Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap Cabutan Anakan Tumih [Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser]

(1)

ABSTRACT

NIECHI VALENTINO. Influence of Media Combination Toward The Growth of Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) Natural Stump Seedling. Supervised by: ISTOMO.

The unwise utilization of peat-land has been causing a very rapid rate of peat destruction in Indonesia. Therefore, it is neccesary to conduct the effort to protect the function of these ecosystems so it can become sustain until the next generation. One effort for the initial rehabilitation is through an appropriate selection of local species by local ecological conditions. One of the local species that can grow in the peatland is tumih (C. rotundatus (Miq.) Danser). C. rotundatus can be classified as of fast-growing types (fast growing species) and tolerant of dry and open condition so it is good for initial pre-planting in the rehabilitation of disturbed peatlands. Development of C. rotundatus species can be done through natural stump seedling with media combination.

This study aimed to obtain a preliminary information of the best media composition treatment which capable of enhancing the growth of C. rotundatus in order to develop the silvicultural techniques. This research used Completely Randomized design with six treatment combinations of media which is (K1) sand: compost: rice husk with composition (1:1:2), (K2) sand: compost: sawdust with a composition of (1:1:2), (K3) sand: compost: cocopeat with composition (1:1:2), (K4) compost: cocopeat: sawdust with composition (1:2:2), (K5) compost: cocopeat: rice husk with a composition (1 : 2:2), and (K6) compost: rice hulls: sawdust with composition (1:2:2). Each treatment had three replications, each test contained 15 seedling, so the total of unit observation were 270 units of seed plants. This study discovered that the average of height increment per week on treatment were (K1) 0,099 cm, (K2) 0,083 cm, (K3) 0,081 cm, (K4) 0116 cm, at (K5) 0,088 cm, and (K6) 0,078 cm. The results of variance showed that the treatment did not give the real effect of the increase in plant height. While the percentage of living plants on the media combination treatment were 86.67% (K1), (K2) 80.00%, 35.56% for K3, 62.22% for K4, 71.11% for K5 and 86.67% for K6. After the data were analyzed using SAS 9.3.1 Software, we got the result recaled that the treatment gave a real influence on the percentage of living seedling. Then on the advanced test with Duncan's test showed that K6 treatment is similar with K1 and K2 treatment. This was shown in the living percentation of K6 toward K1 and K2 which is 86.67% at 80.00%. K6 treatment is similar with K5 and K4 treatment, but significantly different from K3. As for the K4 and K5 combination treatment was also similar with the K3 treatment. Percentage of life for K4 and K5 were respectively by 62.22% and 71.11% respectively, while for K3 showed the lowest percentage of life was 35.56%.


(2)

1.1 Latar Belakang

Lahan gambut tropis di seluruh dunia meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% (21 juta ha) terdapat di Indonesia (BB Litbang SDLP 2008) dengan perincian di Sumatera seluas 7,21 juta ha, Kalimantan 5,79 juta ha, dan Papua seluas 8,0 juta ha (Wahyunto et al. 2005). Ditinjau dari pengertiannya, hutan rawa gambut merupakan hutan yang tumbuh dari terakumulasinya residu vegetasi tropis yang kaya akan lignin dan selulosa yang lama terdekomposisi dan digenangi air hujan sehingga miskin hara (Brady 1997 dalam Murdiyarso et al. 2004).

Hutan rawa gambut merupakan habitat berbagai flora-fauna dan memberikan berbagai jasa lingkungan/environmental services seperti pengatur tata air, penyerap dan penyimpan karbon (Wibisono et al. 2005). Lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berfungsi mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1 (Agus 2009).

Adanya perluasan pemanfaatan gambut yang tidak bijaksana, menyebabkan laju kerusakan gambut sangat cepat di Indonesia. Sebagai contoh, antara tahun 1982 hingga 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di provinsi Riau (WWF 2008). Kerusakan gambut menyebabkan berkurangnya atau hilangnya multifungsi baik secara ekologis maupun sosial ekonomi lahan gambut. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya untuk melindungi ekosistem gambut agar fungsinya dapat dipertahankan hingga generasi mendatang.

Menurut Wibisono et al. (2005) rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang sangat penting dalam memperbaiki hutan rawa gambut yang telah terdegradasi. Kegiatan rehabilitasi ini didukung oleh aspek legal mengenai konservasi lahan gambut yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang kawasan lindung.

Salah satu pertimbangan dari rehabilitasi adalah pemilihan jenis lokal yang sesuai dengan kondisi ekologis setempat. Menurut Wibisono et al. (2005) salah


(3)

satu jenis lokal yang dapat direkomendasikan adalah tumih (Combretocarpus rotundatus. Selain itu, dalam rangka rehabilitasi C. rotundatus dapat diklasifikasikan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan toleran terhadap kondisi kering dan terbuka sehingga sangat baik untuk penanaman dalam usaha rehabilitasi lahan gambut yang terganggu, C. rotundatus juga memiliki toleransi terhadap radiasi cahaya matahari yang intensif dan suhu tanah yang tinggi (Saito et al. 2005).

Istomo et al. (2007) menyatakan bahwa dalam rangka rehabilitasi, C. rotundatus merupakan jenis pohon asli setempat yang tumbuh sangat baik dan mungkin cocok untuk dikembangkan sehingga dapat dijadikan tanaman prioritas. Selain itu, menurut Daryono (2005) lahan sulfat masam aktual yang merupakan lahan konservasi diperlukan jenis spesifik untuk dapat hidup di tipologi lahan sulfat masam aktual, C. rotundatus merupakan jenis yang hanya mampu tumbuh pada areal terbuka dan pada hutan gambut yang telah terbakar dan mampu bertahan hidup. Jenis kayu ini pun mampu memberikan keuntungan ekonomis berupa kayu bakar bagi masyarakat lokal.

Salah satu upaya memperbanyak jenis ini yaitu melalui permudaan alam cabutan melalui pengaturan media tumbuh. Menurut Marlina dan Rusnandi (2007), media tumbuh merupakan salah satu faktor lingkungan yang berfungsi sebagai tempat tumbuhnya akar tanaman, penopang tanaman agar tumbuh dengan baik, menyediakan unsur hara dan air bagi pertumbuhan tanaman.

Penelitian tentang media tanam untuk jenis C. rotundatus belum pernah dilakukan maka penelitan Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap Pertumbuhan Anakan Cabutan C. rotundatus perlu dilakukan. Dengan demikian mengingat ini sebagai penelitian awal diharapkan penelitian ini dapat mengetahui jenis media yang mampu meningkatkan pertumbuhan cabutan C. rotundatus.


(4)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai perlakuan komposisi media terbaik yang mampu meningkatkan pertumbuhan C. rotundatus

dalam rangka pengembangan teknik silvikultur pada tanaman C. rotundatus.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi sebagai acuan dalam pengembangan C. rotundatus baik untuk tujuan perbanyakan ataupun pelestarian plasma nutfah di Indonesia.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nilai dan Manfaat Gambut serta Pentingnya Rehabilitasi di Hutan Gambut

Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya dekomposisi dibandingkan laju penimbunan bahan organik di lahan hutan yang basah atau tergenang tersebut (Najiyati et al. 2005).

Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi, tetapi juga memiliki peran besar lagi sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.

Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya serap air yang sangat besar. Apabila jenuh, gambut saprik, hemik dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 450%, 450 – 850%, dan lebih dari 850% dari bobot keringnya atau hingga 90% dari volumenya. Karena sifatnya itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau sehingga dapat mencegah intrusi air laut ke darat (Subiksa et al. 2000).

Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila terjadi drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tidak balik, porositas yang tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah. Gambut yang telah mengalami kekeringan sampai batas kering tak balik, akan memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas- lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, sulit menyerap air kembali, dan sulit ditanami kembali (Subiksa et al. 2000).


(6)

Di Sumatera, lebih dari 300 jenis tumbuhan dijumpai di hutan rawa gambut (Giessen 1991). Contoh tumbuhan spesifik lahan gambut yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah jelutung (Dyera custulata), ramin (Gonystylus bancanus), dan meranti (Shorea spp.), kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra), perepat (Combretocarpus rotundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma spp.), bungur (Lagestroemia speciosa), dan nyatoh (Palaquium spp.) (Iwan et al. 2004).

Keanekaragaman hayati lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat varietas atau jenis flora dan fauna komersial sehingga diperoleh komoditas yang tahan penyakit, berproduksi tinggi, atau sifat-sifat menguntungkan lainnya.

Hutan atau lahan rawa gambut yang mengalami degradasi, baik sebagai akibat penebangan liar, penjarahan dan kebakaran hutan, dan lain-lain ini harus segera dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi ekologis maupun meningkatkan produktivitasnya sehingga fungsi ekosistem itu dapat segera pulih kembali.

2.2 Tinjauan Umum Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)

2.2.1 Taksonomi Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser

Menurut Boer dan Lemmens (1998), Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser (C. rotundatus), memilik nama daerah merapat (Dayak, Ngaju, Kalimantan). Berdasarkan taksonominya jenis ini termasuk ke dalam:

Kingdom : Plantae Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Anisophylleales

Famili : Anisophylleaceae

Genus : Combretocarpus

Spesies : C. rotundatus (Miq.) Danser

Jenis ini memiliki beberapa nama daerah, yaitu marapat (Dayak, Ngaju, Kalimantan), perepat (Palembang), perepat darat (Belitung) dan teruntum batu (Bangka) (Heyne 1987).


(7)

2.2.2 Ciri-ciri Morfologi

Pohon C. rotundatus berukuran sedang sampai besar dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter mencapai 100 cm. Permukaan kulit batang tidak beraturan dan beralur dalam, berwarna cokelat terang sampai cokelat keabu-abuan sedangkan bagian dalam kulit batang keras, berwarna cokelat kejingga-jinggaan. Jenis ini hidup di daerah rawa, terkadang dengan bantalan dari akar nafas berwarna coklat kemerahan berbentuk seperti benang (Boer dan Lemmens 1998).

Gambar 1 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser : (a. ranting-daun yang berbuah, b. buah potongan melintang, c. bunga, d. bunga tanpa kelopak, mahkota dan benang sari, e. mahkota bunga, f. Benang sari) Bunga dari jenis ini berbentuk malai, muncul pada bagian pangkal cabang, berwarna kuning, kelopak berbentuk deltoid-ovatus; stamen berjumlah dua kali lipat dari jumlah mahkota; memiliki tiga (sampai empat) kepala putik, tidak saling menempel. Buahnya merupakan buah kering, umumnya bersayap tiga, dengan masing-masing buah mengandung satu pucuk yang berbentuk kumparan. Daun berbentuk alternate, mengerucut pada bagian pangkal, membulat pada bagian ujung dan tidak memiliki stipula. Daun muda berwarna merah tua terang sampai merah gelap (Boer dan Lemmens 1998). Buah C. rotundatus berukuran 23 cm x 1,5–2 cm dan daun berukuran 8–14,5 cm x 5,5–9,5 cm (Argent et al. 1998).


(8)

Gambar 2 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser.

2.2.3 Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Combretocarpus rotundatus tersebar di Sumatra, Kalimantan dan pulau di sekitarnya (Kepulauan Riau, Bangka, Belitung) (Boer dan Lemmens 1998). Menurut Argent et al. (1998), di Kalimantan, penyebaran jenis ini tercatat dari Sarawak, Brunei, Sabah, Kalimantan Barat dan Tengah. Jenis ini ditemukan pada tanah berpasir, gambut dan rawa air tawar dan sepanjang pantai sampai 100 m, pada tegakan yang rapat. Boer dan Lemmens (1998) menyatakan jenis ini paling melimpah pada hutan sekunder atau hutan dengan kanopi terbuka. Jenis ini tumbuh pada tanah tergenang pada hutan gambut dan kerangas dengan ketinggian mencapai 100–300 m dpl.


(9)

2.2.4 Manfaat Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser

Jenis ini dapat digunakan untuk kayu bakar dan kayu pertukangan. Kayu dari C. rotundatus secara lokal banyak digunakan untuk konstruksi berat dari interior dan bantalan rel kereta api, tetapi membutuhkan perlakuan pengawetan untuk tujuan penggunaan lainnya. Pohon ini juga digunakan untuk konstruksi perahu, mebel, lantai, dan panel (Boer dan Lemmens 1998). Selain itu, Boer dan Lemmens (1998) juga menyatakan bahwa pohon C. rotundatus biasa digunakan sebagai pembatas atau pendukung tunggak yang digunakan sebagai pagar hidup.

2.3 Media Tanam

Media tanam merupakan tempat tumbuh akar tanaman serta penyuplai unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Purwanto (2006) dalam Octaviani (2009) media tanam yang baik digunakan memiliki beberapa persyaratan, di antaranya mampu mengikat dan menyimpan air dan hara dengan baik, memiliki aerasi dan drainase yang baik, tidak menjadi sumber penyakit, cukup porous sehingga mampu menyimpan oksigen yang diperlukan untuk proses respirasi, tahan lama, dan mudah diperoleh. Pemilihan media tanam harus disesuaikan dengan tujuan penanaman, yaitu sebagai media semai, perbanyakan, atau produksi. Selain itu media tanam harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Umumnya media tanam yang digunakan untuk perbanyakan adalah media yang memiliki porositas serta drainase yang baik. Menurut Prayugo (2007) media yang memiliki drainase yang baik akan membuat akar-akar tanaman lebih leluasa bernafas dan optimal dalam menyerap unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

2.3.1 Sekam padi

Sekam padi adalah kulit biji padi (Oryza sativa) yang sudah digiling. Menurut Houston (1972), sekam merupakan bagian keras yang melindungi kariopsis, terdiri dari dua belahan, yaitu: glume dan lemma yang saling terkait. Sekam padi sangat baik untuk mendukung media atau pengganti tanah di persemaian. Fungsi atau peranan sekam padi sebagai penyubur tanah memang


(10)

kecil, tetapi sekam padi yang telah mengalami penguraian akan membebaskan unsur P dan K dengan kadar yang cukup berarti.

Sekam padi terutama terdiri dari lignin, selulosa, silikat, dan 0,019% Phospat (Bromfield 1959). Kelebihan sekam padi lainnya adalah mudah mengikat air, mudah menggumpal dan memadat sehingga mempermudah pertumbuhan akar tanaman, tidak mudah lapuk, hanya saja kekurangannya adalah cenderung miskin hara. Media sekam padi memiliki kondisi lingkungan tumbuh khususnya sifat fisik dan kimia yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman karena lebih cepat mengalami pelapukan dan dekomposisi, mengandung unsur N, P, K, Cl, dan Mg.

2.3.2 Serbuk gergaji

Serbuk gergaji merupakan limbah yang berasal dari industri penggergajian kayu. Limbah tersebut dapat menimbulkan pengotoran lingkungan apabila tidak diatasi, baik pembuangan maupun pemanfaatannya (Anggraini 2000). Penggunaan serbuk gergaji mempunyai keuntungan, diantaranya mempunyai bobot yang ringan, lebih seragam, kompak, mampu menyimpan air dan kaya akan nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman, dalam bentuk 0,24% N, 0,20% P, dan 0,45% K. Selain itu, serbuk gergaji mengandung komponen kimia yang sama yang terkandung di dalam kayu, yakni komponen selulosa, lignin, hemiselulosa dan zat ekstraktif. Debu dari kayu cukup kaya akan zat makanan bagi tumbuhan terutama CaCO3 (Darusman 1983). Serbuk gergaji mempunyai kapasitas pegang

air sangat baik sehingga serbuk gergaji baik digunakan sebagai media tanaman, jika sudah terdekomposisi.

2.3.3 Cocopeat

Cocopeat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Cocopeat untuk media tanam berasal dari buah kelapa tua karena memiliki serat yang kuat (Satria 2008). Cocopeat dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut cocopeat dapat digunakan sebagai media untuk pertumbuhan tanaman holtikultura dan media tanaman rumah kaca (Nugroho 2008).


(11)

Cocopeat merupakan media perkecambahan benih yang berasal dari sabut kelapa yang direndam selama 6 bulan untuk menghilangkan senyawa-senyawa kimia yang dapat merugikan seperti tanin yang dapat menghambat pertumbuhan. Sabut kelapa yang sudah dikeringkan dimasukkan ke dalam mesin untuk memisahkan serat dengan jaringan empulurnya. Residu dari pemisahan itulah yang digunakan (Sunandi 2007).

Menurut Satria (2008) kelebihan cocopeat sebagai media tanam lebih dikarenakan karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat sehingga dengan menggunakan cocopeat penyiraman dapat dilakukan dengan lebih jarang, serta sesuai untuk daerah panas, dan mengandung unsur- unsur hara esensial, seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Kalium (K), Natrium (N), dan Fosfor (P).

2.3.4 Pasir

Pasir sering digunakan sebagai media tanam alternatif menggunakan fungsi tanah. Pasir memiliki kapasitas menahan kelembaban yang sangat rendah dan kandungan hara yang rendah. Pasir sangat penting karena dapat meningkatkan ruang pori dan memperbaiki aerasi tanah. Menurut Prayugo (2007) media pasir memiliki beberapa keunggulan, diantaranya bersifat cepat kering sehingga memudahkan dalam pemindahan tanaman ke media lain, mempertahankan stek batang tetap tegak dengan bobotnya yang cukup berat, serta memiliki aerasi dan drainase yang baik.

Rubatzky (1998) menyatakan bahwa pasir merupakan zarah berukuran antara 0,1–2 mm, berbentuk bulat, bersudut angular atau pipih. Pasir merupakan zarah yang terpisah yang dapat menciptakan ruang pori yang cukup sehingga air dapat merembes dengan cepat. Pasir sebagai media membutuhkan irigasi dengan frekuensi tetap atau sesuai dengan aliran yang konstan untuk mencegah kekeringan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Yanti (2004) media pasir memiliki pH sebesar 3,64 dan memiliki kandungan C organik sebesar 0,90%. Kandungan Na dan P pada pasir ternyata lebih besar dibandingkan dengan media


(12)

arang sekam. Menurut Hartman dan Kester (1989) pasir tidak mengandung nutrisi sehingga dalam penggunaannya perlu dicampur dengan bahan organik.

2.3.5 Kompos

Menurut Satria (2008) kompos merupakan media tanam organik yang bahan dasarnya berasal dari proses fermentasi tanaman atau limbah organik, seperti jerami, sekam, daun, rumput, dan sampah kota. Pengomposan dapat didefinisikan sebagai proses biokimia, dimana bermacam-macam kelompok mikroorganisme menghancurkan bahan organik menjadi bahan seperti humus, yang mempunyai sifat sama dengan pupuk kandang (Gaur 1982). Kompos yang baik adalah kompos yang mengalami pelapukan dengan ciri-ciri warna berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah, dan mempunyai suhu ruang (Samekto 2006).

Kandungan utama dengan kadar tertinggi dari kompos adalah bahan organik yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi tanah. Berdasarkan hal tersebut kompos memiliki dua fungsi yaitu sebagai soil conditioner yang berfungsi memperbaiki struktur tanah terutama tanah kering dan soil ameliorator

yang berfungsi memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK) baik pada tanah ladang maupun sawah (Nugroho 2008). Unsur lain dari kompos bervariasi cukup banyak dengan kadar rendah seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium (Lingga dan Marsono 2001).

2.4 Faktor Lingkungan 2.4.1 Media Pertumbuhan

Media pertumbuhan memegang peranan penting dalam menjaga tanaman agar tetap tegak, menyediakan nutrisi bagi tanaman, menyediakan oksigen, dan menyediakan air selama proses pertumbuhan (Harjowigeno 1989). Hartman dan Kester (1989) menyatakan bahwa seleksi media ditentukan oleh peranannya dalam memudahkan pertumbuhan tanaman dan mempertahankan kelembaban, drainase dan aerasi yang baik.


(13)

2.4.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara yang semakin rendah karena kehilangan air merupakan sebab utama kegagalan pertunasan tanaman. Untuk kegiatan pertumbuhan kelembaban udara harus tetap dipertahankan mendekati 100% (Yasman dan Smits 1988).

Usaha untuk mempertahankan kelembaban dapat dilakukan dengan penyemprotan interval tertentu yang mampu memberikan kabut uap air dengan pengatur osmotik yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Tetapi kelebihan air juga akan berbahaya bagi pertumbuhan tanaman karena akan menyuburkan pembiakan mikroorganisme, maka untuk mengatasinya perlu dilakukan pengaturan drainase dan aerasi media pertumbuhan (Hartman dan Kester 1989).

2.4.3 Suhu atau Temperatur Udara

Suhu merupakan faktor yang sangat penting peranannya dalam pertumbuhan. Kisaran temperatur optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak selalu sama untuk setiap jenis tanaman, namun Read (1990) mengemukakan kisaran temperatur yang paling sering digunakan yaitu 20°C–27°C. Sedangkan Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum yaitu berkisar 20°C–30°C.

Pemunculan tunas dikendalikan oleh suhu, dan setelah tunas tumbuh yang paling berpengaruh adalah ketersediaan karbohidrat. Terdapat bukti bahwa setiap pertumbuhan membutuhkan suhu yang berbeda. Respirasi akan berkurang pada suhu rendah, sehingga terjadi akumulasi fotosintat optimum bagi pertumbuhan (Briggs dan Calvin 1987).

Suhu juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertumbuhan tanaman akan terjadi pada suhu 5–350C. Jumlah dan cadangan air di dalam sel dan kondisi protoplasma berhubungan dengan resistensi suhu ekstrim. Untuk pertumbuhan yang baik tanaman memerlukan suhu optimum dan hal ini berbeda dari tingkatan dan jenis tanaman. Suhu terlalu rendah atau tinggi akan merusak jaringan tanaman.


(14)

2.4.4 Cahaya Matahari

Cahaya matahari sebagai sumber energi bagi semua tumbuhan berperan sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Sinar matahari yang berpengaruh adalah intensitas penyinaran, kualitas penyinaran, dan lamanya penyinaran. Salah satu fungsi utama dari cahaya pertumbuhan tanaman adalah menggerakkan proses fotosintesis dalam pembentukan karbohidrat. Kepentingan karbohidrat dalam pertumbuhan tanaman tidak hanya sebagai bahan penyusun struktur tubuh tanaman, tetapi juga sebagai sumber energi metabolisme yaitu energi yang digunakan untuk mensintesis dan memelihara biomassa tanaman.

Daubenmire (1967) dalam Ika (1993) menyatakan energi matahari yang digunakan oleh tumbuhan melalui fotosintesis hanya sekitar 0,5–0,2% dari jumlah energi sinar yang tersedia. Energi yang diberikan tergantung kepada kualitas yang berupa panjang gelombang, banyaknya sinar per cm2/detik dan juga jangka waktunya, sebentar atau lama. Secara tidak langsung cahaya matahari mempengaruhi pertumbuhan melalui efeknya terhadap transpirasi.

Menurut Harjadi (1973) kegunaan cahaya terutama dalam pembentukan auksin dan karbohidrat yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tunas dan akar. Untuk pengaturan pencahayaan yang harus diperhatikan yaitu periodisasi pencahayaan dan intensitas pencahayaan.

2.5 Kualitas Bibit

Untuk menentukan bibit yang baik dapat dilakukan dengan cara melakukan pengujian persen jadi dan kecepatan pertumbuhan di lapangan. Cara lain yang lebih cepat adalah dengan cara mendasarkan ciri morfologis dan fisiologis bibit. Ciri morfologis lebih mudah dan praktis dibandingkan ciri fisiologis. Ciri morfologis ini diantaranya tinggi tanaman, nisbah pucuk, diameter, bobot kering (Bickelhaupt 1980 dalam Hendromono 1987).

Soetarno et al. (2000) menyatakan bahwa ukuran tinggi yang baik untuk kualitas bibit adalah dibawah 20 cm dan memiliki daun 2–5 lembar yang berasal dari pohon induk yang baik dan masih dalam keadaan hutan alam yang hampir utuh. Keberadaan ukuran tinggi dari kualitas bibit mampu menjadi acuan dalam penentuan yang praktis ciri-ciri morfologis.


(15)

Menurut Gunawan (1987), tingkat kontaminasi permukaan setiap bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil (musim hujan atau kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan kondisi tanamannya (sehat atau tidak). Semangun (1989) menyatakan bahwa pengambilan bahan tanaman yang dilakukan pada musim hujan memiliki tingkat kontaminasi yang lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada musim hujan terjadi peningkatan kelembaban tanah dan kelebihan air yang cenderung mendukung pertumbuhan jamur maupun bakteri secara cepat pada lingkungan tumbuh tempat pengambilan tanaman.


(16)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Bagian Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, mulai dari bulan Maret 2011 sampai bulan Juni 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan cabutan tumih (C. rotundatus). Bahan anakan cabutan yang digunakan berasal dari pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah). Selain itu media tanam (berupa kombinasi media sekam padi, kokopit, serbuk gergaji, pasir dan kompos), alkohol 70%, fungisida dan bakterisida.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gunting stek, gelas ukur, bak plastik, pengaduk, timbangan, polybag, plastik sungkup transparan, paranet, alat penyiram/gembor, cutter, dan sprayer. Sedangkan untuk kegiatan pengamatan alat yang digunakan yaitu alat tulis dan kamera digital dan

hygrometer, lightmeter (Gambar 5a), thermo-hygrometer (Gambar 5b), penggaris dan tally sheet.

a b

Gambar 5 Alat yang digunakan dalam penelitian: a. thermo-hygrometer; dan b.

Lightmeter.

3.3 Persiapan Bibit C. rotundatus

Anakan C. rotundatus diambil dengan menggunakan metode cabutan. Lokasi pengambilan anakan yaitu di Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan


(17)

Sebangau, Propinsi Kalimantan Tengah. Anakan yang diambil memiliki kisaran tinggi 10–20 cm. Anakan C. rotundatus yang diambil dengan metode cabutan dibungkus dengan kertas koran kemudian dibasahi dengan air dan diikat (sekitar 50 anakan dalam setiap bungkusan koran untuk menghindari anakan mengalami pembusukan bila ditumpuk terlalu banyak).

Pengepakan anakan C. rotundatus yang telah dibungkus kertas koran dimasukkan ke dalam plastik besar dan dibasahi dengan air secukupnya hingga kertas koran menjadi basah/lembap, kemudian dimasukkan ke dalam kardus. Pengangkutan anakan C. rotundatus dari lokasi pengambilan dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan anakan tersebut.

a b

c

Gambar 6 (a) persiapan pengepakan C. rotundatus pada koran, (b) pengepakan C. rotundatus pada kantong plastik besar, (c) C. rotundatus yang siap diangkut.

Anakan C. rotundatus cabutan dari Kalimantan Tengah kemudian dipindahkan ke media tanam yang telah disiapkan sebelumnya di Rumah Kaca Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Daun anakan dari cabutan, dipotong hingga tersisa 1/3 daun, untuk mengurangi penguapan daun. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan gunting stek yang terlebih dahulu dicelupkan ke dalam alkohol 70%. Dalam pemindahan anakan ke media tanam yang baru, akar


(18)

tidak boleh terlipat agar pengambilan nutrisi oleh akar dapat optimal. Setelah semua dipindahkan ke media tanam, dilakukan penyungkupan dan pemberian paranet 65–90%.

Proses karantina tanaman dilakukan untuk mensterilisasi tanaman dari kontaminan berupa jamur atau bakteri yang berasal dari alam. Proses karantina yang dilakukan yaitu dengan menyemprot Hyponex 10 ml/l atau campuran Hyponex hijau 2 g/l + GA (Giberelin acid) 2 mg/l pada pagi hari secara bergantian. Pada sore hari secara bergantian disemprot fungisida (Antracol) 1 g/l + bakterisida (Agrept) 1 g/l. Dalam pelaksanaannya, proses sterilisasi hanya dilakukan satu kali dalam seminggu secara bergantian. Hal ini dikarenakan kondisi bibit yang belum stabil serta menghindari kematian bibit C. rotundatus.

3.4 Persiapan Tempat dan Media

Langkah awal yang dilakukan adalah pembuatan kerangka bambu dengan ukuran 12x1 m, dan 5x1 m yang kemudian ditutup dengan plastik transparan. Selanjutnya digunakan paranet dengan ukuran penyerapan cahaya matahari 60%, diletakkan di atas sungkup. Pembuatan sungkup ini dimaksudkan untuk menjaga kelembaban dan daya tahan hidup bibit cabutan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sekaligus sebagai aklimatisasi tanaman.

Gambar 7 Sungkup dan paranet yang digunakan dalam penelitian

3.4.1 Pembuatan Media Tanam

Jenis media yang digunakan berupa sekam padi (Sp), cocopeat (C) , serbuk gergaji (Sg), pasir (P), dan kompos (K). Komposisi media dikombinasikan dengan


(19)

media lainnya dengan perbandingan tertentu, yang kemudian dimasukkan ke dalam polybag berukuran 15x20 cm sebanyak 270 polybag.

a b

Gambar 8 (a) pembuatan media tanam, (b) media tanam yang siap digunakan

3.4.2 Persiapan Bahan anakan

Anakan tumih yang diambil memiliki tinggi berkisar antara 5–25 cm. Sebelum disapih, dilakukan pengguntingan bagian daun sekitar 60% atau sekitar 2/3 bagian daun dan pengguntingan dengan menyisakan 2–3 helai daun pada batang. Selain itu juga dilakukan pemotongan pada bagian ujung akar tanaman agar akar tanaman nantinya mudah beradaptasi dengan media yang telah dibuat sehingga memudahkan penyerapan unsur-unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.

a b

Gambar 9 (a) pengguntingan helai daun C. rotundatus, (b) pengguntingan 2/3 helai daun

3.4.3 Penanaman pada Media Tanam

Pada media sapih terlebih dahulu dibuat lubang agar memudahkan dalam melakukan penyapihan. Selain itu pada media sapih juga dilakukan penyiraman terlebih dahulu agar media menjadi tidak kering untuk mengurangi stress pada tanaman tumih yang disapih. Setelah penyapihan selesai, kembali dilakukan


(20)

penyiraman agar dapat membantu tanaman dalam mengurangi stress akibat proses transpirasi yang berlebihan akibat pengaruh adapatasi lingkungan.

a b

c

Gambar 10 (a) penanaman pada media tanam di siang hari, (b) penanaman pada media tanam di malam hari, (c) C. rotundatus yang sudah ditanam

3.4.4 Pemeliharaan

Anakan tumih yang telah dimasukkan ke dalam polybag, dimasukkan ke dalam sungkup yang telah dibuat di dalam rumah kaca. Hal ini untuk menjaga pertumbuhan tanaman terhadap cahaya matahari yang berlebihan, sehingga tanaman anakan tidak menjadi stress karena penyinaran yang terlalu berlebihan.

Selain itu, dilakukan penggenangan air terhadap polybag bagian bawah sekitar 1/3 bagian. Hal ini dimaksudkan untuk menyerupai habitat aslinya karena Tumih berasal dari lahan gambut yang basah dan tergenang air. Selain itu untuk menjaga aerasi dan drainase air yang cukup bagi pertumbuhan tanaman, sebagai tambahan nutrisi bagi tanaman.


(21)

a

c

b

d Gambar 11 (a) pemeliharaan dengan metode penggenangan media, (b)

penyiraman, (c) pengecekan media tanam, (d) media tanam yang sudah digenangi air.

3.5 Pengambilan Data

Dalam penelitian ini parameter yang diamati dan diukur adalah tinggi tanaman, suhu, kelembaban, dan cahaya. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan seminggu sekali selama 3 bulan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris mulai pangkal batang yang telah ditandai hingga titik tumbuh pucuk tanaman.

Pengukuran suhu, kelembaban, dan cahaya dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari selama 3 bulan. Untuk pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan thermo-hygrometer yang diletakkan di dalam sungkup. Untuk pengukuran cahaya dilakukan dengan menggunakan lightmeter

pada dalam dan luar sungkup serta di luar rumah kaca.

Dalam penelitian ini juga diamati mortalitas pada tanaman. Pengamatan dilakukan dengan menghitung total persentase kehidupan tanaman pada masing- masing perlakuan setiap minggu. Persentase kehidupan akan mempengaruhi keberhasilan dalam penelitian ini dimana respon tanaman terhadap berbagai perlakuan akan berpengaruh pada kemampuan tanaman untuk bisa beradaptasi dengan baik dan mampu untuk tumbuh hidup.


(22)

3.6 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui media yang paling sesuai untuk keberhasilan anakan tumih. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Media tanam yang digunakan ada lima macam yaitu, sekam padi (Sp), cocopeat (C), serbuk gergaji (Sg), pasir (P), dan kompos (K).

Terdapat 6 kombinasi perlakuan media dengan 3 ulangan sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 15 bahan cabutan sehingga total bahan anakan cabutan yang akan digunakan berjumlah 270 bahan anakan cabutan. Pengamatan dilakukan terhadap bahan anakan cabutan yang ditanam. Masing-masing kombinasi perlakuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Perlakuan K1 yaitu P : K : Sp dengan komposisi (1 : 1 : 2) sebanyak 45 bibit. 2. Perlakuan K2 yaitu P : K : Sg dengan kombinasi (1 : 1 : 2) sebanyak 45 bibit. 3. Perlakuan K3 yaitu P : K : C dengan kombinasi (1 : 1 : 2) sebanyak 45 bibit. 4. Perlakuan K4 yaitu K : C : Sg dengan kombinasi (1 : 2 : 2) sebanyak 45 bibit. 5. Perlakuan K5 yaitu K : C : Sp dengan kombinasi (1 : 2 : 2) sebanyak 45 bibit. 6. Perlakuan K6 yaitu K : Sp : Sg dengan kombinasi (1 : 2 : 2) sebanyak 45 bibit.

Model persamaan matematis yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah (Mattjik dan Sumartawijaya 2006) sebagai berikut.

Keterangan:

I = 1,2,3,.. dan j = 1,2.3,..

Yij = µ + αi + εij

Yij = Nilai pengamatan pada faktor perlakuan kombinasi media ke-i, dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan kombinasi media ke-i

εij = Pengaruh acak percobaan pada perlakuan kombinasi media ke-i dan ulangan ke-j

Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel, software SAS 9.3.1. Sidik ragam dengan uji F terhadap variabel yang diamati


(23)

dilakukan dengan mengetahui pengaruh interaksi antara berbagai perlakuan yang diberikan, dengan hipotesis sebagai berikut:

Pengaruh utama faktor

a. Ho: Pengaruh kombinasi media tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tumih

b. H1: Kombinasi media berpengaruh nyata terhadap respon

Untuk pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: a. Nilai P-value > alpha 5%; Terima Ho

b. Nilai P-value < alpha 5%; Tolak Ho

Besarnya keragaman respon yang dipengaruhi oleh faktor perlakuan ataupun faktor lain di luar perlakuan dapat diketahui dengan Uji R-square.

Jika hasil analisis sidik ragam Uji F terdapat pengaruh yang nyata, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan Uji Duncan karena perlakuan dilakukan dengan membandingkan dengan kontrol.

Dalam penelitian ini analisis data dihitung pada variable tinggi tanaman, persentase pertumbuhan, dan pengaruh faktor tinggi awal tanaman cabutan terhadap persentase pertumbuhan tanaman.


(24)

4.1. Hasil

4.1.1 Persentase Hidup Tanaman

Persentase hidup tanaman dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan dari pertumbuhan tanaman setelah diberikan perlakuan. Persentase hidup ditunjukkan oleh banyaknya tanaman yang masih hidup setelah diberi perlakuan. Data persentase hidup tanaman tumih diambil pada akhir penelitian yaitu pada minggu ke-13. Persentase hidup pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase hidup tanaman tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)

No Perlakuan Jumlah Jumlah hidup Persentase (tanaman) (tanaman) (%)

1 K1 45 39 86.67

2 K2 45 36 80.00

3 K3 45 16 35.56

4 K4 45 28 62.22

5 K5 45 32 71.11

6 K6 45 39 86.67

Keterangan : K1 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sp (1 : 1 : 2) K2 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sg (1 : 1 : 2) K3 = Perlakuan kombinasi media P : K : C (1 : 1 : 2) K4 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sg (1 : 2 : 2) K5 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sp (1 : 2 : 2) K6 = Perlakuan kombinasi media K : Sp : Sg (1 : 2 : 2)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai persentase hidup pada tanaman Tumih di setiap masing-masing perlakuan sangat bervariasi. Persentase hidup tanaman tumih yang tertinggi dapat dilihat pada perlakuan K1 dan K6 masing- masing 86.67%, sedangkan persentase hidup terendah dapat dilihat pada perlakuan kombinasi K3 yaitu 35.56%. Sedangkan untuk perlakuan kombinasi K2 memiliki persentase hidup yaitu 80.00%. Persentase hidup untuk perlakuan K4 dan K5 yaitu 62.22% dan 71.11%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman tumih sangat dipengaruhi oleh kesesuaian perlakuan kombinasi media dalam mempengaruhi daya tahan hidup tanaman tumih.

Persentase hidup tumih pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar berikut.


(25)

Keterangan : K1 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sp (1 : 1 : 2) K2 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sg (1 : 1 : 2) K3 = Perlakuan kombinasi media P : K : C (1 : 1 : 2) K4 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sg (1 : 2 : 2) K5 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sp (1 : 2 : 2) K6 = Perlakuan kombinasi media K : Sp : Sg (1 : 2 : 2)

Gambar 12 Persentase hidup pada tumih masing-masing perlakuan

Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) bahwa data yang berasal dari data proporsi atau data persentase yang diturunkan dari nisbah jumlah data tidak dapat langsung digunakan dalam analisis sidik ragam. Hal ini disebabkan karena data tersebut harus ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam transformasi Arc sin. Untuk mentransformasikan tersebut digunakan software Excel. Data hasil transformasi Arc sin dapat dilihat pada Tabel 2.


(26)

Tabel 2 Data persentase hidup dan transformasi Arc sin.

No Perlakuan Persentase tumbuh Transformasi Arc Sin

1 K1(1) 0.80 0.93

2 K1(2) 0.93 1.20

3 K1(3) 0.87 1.05

4 K2(1) 0.93 1.20

5 K2(2) 0.80 0.93

6 K2(3) 0.67 0.73

7 K3(1) 0.53 0.56

8 K3(2) 0.07 0.06

9 K3(3) 0.47 0.48

10 K4(1) 0.47 0.48

11 K4(2) 0.60 0.64

12 K4(3) 0.80 0.93

13 K5(1) 0.67 0.73

14 K5(2) 0.80 0.93

15 K5(3) 0.67 0.73

16 K6(1) 0.87 1.05

17 K6(2) 0.73 0.82

18 K6(3) 1.00 1.57

16 K6(1) 0.87 1.05

17 K6(2) 0.73 0.82

18 K6(3) 1.00 1.57

Keterangan : K1(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 P : K : Sp (1 : 1 : 2) K1(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 P : K : Sp (1 : 1 : 2) K1(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 P : K : Sp (1 : 1 : 2) K2(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 P : K : Sg (1 : 1 : 2) K2(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 P : K : Sg (1 : 1 : 2) K2(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 P : K : Sg (1 : 1 : 2) K3(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 P : K : C (1 : 1 : 2) K3(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 P : K : C (1 : 1 : 2) K3(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 P : K : C (1 : 1 : 2) K4(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 K : C : Sg (1 : 2 : 2) K4(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 K : C : Sg (1 : 2 : 2) K4(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 K : C : Sg (1 : 2 : 2) K5(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 K : C : Sp (1 : 2 : 2) K5(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 K : C : Sp (1 : 2 : 2) K5(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 K : C : Sp (1 : 2 : 2) K6(1) = Perlakuan kombinasi media ulangan 1 K : Sp : Sg (1 : 2 : 2) K6(2) = Perlakuan kombinasi media ulangan 2 K : Sp : Sg (1 : 2 : 2) K6(3) = Perlakuan kombinasi media ulangan 3 K : Sp : Sg (1 : 2 : 2)

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan K6(3) memiliki persentase hidup tertinggi yaitu 100%. Kemudian untuk perlakuan K1(2) dan K2(1) memiliki persentase hidup 93.33%. Sementara untuk perlakuan K1(3) dan K6(2) memiliki persentase hidup 86.67%. Kemudian dilihat dari tabel di atas, menunjukkan adanya persentase hidup yang cukup baik dengan sebaran normal berkisar dari


(27)

Sumber Keragaman Db Jk KT F-Hit Pr > F Model 5 1.20265242 0.24053048 4.04 0.0221

Error 12 0.71431473 0.05952623

Total 17 1.91696714

Kombinasi Media

60% hingga 80%. Pada kombinasi media K1(1), K2(2), K4(3), dan K5(2) dengan persentase hidup yaitu 80%, sedangkan pada K6(2) dengan persentase hidup 73.33%. Untuk perlakuan K2(3), K5(1), K5(3) mempunyai persentase hidup yaitu 66.67% dan pada perlakuan K4(2) dengan persentase hidup yaitu 60.00%. Pada tabel 2 juga dapat dilihat adanya perlakuan dengan persentase hidup yang rendah yaitu pada perlakuan K3(1) dengan persentase hidup 53.33% dan persentase hidup dengan nilai 46.67% terdapat pada perlakuan kombinasi K3(3) dan K4(1). Sedangkan untuk persentase hidup terendah terdapat pada perlakuan kombinasi 6.67%.

Setelah data persentase hidup dari setiap perlakuan ditransformasi Arc sin, maka dapat dianalisis ragamnya. Hasil sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sidik ragam nilai persentase hidup tanaman Tumih

Keterangan: Nilai P-value 0.0221 < alpha 5%, maka model berpengaruh nyata terhadap respon perlakuan.

Hasil sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hidup tanaman tumih. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P-value (0.0221) lebih kecil dari α (0.05).

Untuk mengetahui lanjutan hasil sidik ragam, dilakukan uji Duncan. Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Uji Duncan respon persentase hidup

Rata-rata Persentase Hidup

(cm)

K6

Pengelompokkan Duncan

1.1475 A

K1 1.0598 A

K2 0.9535 A

K5 0.7956 AB

K4 0.6855 AB

K3 0.3716 B

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama tidak berbeda nyata

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan kombinasi media K6 tidak berbeda nyata dengan K1 dan K2. Perlakuan K6, K1, K2 berbeda nyata dengan


(28)

perlakuan kombinasi K5 dan K4. Perlakuan kombinasi media K4 dan K5 berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi K3.

4.1.2 Pertumbuhan tinggi tanaman

Data hasil penelitian diperoleh dari pengamatan selama 13 minggu (3 bulan) mulai dari bulan Maret 2011 hingga Juni 2011. Data pertumbuhan tinggi merupakan rata-rata pertambahan tinggi pada pengukuran awal dan pada pengukuran akhir yang diamati pada masing-masing perlakuan pada Tabel 5. Sedangkan untuk hasil perhitungan sidik ragam pertambahan tinggi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5 Pertumbuhan tinggi tanaman tumih

Perlakuan Rata-rata Tinggi Awal (cm) Rata-rata Tinggi Akhir (cm) Rata-rata Selisih Tinggi (cm) Rata-rata tinggi /minggu (cm)

K1 15.02 16.34 1.32 0.102 K2 12.70 14.05 1.35 0.104 K3 12.36 13.54 1.18 0.091 K4 10.92 12.37 1.45 0.112 K5 13.80 14.95 1.15 0.088 K6 13.18 14.21 1.02 0.072 Keterangan : K1 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sp (1 : 1 : 2)

K2 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sg (1 : 1 : 2) K3 = Perlakuan kombinasi media P : K : C (1 : 1 : 2) K4 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sg (1 : 2 : 2) K5 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sp (1 : 2 : 2) K6 = Perlakuan kombinasi media K : Sp : Sg (1 : 2 : 2)

Tabel 5 menunjukkan adanya keragaman pertumbuhan tinggi yang tidak terlalu nyata antara setiap perlakuan. Untuk perlakuan kombinasi media K1 memiliki rata-rata pertambahan tinggi perminggu sebesar 0.102 cm. Kemudian perlakuan kombinasi media K2 menunjukkan rata-rata pertambahan tinggi perminggu sebesar 0.104 cm. Untuk perlakuan kombinasi K3 menunjukkan pertambahan rata-rata sebesar 0.091 cm. Nilai rata-rata pertambahan tinggi tertinggi dimiliki perlakuan kombinasi media K4 dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 0.112 cm. Untuk rata-rata pertambahan tinggi pada kombinasi media K5 sebesar 0.088 cm, sedangkan untuk K6 memiliki rata-rata pertambahan tinggi sebesar 0.072 cm, dimana rata-rata pertambahan tinggi perminggu pada perlakuan kombinasi K6 merupakan rata-rata pertambahan tinggi terendah.


(29)

Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan kombinasi media terhadap pertumbuhan tinggi tanaman tumih.

Sumber Keragaman

Db Jk KT F-Hit Pr > F Model 5 0.0031 0.0006 1.83 0.1803

Error 12 0.0040 0.0003 Total 17 0.0071

Keterangan: Nilai P-value 0.1803 > alpha 5%, maka model tidak berpengaruh nyata terhadap respon perlakuan.

Sidik ragam (Tabel 7) menunjukkan bahwa media yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman tumih. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value (0.1803) yang lebih besar dari α (0.05).

Untuk memperjelas gambaran pertumbuhan tinggi tanaman tumih perminggu dapat dilihat dalam bentuk grafik seperti yang terlihat pada Gambar 13 berikut.

Gambar 13 Pertumbuhan Tumih perminggu

4.1.2 Persentase Hidup Tumih Berdasarkan Pengelompokkan Tinggi Awal Tanaman

Pada penelitian yang dilakukan ini diperoleh tinggi awal yang beragam dari hasil cabutan anakan alam yang digunakan di penelitian pengaturan kombinasi media ini. Tinggi awal tanaman dikelompokkan ke dalam lima kelas, yaitu kelas A dengan range 4.7–8.2 cm, kelas B dengan range 8.3–11.8 cm, kelas C dengan range 11.9–15.4 cm, kelas D dengan range 15.5–19 cm, dan kelas E dengan range 19.1–22.6 cm. Berikut data jumlah tanaman pada masing-masing


(30)

perlakuan yang dikelompokkan dalam kelas tinggi awal tanaman yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Data jumlah tinggi awal pada masing-masing perlakuan yang dikelompokkan ke dalam range tinggi awal

No. Kelas Tinggi (cm) Jumlah Total

K1 K2 K3 K4 K5 K6

1 A (4.7–8.2 ) 0 4 6 18 1 2 31

2 B (8.3–11.8) 15 9 6 3 7 5 45

3 C (11.9–15.4) 5 19 15 12 10 9 70

4 D (15.5–19) 20 13 16 11 23 29 112

5 E (19.1–22.6) 5 0 2 1 4 0 12

Keterangan : K1 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sp (1 : 1 : 2) K2 = Perlakuan kombinasi media P : K : Sg (1 : 1 : 2) K3 = Perlakuan kombinasi media P : K : C (1 : 1 : 2) K4 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sg (1 : 2 : 2) K5 = Perlakuan kombinasi media K : C : Sp (1 : 2 : 2) K6 = Perlakuan kombinasi media K : Sp : Sg (1 : 2 : 2)

Pada masing-masing perlakuan di setiap kelas di atas dapat dilihat persentase hidup Total tanaman yang dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 8 Persentase hidup total tanaman pengelompokkan kelas tinggi

Kelas Tinggi Jumlah Hidup Persentase (%)

A 31 13 41.94

B 45 26 57.78

C 70 46 65.72

D 112 89 79.47

E 12 10 83.33

Keterangan : A = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (4.7 – 8.2) cm B = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (8.3 – 11.8) cm

C = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (11.9 – 15.4) cm D = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (15.5 - 19) cm E = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (19.1 – 22.6) cm

Dari Tabel 10 dapat dilihat persentase hidup tertinggi terdapat pada kelas tinggi E yang menunjukkan persentase hidup sebesar 83.33%, sedangkan untuk persentase terendah terdapat pada kelas A dengan persentase sebesar 41.94%. Selanjutnya untuk kelas tinggi B, kelas tinggi C, dan kelas tinggi D menunjukkan persentase hidup yang signifikan dari pengelompokkan kelas tinggi ini. Untuk kelas tinggi B memiliki persentase sebesar 57.78%, kelas C dengan persentase 65.72% sedangkan untuk kelas D dengan persentase sebesar 79.47%.

Persentase hidup tumih berdasarkan pengelompokkan kelas tinggi dapat dilihat pada gambar 14.


(31)

Keterangan : a = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (4.7 – 8.2) cm b = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (8.3 – 11.8) cm c = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (11.9 – 15.4) cm d = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (15.5 – 19) cm e = Pengelompokkan kelas dengan tinggi (19.1 – 22.6) cm

Gambar 14 Persentase hidup total pada tumih berdasarkan pengelompokkan kelas tinggi

4.1.4 Kondisi Lingkungan

Pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan tanaman meliputi pengukuran temperatur udara, kelembaban, dan intensitas cahaya. Tanaman dalam penelitian ini ditempatkan di dalam sungkup yang diletakkan di dalam rumah kaca. Untuk pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan di dalam sungkup, sedangkan untuk pengukuran cahaya dilakukan di dalam sungkup, di luar sungkup/di dalam rumah kaca, dan di luar rumah kaca setiap pagi, siang, dan sore hari selama 3 bulan (13 minggu). Data pengamatan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya selama penelitian

Waktu Suhu Kelembaban (oC)

Cahaya (Lux) (%) Luar

Rumah Kaca

Dalam Rumah

Kaca Dalam Sungkup Pagi 23.21 97.19 28605.49 1775.49 198.68 Siang 27.57 96.71 91069.23 4016.37 278.24 Sore 25.94 97.09 2963.08 987.03 125.6


(32)

Kondisi lingkungan di dalam sungkup menunjukkan bahwa temperatur udara tertinggi (27,57oC) terjadi pada siang hari dan terendah (23,21oC) terjadi pada pagi hari. Sedangkan rata-rata kelembaban tertinggi (97,19%) terjadi pada pagi hari dan terendah (96,71%) terjadi pada siang hari. Rata-rata intensitas cahaya untuk di luar rumah kaca tertinggi (91069,23 lux) terjadi pada siang hari dan terendah (28605,49 lux) terjadi pada pagi hari, untuk di dalam rumah kaca tertinggi (4016,37 lux) terjadi pada siang hari dan terendah (987,03 lux) terjadi pada sore hari, dan untuk di dalam sungkup tertinggi (278,24 lux) terjadi pada siang hari dan terendah (125,60 lux) terjadi pada sore hari.

4.2 Pembahasan

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses tumbuh kembang tanaman adalah media tumbuh. Kualitas tempat tumbuh yang baik akan merangsang pertumbuhan akar yang cepat sehingga serapan hara berlangsung dengan baik. Tumbuh kembang akar sebagai salah satu unsur vital tanaman sangat dipengaruhi oleh media tumbuh. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka semakin baik akar yang berkembang yang kemudian mendukung pekembangan bagian lain dari tanaman seperti batang, daun, dan sebagainya. Harjadi (1989) dalam Rohmaningsih (2002) menyatakan bahwa media tanam yang digunakan harus merupakan media yang memungkinkan akar berpegang kuat, aerasi dan menahan air tinggi.

4.2.1 Respon Persentase Hidup Terhadap Perlakuan Kombinasi Media

Rochiman dan Harjadi (1973) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup adalah media yang digunakan. Hartman et al.

(1990) media tanam berfungsi untuk menjaga dan memasok air serta mengatur kelembaban dan aerasi selama pertumbuhan akar, memiliki aerasi dan drainase yang baik, mempertahankan kelembaban dan bebas dari penyakit. Media tanam yang digunakan adalah sekam padi, serbuk gergaji, cocopeat, dan pasir. Keempat media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga digunakan kompos sebagai media pencampur.


(33)

Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan kombinasi media berpengaruh sangat nyata terhadap respon persentase hidup tanaman tumih. Hasil persentase hidup pada Tabel 1 menunjukkan kombinasi media pasir : kompos : sekam padi dengan perbandingan 1:1:2 dan kombinasi media kompos : sekam padi : serbuk gergaji dengan perbandingan 1:2:2 memiliki persentase hidup tertinggi yaitu 86.67 %. Pada perlakuan kombinasi media pasir : kompos : cocopeat dengan perbandingan 1:1:2 menunjukkan persentase hidup terendah yaitu 35.56%.

Analisis data menunjukkan persentase hidup pada perlakuan kombinasi media pasir : kompos : sekam padi (1:1:2) dan kompos : sekam padi : serbuk gergaji (1:2:2) menunjukkan persentase tertinggi yaitu sebesar 86.67%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perbaikan media tempat tumbuh maka kandungan nutrisinya juga meningkat.

Pada media pasir : kompos : sekam padi mampu memberikan persentase hidup yang tinggi disebabkan oleh kombinasi media tanam pasir yang ditambah kompos mampu menyebabkan aerasi dan drainase menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan kompos memiliki kemampuan mengikat air yang lebih tinggi dibandingkan media pasir. Buckman et al. (1982) menyatakan bahwa pasir mempunyai aerasi dan drainase yang baik dengan jumlah ruang pori makro yang banyak, akan tetapi sukar mengikat air dan miskin unsur hara, sedangkan kompos mempunyai daya ikat air dan unsur hara yang baik dan lengkap bagi tanaman.

Sifat fisik pada pasir + kompos memberikan keleluasaan pertumbuhan dan perkembangan akar, sehingga akar yang terbentuk mempunyai ukuran yang lebih besar dan kaku. Apalagi kombinasi media ini ditambah dengan sekam padi yang mampu meningkatkan aerasi dan drainase dan membantu meningkatkan kandungan unsur N bagi tanaman tumih. Apabila kandungan Nitrogen di dalam tanah mampu ditingkatkan maka daya tahan hidup tanaman dapat ditingkatkan. Hal ini disebabkan unsur Nitrogen merupakan unsur makro yang dibutuhkan oleh tanaman untuk membantu proses metabolisme dan pembentukan asam amino yang dibutuhkan oleh tanaman. Oleh karena itu nitrogen disebut sebagai kunci kesuburan tanah. Hal ini dipertegas oleh Muhali (1979) yang menyatakan bahwa


(34)

perbaikan media dengan sekam padi atau arang sekam mampu meningkatkan kandungan unsur nitrogen di dalam media.

Selain itu persentase hidup tertinggi juga ditunjukkan oleh pengaturan perlakuan kombinasi pada media kompos : sekam padi : serbuk gergaji dengan perbandingan 1:2:2. Hal ini dapat diduga pada kombinasi media ini dengan menggunakan kompos sebagai media pencampur sangat membantu ketahanan hidup tanaman. Adanya kompos ini menjadikan kombinasi media menjadi lebih gembur sehingga memudahkan pergerakan akar untuk menyerap unsur hara dan air. Hal ini disebabkan kemampuan kompos sebagai media pencampur yang berpengaruh terhadap peningkatan ruang pori tanah/media dan memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu sekam padi membantu memperbaiki aerasi dan drainase yang baik sehingga media memperlancar pertukaran udara dan sehingga pertumbuhan akar dan tunas menjadi lebih baik.

Menurut Yuhasnita (2007) media yang mempunyai aerasi dan drainase yang baik memiliki daya pegang air dan mampu memfasilitasi pertukaran gas yang keluar masuk melalui media. Kurangnya oksigen di zona perakaran dapat mengurangi kemampuan akar untuk menyerap air dan mineral dengan jumlah yang cukup untuk pertumbuhan tanaman.

Perlakuan kombinasi ini pun ditambah dengan serbuk gergaji yang dapat mensuplai hara N, P, dan K serta menaikkan pH tanah. Adanya unsur N. P, dan K sangat dibutuhkan oleh tanaman walaupun diabsorpsi dalam jumlah kecil untuk meningkatkan proses fotosintesis, mempercepat metabolisme dan memperlancar turgor tanaman terhadap suplai air dan hara. Hal ini sejalan dengan pendapat Leiwakabessy et al. (2003) yang menyatakan bahwa unsur P berguna untuk merangsang pertumbuhan akar muda, meningkatkan metabolisme asam amino dan pembentukan fotosintat dengan mempertahankan turgor tanaman agar proses metabolisme dan lainnya dapat berjalan baik. Selain itu menurut Kononova (1966) dan Janick et al. (1969) nitrogen dapat memacu pertumbuhan vegetatif tanaman dan memberikan warna hijau pada daun.

Pada perlakuan kombinasi pasir : kompos : serbuk gergaji juga menunjukkan persentase hidup yang tinggi yaitu 80.00%. Persentase hidup yang


(35)

tinggi ini dikarenakan perlakuan kombinasi media pasir dan kompos memberikan keleluasaan pertumbuhan dan perkembangan akar akibat aerasi dan drainase media yang baik. Hartmann et al. (1990) menambahkan bahwa media perakaran yang baik untuk tanaman adalah yang dapat memberikan aerasi dan kelembaban yang cukup, berdrainase baik dan bebas dari pathogen yang dapat merusak akar. Hal ini pun dipertegas oleh Soepardi (1983) yang menyatakan bahwa media campuran pasir dan kompos mampu menghasilkan panjang akar yang tinggi karena memiliki jumlah ruang pori makro yang banyak sehingga cukup banyak mengandung udara untuk pernapasan. Selain itu mampu memberikan ketersediaan air yang tinggi, perkolasi diperlancar dan pengaruh air berlebih berkurang.

Kombinasi pasir dan kompos ini pun ditambah dengan serbuk gergaji mampu meningkatkan unsur hara bagi tanaman, terutama N, P dan K untuk pertumbuhan tanaman dan mempertahankan hidup. Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa tanaman yang memiliki sumber makanan yang cukup dan berada pada kondisi lingkungan yang optimum akan mempunyai rasio karbohidrat dan nitrogen yang tinggi. Tingginya rasio karbohidrat dan nitrogen, mampu mempercepat inisiasi akar yang akam memproduksi akar dalam jumlah yang banyak. Salisbury dan Ross (1995) pun memperjelas bahwa selain dipengaruhi faktor genetik, morfologi akar pun ditentukan oleh keadaan media lingkungan yaitu hara. Apabila hara tersebut cukup bagi tanaman maka akan membentuk perakaran yang dangkal.

Selanjutnya pada perlakuan kombinasi kompos : cocopeat : serbuk gergaji dengan perbandingan 1:2:2 dan perlakuan kombinasi kompos : cocopeat : sekam padi dengan perbandingan 1:2:2 berpengaruh nyata terhadap persentase hidup, hal ini dapat ditunjukkan oleh persentase hidup pada masing - masing perlakuan kombinasi media. Pada perlakuan kombinasi media kompos : cocopeat : serbuk gergaji menunjukkan persentase hidup sebesar 62.22% sedangkan pada perlakuan kombinasi media kompos : cocopeat : sekam padi menunjukkan persentase hidup sebesar 71.11%.

Perbedaan persentase hidup pada perlakuan kombinasi ini dikarenakan media cocopeat dan kompos memiliki pori mikro yang mampu menghambat gerakan air lebih besar sehingga menyebabkan ketersediaan air lebih tinggi.


(36)

Keadaan pada media ini menyebabkan pertukaran gas pada media mengalami hambatan karena media mulai jenuh oleh air karena ruang pori makro yang seharusnya terisi oleh udara ikut terisi oleh air sehingga akar mengalami hambatan dalam pernapasan dan penyerapan hara pun menjadi kurang optimal. Menurut Soepardi (1983) air ditahan dalam pori - pori tanah dengan daya ikat yang berbeda-beda tergantung dari jumlah air yang ada dalam pori - pori tersebut. Pori- pori tanah terdiri atas pori makro dan pori mikro. Pori makro akan diisi oleh udara, sedangkan pori mikro akan diisi oleh air. Namun apabila keadaan air terlalu berlimpah maka pori-pori makro pun akan diisi oleh air. Oleh karena itu udara dalam tanah akan semakin berkurang dan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik karena respirasi akan menjadi terhambat.

Keberadaan tanah yang jenuh air ini akan meningkatkan suhu di dalam tanah. Pada kondisi suhu yang tinggi pertumbuhan akar tidak dapat beradaptasi dengan baik sehingga mempengaruhi pengambilan unsur hara. Keadaan jenuh air lebih banyak menyebabkan terjadinya penimbunan unsur hara di dalam akar dibandingkan difusi hara ke akar.

Kemudian pada perlakuan kombinasi pasir : kompos : cocopeat dengan perbandingan 1:1:2 menunjukkan respon persentase hidup yang tidak berbeda nyata, yang ditunjukkan dengan persentase hidup sebesar 35.56%. Hal ini disebabkan karena kombinasi media tersebut menyebabkan adanya pemadatan tanah. Media yang padat menyebabkan air tergenang sehingga aerasi udara rendah. Gejala yang tampak di lapangan, daun dan batang menjadi layu. Akar sehat biasanya berwarna putih dan memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi rendah, akar yang putih berubah menjadi cokelat dan kemudian menghitam. Jumlah rambut akar berkurang bahkan tidak ada, padahal akar berfungsi untuk menyerap hara. Selain masalah aerasi, media padat juga bersifat mengundang bakteri dan jamur penyebab busuk.

Selain dari pemadatan tanah, dikarenakan kondisi yang jenuh air menyebabkan kelembaban tinggi pada tanah. Kondisi kelembaban yang tinggi menyebabkan terjadinya kebusukan. Kebusukan yang terjadi dapat dilihat dari gejala yang muncul pada pangkal batang berwarna kehitaman. Kebusukan ini menyebabkan jaringan meristem pada tunas-tunas dorman yang memicu


(37)

pertumbuhan terganggu sehingga pertumbuhan terhambat yang lama - kelamaan mati.

Kondisi yang jenuh air menyebabkan difusi hara dari akar tidak dapat berjalan dengan baik. Keadaan ini jelas menggangu ketahanan hidup dan pertumbuhan dari tanaman tumih. Nurhayati (2000) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah akar yang ada dengan keadaan kondisi tak jenuh air menyebabkan penyerapan hara menjadi optimal sehingga proses fisiologis akan berlangsung lebih baik dan dapat mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan tunas.

Kondisi yang jenuh air menunjukkan keadaan jumlah daun yang ikut berkurang. Hal ini akan mengganggu dari proses fotosintesis yang ikut mempengaruhi laju kecepatan pertumbuhan tanaman tersebut. Fitter dan Hay (1992) dalam Marjenah (2001) mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Keadaan ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa luas daun yang semakin besar akan menyebabkan pertumbuhan yang besar pula (Marjenah 2001). Laju kecepatan pertumbuhan suatu tanaman yang meningkat akan mempengaruhi dari tingkat ketahanan hidup suatu tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara fisiologis dan morfologis.

4.2.2 Respon Perlakuan Kombinasi Media Terhadap Pertumbuhan Tinggi

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa perlakuan kombinasi media tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter pertambahan tinggi tanaman Tumih yang ditunjukkan oleh P-value sebesar 18.03%.

Rata-rata tinggi tanaman Tumih per minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di setiap perlakuan kombinasi yang diberikan, dan di setiap perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda jauh untuk setiap pertambahan tinggi. Pertambahan tinggi yang terbaik ditunjukkan oleh perlakuan kombinas K4 (K:C:Sg) dengan perbandingan 1:2:2 dengan rata-rata perminggu 0.116 cm sedangkan yang terendah yaitu 0.076 cm pada perlakuan kombinasi media K6 (K:Sp:Sg) dengan perbandingan 1:2:2.

Pengaruh yang tidak berbeda nyata ini dipengaruhi oleh metabolisme tanaman Tumih yang lambat yang mempengaruhi dari pembelahan sel,


(38)

perpanjangan sel di dalam jaringan meristematik pada titik tumbuh batang, ujung- ujung akar, dan pada kambium yang menjadi lambat.

Metabolisme yang lambat ini pun diduga disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara auksin dan sitokinin dalam menunjang pertumbuhan tanaman sehingga mempengaruhi penambahan tinggi pada tanaman. Weaver (1972) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan adalah auksin dan sitokinin. Hal tersebut didukung oleh Wuryaningsih dan Andiyanto (1998) yang menyatakan bahwa proses awal titik tumbuh ditentukan oleh pembelahan dan pemanjangan sel meristematis yang lebih banyak ditentukan dengan adanya keseimbangan antara auksin, sitokinin, dan senyawa-senyawa lain yang dapat mengaktifkan sitokinin.

Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada Tabel 7 dapat dilihat pengaruh media sebenarnya mampu menunjukkan respon yang berbeda sehingga setiap pertumbuhan tinggi yang dihasilkan setiap minggunya cenderung berbeda namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata terhadap pengaruh kombinasi media. Menurut Napitupulu (2006) kondisi bahan tanaman yang memiliki diameter batang yang kecil menunjukkan bahwa jaringan-jaringan pada batang tanaman masih belum sempurna terbentuk sehingga menyebabkan proses metabolisme menjadi lambat. Oleh karena itu pertumbuhan tanaman tumih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada rata-rata tinggi perminggu tanaman.

Pertambahan tinggi perminggu pada perlakuan kombinasi media tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diduga dipengaruhi oleh penggunaan karbohidrat di dalam tanaman yang tidak efisien dan tidak didukung oleh penyerapan hara yang maksimal oleh tanaman pada media. Pertambahan tinggi yang lambat diduga juga ikut mempengaruhi dari laju pertumbuhan daun yang lambat. Menurut Gardner et al. (1991) salah satu sink yang kompetitif pada masa pertumbuhan vegetatif adalah tunas yang sedang tumbuh. Riyanti (2009) menambahkan bahwa semakin banyak tunas yang memperoleh hara maka pertumbuhan dan perkembangan tunas semakin cepat.

Menurut Harjadi (1996) fase vegetatif merupakan fase penggunaan karbohidrat di dalam tanaman. Karbohidrat tersebut dibutuhkan oleh tanaman untuk mendukung terjadinya proses-proses penting di dalam tanaman, di


(39)

antaranya pembelahan sel, perpanjangan sel, dan tahap pertama dari diferensiasi sel. Penggunaan karbohidrat yang tidak efisien disebabkan oleh tidak terbentuknya jumlah daun yang banyak. Semakin banyak jumlah daun maka semakin banyak juga karbohidrat yang dihasilkan. Karbohidrat tersebut dibutuhkan tanaman untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suri (2002) yaitu semakin banyak jumlah daun yang dimiliki oleh suatu tanaman maka semakin banyak pula fotosintat yang dihasilkan, maka semakin mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Hidayat et al. (2005) mempertegas bahwa pertumbuhan akan

membutuhkan asimtat dalam jumlah yang banyak dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, aktifitas metabolisme harus meningkat, termasuk aktifitas akar untuk menyerap nutrisi dari tanah (media).

Selain itu diduga juga dipengaruhi oleh kepekaan siklus hidup tanaman terhadap adaptasi lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi dari kemampuan metabolisme tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Lakitan (1996) menyatakan bahwa laju pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal (pasokan fotosintat dari daun) dan berbagai faktor lingkungan, seperti suhu tanah dan kandungan air tanah.

Melihat dari analisis data yang diperoleh, pertumbuhan tinggi yang tidak berbeda nyata juga diduga dipengaruhi oleh adaptasi tanaman terhadap lingkungan. Keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi tanaman dalam melakukan keseimbangan penyerapan hara dan pembentukan fotosintat, menyebabkan tanaman mengalami reduksi pertumbuhan, termasuk kecepatan tumbuh yang rendah. Pertumbuhan yang lambat menunjukkan bahwa adanya adaptasi tanaman dari keadaan ekologis pada perlakuan kombinasi media dari keadaan ekologis sebenarnya.

MacArthur (1968) menyatakan bahwa perbedaan secara fisiologis dan ekologis pada faktor lingkungan yang ekstrim menyebabkan metabolisme menjadi lambat tanpa mengalami kerusakan fisik dan kimiawi pada tanaman. Keadaan ini menyebabkan tanaman memberikan respon dengan intensitas tinggi terhadap faktor lingkungan yang memberikan kelangkaan pada tanaman untuk beradaptasi


(40)

pada lingkungan yang tidak baik. Hal ini pun dipertegas oleh Went (1974) yang menyatakan bahwa spesies tanaman memerlukan sedikit adapatasi fisiologis terhadap rangsangan lingkungan dengan melibatkan plastisitas morfologi, dan fenologi yang lebih sedikit, tetapi lebih menunjukkan adanya adaptasi fisiologis dengan pertumbuhan yang berlanjut walaupun perlahan-lahan.

4.2.3 Pengaruh Faktor Kondisi Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman antara lain temperatur udara, kelembaban udara, cahaya, dan media pertumbuhan. Keadaan temperatur udara pada penelitian rata-rata tertinggi 27,57oC pada siang hari dan rata-rata terendah 23,21oC pada pagi hari. Menurut Hartmann dan Kester (1989), temperatur yang baik bagi perakaran untuk hampir semua jenis tanaman ialah 21oC–27oC pada siang hari dan 15oC pada malam hari. Perakaran yang baik akan memacu pertumbuhan dan perkembangan tunas tanaman dengan baik. Untuk rata-rata kelembaban udara pada penelitian berkisar antara 96–98 %. Kelembaban udara yang baik untuk perkembangan akar dan tunas yang baik adalah mendekati 100% (Smits dan Yasmin 1988). Untuk intensitas cahaya pada penelitian di dalam sungkup rata-rata tertinggi 278,24 Lux sedangkan di dalam rumah kaca rata-rata tertinggi 4016,37 Lux terjadi pada siang hari.

Kondisi lingkungan akan mempengaruhi proses-proses fisiologis tanaman apalagi jika sistem perakaran belum terbentuk. Oleh karena itu anakan tumih dipindahkan di paranet dengan intensitas 60% di dalam rumah kaca. Hartman et al. (1990) menyatakan bahwa tanaman yang dipindahkan ke dalam intensitas cahaya yang rendah akan mampu mepercepat pertumbuhan akar dan pembentukan tunas. Paranet dengan intensitas cahaya 60% memiliki 1940 – 2560 lux (Siahaan

et al. 2007).

Kisaran intensitas yang terjadi selama dalam penelitian menunjukan bahwa temperatur dan kelembaban tidak mampu dipertahankan dengan baik, terlihat bahwa kondisi temperatur cukup tinggi dan kelembaban udara sulit untuk mencapai nilai 100%. Kondisi temperatur yang tinggi tersebut dapat berpengaruh terhadap adanya peningkatan respirasi yang dapat mengurangi pertumbuhan akar.


(1)

Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor : Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Hanover JW. 1976. Accelerated-optimal growth : A new concept in tree production. Amerycan Nurseryman 1:36–39.

Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Bogor: Akademika Pressindo.

Hartman HT, Kester DE, Davis-Jr FT. 1990. Plant Propagation : Principles and Practices. New Jersey : Prentice-Hall International, Inc. Englewood Cliff. Hendromono. 1987. Pertumbuhan dan mutu bibit Acacia mangium Willd,

Eucalyptus deglupta Blume pada tujuh macam medium yang diberi kapur [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.

Hidayat R, Surkati A, Poerwanto R, Darusman LK, Purwoko BS. 2005. Kajian periode dormansi dan ritme pertumbuhan akar dan tunas tanaman manggis (Garcinia mangostana. L). Buletin Agronomi 33(2):16–22.

Houston DF. 1972. Pengetahuan Pupuk. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Swastika IW. 1993. Pemanfaatan abu gergaji kayu untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan Gambut. Di dalam: Makalah Seminar Hasil-hasil Penelitian Usahatani dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. hlm 102–104.

Istomo, Hardjanto, Rahaju S, Permana E, Suryawan SI, Hidayat A, Waluyo. 2007. Kajian Perolehan Karbon sebagai Dampak Intervensi pada Lokasi Kegiatan Proyek CCFPI Di Eks-PLG Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah dan Sekitar TN. Berbak, Jambi. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB-Wetlands International Indonesia Programme, Bogor.

Iwan TW, Labueni S, Suryadiputra INN. 2004. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Hutan Rawa Gambut. Bogor: Kerjasama Wetlands Internasional, CCFPI, dan Wildlife Habitat Canada.

Janick JRW, Scherry FW, Woods, Ruttan VW. 1969. Plant science. J Trop Geogr 1:629–634.

[Kepres] Keputusan Presiden. 1990. Keputusan Presiden Nomor 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Departemen Kehutanan.


(2)

Kononova MM. 1966. Soil Organic Matter. Vol ke-2. Oxford: Pergamon Press Ltd.

Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Leiwakabessy FM, Wahjudin UM, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Lingga P, Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Vol. ke-12. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mac Arthur. 1968. An Introdruction to Soil Science. Vol.1. New York: John Wiley and Sons Inc.

Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan Rimba Kalimantan 6(2):14–19.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Apilkasi SAS dan Minitab Jilid I, Edisi 2. Bogor: IPB Press.

Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: IPB Press.

Muhali I. 1979. Pengetahuan Pupuk. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra INN, Jaya A.

2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan cadangan Karbon pada lahan gambut. Jakarta: Kerjasama antara Wetlands International, Wildlife Habitat Canada, Habitat Funnique Canada, dan Ditjen PHKA.

Napitupulu RM. 2006. Pengaruh bahan stek dan zat pengatur tumbuh rootone–F terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii [skripsi]. Bogor: Program Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Najiyati, Asmana A, Suryadiputra INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Nugroho. 2008. Media Tanam. http://nogrohoakt.blogspot.com. [2 Oktober 2011]. Nurhayati. 2000. Pengaruh bahan stek dan rootone-F terhadap pertumbuhan

seuseureuhan (Piper aduncum Linn.) [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.


(3)

Octaviani D. 2009. Pengaruh media tanam dan asal bahan stek terhadap keberhasilan stek basal daun mahkota nenas (Ananas comosus. (L.) Merr. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Parish FA, Sirin D, Charman H, Joosten T, Minayeva M, Silvius, L Stringer (Eds.). 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen. Kuala Lumpur: Forestry Department Peninsular Malaysia.

Prayugo S. 2007. Media Tanam untuk Tanaman Hias. Jakarta: Penebar Swadaya. Read PE. 1990. Environment effects in micropropagation. Di dalam : Bajaj,

editor. Handbook of Plant Cell Culture Volume5 Ornamental Spesies. New York : Macmillan Publishing Company. hlm 244–258.

Riyanti Y. 2009. Pengaruh jenis media tanam terhadap pertumbuhan sirih merah (Piper crocatum Ruizandpav) [skripsi]. Bogor: Program studi Holtikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rochiman K, Harjadi SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor: Departemen Agronomi Institut Pertanian Bogor.

Rohmaningsih NS. 2002. Mempelajari penutupan rumput bermuda (Cynodon dactylon) varietas Tifdwarf pada media tanam campuran pasir dan arang sekam menggunakan image processing. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rubatzky VE. 1998. Sayuran Dunia. Jilid ke-1. Penerjemah: Ismail SM. Institut Teknologi Bandung Pr. Bandung. Terjemahan dari : World Vegetable.

Saito H, Shibuya M, Tuah SJ, Turjaman M, Takahashi K, Jamal Y, Segah H, Putir PE, Limin SH. 2005. Initial screening of fast-growing tree spesies being tolerant of dry tropical peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research 2(2):1-10.

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 2. Yasman DS, penerjemah. Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari: Plant Fisiology.

Samekto R. 2006. Pupuk Kompos. Yogyakarta : Citra Aji Parama.

Sandra E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Suri RN. 2002. Analisis keragaan morfologi dan kualitas buah populasi nenas (Ananas comosus (L.) Merr) queen di Empat Desa di Kabupaten Bogor


(4)

[skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanaian Bogor.

Satria. 2008. Media Tanam. www.csatria.blogspot.com. [2 Oktober 2011]. Semangun H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Yogyakarta : UGM Press.

Siahaan H, Herdiana N, Saefulloh TR, Sagala N. 2007. Peningkatan pertumbuhan kayu bawang (Protium javanicum Brum.F) dengan aplikasi arang kompos dan naungan. Di dalam: Prosiding expose Hasil-hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan: Bogor, 20 September 2006. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. hal 101–106.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Soetarno H, Hidayati N, Roemantyo, Purba YS, Utami NW, Suwarya N. 2000. Teknik Produksi Bibit Pohon Hutan. Bogor: Yayasan PROSEA.

Subiksa IGM. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa: Cipayung, 25–27 Juli 1999. Bogor: Badan Litbang Pertanian. hlm 170–177.

Wahyunto, Ritung S, Subagjo H. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon Pulau Sumatera/Peat Distributions and Carbon Contents of Sumatera Island. Bogor: Wetlands International-Canadian International Development Agency (CIDA)-Wildlife Habitat Canada.

Weaver RJ. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. San Fransisco: WH. Freeman Co.

Went G. 1974. Tissue culture: Di dalam: Bradshaw JE, Mackay GR, editor. Potato Genetics. United Kingdom: CAB International. hlm 466-471.

Wibisono ITC, Siboro L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Proyek Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Wuryaningsih S, Adiyantoro S. 1998. Pertumbuhan stek melati berbuku satu dan dua pada berbagai macam media. Agri Journal 5(1-2): 32-41.

WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision in Riau, Sumatra, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century and it’s plans for the future. WWF Indonesia Technical Report. www.wwf.or.id. [12 November 2011].


(5)

Yanti DW. 2004. Pertumbuhan stek akar mimba (Azzadirachta indica A. Juss) pada berbagai media dan dosis rootone-F [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Yasman S, Smits WTM. 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Samarinda: Balai Penelitian Kehutanan.

Yuhasnita RM. 2007. Pengaruh jenis media tanam dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan bibit salam (Eugenia polyantha Wight) [skripsi]. Bogor: Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.


(6)

NIECHI VALENTINO. Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap Pertumbuhan Anak Cabutan Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser). Di bawah bimbingan: ISTOMO.

Adanya pemanfaatan gambut yang tidak bijaksana, menyebabkan laju kerusakan gambut sangat cepat di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melindungi agar fungsi dari ekosistem ini dapat dipertahankan hingga generasi mendatang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi awal melalui pemilihan jenis lokal yang sesuai dengan kondisi ekologis setempat. Salah satu jenis lokal yang tumbuh di lahan gambut yaitu tumih (C. rotundatus (Miq.) Danser). Dalam rangka rehabilitasi C. rotundatus dapat diklasifikasikan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan toleran terhadap kondisi kering dan terbuka sehingga sangat baik untuk jenis pra awal penanaman dalam usaha rehabilitasi lahan gambut yang terganggu. Pengembangan jenis C. rotundatus dapat dilakukan melalui cabutan anakan alam melalui pengaturan kombinasi media.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi awal mengenai perlakuan komposisi media terbaik yang mampu meningkatkan pertumbuhan C. rotundatus dalam rangka merintis pengembangan teknik silvikultur pada tanaman C. rotundatus. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan enam perlakuan kombinasi media yaitu (K1) pasir:kompos:sekam padi dengan komposisi (1:1:2), (K2) pasir:kompos:serbuk gergaji dengan kombinasi (1:1:2), (K3) pasir:kompos:cocopeat dengan kombinasi (1:1:2), (K4) kompos:cocopeat:serbuk gergaji dengan kombinasi (1:2:2), (K5) kompos:cocopeat:sekam padi dengan kombinasi (1:2:2), dan (K6) kompos:sekam padi:serbuk gergaji dengan kombinasi (1:2:2). Setiap perlakuan memiliki tiga ulangan masing-masing ulangan berisi 15 anakan, sehingga total unit pengamatan adalah 270 tanaman sumber bibit. Hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata pertambahan tinggi perminggu pada perlakuan K1 sebesar 0.099 cm, K2 sebesar 0.083 cm, K3 sebesar 0.081 cm, K4 sebesar 0.116 cm, K5 sebesar 0.088 cm, dan K6 sebesar 0.078 cm. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman tumih. Sedangkan nilai persentase hidup tanaman pada perlakuan pemberian hormon K1 sebesar 86.67%, K2 sebesar 80.00%, K3 sebesar 35.56%, K4 sebesar 62.22%, K5 sebesar 71.11%, dan K6 sebesar 86.67%. Setelah data dianalisis sidik ragam menggunakan Softtware SAS 9.3.1, didapat hasil bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hidup. Selanjutnya pada uji lanjutan dengan Uji Duncan menunjukkan perlakuan K6 tidak berbeda nyata dengan K1 dan K2. Hal tersebut ditunjukkan pada persentase hidup K6 dan K1 yaitu 86.67 % serta K2 sebesar 80.00 %. Perlakuan K6 tidak berbeda nyata dengan K4 dan K5, tetapi berbeda nyata dengan K3. Sedangkan untuk perlakuan kombinasi K4 dan K5 tidak berbeda nyata dengan K3. Persentase hidup untuk K4 dan K5 masing-masing sebesar 62.22% dan 71.11% sedangkan untuk K3 menunjukkan persentase hidup terendah yaitu 35.56%. Kata Kunci: cabutan, Combretocarpus rotundatus, kombinasi media