teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) tidak berpengaruh terhadap klorofil-a karena sebaran kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah adalah bervariasi sehingga ikan tersebut tidak dapat mentolerir perubahan kandungan klorofil-a secara tiba-tiba pada setiap hari, dan banyaknya pemangsa terutama bagi gerombolan ikan teri yang memiliki tujuan migrasi secara periodik sehingga menyebar secara tidak merata serta mengakibatkan hasil tangkapan nelayan khususnya untuk ikan pelagis kecil lainnya seperti ikan kembung perempuan, layang, belado kuning, buncilak dan parang-parang berkurang.

Kekurangan dalam metode pengumpulan data adalah hasil tangkapan yang diperoleh sangat sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal lainnya sudah melakukan penangkapan pada posisi penangkapan yang sama sebelum kapal pukat ikan melakukan penangkapan di posisi daerah penangkapan tersebut dan kapal pukat ikan yang digunakan oleh peneliti tidak boleh mengambil hasil tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan konflik.

Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan


(6)

ternyata tidak sama dengan data SPL pengukuran dari citra satelit AVHRR jadi hanya menggunakan data pengukuran SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR saja.

Mengacu pada keterbatasan yang ditemukan selama penelitian, maka disarankan umtnk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil tangkapan terhadap faktor oseanografi lainnya, serta dilakukan penelitian mengenai analisis perut ikan (stomach content) sehingga dapat diketahui apakah ikan pemakanfitoplankton,zooplanktonmaupun jenis-jenis organisme lainnya.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA

DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU

PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH

MARDAME PANGIHUTAN SINAGA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(9)

(10)

Judul Tesis : Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah

Nama : Mardame Pangihutan Sinaga

NRP : C551050051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(11)

PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah” diselesaikan tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Domu F. Simbolon, M.Si (selaku Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc (selaku Anggota Komisi Pembimbing) yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaganya dalam mengarahkan, mengoreksi dan memberikan saran kepada penulis, sehingga penulisan usulan penelitian ini dapat terwujud. Demikian juga ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr. Ir John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Prof Dr. Ir Mulyono S Baskoro, M.Sc sebagai penguji luar komisi serta para staf pengajar yang telah banyak berperan dalam menambah wawasan keilmuan.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Dra. Mariani, M.Sc dan Bapak B Nainggolan yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data-data penelitian yang dibutuhkan serta saran kritikannya serta teman-teman TKL lainnya maupun teman-teman dekat yang tidak dapat saya sebutkan nama-namanya yang banyak mendukung penulis dalam segala hal.

Dengan penuh rasa sayang dan penuh kasih penulis ucapkan terimakasih kepada Ayahanda Mangasa Sinaga dan Ibunda Tiodora Simanullang, abangku Gira B P Sinaga, adekku Johannes Sinaga yang banyak terabaikan, kasih sayang dan doa yang tiada putus selama penyelesaian studi ini, saya hanya bisa berdoa semoga semua pengorbananmu dicatat dihati Tuhan Yesus Kristus.

Akhirnya penulis menyadari tulisan ini masih banyak kekurangan yang akan ditemui pembaca, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kirtikan yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan tesis ini di masa mendatang.

Bogor, Februari 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dari pasangan Bapak Mangasa Sinaga dan Ibu Tiodora Simanullang pada tanggal 26 Desember 1979 di Jalan Pintu Air IV No. 106, Medan Johor, Sumatera Utara.

Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Swasta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Padang Bulan Medan, tahun 1995 menyelesaikan pendidikan SMP Kristen 1 Medan, tahun 1995 melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) IMMANUEL Medan, tahun 1998 penulis melanjutkan studinya pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 2005 dengan Skripsi berjudul”Pengaruh Jumlah Lampu terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung di Perairan Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah”.

Pada bulan Agustus tahun 2005, penulis melanjutkan studi S2 di program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknologi Kelautan (TKL). Pada tanggal 23 Januari 2009, penulis menyelesaikan studi S2 di program studi Teknologi Kelautan (TKL) dengan judul Thesis : ”Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah”.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan ... 6

1.4 Manfaat ... 6

1.5 Hipotesis... 6

1.6 Kerangka Pemikiran... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan... 8

2.2 Parameter Oseanografi ... 12

2.2.1 Suhu permukaan laut... 12

2.2.2 Produktivitas perairan ... 14

2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis ... 16

2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ... 17

2.3.2 Ikan kembung (Rastrelligerspp) ... 19

2.3.3 Ikan layang (Decapterusspp) ... 21

2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule male) ... 23

2.3.5 Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) ... 24

2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ... 25

2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii)... 26

2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan ... 27

2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl ... 27

2.4.2 Karakteristik pukat ikan ... 31

2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat Ikan... 33

2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl ... 33

2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan. 34 3 Metode Penelitan 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 36

3.2 Bahan dan Alat... 37

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 37


(14)

3.4.1 Analisis komposisi hasil tangkapan ... 38

3.4.2 Pengolahan citra satelit ... 37

3.4.3 Pengolahan citra SPL dan klorofil-a dari Er Mapper ke ArcView GIS ... 40

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan ... 43

4.2 Suhu Permukaan Laut ... 47

4.3 Klorofil-a... 52

4.4 Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan ... 58

4.4.1 Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil Tangkapan ... 58

4.4.2 Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ... 59

5 PEMBAHASAN ... 62

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 71

6.2 Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Produksi ikan pelagis dari perairan Sibolga, tahun 2000-2004 ... 1

2 Karakteristik satelit NOAA dan Fengyun-1... 9

3 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR... 9

4 Komposisi ikan (spesies) ... 43

5 CPUE hasil tangkapan dominan menurut daerah penangkapan ... 47

6 Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah... 52

7 Penyebaran klorofil-a di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah... 58


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Satelit NOAA-AVHRR dan satelit FY-1 MVISR ... 9

2 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ... 18

3 Ikan kembung (Rastrelligerspp) ... 20

4 Ikan layang (Decapterusspp) ... 22

5 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate) ... 23

6 Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) ... 24

7 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ... 26

8 Ikan teri (Stolephorus commersonii)... 26

9 Alat tangkapbeam trawl... 28

10 Alat tangkapotter trawl... 29

11 Alat tangkapparanzella... 29

12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2seamatau panel ... 33

13 Peta lokasi penelitian... 36

14 Diagram alir penelitian... 42

15 Persentase tangkapan yang dominan... 44

16 Komposisi hasil tangkapan ... 45

17 Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi Penangkapan.. 46

18 Sebaran nilai CPUE dan jumlah setting pada 11 lokasi Penangkapan. 45 19 Citra SPL untuk tanggal 7 Juli 2007 ... 48

20 Citra SPL untuk tanggal 9 Juli 2007 ... 48

21 Citra SPL untuk tanggal 12 Juli 2007 ... 49

22 Citra SPL untuk tanggal 15 Juli 2007 ... 50

23 Citra SPL untuk tanggal 17 Juli 2007 ... 51

24 Citra SPL untuk tanggal 19 Juli 2007 ... 51

25 Citra klorofil-a untuk tanggal 7 Juli 2007 ... 53

26 Citra klorofil-a untuk tanggal 9 Juli 2007 ... 54

27 Citra klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007 ... 54


(17)

29 Citra klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007 ... 56 30 Citra klorofil-a untuk tanggal 19 Juli 2007 ... 57 31 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing

DPI ... 59 32 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI... 61 33 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia... 70


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis ikan yang dominan ... 79

2 Jenis hasil tangkapan untuk setiap daerah penangkapan ikan pelagis kecil ... 80

3 Tanggal operasi penangkapan ikan ... 81

4 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg) ... 86

5 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg)... 88

6 Pengumpulan data selama penelitian ... 90

7 Diagram pengolahan citra suhu permukaan laut ... 91

8 Diagram pengolahan citra klorofil-a ... 94

9 Kecepatan angin, curah hujan, radiasi matahari, suhu udara dan kecerahan perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007... 97

10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu ... 98

11 Grafik hubungan kolerasi antara SPLexsitudenganinsitu... 99

12 Gambar Kapal Pukat Ikan ... 99


(19)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Tapanuli Tengah cukup strategis sebagai sentra produksi perikanan laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil tangkapan ikan pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan ikan demersal. Adapun perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis selama lima tahun terakhir dari perairan Tapanuli Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Produksi ikan pelagis dari perairan Tapanuli Tengah, tahun 2000-2004

Tahun Produksi (Ton)

2000 2001 2002 2003 2004

42.082 41.915 42.025 30.960 31.208

Jumlah 188.190

Sumber :Harahap (2006).

Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada umumnya adalah kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), parang-parang (Chirocentrus dorab), peperek/keke (Leiognathus decorus), beloso (Saurida rumbii), teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), belado kuning (Atule male), teter/alu-alu (Sphyraena genie), biji nangka (Upeneus sulphurcus), bentong/buncilak (Alepes djeddaba), selar (Selar crumenopthalmus), baledang dan sotong.

Pendapatan para nelayan Sibolga dan sekitarnya bervariasi menurut musim, karena harga ikan berbeda pada musim puncak, sedang dan paceklik. Menurut Harahap (2006), harga rata-rata ikan pelagis di Tapanuli Tengah menurut musim dan produktivitas yang diperoleh nelayan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Pada musim puncak jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 2.750 kg/trip

dengan harga Rp.5.000,- per kg/trip

(2) Pada musim sedang jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 1.500 kg/trip dengan harga Rp.1.500,- per kg/trip.


(20)

(3) Pada musim paceklik jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 7.000 kg/trip dengan harga Rp.750,- per kg/trip.

Harga ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting biasanya sudah ditentukan oleh para pengecer/tengkulak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah mereka terapkan.

Eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Tapanuli Tengah telah memicu terjadinya konflik antar nelayan setempat yang disebabkan oleh perebutan daerah penangkapan ikan (DPI) yang baik. Persoalan semakin bertambah dengan hadirnya nelayan-nelayan asing dari Thailand, Malaysia dan Vietnam yang melakukanillegal fishing (penangkapan liar) dengan menggunakan peralatan dan armada/kapal modern. Nelayan-nelayan tersebut datang ke perairan Tapanuli Tengah sudah dilengkapi dengan peta daerah penangkapan ikan (DPI) sehingga ketika melaut mereka tidak lagi datang dengan tujuan ‘mencari’ ikan tetapi langsung ‘menangkap’ ikan karena dalam penentuan suatu daerah penangkapan ikan (DPI) oleh nelayan di perairan Tapanuli Tengah umumnya didasarkan pada faktor pengalaman yang dikaitkan dengan faktor musim. Sedangkan untuk mendapatkan gerombolan ikan dilakukan dengan cara-cara tradisional yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda di laut, misalnya adanya gerombolan burung di atas/di dekat permukaan laut, ada tidaknya riak-riak ataupun buih air di permukaan laut dan juga warna air laut. Dengan cara ini tingkat keberhasilannya rendah dan mengandung keterbatasan-keterbatasan dalam skala ruang dan waktu.

Keberadaan daerah penangkapan yang bersifat dinamis dan selalu berpindah mengikuti pergerakan ruaya ikan menjadi faktor utama konflik perebutan DPI pelagis. Secara alami ikan akan memilih lingkungan yang lebih sesuai baginya sedangkan lingkungan tersebut dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Oleh karena itu DPI pelagis haruslah dapat diduga dan ditentukan terlebih dahulu sebelum armada penangkapan ikan dioperasikan menuju lokasi penangkapan.

Informasi tentang penyebaran daerah penangkapan ikan sangat perlu sekali untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perikanan adalah daerah penangkapan


(21)

(fishing ground). Daerah penangkapan dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi perairan seperti perubahan suhu, arus, salinitas, produktivitas perairan dan sebagainya. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan tersebut. Menurut Gunarso (1985), fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan biota laut termasuk ikan. Faktor musiman dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan.

Informasi daerah penangkapan ikan dapat diperoleh melalui analisis parameter lingkungan seperti suhu perairan dan kandungan klorofil-a serta hasil tangkapan sehingga nelayan dapat meningkatkan efisien operasi penangkapan melalui penghematan waktu, tenaga dan biaya operasi penangkapan. Informasi tentang parameter lingkungan dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi inderaja sedangkan hasil tangkapan diperoleh melalui kegiatan operasi penangkapan. Namun demikian pemetaan daerah penangkapan ikan adalah pekerjaan yang sangat rumit mengingat banyak sekali faktor-faktor lingkungan perairan yang mempengaruhinya dan faktor tersebut bersifat dinamis. Adapun faktor-faktor tersebut cukup banyak yang meliputi faktor fisik, kimiawi, biologi dan ekologis. Parameter lingkungan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini dibatasi pada SPL dan kandungan klorofil-a karena kedua parameter tersebut sangat berperan penting terhadap keberadaan ikan di perairan.

Informasi tentang suhu perairan sangat penting karena dapat pula digunakan untuk mempelajari proses-proses fisika, kimia dan biologi di laut. Pola distribusi SPL dapat dipergunakan untuk mengidentifikasikan parameter-parameter laut seperti arus, umbalan danfront. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk makan, memijah, beruaya dan aktivitas lainnya (Laevastu 1981). Lebih lanjut Laevastu (1981) mengatakan bahwa, batasan arus serta variasi arus permukaan mempengaruhi migrasi musiman dan tahunan dari ikan pelagis dan semi pelagis serta berperan dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil. Dengan mengetahui distribusi SPL dan pola arus suatu wilayah perairan maka


(22)

akan dapat diamati fenomenaupwellingdanthermal frontyang merupakan daerah potensial penangkapan ikan.

Ikan pelagis yang bersifat predator menyukai perairan yang banyak ikan teri pemakan kandungan nutrien sebagai makanan utama. Kandungan nutrien tersebut dapat diestimasi melalui analisis sebaran klorofil-a. Valiela (1984) mengatakan bahwa sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik masa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.

Sebelum melakukan penangkapan ikan pelagis terlebih dahulu perlu mengetahui keberadaan ikan yang bersangkutan, sedangkan dalam upaya pengembangan sebagai salah satu potensi bidang kelautan adalah pemanfaatan sumberdaya hayati laut (ikan) secara optimal dan lestari. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai keadaan sumberdaya ikan dan lingkungannya di suatu perairan agar efisiensi operasi penangkapan ikan, perencanaan daerah penangkapan ikan dapat terlaksana dengan baik. Informasi ini sangat penting diketahui untuk perencanaan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya ikan. Informasi tentang daerah penangkapan ikan mempunyai peranan penting untuk menghemat waktu, tempat dan biaya penangkapan. Dengan demikian, informasi tentang penyebaran kepadatan stok sumberdaya ikan yang sesuai dengan waktu dan tempat merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha penangkapan ikan.


(23)

Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi inderaja dalam pemanfaatan sumberdaya ikan telah dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika dan beberapa negara-negara Eropa. Hal ini dapat membantu berbagai penelitian untuk memahami dinamika sumberdaya ikan.

Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah.

1.2 Perumusan Masalah

Para nelayan Sibolga dan sekitarnya masih menghadapi kendala untuk dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi penangkapan ikan. Adapun kendala yang dihadapi nelayan adalah sulitnya mencari daerah penangkapan ikan karena ketidaktahuan tentang faktor oseanografi, tidak dapat merencanakan operasi penangkapan ikan yang tepat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi daerah penangkapan ikan.

Penentuan daerah penangkapan ikan potensial yang dilakukan oleh para masyarakat perikanan nelayan termasuk di Sibolga dan sekitarnya masih bersifat tradisional. Waktu, tenaga dan biaya operasional cukup tinggi untuk mencari daerah penangkapan ikan yang potensial dan tingkat ketidakpastian hasil tangkapan masih cukup tinggi.

Untuk mengatasi tingkat ketidakpastian hasil tangkapan maka perlu dilakukan berbagai upaya antara lain : (1) Mempelajari keberadaan ikan melalui analisis paramater-parameter lingkungan yang mempengaruhinya, seperti suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a, (2) Mempelajari hubungan antara suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan dan (3)


(24)

Mempelajari sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah. Kegiatan eksplorasi yang terkait dengan parameter-parameter lingkungan yang mempengaruhinya (seperti mempelajari hubungan suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan, sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah) masih sangat terbatas padahal manfaatnya sangat penting dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menentukan sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah.

2. Menganalisis komposisi hasil tangkapan.

3. Menentukan pengaruh sebaran SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap di perairan Tapanuli Tengah.

2. Bagi industri penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi penangkapan ikan.

3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan daerah penangkapan ikan pelagis.

1.5 Hipotesis

Sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan.

1.6 Kerangka Pemikiran

Di dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan Tapanuli Tengah dhadapkan dengan berbagai kendala dalam penentuan daerah penangkapan ikan,


(25)

yaitu : (1) Daerah penangkapan tidak pasti, (2) Waktu operasi lebih lama, (3) Hasil tangkapan tidak pasti, (4) Resiko operasi penangkapan tinggi. Akibatnya, biaya operasionalnya mahal, mutu hasil tangkapan sedikit dan produktivitas hasil tangkapan juga sedikit.

Dengan berbagai kendala tersebut perlu dilakukan penentuan daerah penangkapan ikan potensial, melalui analisis indikator yang mempengaruhinya. Adapun indikator-indikator daerah penangkapan ikan potensial adalah suhu permukaan laut (SPL) untuk melihat kejadian-kejadian thermocline dan

upwelling, klorofil-a untuk melihat upwelling dan produktivitas perairan, komposisi hasil tangkapan yang diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan.


(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan

National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) merupakan program penginderaan jauh satelit untuk lingkungan kelautan yang dimulai sejak tahun 1960-an oleh negara Amerika Serikat yang pada awalnya bernama program

television infrared observation satellite(TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17.

Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer

(AVHRR).

Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan kelautanFengyun-1 (FY-1 A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral visible and infrared scan radiometer(MVISR) dengan 10 kanal (band).

Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a (fitoplankton) dan kekeruhan di perairan. Gambar 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini menunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya.

Satelit NOAA merupakan generasi kedua dari satelit TIROS yang dilengkapi dengan sensor AVHRR. Satelit ini digunakan untuk prakiraan cuaca dan sejumlah terapan untuk ilmu lingkungan termasuk antara lain pemantauan albedo permukaan bumi, pengukuran suhu permukaan laut dan memantau front

laut. Dengan menggunakan data infra red dari satelit NOAA-14/AVHRR dapat dilakukan pemetaan distribusi sebaran temperatur permukaan laut. Data suhu permukaan laut ini akan sangat bermanfaat untuk perikanan, penelitian meteorologi kelautan dan analisis perubahan cuaca dan iklim.


(27)

Tabel 2 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1

Karakteristik NOAA FY-1 Jumlah satelit yang masih

beroperasi

5 satelit (NOAA-12, 14, 15,16,17)

2 satelit (FY-1 C, FY-1 D)

Orbit Polar

(sun-synchronous)

Polar

(sun-synchronous) Ketinggian orbit dari

permukaan bumi

833 km 863 Km

Periode pengulangan 102 menit 102,3 menit Lebar sapuan data 2048 piksel (pixel) 2048 piksel (pixel) Resolusi spasial 1,1 km (nadir) 1,1 km (nadir) Resolusi radiometric 10 bits/data 10 bits/data Sumber: Kushardono (2003).

Tabel 3 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR

Panjang Gelombang Sensor (m) Kanal

AVHRR MVISR Keutamaan

1 0,58-0,68 0,58-0,68 Kecerahan awan, tutupan es dan salju, tutupan vegetasi

2 0,725-1,10 0,84-0,89 Kecerahan awan dan tutupan vegetasi 3 A. 1,57-1,64

B. 3,55-3,93 3,55-3,95

Sumber panas, kecerahan awan malam hari

4 10,5-11,5 10,3-11,3 Suhu Permukaan Laut harian (malam/siang), Kecerahan awan

5 11,5-12,5 11,5-12,5 Suhu Permukaan Laut harian (malam/siang), Kecerahan awan

6 - 1,58-1,64 Kepadatan tanah 7 - 0,43-0,48 Warna laut (klorofil-a) 8 - 0,48-0,53 Warna laut (klorofil-a) 9 - 0,53-0,58 Warna laut (klorofil-a) 10 - 0,90-0,985 Kekeruhan perairan Sumber: Kushardono (2003).

Sumber: Kushardono (2003).

Gambar 1 (a) Satelit NOAA-AVHRR dan (b) Satelit FY-1 MVISR.


(28)

Satelit Penginderaan Jauh adalah proses perolehan informasi muka bumi dari instrumentasi yang ditempatkan di satelit. Satelit penginderaan jauh memberikan kemampuan pemantauan daerah yang luas secara periodik dan berkesinambungan (Kartasasmita 1999).

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh khususnya data satelit National Oceanic Atmosphere and Administration Advanced Very High Resolution Radimeter (NOAA–AVHRR) merupakan alternatif yang sangat tepat dalam penentuan daerah penangkapan ikan karena dari data ini dapat ditentukan nilai dan distribusi SPL pada perairan yang luas secara sinoptik, mempunyai frekwensi pengamatan yang tinggi dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya. Kemampuan ini akan sangat berguna untuk pengamatan fenomena oseanografi khususnya umbalan air dan front yang merupakan indikator daerah penangkapan potensial bagi ikan. Informasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan di laut (Hasyim 1999).

Penentuan posisi daerah penangkapan ikan di laut lepas secara tepat sangat sulit dilakukan karena perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat dinamis dari parameter-parameter oseanografi seperti SPL, kekeruhan, konsentrasi klorofil-a, pola dan arah angin, pasang surut dan arus. Informasi tentang zona potensial perikanan dan dinamika perubahan sudah dapat dijadikan sebagai suatu alat bantu dalam mendukung perencanaan strategis pembangunan pada sektor perikanan khususnya penangkapan ikan (Kartasasmita 1999)

Penggunaan citra satelit untuk pengukuran SPL telah banyak digunakan sebagai sumber data untuk melengkapi SPL hasil pengukuran langsung. Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran lapang lebih kecil dari 1oC (McClain et al. 1985; Gaol 2003). Perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfer seperti uap air dan awan. Pengaruh awan dapat menurunkan SPL sampai 1,5oC dibanding suhu pengukuranin-situ(Gaol 2003).

Butler et al. (1988) mengatakan bahwa, deteksi ikan secara langsung tidak selalu dapat dikerjakan dengan mudah maka deteksi secara tidak langsung mungkin saja dilakukan dengan melaksanakan berbagai observasi terhadap beberapa fenomena permukaan laut yang dikaitkan dengan distribusi spesies.


(29)

Menurut Widodo (1999), peta SPL telah banyak digunakan oleh armada penangkapan salmon dan tuna. Secara jelas diketahui bahwa beberapa spesies tuna mencari makan pada bagian air laut yang panas dari suatufrontsedangkan salmon mencari makan pada bagian yang dingin.

Dalam bidang perikanan, salah satu alternatif yang mulai dikembangkan adalah monitoring suhu permukaan laut khususnya lebih diaplikasikan pada ikan-ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting seperti ikan-ikan tongkol, kembung dan sebagainya. Fenomena suhu permukaan laut akan sangat memungkinkan dalam menduga upwelling (penaikkan masa air dari bawah permukaan) karena fenomena upwelling merupakan salah satu indikator utama dalam penentuan lokasi ikan.

Sensor ocean color yang dibawa satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a dalam perairan.

Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari kanal 2, 3 dan 4 dari sensor SeaWIFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit SeaStar ini maka tingkat kandungan klorofil-a dari suatu perairan dapat diketahui.

Pengukuran konsentrasi klorofil-a dengan metode remote sensing dapat dilakukan oleh beberapa satelit yang salah satunya adalah satelit TERRA dengan sensor MODIS yang dimilikinya. MODIS (Moderate Imaging Spektroradiometer) adalah salah satu perangkat/piranti utama yang dibawa oleh Earth Observing System (EOS) satelit TERRA, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi di antara faktor-faktor ini (Mustafa 2004).


(30)

2.2 Parameter Oseanografi 2.2.1 Suhu permukaan laut

Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari (Weyl 1970).

Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25oC hingga 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (± 8 m) (Tomascik et al. 1997). Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), suhu pada lapisan permukaan di Perairan Indonesia berkisar antara 26oC hingga 30oC, lapisan termoklin berkisar 9oC hingga 26oC dan lapisan dalam berkisar antara 2oC hingga 8oC.

Suhu air laut berkisar antara -2ºC hingga 30oC dimana nilai terendah disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfer (Ingmanson dan Wallace 1973). Sedangkan di daerah tropis suhu permukaan laut berkisar antara 27oC hingga 29oC dan 15oC hingga 20oC di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur sesuai dengan kedalaman.

Reddy (1993) menyatakan bahwa, ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuh selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh seperti kecepatan renang serta dalam rangsangan syaraf.

Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan kekuatan keturunan dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan penting yang komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim


(31)

pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah penangkapan (fishing ground) secara periodik (Reddy 1993).

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 hingga 70 m terjadi pengadukan sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28,00oC) yang homogen. Oleh sebab itu, lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen. Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan dan larva sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam (Reddy 1993).

Nontji (1993) mengatakan bahwa, pada saat terjadi penaikkan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan gradien menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman. Wyrtki (1961) mengatakan bahwa, kedalaman termoklin di dalam Lautan Hindia mencapai 120 m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial Selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 m.

Laevastu (1981) yang telah mempelajari pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan menunjukkan bahwa, salah satu parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis adalah suhu dan arus. Banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya


(32)

populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan. Semakin dalam gerombolan ikan pelagis berenang ke dasar perairan tergantung pada struktur vertikal suhu. Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu di permukaan perairan hangat. Kedalaman gerombolan ikan herring sangat tergantung pada luasnya lapisan campuran di permukaan pada malam hari.

2.2.2 Produktivitas perairan

Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang di dalam air. Kemampuan geraknya sangat terbatas sehingga selalu terbawa oleh arus. Plankton dibagi menjadi dua golongan utama yakni fitoplankton dan

zooplankton. Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang amat banyak ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikrokopis sukar dilihat kehadirannya. Konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per liter air laut. Zooplankton (plankton hewani) terdiri dari sangat banyak jenis hewan. Ukurannya lebih besar dari fitoplankton, bahkan ada pula yang bisa mencapai satu meter seperti ubur-ubur. Plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan laut memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa telur dan larva (Nontji 2007).

Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi organisme yang ada di perairan. Ada tiga macam klorofil yang dikenal hingga saat ini yang dimiliki fitoplankton yaitu klorofil-a, klorofil-b dan klorofil-c. Disamping itu ada beberapa jenis pigmen fotosintesis yang lain seperti karoten dan xantofil. Dari pigmen tersebut klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton, oleh karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parsonet al. 1984).

Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer laut terbuka. Menurut Barnabe dan Barbane


(33)

(2000), produktivitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas yang ada di laut.

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktivitas primer di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, arus dan turbulensi, efek biologi dari masuknya air tawar di daerah pesisir, struktur vertikal dan pergerakan dari perairan pesisir (Barnabe dan Barbane 2000; Mann dan Lazier 1996).

Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela 1984).

Nontji (1993) menyatakan bahwa, faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwaupwelling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; hal ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan terhadap sebaran konsentrasi a di perairan Indonesia bagian timur diketahui bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpklorofil-ai pklorofil-adklorofil-a muson tenggklorofil-arklorofil-a sedklorofil-angkklorofil-an kklorofil-andungklorofil-an klorofil-klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Rendahnya konsentrasi klorofil-a tersebut disebabkan konsentrasi nutrien lebih rendah akibatupwellingtidak terjadi dalam skala besar. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1993)diacu dalam Monket al. (1997) menyebutkan bahwa, rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia


(34)

kira-kira 0,19 mg/m3, 0,16 mg/m3 selama musin barat dan 0,21 mg/m3 selama musim timur.

2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis

Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikkan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar.

Makanan utama ikan pelagis adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya.

Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir musim Timur dan awal musim Barat (sekitar bulan Agustus sampai November). Kesuburan perairan tersebut akibat adanya upwelling pada musim Timur seperti yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian Timur (Puslitbangkan 1994).

Ikan pelagis pada umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan-ikan ini bersifatfototaksis positif(tertarik pada cahaya) dan tertarik pada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan ikan pelagis kecil bergerombol berdasarkan kelompok ukuran.

Kebiasaan makan ikan pelagis kecil umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik plankton nabati (fitoplankton) maupun plankton hewani (zooplankton).

Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Sibolga adalah ikan layang, kembung, selar como (bentong/buncilak), parang-parang, baledang, balato/belado kuning, teri, sebelah dan peperek (keke). Masing-masing jenis ikan pelagis yang ditangkap di perairan Sibolga mempunyai musim penangkapan tersendiri yaitu musim puncak, musim sedang dan musim kurang.


(35)

2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus)

Badannya benar-benar pipih dan licin. Kepala lonjong keatas, punggungnya sangat kecil di bagian permukaan. Selaput insang bersatu dengan isthmus. Mulut sangat kecil danprotractile. Tidak ada gigi pada langit mulutnya sedangkan pada keluarga Pseudobranchiae memiliki gigi pada langit mulut. Sirip bagian punggung duri berjumlah 8 atau 9 yang besambung agak tegak di bagian depan; bagian belakang memiliki sirip lembut yang terang berjumlah 14-16. 3 duri terletak di bagian sirip ekor; sirip duri bagian depan dan ekor dengan bentuk bulan sabit. Sebuah kelopak yang bersisik terletak pada dasar sirip bagian punggung dan ekor untuk hewan bertulang belakang yang berjumlah 22-23. Semua spesies memiliki organ kerongkongan yang terang. Juga dicatat bahwa hasil produksi makanan ikan ini berbentuk lendir (mucus).

Klasifikasi ikan keke adalah sebagai berikut :  Kingdom:Animalia

Subkingdom:Bilateria  Branch:Deuterostomia

Infrakingdom:Chordonia  Phylum:Chordata

Subphylum:Vertebrata

 Infraphylum:Gnathostomata Superclass:Osteichthyes

 Class:Actinopterygii

Order:Perciformes- perch-like fishes  Suborder:Percoidei

Family:Leiognathidae  Genus:Leiognathus


(36)

Sumber : Kimuraet al(2008).

Gambar 2 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus).

Family ini memiliki licin, mulut kecil (slipmouths) atau ponyfishes, dapat ditemukan di daerah perairan terumbu karang. Ukurannya tergantung kepada diet; ikan kecil yang berukuran <6.9 cm memakan crustacean (jenis-jenis kerang-kerang), sedangkan ikan besar yang berukuran >7.0 cm biasanya dikelompokkan kepada golongan pemakan amphipoda, polychaeta dan detritus.

Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhannya. Faktor musiman dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan (Gunarso 1985).

FamilyLeiognathidae sama dengan kelas Actinopterygii(ray-finned fishes) dan order Perciformes yang memiliki 3 genus dan 24 jenis. Ikan ini dapat ditemukan di lingkungan laut, payau dan air tawar serta pada umumnya di laut. Kelompokfamily ini tidak digunakan pada perdagangan khusus akuarium. Secara reproduksi, kebanyakan family ini tidak perlu dijaga. Pola utama renang ikan dewasa di family ini seperti berbentuk carangiform. Ikan peperek bergabung dengan ikan lainnya, dengan membangun tingkat aktivitas yang normal.


(37)

2.3.2 Ikan kembung (Rastrelligerspp)

Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger neglectus dan Rastrelliger branchysoma. Yang disebut sebagai ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan nama lain sebagai kembung perempuan.

Ikan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala sama atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku 3,7-4,3 kali badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Ikan kembung yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari diatom 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan 1994).

Ikan kembung merupakan ikan pelagis kecil yang termasuk dalam famili

Scombridae. Ciri meristik ikan kembung adalah sirip punggungnya terpisah menjadi dua bagian. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedangkan sirip punggung yang kedua berjari-jari lemah 11-12. Sirip dada (pectoral) terdiri dari 16-19 jari-jari lemah, sirip perut (ventral) terdiri dari 7-8 jari-jari lemah, sirip ekor (caudal) terdiri dari 50-52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada gurat sisi (linea lateralis) terdiri dari 127-130 buah sisik (Collette dan Nauen 1983).

Klasifikasi ikan kembung menurut Fischer dan Whitehead (1974) diacu

dalam Almutahar (2005) adalah sebagai berikut :  Phylum:Chordata

Subphylum:Vertebrata  Kelas:Pisces

Subkelas:Teleostei  Ordo:Perciformes

Subordo:Scombroidea  Famili:Scombroidae

Spesies:Rastrelliger kanagurta(Indian mackerel/Pacific).

Rastrelliger brachysoma(Short-bodied mackerel).


(38)

Sumber : Collette and Nauen (1983).

Gambar 3 (a) Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan (b) Kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta).

Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan (Rounsefell dan Everhart 1962). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat bahwa, kembung perempuan melakukan migrasi untuk mencari makanan dan mencari daerah pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi adalah kekuatan angin dan arus.

Ikan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu 1967). Ikan kembung umumnya memijah pada sekitar musim Barat (Nurhakim 1993).

Beberapa ahli telah menduga tempat dan waktu pemijahan ikan kembung. Ikan kembung perempuan mempunyai musim pemijahan selama beberapa bulan yang berlangsung dari bulan Mei-Oktober di Tanjung Satai (Kalimantan Barat). Ikan kembung lelaki mempunyai dua musim pemijahan di Laut Jawa, yaitu berlangsung dalam musim Barat dari Oktober-Februari dan musim Timur dari bulan Juni-September. Jenis ini diduga banyak memijah di sebelah Utara Tanjung Satai, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Laut Flores (Burhanuddin et al. 1984).

Nurhakim (1993) menyatakan bahwa, waktu pemijahan diduga berlangsung antara bulan April-Agustus dan Desember dengan puncak pemijahan pada bulan Agustus. Daerah pemijahan diduga sekitar Kepulauan Karimun Jawa dan Matasari. Chisastit (1962) menduga bahwa migrasi ikan kembung perempuan dijumpai pada musim pemijahan. Ikan kembung yang mature mungkin sekali

a


(39)

pergi ke daerah pemijahan dari daerah pantai, dan ikan juvenil akan ke pantai untuk mencari makan.

Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di laut pada siang hari. Tanda-tanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari sekelilingnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok ikan tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan. Pada malam hari dalam keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan. Bagian punggung ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan penemuan ikan ini. Itu pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan pada malam hari dalam keadaan gelap (Pasaribu 1967).

Nontji (1987) mengatakan bahwa, ikan kembung lelaki dan ikan kembung perempuan hidup dari plankton yang ditangkapnya dengan tapis insang. Ikan kembung perempuan mempunyai tapis insang lebih halus karena plankton yang dimakan terdiri dari plankton-plankton kecil seperti diatom dan copepoda, sebaliknya tapis insang kembung lelaki lebih besar karena memakan plankton yang lebih besar.

2.3.3 Ikan layang (Decapterusspp)

Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus ruselli dan

Decapterus macrosoma. Decapterus ruselli mempunyai nama sinonim

Decapterus maruadsi dengan nama umum ikan layang atau round scad. Sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad(Nurhakim et al. 1987). Ikan ini hidup di perairan lepas pantai berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan 1989). Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterusspp) (Widodo 1988).


(40)

Sumber: Sawada (1980).

Gambar 4 Ikan layang :D. macrosoma(a) danD. russelli(b).

Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam relatif tinggi (32‰-34‰) dengan kisaran yang sempit dan menyenangi perairan yang jernih. Menurut Lursinap et al. (1970), salinitas optimum ikan layang berkisar antara 32‰-32,5 ‰. Ikan layang banyak terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort 1931; Hardenberg 1937).

Ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 17°C. Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20ºC-30°C. Sedang suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12ºC-25°C (Laevastu dan Hela 1970). Ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April (musim Barat) dan Agustus/September (musim Timur) (Puslitbangkan 1994). Ikan layang deles (Decapterus macrosoma) memijah selama beberapa bulan dengan puncaknya bulan Agustus/September (Widodo 1988).

Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepod 39%, crustacean 31% dan organisme lainnya 30% (Puslitbangkan 1994).

Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut penelitian Hardenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon.


(41)

2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate)

Belado kuning termasuk kedalam familiCarangidaedengan nama Indonesia Selar Hijau (Atule mate) atauSlender scaled scad.

Sumber: Paxtonet al(1989).

Gambar 5 Ikan belado kuning (Atule mate).

Klasifikasi ikan belado kuning adalah sebagai berikut :  Kingdom :Animalia

 Phylum :Chordata  Kelas :Actinopterygii

 Order :Perciformes  Family :Carangidae

 Spesies :Atule mate

Badan agak memanjang dengan profil dorsal dan ventral membulat. Jaringan lemak menutup mata dan menutup seluruh mata dengan ulah sempit tegak lurus di tengah-tengah mata. Bagian interval dari garis latersal sangat melengkung. Badan berwarna hijau biru pada punggung, sepuhan warna kuning hijau pada sisi-sisi sering dengan palang-palang gelap, perut putih keperakan. Sirip lemah dorsal kuning dengan ujung putih pada cupingnya. Sirip ekor kuning gelap, sirip-sirip lain transparan. Sebuah bintik hitam pada tepi tutup insang. Jari-jari sirip lemah mirip dorsal dan anal terakhir terpisah agak penuh tapi dihubungkan dengan membran.

Ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai, berlumpur dan pasir atau pasir batu dengan koral pada kedalaman 5-30 meter, hutan bakau (mangrove) dan terumbu karang. Belado kuning aktif pada siang hari ke permukaan atau perairan tengah (midswaks) pada malam hari dan dapat ditangkap dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti hand line, trawl dasar, pancing dan purse seine. Secara spesifik, makanan ikan belado kuning adalah jenis crustacean dan cephalopoda


(42)

tetapi ikan belado kuning ini akan aktif berenang di permukaan air untuk mengejar zooplankton.

Pada umumnya ikan belado kuning dengan ukuran antara 91 dan 150 mm memakan makan utamanya berupa crustacean sedangkan pada ukuran 151 mm akan memakan makanan utama, yaitu ikan kecil, jadi ikan ini bersifat pelagis yang predator. Ikan belado kuning yang berukuran matang gonad berkisar antara 150-160 mm melakukan pemijahan pada bulan Maret dan Oktober di perairan laut dengan kedalaman 10 meter.

2.3.5 Ikan bentong/buncilak, selarcomo (Alepes djeddaba)

Buncilak merupakan satu famili dengan belado kuning yaitu famili

Carangidae. Nama Indonesia biasanya disebut Selar como (Alepes djeddaba) dan nama Inggrisnya disebutShrimp scad.

Sumber: Gloerfelt and Kailola (1984)

Gambar 6 Ikan buncilak (Alepes djeddaba).

Klasifikasi ikan buncilak adalah sebagai berikut :  Kingdom :Animalia

 Phylum :Chordata  Kelas :Actinopterygii

 Order :Perciformes  Suborder :Percoidei

 Superfamily :Percoidea  Family :Carangidae

 Genus :Alepes

 Spesies :Alepes djeddaba

Ikan ini memiliki tinggi melebar dan sedikit membulat. Profil tubuh bagian punggung dan perut berbentuk cembung. Diameter mata sebesar 3,5–4 kali


(43)

panjang kepala. Sirip punggung pertama dengan sebuah duri keras yang menghadap ke depan diikuti oleh 8 duri-duri keras lainnya. Sirip punggung kedua dengan sebuah duri keras dan 23-25 duri-duri lunak. Sirip dubur dengan duri-duri keras terpisah diikuti oleh sebuah duri keras dan 18-20 duri-duri lunak. Bagian dada bersisik. Gurat sisi sangat melengkung bagian belakang. Warna hijau/biru bagian atas, putih keperakan bagian bawah. Terdapat noktah hitam di pinggir atas tutup insang. Sirip-sirip kuning pucat, terutama sirip ekor.

Ikan buncilak yang berukuran muda, yaitu 150-199 mm dan 240-319 mm memakan makanan utamanya dari jenis crustacean seperti decapoda, ostrocoda,

amphipoda dan cladoceran, ketika ikan buncilak yang berukuran 200-239 mm pada umumnya mengkonsumsi ostrocoda dan jeniscrustacean lainnya. Buncilak hidup di habitat perairan pantai yang berkarang dan banyak mengandung

crustacean berukuran kecil. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ini adalah trawl dasar, purse seine dan bubu.

Daerah penyebaran ikan buncilak sepanjang daerah perairan Indo-Pasifik sampai Afrika Utara bagian selatan, sepanjang pantai Afrika Timur, India, Asia, Indonesia, Australia bagian selatan, Jepang hingga ke perairan Hawai. Pada umumnya ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai yang berkarang dan berpasir bahkan di perairan berlumpur. Adakalanya ikan ini ditemukan pada lingkungan laut lepas.

2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab)

Ikan parang-parang masuk kedalam Family Chirocentrus (Wolf herring), Ordo Clupeiformes (herring), Kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan memiliki nama perdagangannya Dorab wolf herring. Panjang baku ikan jantan yang belum matang kelamin 100 cm sedangkan ikan betina 36,6 cm. Hidup di daerah karang yang banyak, amphidromous, air payau, laut dengan kedalaman perairan 120 meter. Selain itu ikan ini mampu hidup pada daerah tropis dengan posisi 35º 00' LU – 30° 00' LS.

Ikan ini berada pada daerah pantai termasuk air payau. Ikan ini termasuk dalam predator yang suka memakan kelompok ikan-ikan kecil seperti ikan laut dan sejenisnya. Di Australia, ikan ini mampu hidup dalam air yang bersuhu


(44)

26ºC-29ºC. Makanan pokoknya adalah jenis-jenis ikan kecil tapi kadang-kadang juga kerang-kerangan (Whitehead 1985).

Sumber: Whitehead (1985).

Gambar 7 Parang-parang (Chirocentrus dorab).

2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii)

Ikan teri termasuk kedalam famili Engraulidae (Anchovies), ordo

Clupeiformes (herrings), kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan nama perdagangan adalahCommerson’s anchovy. Ikan teri jantan memiliki panjang 10 cm. Ikan ini masuk kedalam kelompok pelagis yang hidup di air laut dan tawar pada kedalaman 0-50 m serta bersifatanadromous. Selain itu teri hidup di daerah tropis dengan posisi 27º 00' LU – 24º 00' LS dan 38º00' BT – 155º 00' BT.

Sumber: Whiteheadet al. (1988)

Gambar 8 Ikan teri (Stolephorus commersonii).

Ikan teri mempunyai sirip anal soft sebanyak 18-19, bentuk perut yang bulat, ramping, dan gigi kecil terdapat di tulang hyoid. Ujung rahang menjangkau atau bagian batasan per-operkulum sedikit mengarah ke belakang, berbentuk cembung dan bulat. Ototisthmus yang lancip mengarah ke bawah, warna tubuh transparan-coklat muda dengan sepasang dark patches (linea lateralis) yang bersambung dengan sepasang garis ke arah sirip ekor berwarna putih.

Penyebaran ikan teri secara bergerombolan terdapat di perairan Atlantik, Samudera India dan Samudera Pasifik biasanya dapat hidup di perairan dasar terumbu karang dan daerah estuaria yang beriklim tropis. Beberapa di antaranya


(45)

dapat hidup atau bertahan hidup di perairan air payau. Selain itu, gerombolan ikan teri dapat di jumpai di perairan estuaria Godavari, India selama 5 bulan dari bulan Februari sampai Juni pada salinitas 19,6–32 ppt tetapi gerombolan ikan teri hampir secara total ada pada musim banyaknya fitoplankton. Makanan utama adalah plankton yang ada di permukaan laut tapi kadang-kadang memakan larva udang dan kerang-kerangan.

2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan 2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl

Menurut sejarahnya asal mula trawl adalah dari laut tengah dan abad 16 dimasukkan ke Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Bentuk trawl pada waktu itu (dalam bahasa Belanda disebut “schrob net” bukanlah seperti trawl yang dipakai dewasa ini dimana telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan (Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa trawl adalah alat penangkap ikan, udang dan biota laut lainnya yang berupa jaring kantong besar, melebar dan mulut jaring yang terbuka dengan kedua sayap jaring terbentang di bagian depan pada masing-masing sisinya dan meruncing pada bagian akhir jaring. Bagian akhir jaring akan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantung (cod end) ketika ditarik secara horizontal di perairan. Tipe pengoperasian trawl dapat diubah sesuai dengan variasi kedalaman, jenis ikan, cara pengoperasian konstruksi dan perlengkapan alat.

Trawl yang dikenal dengan istilah pukat harimau, menurut Nomura dan Yamazaki (1977), didefinisikan sebagai alat tangkap ikan berbentuk kantong yang pada mulut kantong dilengkapi dengan rantai pemberat dan papan pembuka (otter board), dalam pengoperasiannya ditarik oleh satu atau dua kapal. Adapun bagian dari jaring trawl antara lain: papan pembuka, tali penarik, tali ris atas dan tali ris bawah, pelampung, rantai pemberat, jaring berbentuk kantong dan bagian ujung kantong. Panjang tali penarik sepertiga dari panjang jaring, papan pembuka bervariasi ukurannya, pada umumnya antara 0,5 m2 sampai 1,5 m2. Mesh size

jaring pada ujung pembuka pada umumnya antara 80-240 mm dan pada ujung kantong sekitar 150 mm. Dengan karakteristik dan cara pengoperasian trawl


(46)

tersebut dapat ditarik keterangan bahwa jaring trawl termasuk peralatan yang efektif untuk melakukan penangkapan ikan terutama untuk menangkap ikan demersal.

Menurut Brandt (1984), trawl diklasifikasikan ke dalam alat tangkap

dragged(ditarik). Grup ini terdiri dari semua jaring kantong atau jaring terbentang yang ditarik sepanjang kolom perairan atau dekat dasar perairan atau sesekali ke perairan pelagis untuk waktu yang terbatas. Selanjutnya dikatakan pula oleh King (1995) bahwa, trawl dan pukat adalah alat tangkap yang ditarik sepanjang perairan untuk menjaringinvertebratedan ikan laut.

Subani dan Barus (1989) mengatakan bahwa, menurut arah bukaan mulut jaring, pada dasarnya trawl dibagi menjadi 3 macam yaitu :

(1) Beam trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan bentangan/rentangan kayu pada mulut jaring. Jaring ini disebut “fixmouth trawl”. Jaring membuka secara vertikal dengan trawl heads baja yang berat dan secara horizontal dengan beam kayu (Gambar 9).

(2) Otter trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan ada dua buah papan atau “otter board” yang dipasang di ujung muka kaki sayap jaring yang prinsipnya menyerupai layang-layang. Jaring membuka secara vertikal dengan pelampung sepanjanghead rope, dan secara horizontal denganotter board(Gambar 10).

(3) Paranzella: terbukanya mulut jaring karena ditarik oleh dua buah kapal yang jalannya sejajar dengan jarak tertentu dan biasanya disebut jugapair trawl. Jaring terbuka secara vertikal karena ada pelampung dan pemberat dan secara horizontal oleh jarak dua kapal (Gambar 11).


(47)

Gambar 10 Alat tangkapotter trawl.

Gambar 11 Alat tangkapparanzella.

Menurut Brandt (1984), beam trawl termasuk dalam kelompok trawl dasar (bottom trawl). Ditambahkan oleh Ayodhyoa (1979) bahwa, beam trawl adalah trawl dengan mulut jaring terbuka karena adanya bentangan kayu atau besi pada mulut jaring dan sayap yang pendek. Selanjutnya King (1995) menyebutkan bahwa, beam trawl mempunyai kesamaan desain dengan otter trawl tetapi jaringnya terbuka dan terbentang secar lateral dengan bingkai (beam) secara horizontal sebagai pengganti otter broad. Beam trawl dengan bukaan tertentu relatif mudah untuk di setting namunbeam trawl dengan ukuran yang besar sulit ditangani ketika dinaikkan ke atas kapal.

Beam trawl atau fixmouth atau trawl bermulut tetap atau berbingkai tetap.

Beam trawl adalah trawl dimana terbukanya mulut jaring sewaktu ditarik akibat adanya bentangan kayu atau besi pada mulut jaring. Rentangan ini dapat berbentuk bingkai empat persegi panjang atau menyerupai huruf “U” terbalik (π).

Otter trawl termasuk salah satu jenis yang banyak digunakan dewasa ini dalam usaha penangkapan khususnya penangkapan udang, termasuk di dalamnya “pukat udang”, “pukat harimau” dan semua jenis trawl yang menggunakan papan trawl untuk membuka mulut jaring saat dioperasikan.


(48)

Jaring yang besar pada otter trawl ditarik sepanjang dasar perairan atau ditarik dalam kolom air dengan kapal. Mulut jaring dibuka melalui dua papan besar yang diletakkan di kedua sisi dan mulut jaring. Jaring ditarik oleh kapal dengan kabel baja yang tebal. Otter trawl yang digunakan mempunyai bukaan mulut jaring berkisar dari 50 kaki sampai lebih dari 100 kaki tergantung dari jenis ikan yang akan ditangkap dan ukuran kapal yang digunakan.

Trawl umumnya dioperasikan pada dasar perairan namun juga dapat dioperasikan pada kedalaman yang diinginkan. Menurut letak jaring dalam air selama operasi penangkapan dilakukan, Ayodhyoa (1979) membagi trawl atas 3 yaitu :

(1) Surface trawl(trawl yang dioperasikan pada permukaan perairan)

(2) Mid-water trawl (trawl yang dioperasikan pada pertengahan atau kolom perairan)

(3) Bottom trawl(trawl yang dioperasikan pada dasar perairan).

Menurut letak penarikan jaring di kapal, trawl dibagi atas:side trawl(ditarik dari samping kapal),stern trawl (ditarik dari buritan kapal) dan double rig trawl, yang merupakan trawl yang ditarik melalui rigger yang dipasang pada kedua sisi lambung kapal.

Berdasarkan cara pengoperasiannya, trawl dapat digolongkan kedalam 3 kategori utama yaitu : 1) bottom trawl (untuk menangkap ikan dasar dan udang), 2) mid water trawl, yang dioperasikan pada kolom air dan 3)semi pelagic trawl

(untuk menangkap ikan pelagis). Apabila dilihat dari pengoperasian kapal penarik maka trawl dapat di golongkan kedalam 4 kategori, yaitu: (i) satu unit kapal mengoperasikan satu unit trawl (beam trawl, otter trawl dan otter trawl with boom), (ii) dua unit jaring trawl ditarik oleh satu unit kapal (beam trawl with boom danotter trawl with boom), (iii) satu unit jaring trawl ditarik oleh dua unit kapal dan (iv) satu unit kapal menarik lebih dari dua unit jaring trawl. Selain itu dikenal istilah lain tentang jenis trawl, antara lain: double rig shrimp trawl (dua unit trawl yang ditarik oleh satu kapal) untuk menangkap udang,otter trawl(trawl yang dilengkapi oleh otter board) yang ditarik dengan satu unit kapal payang (sejenis trawl permukaan) dan sebagainya.


(49)

2.4.2 Karakteristik pukat ikan (fish net)

Alat tangkap pukat ikan mirip dengan pukat udang. Perbedaan kedua alat ini adalah pukat ikan tidak memiliki BED (By-catch Excluder Device), jaring lebih kasar dan memiliki mata jaring yang lebar dibandingkan dengan jaring udang. Jenis pukat ikan termasuk kedalam kelompokOtter Trawlatau disebut juga jaring tarik (Lampiran 13).

Otter trawl (baca : commercial shrimp trawl) pertama kali diperkenalkan kurang lebih pada tahun 1912 dan 1915 di pantai timur Florida. Kehadiran otter trawl tersebut secara cepat dapat diterima untuk menggantikan haul seine

tradisional sebagai standard commercial gear. Di Indonesia telah diperkenalkan kurang lebih pada akhir abad 19.

Pada awalnya papan trawl tersebut diikatkan langsung pada ujung sayap/kaki tetapi kemudian Vigneron dan Dahl (Bangsa Perancis) mengadakan modifikasi yang selanjutnya dikenal dengan V-D trawl, yaitu kedua pada ujung sayap/kaki diikatkan pada perentang (spreader), yakni ris (head rope) pada ujung atas dan ris bawah (foot rope) pada ujung bawah perentang. Perentang bisa dibuat dari kayu maupun besi. Selanjutnya perentang tadi dengan kawat baja pendek atau panjang dihubungkan ke bagian belakang papan trawl (otter board). Demikianlah Vigneron dan Dahl memasang papan trawl dengan jarak antara 50-100 (Q) dari ujung sayap kaki jaring.

Pukat tarik dasar berbentuk kantong yang terbuat dari jaring dan terdiri dari 2 bagian sayap dan bagian square, bagian badan serta bagian kantong jaring (BPPI. Semarang 1986).

(1) Sayap/kaki jaring (wing); Bagian jaring terpanjang dan terletak di ujung depan dari pukat tarik dasar.sayap jaring terdiri dari sayap atas (upper wing) dan sayap bawah (lower wing).

(2) Medan jaring atas (square); Bagian jaring yang terletak di atas mulut jaring dan menjorok ke depan. Square merupakan selisih antara panjang sayap bawah dan panjang sayap atas.

(3) Badan jaring (body); Bagian jaring yang terpendek dan terletak di antara bagian kantong dan bagian sayap jaring.


(50)

(4) Kantong jaring (cod end); Bagian jaring yang terletak di ujung belakang dari pukat tarik dasar.

(5) Panjang total jaring; Hasil penjumlahan dari panjang bagian sayap/kaki, bagian badan dan bagian kantong jaring.

(6) Keliling mulut jaring (circumference at net mouth); Bagian badan jaring yang terbesar dan terletak di ujung depan dari bagian badan jaring.

(7) Palang rentang (beam); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk batang bambu/kayu atau besi, yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring.

(8) Papan rentang (otter board); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk papan empat persegi panjang yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring.

(9) Pemberat rantai (tackle chain); Sebagai alat pengejut udang yang berada di dalam dasar perairan dan terpasang sepanjang tali ris bawah.

(10) Tali ris atas (head rope); Tali yang berfungsi untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap jaring bagian atas, melalui bagian square

jaring.

(11) Tali ris bawah (ground rope); Tali yang berfungsi untuk menghubungkan kedua sayap jaring bagian bawah, melalui mulut jaring bagian bawah.

(12) Tali selambar (warp rope); Tali yang berfungsi sebagai penghela (dragging) di belakang kapal yang sedang berjalan dan penarik pukat tarik dasar ke atas geladak kapal.

Konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seamatau panel dapat dilihat pada Gambar 12.


(51)

Keterangan gambar:

1) Panjang Bagian – Bagian Jaring 2) Lebar Bagian – Bagian Jaring a) Panjang tali ris atas :l a) Keliling mulut jaring : a

b) Panjang tali ris bawah : m b) Setengah keliling mulut jaring : h c) Keliling mulut jaring : a c) Lebar ujung depan bagian sayap atas : g2 d) Panjang total jaring :b d) Lebar antara bagian sayap atas : g2’ e) Panjang bagian sayap atas : c e) Lebar ujung belakang bagian sayap atas : g1 f) Panjang antara bagian sayap atas : c’ f) Lebar ujung depan bagian sayap bawah : h2 g) Panjang bagian sayap bawah : d g) Lebar antara bagian sayap bawah : h2’ h) Panjang antara bagian sayap bawah : d’ h) Lebar ujung belakang bagian sayap bawah : h1 i) Panjang bagian medan jaring atas (square) : Sqr i) Jarak ujung-ujung belakang sayap atas : g” j) Panjang bagian badan : e j) Jarak ujung-ujung belakang sayap bawah : h” k) Panjang bagian kantong : f k) Lebar ujung depan bagian square : g’

l) Lebar ujung belakang bagian square : g1’ m) Lebar ujung depan bagian badan : i n) Lebar ujung belakang bagian badan : i1 o) Lebar ujung depan bagian kantong : j p) Lebar ujung belakang bagian kantong : j1

Gambar 12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2seamatau panel (BPPI Semarang 1986).

2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat Ikan 2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl

Pada umumnya trawl yang digunakan sampai saat sekarang masih didasarkan pada prinsip yang tidak banyak mengalami perubahan. Bentuk dasar masih merupakan jaring yang menyerupai kantong yang berbentuk “truncated cone” dengan sayap yang terletak pada mulut jaring. Untuk membuka mulut jaring, umumnya digunakan beamyang menghubungkan ke duawing,otterboard


(52)

Berdasarkan operasinya, trawl dapat dibedakan atas bottom trawl dan

midwater trawl (pelagic trawl). Kedua jenis trawl tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai dengan kondisi lapisan perairan dimana alat tersebut di operasikan.

Cara pengoperasian trawl dapat dibagi atas tiga tahap yang meliputi : (1) Shootingyaitu melepaskan jaring ke laut.

(2) Trawlingyaitu menarik atau menghela jaring

(3) Haulingyaitu mengangkat atau menaikkan jaring ke atas kapal.

Tertangkapnya ikan selama trawling dapat terjadi jika gerombolan ikan berada di dalam jalur yang sama dengan jalur gerakan trawl. Dengan demikian ikan hanya akan dapat tertangkap jika berada di antara sweepline atau wing

dengan kecepatan renang lebih rendah atau sama dengan kecepatan trawling

kemudian ikan mengurangi kecepatannya. Ikan yang sudah berada di dalam mulut jaring dianggap sudah tertangkap dan diharapkan akan terus masuk kecodend.

Didasarkan pada pertimbangan bahwa ikan hanya akan dapat tertangkap jika kecepatan trawling harus lebih tinggi atau sama dengan kecepatan renang maksimum ikan maka suatu penangkapan dengan trawl tidaklah dapat sukses jika kecepatan trawling di bawah kecepatan renang maksimum ikan.

Peristiwa lolosnya ikan atau “escapement” dapat terjadi jika ikan yang sudah berada di antara wing atau di dalam mulut jaring bergerak ke luar jalur gerakan trawl. Disamping itu ikan yang sudah tertangkap dapat pula lolos melalui

codend, jikamesh size codendlebih besar dari ukuran badan ikan.

Pencegahanescapment melalui codend dengan memperkecilmesh sizeakan menyebabkan kenaikan resistensi dan penambahan berat (Friedman 1973) selanjutnya Taniguchi (1969) menyatakan bahwa, dengan merubah koefisien tidak begitu berpengaruh terhadap kenaikan resistensi.

2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan

Pukat ikan dengan alat pembuka mulut jaring, ditarik (dragging) di belakang kapal yang sedang berjalan dan menyelusuri dasar perairan. Penarikan pukat tarik dasar dengan kecepatan tarik (dragging speed) sekitar 2-4 knot selama 1-2 jam


(53)

operasi. Kelengkapan pukat ikan berupa papan rentang atau palang rentang sebagai alat pembuka mulut jaring.

Pengoperasian pukat tarik dasar dilakukan dengan menarik (dragging) jaring di belakang kapal yang sedang berjalan. Teknik pengoperasian dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

(1) Penurunan jaring (setting)

Penurunan jaring dilakukan dari bagian buritan kapal dan kapal bergerak maju dengan bantuan atau perentaraan tali selambar. Panjang tali selambar disesuaikan dengan kedalaman perairan. Penggunaan tali selambar dengan tujuan untuk mengatur kedalaman pukat tarik dasar agar dapat menyelusuri dasar perairan. (2) Penghelaan jaring (dragging)

Penghelaan jaring dilakukan di belakang kapal yang sedang berjalan dan diupayakan pukat tarik dasar menyelusuri dasar perairan dengan mengikatkan tali selambar pada buritan kapal. Penghelaan jaring selama 1-2 jam operasi dengan kecepatan hela sekitar 2-4 knot.

(3) Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling)

Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan dari buritan kapal atau sisi lambung kapal dengan menarik tali selambar. Penarikan tali selambar tanpa atau dengan menggunakan mesin bantu penangkapan (fishing machinery) yang berupa derek penarik (trawl winch) kemudian penarikan dan pengangkatan pukat tarik dasar ke atas geladak kapal.


(54)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan untuk pengambilan data lapangan yang meliputi data hasil tangkapan, posisi penangkapan. Pengambilan data lapangan ini dilaksanakan di perairan Sibolga dan sekitarnya pada tanggal 7-19 Juli 2007. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan serta analisis data klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit diambil dari Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada tanggal 6 Februari-5 Maret 2008.


(55)

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Citra Suhu permukaan laut hasil deteksi satelit NOAA-AVHRR, (2) Citra klorofil-a hasil deteksi sensor SeaWIFS satelit Sea Star pada level 1 dan 2, (3) Termometer digital, (4) Timbangan, (5) GPS dan (6) Kamera Digital.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu : 1) Data produksi, 2) Data SPL, 3) Data klorofil-a.

Citra SPL dan klorofil-a yang dikumpulkan berbentuk model data raster

berasal dari jenis level dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometri, radiometri dan memiliki informasi dasar. Setelah citra diterima oleh antena penerimaan di ILC PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan perekaman dan pengolahan lebih lanjut, yang meliputi :

(1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-16 untuk SPL dan

FengyunFY-1 D untuk klorofil-a pada komputer induk

(2) Perubahan (konversi) data kanal-kanal citra ke dalam bentukraster

(3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang hanya memiliki < 10 % tutupan awan pada lokasi penelitian

(4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk selanjutnya diolah.

Data hasil tangkapan diperoleh selama melakukan penelitan di perairan Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah. Data kegiatan penangkapan diperoleh dengan cara mengikuti pukat ikan. Lama trip operasi pukat ikan ini adalah 12 hari (7-19 Juli 2007). Data kegiatan penangkapan diisi pada log book yang telah disediakan meliputi waktu dan posisi penangkapan, jumlah total tangkapan posisi pada setiap daerah penangkapan ikan.

Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan tidak


(1)

Menyimpan kembali citra

klorofil-a dari Er Mapper

Algorithm (.alg) ke bentuk Er

Mapper Raster Dataset (.ers)

Selanjutnya citra

klorofil-a dieksport

dalam bentuk XYZ

ASCII grid

Hasil nilai klorofil-a

yang telah di eksport

lalu dibuka ke dalam

Microsoft Excel

Nilai klorofil-a yang

akan digridkan

Setelah nilai klorofil-a

digridkan maka dapat

ditampilkan ke peta


(2)

Lanjutan Lampiran 8...

Peta klorofil-a di eksport ke

Esri shapefile (*.shp) dari

Surfer 8

Setalah nilai klorofil-a di masukkan

ke Theme Table maka peta klorofil-a

akan terlihat

Peta yang sudah jadi tersebut

dieksport dari ArcView GIS kembali

ke JPEG atau Placeable WMF

Peta sudah jadi dalam bentuk

JPEG atau Placeable WMF

Peta yang sudah jadi

diekstensionkan ke Graticules


(3)

kecerahan perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007.

Tgl Kecepatan Angin (Knot) Curah Hujan (mm) Radiasi Matahari (%) Suhu Udara (°C)

Kecerahan Perairan (Km)

1 4.1 - 100 29.6 8

2 4.2 - 90 28.9 10

3 5.8 - 100 29.6 8

4 3.1 4.9 79 29.1 9

5 5.3 - 54 29.3 8

6 4 - 66 29.2 8

7 4.6 TTU 50 28.2 8

8 2.3 - 0 27.4 7

9 2.9 - 40 28.2 7

10 3.6 0.3 85 28.8 8

11 3.8 - 100 28.9 9

12 3.8 - 100 28.6 10

13 2.8 41 56 29 9

14 8.4 - 100 28.5 8

15 4.7 - 41 28 7

16 2.7 - 51 27.9 8

17 6 - 60 28.7 9

18 3.4 - 6 27.1 6

19 5.4 2.1 100 27.7 6

20 3.6 - 0 27 6

21 4.6 19.6 0 26 7

22 6.6 20 0 25 5

23 1.5 57.6 0 25.2 4

24 4.6 14.4 79 26.4 7

25 2.4 0.3 0 26.4 8

26 3.5 TTU 100 27.5 8

27 3.3 - 91 26.4 7

28 5.3 8.2 41 26.7 6

29 2.4 - 31 27 6

30 6 - 91 26.5 8

31 4 32.5 68 27.2 7

Sumber : BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan (2007).

Keterangan : TTU = Nilai curah hujan kurang dari 0,1 mm (< 0,1 mm) artinya

tidak ada curah hujan sama sekali.


(4)

Lampiran 10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu.

No Tanggal OPI Posis DPI SPL ex-situ (ºC) SPL in-situ (ºC)

1 15 Juli 2007 2º 00' LU-98.31º BT 29 28

2 19 Juli 2007 2º 00' LU-98.40º BT 26 25

3 16 Juli 2007 1.96° LU-98.31º BT 28 29

4 16 Juli 2007 1.90º LU-98.30º BT 29 29

5 15 Juli 2007 1.94º LU-98.34º BT 30 28

6 15 Juli 2007 1.90º LU-98.40º BT 29 28

7 10 Juli 2007 1.86º LU-98.43º BT 29 30

8 10 Juli 2007 1.90º LU-98.42º BT 29 30

9 13 Juli 2007 1.90º LU-98.45º BT 30 31

10 12 Juli 2007 1.84º LU-98.33º BT 28 30

11 18 Juli 2007 1.80º LU-98.31º BT 29 30

12 14 Juli 2007 1.80º LU-98.30º BT 30 29

13 17 Juli 2007 1.79º LU-98.30º BT 28 29

14 19 Juli 2007 1.81º LU-98.44º BT 30 28

15 16 Juli 2007 1.76º LU-98.42º BT 29 29

16 10 Juli 2007 1.80º LU-98.40° BT 28 30

17 19 Juli 2007 1.79° LU-98.41° BT 30 28

18 14 Juli 2007 1.81° LU-98.40° BT 29 29

19 18 Juli 2007 1.72° LU-98.42° BT 30 27

20 17 Juli 2007 1.74° LU-98.40° BT 30 29

21 14 Juli 2007 1.72° LU-98.38° BT 29 28

22 9 Juli 2007 1.70° LU-98.36° BT 30 29

23 18 Juli 2007 1.70° LU-98.40° BT 29 28

24 12 Juli 2007 1.75° LU-98.54° BT 29 31

25 13 Juli 2007 1.73° LU-98.53° BT 30 31

26 12 Juli 2007 1.75° LU-98.53° BT 29 31

27 13 Juli 2007 1.70° LU-98.54° BT 29 30

28 9 Juli 2007 1.73° LU-98.45° BT 30 28

29 7 Juli 2007 1.76° LU-98.52° BT 29 30

30 7 Juli 2007 1.73° LU-98.53° BT 30 30

31 9 Juli 2007 1.80° LU-98.49° BT 29 29

32 7 Juli 2007 1.83° LU-98.55° BT 29 28


(5)

24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

SPL exsitu

S

P

L

in

s

it

u


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda

0 8 242

Analisis sebaran suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a dengan menggunakan data modis di perairan Nusa Tenggara Timur

0 12 113

Analisis sebaran suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a dengan menggunakan data modis di perairan Nusa Tenggara Timur

1 13 5

Hubungan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-A terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cakalang (Kasuwonus pelamis, Linne) di Perairan Bagian Timur Sulawesi Tenggara

0 11 16

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit aqua modis serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan lemuru di perairan selat bali.

2 56 135

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit MODIS serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Laut Jawa

4 8 197

Analisis Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a dari Citra Aqua-Modis Dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda.

7 21 113

Variabilitas hasil tangkapan ikan hubungannya dengan sebaran klorofil a dan suhu pemukaan Laut Data Inderaja di Perairan Kalimantan Timur

0 3 109

Analisis Suhu Permukaan Laut dan Klorofil a, Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Selatan Sulawesi Tenggara

0 3 128

Analisis Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a, Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Selatan Sulawesi Tenggara

0 4 138