Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan

(1)

STUDY ON EFFECTS OF AMYLOSE-AMYLOPECTIN RATIO AND

WATER CONTENT TO CRISPINESS AND HARDNESS OF FRIED

PRODUCT MODEL

Dimas Supriyadi and Sugiyono

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62856 9242 0797, E-mail: dimas_supriyadi@yahoo.com

ABSTRACT

Nowadays fried products are becoming the popular food. Most of them are using rice or glutinous rice flour for giving textural properties, especially crispiness and hardness. Starch is one of food components that contribute in defining textural properties of fried product. The difference of amylose-amylopectin ratio in starch plays important role in microstructural properties of food and may cause any different crispiness and hardness to fried food. In addition, the water content of fried food also affects the crispiness and hardness. This research studied the effect of amylose-amylopectin ratio, water content, and time of storage to crispiness and hardness using fried food model based rice flour and glutinous rice flour. Amylose-amylopectin ratio could be altered by changing the ratio of rice flour and glutinous rice flour and water content could be altered by changing the time of frying. Crispiness and hardness were analysed by trained panelists using Profile Texture Sensory Method. Rice type IR64 and glutinous rice type Ciasem were used in this research for getting wide range of amylose-amylopectin ratio. There were four ratio of amylose-amylopectin that were 0.04, 0.2, 0.4, and 0.58 as treatment to know the effects of amylose-amylopectin ratio to crispiness and hardness. Times of frying as a treatment of water content effect which were used were 10, 12, 16, 18 minutes. The last treatment of storage time was ratio of amylose-amylopectin 0.04 and 0.58 which were stored on 2, 4, and 6 hours to know the changing of crispiness and hardness. The comparation of flour and water that showed the best batter consistency was comparation between flour and water 1:0.7. Ratio of amylose-amylopectin 0.04 had the highest crispiness and lowest hardness. The time of frying 18 minutes resulted the lowest water content which gave the highest crispiness and lowest hardness. The ratio of amylose-amylopectin 0.04 had a more crispiness decreasing and hardness increasing than ratio of amylose-amylopectin 0.58 after 6 hours storage. Amylopectin increased the crispiness butdecreasedthe hardness. Water content of fried product also became a factor to crispiness and hardness. Fried product which hada low water content gave a high crispiness and low hardness. Amylopectin and water were easier to interact more than amylose and water on storage. On certain time, this interaction gave a more decreasing crispiness than amylose-water although amylopectin was a main factor to increase crispiness and lower hardness.

Keywords : Fried product model, amylose-amylopectin ratio, water content, crispiness, hardness, storage time


(2)

DIMAS SUPRIYADI. F24070049. Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M. AppSc. 2012.

RINGKASAN

Tekstur dari produk gorengan merupakan aspek kualitas terpenting yang menentukan penerimaan konsumen. Bagian penting dari tekstur gorengan adalah kerenyahan dan kekerasan. Pada umumnya masyarakat menambahkan tepung beras ataupun tepung beras ketan ke dalam adonan gorengan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi kekerasan dari produk gorengan tersebut. Tepung beras dan tepung beras ketan memiliki komponen utama yaitu pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Akan tetapi belum diketahui secara pasti pengaruh amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang pengaruh secara langsung amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin dan kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan model produk gorengan.

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu (1) karakterisasi tepung beras dan tepung beras ketan, (2) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, dan (3) kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan. Pada tahap persiapan bahan dilakukan penepungan beras dan beras ketan. Penepungan dilakukan dengan menggunakan alat Pin Disc Mill. Pada proses penepungan dihasilkan rendemen tepung beras IR64 sebesar 73.84% dan ketan Ciasem sebesar 52.99%. Karakterisasi terhadap tepung beras dan tepung beras ketan meliputi perhitungan proksimat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, densitas kamba, dan profil gelatinisasi pati. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat tepung beras IR64 secara berurutan sebesar 9.23%, 0.35%, 8.25%, 0.29%, dan 81.88%, sedangkan tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.99%, 0.63%, 8.14%, 0.29%, dan 81.95%. Kadar pati tepung beras IR64 sebesar 72.37% dan ketan Ciasem sebesar 71.31%. Kadar amilosa tepung beras IR64 (26.58%) lebih tinggi dibandingkan dengan ketan Ciasem (2.46%). Kadar amilopektin tepung beras IR64 (45.80%) lebih rendah dibandingkan dengan ketan Ciasem (68.85%).

Hasil perhitungan densitas kamba tepung beras IR64 sebesar 0.75 g/ml dan ketan Ciasem 0.78 g/ml. Hasil analisis profil gelatinisasi menunjukkan bahwa viskositas puncak tepung beras IR64 (4921 cP) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (3789 cP). Viskositas puncak yang tinggi menunjukkan tepung beras IR64 memiliki kemampuan pengembangan granula pati yang lebih besar dari ketan Ciasem. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 (82.475°C) lebih tinggi daripada ketan Ciasem (62.425°C). Tepung beras IR64 memiliki viskositas breakdown (1781.5 cP) yang lebih rendah daripada ketan Ciasem (1975 cP) sehingga tepung beras IR64 lebih tahan terhadap pengadukan dan pemanasan. Viskositas akhir tepung beras IR64 (8283.5 cP) lebih tinggi daripada ketan Ciasem (2989 cP). Begitu pun nilai viskositas setback tepung beras IR64 (5144 cP) yang lebih tinggi daripada ketan Ciasem (1175 cP). Akan tetapi, tepung beras IR64 memiliki nilai viskositas breakdown (1781.5 cP) yang lebih rendah daripada tepung beras ketan Ciasem (1975 cP). Waktu puncak tepung beras IR64 (9.1 menit) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (5.3 menit). Begitu juga suhu gelatinisasi tepung beras IR64 (82.475°C) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (62.425°C).

Pada tahap formulasi adonan, dilakukan pencampuran 50% tepung beras IR64-50% tepung beras ketan Ciasem dengan air 50%, 60%, 70%, dan 80%. Berdasarkan percobaan, perbandingan tepung beras-tepung beras ketan dan air yang memiliki konsistensi adonan terbaik adalah 1:0.7.


(3)

Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan model produk gorengan yang terdiri dari pembuatan adonan, pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air (1:0.7). Kemudian adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g dan dicetak. Adonan dicetak membentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14 menit.

Penelitian ini menggunakan metode sensori profil tekstur untuk menguji atribut kerenyahan dan kekerasan. Pengujian dilakukan secara kuantitatif dengan membandingkan terhadap standar yang nilainya telah ditentukan saat pelatihan. Pada kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, menunjukkan bahwa rasio amilosa-amilopekti 0.04 memiliki kerenyahan tertinggi diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.2, 0.4, dan 0.58. Rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki kekerasan tertinggi diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.4, 0.2, dan 0.04. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi amilopektin dan rendah amilosa maka kerenyahan semakin meningkat dan kekerasan semakin menurun, begitupun sebaliknya. Pada kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan, menunjukkan bahwa sampel lama goreng 18 menit memiliki kadar air yang terendah, kerenyahan tertinggi, dan kekerasan terendah diikuti oleh sampel lama goreng 16, 12, dan 10 menit. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan maka semakin rendah kerenyahan dan tinggi kekerasan bahan pangan tersebut.

Pengujian selanjutnya yaitu kajian pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan. Sampel yang digunakan rasio amilosa-amilopektin 0.04 dan 0.58. Sampel disimpan selama 2, 4, dan 6 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel rasio amilosa-amilopektin 0.04 yang memiliki kandungan amilopektin tinggi dapat memberikan tingkat kerenyahan yang tinggi dan kekerasan yang rendah daripada rasio amilosa-amilopektin 0.58 yang memiliki kandungan amilosa tinggi. Akan tetapi ketika bahan pangan tersebut disimpan pada jangka waktu tertentu maka bahan pangan tersebut akan mudah menyerap air sehingga terjadi penurunan kerenyahan dan peningkatan kekerasan yang lebih tinggi daripada bahan pangan dengan amilosa tinggi.


(4)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Produk pangan dalam bentuk gorengan banyak beredar di masyarakat. Produk pangan gorengan tersebut antara lain opak, rempeyek, kerupuk, emping, dan rengginang. Produk pangan gorengan tersebut sebagian besar berbahan dasar tepung. Tekstur produk pangan gorengan yang renyah menjadi daya tarik untuk mengonsumsinya.

Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air (Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma, dan tekstur yang khas (Saguy & Dana 2003). Produk gorengan yang beredar di masyarakat menggunakan teknik penggorengan deep fat frying.

Menurut Ediati et al (2006), pemilihan pati sebagai bahan baku produk gorengan pada umumnya didasarkan pada komposisi amilosa-amilopektinnya. Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur (Winarno 1981). Komposisi amilosa-amilopektin setiap pati berbeda-beda dan menentukan perbedaan sifat pengembangannya. Kandungan amilopektin yang tinggi dapat menyebabkan suspensi pati membutuhkan waktu yang lama untuk beretrogradasi dibandingkan dengan suspensi pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi (Eliasson, 2006). Karakteristik seperti tekstur, viskositas, dan stabilitas dipengaruhi secara nyata oleh kadar dan berat molekul amilosa dan amilopektin (Munarso 1998).

Pada tahun 2009, Indonesia mempunyai luas panen padi sebesar 12.883.576 Ha dengan produktivitas 49.99 Ku/Ha dan angka produksi padi sebesar 64.398.890 ton. Pada tahun 2010, terjadi peningkatan luas panen sebesar 13.253.450 Ha dengan produktivitas sebesar 50.15 Ha dan total angka produksi padi 66.469.394 ton (BPS 2012). Data sementara Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 2011 menunjukkan luas panen menjadi 13.201.316 Ha, produktivitas 49.80 Ku/Ha, dan angka produksi padi menjadi 65.740.946 ton. Hal ini menunjukkan bahwa angka produksi padi di Indonesia setiap tahun terus bertambah.

Komponen utama beras dan beras ketan adalah pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Beras ketan memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%), dan beras beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997).

Tekstur dari produk gorengan merupakan aspek kualitas terpenting yang menentukan penerimaan konsumen. Bagian penting dari tekstur gorengan adalah kerenyahan dan kekerasan. Pada umumnya masyarakat menambahkan tepung beras ataupun tepung beras ketan ke dalam produk pangan gorengan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi kekerasan dari produk gorengan tersebut. Tepung beras dan tepung beras ketan memiliki komponen utama yaitu pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Akan tetapi belum diketahui secara pasti pengaruh amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang pengaruh secara langsung amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan tersebut.


(5)

B.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin dan kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan model produk gorengan.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh secara nyata amilosa dan amilopektin terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya dalam berbagai produk gorengan.


(6)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

TEPUNG BERAS

Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%) dan beras beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997).

Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan, dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau campuran tepung beras dan terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik. Beras yang mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi dapat digunakan sebagai bahan bakupembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur atau remuk (Siwi & Damardjati 1986). Tepung beras diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari tanaman padi (Oryza sativa Linn). Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 1.

Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepung. Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir halus (>10 mesh), tepung kasar atau bubuk (40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung halus (≥ 100 mesh) (Hubeis 1984). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta bahan baku industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah.

Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita & Bean 1982).

B.

TEPUNG BERAS KETAN

Tepung beras ketan berasal dari penggilingan beras ketan putih (Oryza sativa glutinosa) sampai mencapai ukuran granula yang diinginkan. Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 2. Komposisi kimia tepung beras ketan hampir sama dengan komposisi kimia beras ketan utuh (Liu & Luh 1980). Suhu gelatinisasi tepung beras ketan biasanya berkisar antara 68-78°C. Tepung beras ketan mempunyai kekentalan puncak pasta yang lebih rendah daripada beberapa pasta tepung beras biji pendek, kemungkinan karena kegiatan amilolitiknya dan hampir tidak mempunyai kekentalan balik sama sekali (Haryadi 2008).


(7)

Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras menurut SNI 3549:2009 (BSN 2009)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan:

1.1 Bentuk - Serbuk halus

1.2 Bau - Normal

1.3 Warna - Putih, khas tepung beras

2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada

3. Serangga (dalam bentuk setadia dan potongan)

- Tidak boleh ada

4. Jenis pati lain selain pati ketan - Tidak boleh ada

5. Kehalusan :

Lolos ayakan 80 mesh % b/b 90

6. Air % b/b Maksimum 13

7. Abu % b/b Maksimum 1,0

8. Residu SO2 - Tidak boleh ada

9. Silikat % b/b Maksimum 0,1

10. pH - 5 – 7

11. Cemaran logam :

11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 0,3

11.2 Kadmium (Cd) mg/kg Maksimum 0,4

11.3 Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,05

12. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5

13. Cemaran mikroba:

13.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maksimum 1,0 x 106

13.2 Escherichia Coli APM/gram Maksimum 10

13.3 Bacillus cereus Koloni/gram Maksimum 1 x 104

12.3 Kapang Koloni/gram Maksimum 1,0 x 102

Tepung beras ketan berbeda dengan tepung beras lainnya atau pati-pati lainnya dalam hal ketahanan terhadap pelepasan air dari olahannya yang banyak mengandung air pada saat pelelehan esnya dari penyimpanan beku (thawing). Tepung beras ketan dan patinya mempunyai ciri paling baik diantara pati-pati dan tepung padian lainnya karena pastanya lebih tahan pada perlakuan beku-leleh daripada tepung-tepung ataupun pati-pati lainnya. Perilaku ini kemungkinan besar karena kandungan amilosanya yang sangat sedikit (Haryadi 2008). Deobald (1972) menyatakan bahwa selain kandungan amilopektin yang meningkat, kestabilan tepung ketan sebagai pengental juga disebabkan oleh penyimpangan struktur kimia atau oleh kecilnya ukuran granula pati. Amilopektin merupakan molekul yang bercabang, sehingga molekul air yang terikat padanya tidak mudah lepas. Hal ini menyebabkan stabilnya produk selama penyimpanan.

Ketan memiliki suhu gelatinisasi yang tidak jauh berbeda dengan beras. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano (1972) mengungkapkan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 78.5ºC, sedangkan suhu gelatinisasi beras berkisar antara 58-79ºC. Suhu gelatinisasi pati ketan ini juga berkorelasi dengan sifat konsistensi gelnya. Konsistensi gel merupakan ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel. Ketan memiliki kandungan


(8)

amilopektin lebih banyak dibandingkan dengan amilosanya. Kandungan amilosa ketan berkisar antara 1-2%. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket, tidak mengembang dalam pemasakan, dan juga tetap lunak setelah dingin.

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras ketan menurutSNI 01-4447-1998 (BSN 1998)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan:

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal, tidak berbau apek

1.3 Warna - Normal

2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada

3. Serangga (dalam bentuk setadia dan potongan)

- Tidak boleh ada

4. Jenis pati lain selain pati ketan - Tidak boleh ada

5. Kehalusan :

Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 80 mesh

% b/b % b/b

99% 70%

6. Air % b/b Maksimum 12

7. Abu % b/b Maksimum 1,0

8. Abu silikat % b/b Maksimum 0,2

9. Serat kasar % b/b Maksimum 0,2

10. Amilosa % b/b Maksimum 9

11. Derajat asam ml NaOH 1N/100g

Maksimum 4,0

12. Pengawet - Sesuai SNI 01-0222-1995

13. Residu SO2 - Sesuai SNI 01-0222-1995

10. Cemaran logam :

10.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 1,0

10.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10,0

10.3 Seng (Zn) mg/kg Maksimum 40,0

10.4 Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,05

11. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5

12. Cemaran mikroba:

12.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maksimum 1,0 x 106

12.2 Escherichia Coli APM/gram Maksimum 10

12.3 Kapang dan Khamir Koloni/gram Maksimum 1,0 x 102

C.

AMILOSA DAN AMILOPEKTIN

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan.

Amilosa merupakan molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1,4 dengan derajat polimerasi (DP) beberapa ratus unit glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai struktur amilosa pada rantai lurus dan juga memiliki konfigurasi bercabang yang terdapat pada setiap 20-25 residu glukosa


(9)

Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau mengalami retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya. Viskositas pasta amilosa memiliki hubungan linear dengan konsentrasi. Pada selang konsentrasi amilosa 0-0.6%, peningkatan konsentrasi amilosa akan meningkatkan viskositasnya (Ulyarti 1997).

Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan amilopektin adalah amilosa lebih mudah keluar dari granula dan memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya. Seperti pada umumnya polimer linear, amilosa mampu membentuk film dan serat (fibers) dengan kekuatan mekanik yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dipergunakan sebagai pelapis makanan yang transparan sekaligus dapat dimakan (Ulyarti 1997).

Struktur cabang pada amilopektin merupakan salah satu hasil mekanisme enzim yang memecah rantai linier yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan 25 unit glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak (Ulyarti 1997). Derajat polimerasi amilopektin sangat bervariasi. Bila dibandingkan dengan amilosa yang hanya memiliki derajat polimerisasi sebesar 500-2.000 unit glukosa yang berarti berat molekul amilopektin ± 107 Dalton. Amilopektin merupakan komponen pati yang membentuk kristalinitas granula pati. Viskositas pasta amilopektin akan meningkat apabila konsentrasinya dinaikkan (0-3%). Akan tetapi hubungan ini tidak linier sehingga diperkirakan terjadi interaksi atau pengikatan secara acak diantara molekul-molekul cabang (Ulyarti 1997).

(a)

(b)

Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa dan (b) amilopektin

Amilopektin yang memiliki rantai cabang lebih panjang memiliki kecendrungan yang kuat untuk membentuk gel. Adanya amilopektin pada pati akan mengurangi kecendrungan pati dalam membentuk gel. Karakteristik seperti tekstur, viskositas, dan stabilitas dipengaruhi secara nyata oleh kadar dan berat molekul amilosa dan amilopektin (Luallen 1988, diacu dalam Munarso 1998). Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur (Winarno 1981).


(10)

D.

PENGGORENGAN

Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air (Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma, dan tekstur yang khas (Saguy dan Dana 2003, diacu dalam Juanita 2008). Proses penggorengan ada dua jenis yaitu proses gangsa (pan frying) dan menggoreng terendam (deep fat frying).

Pada pan frying, bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak, sedangkan deep fat frying merupakan teknik menggoreng yang dicirikan dengan terendamnya seluruh bagian bahan pangan. Energi panas yang dihantarkan menghasilkan perubahan warna dan flavor yang diinginkan (Fellows 2000). Suhu yang digunakan pada proses penggorengan umumnya berkisar antara 162-196°C (Orthoefer & Cooper 2004).

Penggorengan ditujukan untuk meningkatkan karakteristik warna, flavor, dan aroma yang merupakan kombinasi dari reaksi Maillard dan komponen volatil yang diserap dari minyak (Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyatakan bahwa ketika makanan ditaruh dalam minyak panas, suhu permukaan makanan akan meningkat cepat menuju tingkat panas minyak, sedangkan suhu bagian dalam makanan meningkat secara perlahan.

Pematangan terhadap bahan pangan merupakan akibat dari terjadinya transfer panas selama proses penggorengan (Blumenthal 1996). Terdapat delapan hal yang terjadi selama proses menggoreng terendam, yaitu :

1.Penguapan air dari bahan pangan

Temperatur permukaan produk meningkat. Menggoreng merupakan proses dehidrasi, yaitu keluarnya air dan udara panas dari produk akibat adanya panas dari minyak

2.Pemanasan produk sesuai suhu yang diinginkan untuk mencapai karakteristik yang diinginkan 3.Meningkatnya suhu permukaan produk untuk mencapai warna kecoklatan dan kerenyahan 4.Perubahan dimensi produk. Produk dapat mengecil, membesar maupun sama dengan ukuran

sebelumnya

5.Terjadi perpindahan lemak dari minyak ke produk. Dalam beberapa kasus terjadi perpindahan lemak dari produk ke minyak seperti pada ayam

6.Terdapat sistem pergantian minyak yang dipindahkan dari produk atau kelebihan minyak ke sistem penggorengan oleh produk

7.Tidak hanya perubahan ukuran tetapi juga densitas

8.Perubahan kimia minyak dan kemampuan mentransfer panas yang berakibat terhadap kualitas produk (penyerapan minyak, tingkat pencoklatan produk, rasa, dan lain-lain)

Beberapa faktor yang memengaruhi masuknya minyak ke dalam produk gorengan selama penggorengan antara lain (1) suhu dan lama penggorengan, (2) kadar air, khususnya di lapisan permukaan bahan, (3) tipe, ukuran dan bentuk produk yang digoreng, (4) perlakuan sebelum penggorengan, misalnya aplikasi batter, serta (5) tipe dan kualitas dari minyak goreng yang digunakan (Pokorny 1999).


(11)

III.

METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras (Oryza sativa Linn) dan beras ketan (Oryza sativa glutinosa) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH 0.25%, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, 60% NaOH-5% Na2S2O3, H3BO3, indikator metilen red-metilen blue, HCl 0.02 N, heksana, Na2S2O3.5H2O, Na2CO3, KIO3, KI, HCl 2 N, indikator pati, HCl 25%, indikator phenolptalein, NaOH 45%, pereaksi Luff Schoorl, KI 20%, H2SO4 26.5%, Na2S2O3 0.1 N, amilosa murni, etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1 N, dan larutan iod.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Texture Analyzer XT-2i (Stable Micro System Ltd, UK), Rapid Visco Analyzer (RVA) TechMaster (Newport Scientific Pty Limited, Australia), Deep Fat Fryer (Cecilware Corp., USA), wadah stainless steel, kain kasa, kertas saring, oven, neraca digital, spektrofotometer, pengaduk gelas, termometer, hot plate, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, nampan, botol semprot, kemasan alumunium, timbangan, wadah untuk merendam, blender kering, ayakan 100 mesh, cawan alumunium, desikator, gegep, neraca analitik, sudip, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes, pengaduk kaca, alat destilasi, erlenmeyer, buret, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, kapas, gelas piala, labu takar, pendingin balik, alumunium foil, corong, dan kuvet.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) karakterisasi tepung beras dan tepung beras ketan, (2) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap profil gelatinisasi, (3) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, (4) kajian pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan, dan (5) kajian pengaruh kadar air berdasarkan lama goreng terhadap kerenyahan dan kekerasan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

1.

Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

a. Penepungan Beras dan Beras Ketan

Pada tahap persiapan bahan dilakukan penepungan beras dan beras ketan. Penepungan dilakukan dengan menggunakan alat Pin Disc Mill (Gambar 2). Diagram alir pembuatan tepung beras dan tepung beras ketan dapat dilihat pada Gambar 4.


(12)

Tahap I :

Tahap II :

Tahap III :

Tahap IV :

Tahap V :

Gambar 3. Diagram alir penelitian Beras atau Ketan

Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

1. Penepungan beras dan beras ketan 2. Analisis kimia dan fisik tepung

beras dan tepung beras ketan

Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Profil Gelatinisasi

Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan

Kekerasan 1. Perhitungan rasio

amilosa-amilopektin 2. Formulasi adonan

3. Penentuan suhu dan lama goreng 4. Pembuatan model produk

gorengan

5. Pengaruh rasio

amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan

Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan

dan Kekerasan

Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan


(13)

Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung beras atau tepung beras ketan (Suksomboon & Onanong (2006) dengan modifikasi)

b. Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

Karakterisasi terhadap tepung beras dan tepung beras ketan meliputi perhitungan proksimat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, densitas kamba, dan profil gelatinisasi pati.

1) Kadar Air, Metode Oven (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Direndam 1 malam

Ditiriskan 30 menit

Dikeringkan dalam oven 60°C, 120 menit

Ditepungkan dengan Pin disc mill

Diayak 100 mesh Beras atau Beras ketan

Dikeringkan dalam oven 60°C, 120 menit

Tepung beras atau tepung beras ketan 100 mesh


(14)

dimana:

bb = basis basah bk = basis kering

2) Kadar Abu, Metode Tanur (AOAC 2006)

Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang (B) kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 6000C selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Kemudian abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C).

3) Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC 2006)

Sampel sebanyak ±100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan2±0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

4) Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 2006)

Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sebanyak 5 gram contoh (B) dalam bentuk potongan kecil dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi dan sokhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya


(15)

dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refuks selam 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih.

Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C hinggga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang (C). Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

5) Kadar Karbohidrat (by difference)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan:

dimana:

A = kadar air (% bb) B = kadar abu (% bb) C = kadar lemak (% bb) D = kadar protein (% bb)

6) Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al 1997)

Pembuatan larutan Luff Schoorl

Air sebanyak 1 ml dicampurkan dengan 2.5 gram CuSO4.5H2O lalu diaduk. Larutan ini disebut larutan A. Air sebanyak 5 ml dicampurkan dengan 5 gram asam sitrat. Larutan ini disebut larutan B. Air mendidih sebanyak 40 ml dicampurkan dengan 38,8 gram soda murni (Na2CO3.10H2O). Larutan ini disebut larutan C. Larutan A dan B kemudian dicampurkan ke dalam larutan C (sambil digoyang-goyangkan), lalu didinginkan. Larutan tersebut kemudian ditera di dalam labu takar 100 ml. Standardisasi larutan Na2S2O3 0,1 N

Sebanyak 12,5 gram Na2S2O3.%H2O dicampurkan dengan 0,15 gram Na2CO3 dalam labu takar 500 ml lalu ditera. Titrat dibuat dengan cara melarutkan 20 mg KIO3 dalam 10 ml akuades lalu ditambahkan larutan KI 20% sebanyak 10 ml dan HCl 2 N sebanyak 10 ml, kemudian dititrasi dengan larutan larutan Na2S2O3 yang telah dibuat sebelumnya. Titrasi dilakukan sampai titrat berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan indikator pati sebanyak 5 tetes, kamudian titrasi dilanjutkan sampai warna biru menghilang. Penghitungan normalitas larutan Na2CO3 adalah sebagai berikut :


(16)

Pengukuran sampel

Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25% dimasukkan ke dalam gelas piala pendingin balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan larutan NaOH 45%. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Setelah 10 menit, dinginkan larutan secara cepat dengan merendam larutan dalam air es. Selanjutnya, 15 ml KI 20% dan 25 ml H2SO4 26.5% ditambahkan ke dalam larutan. Lakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan lanjutkan titrasi hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata. Penetapan bobot glukosa dilakukan dengan membandingkan volume Na2S2O3 yang digunakan dalam tabel Luff Schoorl (Lampiran 1). Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

dimana:

Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel FP = faktor pengenceran

7) Kadar Amilosa (Apriyanto et al. 1989)

Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 g amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95%, dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95°C selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetat 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.


(17)

Pengukuran sampel

Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95°C selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100, ditambahkan air destilata hingga tanda tera, dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

dimana:

C = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir contoh (ml)

W = bobot sampel (mg) FP = faktor pengenceran

8) Kadar Amilopektin

Penentuan kadar amilopektin dihitung dari selisih antara kandungan pati dengan amilosa.

Kadar amilopektin (%) = kadar pati (%) – kadar amilosa (%)

9) Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992)

Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a gram) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 ml. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b gram)

10) Profil Gelatinisasi Pati (Singh et al. 2010)

Analisis profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Sebelum dilakukan pengukuran dengan RVA, kadar air sampel harus diukur terlebih dahulu. Sejumlah sampel dan air destilata ditimbang dan dimasukkan ke dalam canister. Jumlah sampel dan air destilata ditentukan oleh program pada alat RVA sesuai dengan kadar air sampel. Selanjutnya, campuran tersebut diaduk menggunakan paddle plastik hingga bercampur sempurna untuk menghindari pembentukan gumpalan sebelum dimasukan ke dalam RVA.

Sampel kemudian dimasukkan pada alat RVA dan dilakukan analisis. Selanjutnya,dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan yang diatur selama 23 menit. Sampel dipanaskan hingga suhu 30°C dan dipertahankan selama 1 menit. Kemudian sampel dipanaskan lagi hingga suhu 95°C selama 7.5 menit.


(18)

Suhu 95°C dipertahankan selama 5 menit sebelum didinginkan hingga suhu 50°C selama 7.5 menit.Suhu 50°C dipertahankan selama 2 menit. Parameter yang diamati adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95°C, viskositas pada suhu 50°C, viskositas breakdown, dan viskositas setback.

Gambar 5. Rapid Visco Analyzer

2.

Kajian

Pengaruh

Rasio

Amilosa-Amilopektin

terhadap

Profil

Gelatinisasi

Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Kemudian setiap sampel dengan rasio amilosa-amilopektin tersebut diujikan sifat amilografinya dengan menggunakan RVA. Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan rasio amilosa-amilopektin terhadap sifat amilografi setiap sampel.

3.

Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan

Kekerasan

a. Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran Tepung Beras dan Ketan

Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan sehingga diperoleh beberapa sampel yang mewakili berbagai rasio amilosa-amilopektin. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan.

Tabel 3. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dalam penentuan rasio amilosa-amilopektin

Jumlah Tepung Beras (gram)

Jumlah Tepung Beras Ketan (gram)

100 0

67 33

30 70


(19)

b. Formulasi Adonan

Tahap ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada tepung gorengan sehingga diperoleh adonan dengan konsistensi terbaik. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan campuran tepung beras-ketan dengan air. Pembuatan adonan ini dilakukan dengan metode trial and error hingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan terbaik. Konsistensi dan campuran adonan terbaik ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Campuran tepung beras-ketan dibuat dalam berbagai perbandingan dengan air. Perbandingan tepung dan air yang diujikan sebanyak 4 formula (Tabel 4).

Tabel 4. Formulasi pembuatan adonan sampel

Formula yang Diujikan Perbandingan Tepung dan Air

A 1:0.5

B 1:0.6

C 1:0.7

D 1:0.8

c. Penentuan Suhu dan Lama Penggorengan Adonan

Pada tahap ini dilakukan penentuan suhu dan lama penggorengan adonan agar diperoleh model produk gorengan terbaik. Suhu yang digunakan pada proses penggorengan umumnya berkisar antara 162-196°C (Orthoefer & Cooper 2004). Adonan kemudian digoreng dengan menggunakan Deep Fat Fryer (Gambar 6). Suhu penggorengan dijaga tetap saat memasukkan sampel ke dalam penggorengan. Suhu tersebut merupakan suhu penggorengan terendam (Orthoefer & Cooper 2004). Penentuan suhu dan lama penggorengan dilakukan dengan metode trial and error.

Gambar 6. Deep Fat Fryer

d. Pembuatan Model Produk Gorengan

Pembuatan model produk gorengan dilakukan pada setiap rasio amilosa-amilopektin. Tahapan pembuatan model produk gorengan terdiri dari pembuatan adonan,


(20)

pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air. Banyaknya penambahan air berdasarkan hasil uji formulasi adonan. Adonan diaduk dengan menggunakan tangan sehingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan yang rata. Konsistensi dan campuran adonan yang rata ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan adonan. Adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g. Kemudian adonan dicetak dengan menggunakan cetakan berbentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14

menit.

e. Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan

Tahapan analisis pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih. Tahapan analisis tersebut terdiri dari seleksi panelis, pelatihan panelis, dan pengujian.

1) Seleksi Panelis

Pemilihan panelis dilakukan dengan menyeleksi 24 orang sehingga didapatkan 8-12 orang yang selanjutnya akan dilatih hingga menjadi panelis terlatih (Adawiyah & Waysima 2009). Tahapan seleksi panelis terlatih meliputi uji identifikasi rasa dan aroma dasar, uji ketepatan dengan menggunakan uji segitiga, dan uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Formulir pendaftaran panelis terlatih dapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji pertama pada tahapan seleksi panelis terlatih adalah uji identifikasi rasa dan aroma dasar. Scoresheet identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Lampiran 3. Uji ketepatan yang dilakukan menggunakan uji segitiga dimana sampel merupakan keripik produk komersial yang dibagi dalam tiga kelompok. Penyajian setiap kelompok terdiri dari tiga sampel dimana terdapat dua produk yang sama dan satu produk yang berbeda. Calon panelis diinstruksikan untuk menulis kode sampel yang berbeda. Scoresheet uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji rangking dilakukan dengan mengurutkan intensitas kerenyahan dan kekerasan dari tiga produk komersial yang berbeda. Scoresheet uji ranking dapat dilihat pada Lampiran 5.

Panelis yang terpilih sebagai kandidat panelis terlatih adalah panelis yang menjawab benar 75% dari uji identifikasi rasa dan aroma dasar, 60% dari sepuluh seri uji segitiga yang dilakukan, dan dapat mengurutkan dengan benar kerenyahan dan kekerasan sampel pada uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Daftar kandidat panelis terlatih yang terpilih dapat dilihat pada Lampiran 6.

2) Pelatihan Panelis dan Penentuan Standar

Panelis yang telah lolos seleksi diberi pelatihan untuk melatih kepekaan sensori terhadap atribut tekstur yang terdiri dari kerenyahan dan kekerasan. Setelah diperoleh kandidat panelis terlatih, diadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan seorang panel leader yang memimpin diskusi tersebut. Selanjutnya, dilakukan penyamaan persepsi antarpanelis dengan pengenalan terminologi istilah kerenyahan dan kekerasan. Kerenyahan menggambarkan seberapa kuat suatu bahan menahan gaya tekan yang menyebabkannya hancur. Kekerasan menggambarkan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Larsen et al 2005). Semakin


(21)

mudah bahan tersebut hancur maka semakin renyah, sedangkan semakin kuat bahan menahan untuk tidak hancur maka semakin tidak renyah. Semakin kuat daya tahan bahan untuk tidak pecah maka semakin keras sedangkan semakin mudah bahan untuk pecah maka semakin tidak keras.

Panelis dilatih untuk dapat menilai intensitas suatu sampel pada skala garis sepanjang 15 cm. Pada tanda awal dan akhir diberi label berupa ekspresi kata-kata yang menunjukkan intensitas dari atribut yang diuji. Panelis memberi tanda berupa garis vertikal atau menyilang pada kisaran respon yang dideteksi. Dalam analisis deskriptif, penggunaan skala garis telah terbukti sangat efektif (Stone & Sidel 2004).

Scoresheet untuk latihan menskala terdapat pada Lampiran 7. Setelah panelis mengetahui terminologi dan cara mendeteksi atribut kerenyahan dan kekeresan, panelis diminta untuk mendeskripsikan atribut kerenyahan dan kekerasan menggunakan skala garis. Penetapan terminologi atribut sensori dilakukan untuk menyamakan konsep atribut sensori sehingga dapat dikomunikasikan antar panelis satu dengan yang lainnya (Stone & Sidel 2004). Sampel yang digunakan antara lain keripik kentang A, keripik kentang B, dan keripik jagung. Panelis dilatih untuk menilai intensitas kerenyahan dan kekerasan dengan melakukan uji rating pada skala garis untuk setiap sampel. Scoresheet untuk melatih kemampuan menilai panelis pada skala garis dapat dilihat pada Lampiran 8. Pelatihan bertujuan untuk melatih kepekaan sensori para panelis terhadap atribut sensori yang akan sangat membantu pada pengujian selanjutnya. Uji rating tersebut dilakukan berulang kali hingga panelis dapat membuat urutan yang tepat untuk setiap sampel. Uji rating pada skala garis tersebut akan menghasilkan nilai-nilai intensitas aroma menurut subjektivitas panelis yang terukur melalui garis yang ditandai.

Penentuan standar menggunakan sampel dengan menggunakan perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Nilai intensitas standar yang digunakan berdasarkan hasil penilaian panelis terlatih. Scoresheet penilaian intensitas standar dapat dilihat pada Lampiran 9.

3) Pengujian

Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan. Pengujian sampel produk gorengan menggunakan metode sensori profil tekstur. Pada saat pengujian, sampel produk gorengan ditempatkan dalam wadah plastik tertutup agar atribut kerenyahan dan kekerasan tidak berubah. Penilaian dilakukan pada skala garis sepanjang 15 cm (diasumsikan skala 0-100) sesuai dengan intensitas atribut kerenyahan dan kekerasan yang terdapat di dalamnya dengan bantuan standar. Adanya standar pada setiap atribut membantu panelis untuk mengingat dan menyamakan persepsi dengan panelis lainnya. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk melihat konsistensi panelis dan menghindari bias. Scoresheet uji profil tekstur dapat dilihat pada Lampiran 10. Berikut kajian analisis yang dilakukan pada penelitian ini.


(22)

4.

Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan

terhadap Kerenyahan dan Kekerasan

Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui seberapa besar laju penurunan kerenyahan serta efek yang terjadi terhadap kekerasan produk gorengan. Pada dasarnya kajian ini berhubungan erat dengan peningkatan kadar air produk dan efek kandungan amilosa dan amilopektin. Produk tersebut disimpan di ruang terbuka. Skala waktu penyimpanan ditentukan selama 6 jam berdasarkan trial and error. Pengukuran kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya.

5.

Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap

Kerenyahan dan Kekerasan

Kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan dilakukan dengan mengukur kadar air berdasarkan lamanya penggorengan. Sampel yang digunakan adalah perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Kemudian setiap sampel diukur tingkat kerenyahan dan kekerasannya menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Kajian ini membuktikan pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan gorengan.

6.

Analisis Data

Analisis data sensori pengaruh rasio amilosa-amilopektin, kadar air, dan lama penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan masing-masing diolah dengan SPSS 16.0 for Windows pada program ANOVA (Analysis of variants). Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95% (α = 0.05). Jika nilai Sig. pada tabel output SPSS lebih kecil dari 0.05, terdapat perbedaan nyata antar perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Sebaliknya, nilai Sig. yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang tidak berbeda nyata. Jika perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan antara atribut kerenyahan dan kekerasan untuk masing-masing perlakuan.


(23)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN

1.

Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang sudah disosoh sehingga hanya terdiri dari komponen endosperma. Pembuatan tepung beras IR64 dan beras ketan Ciasem menggunakan metode penggilingan kering dengan penambahan perlakuan perendaman sebelum penggilingan merujuk pada penelitian Suksomboon & Onanong (2006). Chiang & Yeh (2002) melaporkan perendaman menyebabkan struktur biji beras melonggar dan melunak akibat hidrasi sehingga menghasilkan partikel tepung yang kecil dengan kerusakan pati yang sedikit. Semakin tinggi tingkat difusi air, semakin lunak biji beras. Selama perendaman, protein, lipid, dan abu juga tercuci keluar (Chiang & Yeh 2002). Biji beras dan beras ketan dikeringkan dalam tray dryer yang berguna untuk mengurangi kadar air butir beras dan beras ketan sehingga memudahkan dalam proses penepungan menggunakan pin disc mill. Jika kadar air terlalu tinggi, maka butir beras dan beras ketan akan menempel pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan dalam alat tersebut. Di sisi lain, jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Penggilingan bertujuan untuk memperhalus ukuran butir beras dan beras ketan menjadi tepung dengan menggunakan pin disc mill. Untuk memperoleh tepung beras dan beras ketan dengan ukuran partikel yang seragam, pengayakan dilakukan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Penggunaan ayakan 100 mesh merujuk pada SNI 3549-2009 yang menyebutkan bahwa kehalusan tepung beras harus dapat lolos ayakan 80 mesh minimal sebanyak 90%, sedangkan SNI 01-4447-1998 menyebutkan bahwa tepung beras ketan harus dapat lolos ayakan 60 mesh minimal sebanyak 99% dan ayakan 80 mesh minimal sebanyak 70%. Hasil rendemen penepungan beras IR64 dan beras ketan Ciasem pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rendemen tepung beras IR64 dan ketan Ciasem

Bahan Baku Berat Awal (kg)

Berat Akhir (kg)

Rendemen (%) Beras IR 64 4.1360 3.0540 73.84

Beras ketan Ciasem 4.8500 2.5700 52.99

Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa rendemen tepung beras ketan Ciasem lebih rendah (52.99%) dibandingkan dengan tepung beras IR64 (73.84%). Ketan memiliki kandungan amilopektin lebih banyak dibandingkan dengan amilosanya. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket. Pada saat penepungan, tepung beras ketan lebih mudah menempel pada pin disc mill dibandingkan tepung beras. Hal ini dapat menyebabkan rendemen yang dihasilkan menjadi rendah. Kadar air yang terlalu tinggi pada butir beras dan beras ketan juga menyebabkan menempelnya tepung pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga mengurangi rendemen.


(24)

2.

Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

a. Proksimat

Analisis proksimat pada bahan pangan dilakukan untuk mengetahui nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat tepung beras IR64 secara berturut-turut sebesar 9.23%, 0.35%, 8.25%, 0.29%, dan 81.88%, sedangkan untuk tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.99%, 0.63%, 8.14%, 0.29%, dan 81.95%. Pada Tabel 7, dapat dilihat hasil analisis proksimat tepung beras varietas lainnya sebagai pembanding.

Tabel 6. Hasil analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Proksimat Tepung Beras IR64

(%bb)

Tepung Beras Ketan Ciasem (%bb)

Kadar air 9.23±0.02 8.99±0.09

Kadar abu 0.35±0.01 0.63±0.01

Kadar protein 8.25±0.04 8.14±0.03

Kadar lemak 0.29±0.01 0.29±0.00

Kadar karbohidrat 81.88 81.95

Keterangan: pengujian proksimat dilakukan sebanyak dua kali ulangan

Hasil kadar air tepung beras IR64 dan ketan Ciasem memenuhi standar SNI tepung beras dengan kadar air maksimum 13%bb dan SNI tepung beras ketan dengan kadar air maksimum 12%bb sehingga telah memenuhi syarat untuk disimpan pada suhu ruang. Daya tahan suatu bahan dapat diperpanjang dengan menghilangkan sebagian air dalam bahan tersebut (Winarno 1997). Kadar air tepung ditentukan oleh pengeringan yang dilakukan sebelum pengayakan tepung. Proses pengeringan harus dilakukan dengan baik agar tepung yang diperoleh benar-benar kering. Jika tepung belum kering dengan sempurna, tepung akan menempel dan terasa dingin di tangan. Penyimpanan tepung dalam kondisi tidak kering sempurna menyebabkan kerusakan pada tepung. Menurut Winarno (1997) pengeringan dapat menghilangkan molekul air yang berikatan dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti karbohidrat, protein, atau garam dalam bentuk hidrat.

Tabel 7. Hasil analisis proksimat pembanding tepung beras varietas lain

Karakteristik Kimia

Jenis Tepung Beras (%bb)

Cisadane* Cisadane** PB36** IR36*** Semeru*** Cisadane***

Kadar air 13.63 8.97 8.68 10.3 10.01 10.75

Kadar abu 0.33 0.51 0.56 0.4 0.45 0.48

Kadar protein 8.54 9.18 10.66 8.21 8.11 9.34

Kadar lemak 0.37 0.54 0.33 0.28 0.34 0.43

Kadar karbohidrat 77.13 80.8 79.77 80.81 81.09 79


(25)

Unsur mineral dalam bahan pangan dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu pada tepung beras IR64 sebesar 0.35%bb dan tepung ketan Ciasem sebesar 0.63%bb. Berdasarkan SNI 3549:2009, kadar abu maksimum untuk tepung beras sebesar 1.0%bb, sedangkan kadar abu maksimum untuk tepung beras ketan sebesar 1.0%bb berdasarkan SNI 01-4447-1998. Hal ini menunjukkan bahwa tepung beras IR64 dan ketan Ciasem pada penelitian ini memenuhi standar SNI. Kandungan abu yang rendah disebabkan perlakuan perendaman. Menurut Chen et al. (1999), bahwa perendaman menyebabkan larutnya sebagian mineral, vitamin larut air, albumin,dan gula ke dalam air perendam.

Kadar protein tepung beras IR64 sebesar 8.25%bb dan kadar protein tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.14%bb. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan pada nitrogen yang terkandung dalam bahan (Apriyantono

et al. 1989). Kandungan protein berperan penting dalam kemampuan pengembangan granula pati. Protein mengelilingi granula pati, membatasi pengembangan granula, dan sifat kohesinya menghambat keluarnya material dari dalam granula selama proses gelatinisasi (Charles et al. 2007). Pada proses perendaman sebelum penggilingan, terjadi proses aktivasi enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi komponen sederhana seperti peptida dan asam amino yang lebih larut (Chiou et al. 2002). Protein melekat pada permukaan granula pati dan mengisi ruang diantara granula pati. Perlakuan perendaman mengakibatkan penyerapan air sehingga struktur granula pati retak dan protein keluar (Chiang &Yeh 2002). Hal ini dapat mengakitkan kandungan protein menjadi rendah.

Tepung beras IR64 dan ketan Ciasem memiliki kandungan lemak yang sama yaitu sebesar 0.29%bb. Selama perendaman, kemungkinan lemak terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim-enzim. Enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak terdapat pada semua jaringan yang mengandung lemak (Winarno 1997). Gliserol lebih mudah larut ke dalam larutan perendam sehingga kadar lemaknya menurun. Menurut Chiang & Yeh (2002) bahwa perlakuan perendaman pada beras menghasilkan tepung dengan jumlah lemak yang lebih sedikit. Selain itu, kadar lemak yang rendah pada tepung beras dan ketan disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat penyosohan brown rice.

Penentuan kadar karbohidrat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem menggunakan cara perhitungan kasar atau juga disebut carbohydrate by difference. Menurut Winarno (1997), perhitungan carbohydrate by difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar dan hasilnya biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan pangan. Kandungan karbohidrat pada tepung beras IR 64 sebesar 81.88%bb dan tepung beras ketan Ciasem sebesar 81.95%bb.

b. Kadar Pati, Amilosa, dan Amilopektin

Pada penelitian ini, penentuan kadar pati tepung beras IR64 dan ketan Ciasem menggunakan metode Luff Schoorl. Metode tersebut menggunakan cara titrasi untuk menentukan kadar pati sampel. Hasil kadar pati sampel dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil penelitian menunjukkan kadar pati tepung beras IR64 (72.37%) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem sebesar (71.31%). Pada penelitian Setyaningsih (2008) kadar pati beras IR64 sebesar 73.7%bb. Pada penelitian Argasasmita (2008), kadar pati beras ketan Ciasem sebesar 81.31%bb. Kadar pati tepung beras IR64 dan ketan Ciasem pada


(26)

penelitian ini lebih rendah dibandingkan pati beras IR64 penelitian Setyaningsih (2008) dan ketan Ciasem penelitian Argasasmita (2008).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan

α-(1,4)-D-glikosida, sedangkan amilopektin mempunyai cabang α-(1,6)-D-glikosida sebanyak 4-5% berat total (Winarno 1997). Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin sampel dapat dilihat pada Tabel 8. Amilosa dan amilopektin berpengaruh besar terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati (Jane et al. 1999).

Tabel 8. Hasil analisis kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung beras IR64 dan ketan Ciasem

Karakteristik Kimia Tepung Beras IR64 (%bb)

Tepung Beras Ketan Ciasem (%bb) Kadar pati 72.37±0.10 71.31±0.25

Kadar amilosa 26.58±0.24 2.46±0.02

Kadar amilopektin 45.80±0.14 68.85±0.23

Keterangan: pengujian kadar pati, amilosa, dan amilopektin dilakukan sebanyak dua kali ulangan

Analisis kadar amilosa dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar amilosa murni (Lampiran 13) digunakan untuk menentukan konsentrasi amilosa yang terkandung dalam sampel pati yang diuji. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kandungan amilosa pada tepung beras ketan Ciasem (2.46%) lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras IR64 (26.58%). Berdasarkan penelitian Lestari (1987), kadar amilosa tepung beras IR36, Semeru, dan Cisadane berturut-turut sebesar 27.75%, 27.55%, dan 22.12%. Tepung beras ketan Ciasem memiliki kadar amilosa yang paling rendah, sedangkan tepung beras IR64 memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung beras ketan Ciasem dan Cisadane tetapi masih lebih rendah dibandingkan IR36 dan Semeru. Semakin tinggi kandungan amilosa suatu bahan maka semakin kecil kandungan amilopektin bahan tersebut. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kandungan amilopektin tepung beras IR64 sebesar 45.80% dan ketan Ciasem sebesar 68.85%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Argasasmita (2008), kadaramilosa beras ketan Ciasem sebesar 7.32% dan amilopektin sebesar 73.99. Beras IR64 memiliki kadaramilosa sebesar 24.6% dan amilopektin sebesar 49.2% (Setyaningsih 2008). Kadar amilosa berpengaruh besar pada gelatinisasi dan retrogradasi pati (Fredriksson et al. 1998), viskositas pasta (Yanagisawa et al. 2006), pembentukan gel (Biliaderis dan Zawistowski 1990), dan daya cerna α-amylase (Skrabanja et al. 1999). Kadar amilosa dilaporkan bervariasi sesuai sumber penghasil patinya dan dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah selama pertumbuhan biji (Singh et al. 2006).

c. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan perbandingan bobot terhadap volume suatu bahan. Pengukuran densitas kamba pati sorgum dilakukan dengan memasukkan sejumlah


(27)

tepung ke dalam wadah yang telah diketahui volumenya. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem

Jenis Densitas Kamba (g/ml)

Tepung beras IR64 0.75±0.00

Tepung beras ketan Ciasem 0.78±0.00

Keterangan: pengujian densitas kamba dilakukan sebanyak dua kali ulangan

Densitas kamba tepung beras IR64 (0.75 g/ml) lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras ketan Ciasem (0.78 g/ml). Semakin tinggi densitas kamba suatu bahan, semakin besar bobot untuk setiap volumenya. Bahan dengan densitas kamba yang tinggi membutuhkan volume yang lebih kecil dibanding bahan dengan densitas kamba yang rendah pada bobot yang sama. Densitas kamba suatu bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan dengan ukuran partikel yang lebih besar akan memiliki densitas kamba yang lebih kecil. Ukuran partikel meningkat menyebabkan pori-pori ruang diantara partikel meningkat sehingga menurunkan densitas kamba (Chevananet al. 2010). Pada penelitian ini, ukuran partikel tepung beras IR64 dan ketan Ciasem tidaklah sama. Hal ini dikarenakan tepung hanya diayak dengan ayakan 100 mesh sehingga keragaman ukuran partikel tepung dapat berada diantara 100 mesh atau lebih besar. Pengukuran densitas kamba berguna untuk mengetahui seberapa besar volume yang diperlukan untuk menyimpan sejumlah besar bahan.

d. Profil Gelatinisasi Pati

Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dianalisis dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Menurut Winarno (1997), mekanisme gelatinisasi pati terdiri dari tiga tahap. Pertama, air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula. Kemudian pada suhu 60°C-85°C granula akan mengembang dengan

cepat dan akhirnya kehilangan sifat ”birefringence”-nya. Pada tahap ketiga, jika temperatur terus naik maka molekul-molekul pati akan terdifusi dari granula. Kurva gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Tabel 10. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem

Sampel

Tepung Beras IR64 Tepung Beras Ketan Ciasem

Viskositas puncak (cP) 4921 3789

Viskositas trough (cP) 3139.5 1814

Viskositas breakdown

(cP)

1781.5 1975

Viskositas akhir (cP) 8283.5 2989

Viskositas setback (cP) 5144 1175

Waktu puncak (menit) 9.1 5.3

Suhu gelatinisasi (C) 82.475 62.425


(28)

Pada Tabel 10 terlihat bahwa tepung beras IR64 memiliki viskositas puncak (4921 cP) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (3789 cP). Lin et al. (2011) melaporkan viskositas puncak tepung beramilosa sedang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beramilosa rendah. Viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak. Kompleks amilosa dengan lemak akan meningkatkan suhu gelatinisasi sehingga viskositas puncak, akhir, dan setback meningkat (Lee et al. 2002). Hal ini terlihat dari nilai viskositas akhir tepung beras IR64 (8283.5 cP) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (2989 cP). Begitu pun nilai viskositas setback

tepung beras IR64 (5144 cP) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (1175 cP). Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Pada Tabel 11 dapat dilihat hasil penelitian Lin et al. (2011) mengenai profil gelatinisasi rata-rata tepung beras beramilosa rendah, sedang, dan tinggi dari berbagai macam jenis beras sebagai pembanding.

Viskositas trough merupakan viskositas minimum pada fasa suhu konstan yang mengukur kemampuan pati untuk bertahan terhadap breakdown selama proses pemanasan. Viskositas trough tepung beras IR64 lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem. Viskositas breakdown menunjukkan stabilitas granula pati selama pemanasan dan pengadukan. Tepung beras IR64 memiliki nilai viskositas breakdown

(1781.5 cP) yang lebih rendah daripada tepung beras ketan Ciasem (1975 cP). Viskositas

breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002). Hasil penelitian menunjukkan tepung beras IR64 lebih tahan terhadap pengadukan dan pemanasan. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan.

Tabel 11. Profil gelatinisasi pati berbagai jenis tepung beras berdasarkan kandungan amilosa (Lin et al. 2011)*

Tepung Beras Beramilosa

Rendah

Tepung Beras Beramilosa

Sedang

Tepung Beras Beramilosa

Tinggi Viskositas puncak (cP) 2762 6154 5466 Viscositas Hot Pasting

(cP) 1247 2413 3250

Viskositas breakdown (cP) 1515 3741 2216

Viskositas akhir (cP) 1700 4090 6574

Viskositas setback (cP) 453 1677 3324

Suhu gelatinisasi (C) 68.9 71.1 70.1


(29)

Viskositas setback merupakan parameter yang dipakai untuk melihat kecendrungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Winarno 1997). Retrogradasi merupakan terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula pati setelah pasta didinginkan. Menurut Goodfellow & Wilson (1990), proporsi amilosa dan struktur amilopektin memiliki peranan penting pada kecepatan dan derajat retrogradasi pati. Nilai viskositas setback tepung beras IR64 lebih tinggi dibandingkan tepung beras ketan Ciasem. Berdasarkan penelitian Lin et al.(2011), nilai viskositas setback tepung beramilosa tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beramilosa rendah dan sedang. Tepung beras IR64 memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beras ketan Ciasem. Nilai viskositas setback yang tinggi akan menghasilkan sifat kohesif dan hardness yang tinggi pada mi serta kelengketan dan

cooking loss yang rendah. Retrogradasi pati berhubungan dengan perubahan tekstur dan daya cerna produk pangan berbasis pati selama penyimpanan (Matalanis et al. 2009).

Waktu puncak merupakan parameter waktu pemasakan pasta pati. Waktu puncak tepung beras IR64 lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem. Hal ini berarti tepung beras IR64 memiliki waktu pemasakan pasta pati yang lebih lambat daripada tepung beras ketan Ciasem. Hal tersebut menyebabkan tepung beras IR64 lebih lambat mengental dan mencapai viskositas puncaknya. Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana mulai terdeteksi adanya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 (82.475°C) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (62.425°C). Lin et al. (2011) melaporkan suhu gelatinisasi tepung beras lebih tinggi daripada tepung beras ketan. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama dan energi termal yang lebih besar selama proses. Suhu gelatinisasi yang tinggi mengindikasikan stabilitas kristal molekul pati (Moorthy 2002).

Gambar 7. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras ketan Ciasem = Suhu = Viskositas Viskositas puncak

Viskositas trough

Viskositas setback

Viskositas breakdown

Suhu awal gelatinisasi

Viskositas akhir


(30)

Gambar 8. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64

B.

KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP

PROFIL GELATINISASI

Sebelum dilakukan analisis sensori, adonan diuji profil gelatinisasinya dengan menggunakan alat RVA. Profil gelatinisasi keempat rasio amilosa-amilopektin dapat dilihat pada Tabel 12. Profil gelatinisasi menunjukkan rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki viskositas puncak, trough, akhir, setback, dan suhu gelatinisasi tertinggi diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.4, 0.2, dan terendah 0.04. Hal ini menunjukkan viskositas puncak, trough, akhir,

setback, dan suhu gelatinisasi berkorelasi positif dengan kandungan amilosa pada tepung. Tabel 12. Profil gelatinisasi pati dari sampel

Rasio Amilosa-Amilopektin

0.58 0.4 0.2 0.04

Viskositas puncak (cP) 4921 4093.5 3041.5 3789 Viskositas trough (cP) 3139.5 2868 1994 1814

Viskositas breakdown (cP) 1781.5 1225.5 1047.5 1975

Viskositas akhir (cP) 8283.5 6351.5 3963 2989

Viskositas setback (cP) 5144 3483.5 1969 1175

Waktu puncak (menit) 9.1 9.33 8.965 5.3

Suhu gelatinisasi (C) 82.475 68.6 65 62.425

Keterangan: pengujian profil gelatinisasi pati dilakukan sebanyak dua kali ulangan

Viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak. Kompleks amilosa dengan lemak akan meningkatkan suhu gelatinisasi sehingga viskositas puncak, akhir, dan

setback meningkat (Lee et al. 2002). Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan.

Viskositas puncak

Viskositas akhir

Viskositas setback

Viskositas breakdown

Viskositas trough

Suhu awal

gelatinisasi Waktu puncak

= Suhu = Viskositas


(31)

Viskositas trough merupakan viskositas minimum pada fasa suhu konstan yang mengukur kemampuan pati untuk bertahan terhadap breakdown selama proses pemanasan. Viskositas

breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002). Semakin tinggi kandungan amilosa pada tepung maka semakin tinggi nilai viskositas trough. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan.

Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin

et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Semakin banyak amilosa pada sampel akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya (Ulyarti 1997).

Viskositas setback merupakan parameter yang dipakai untuk melihat kecendrungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi merupakan terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula pati setelah pasta didinginkan. Sampel dengan amilosa tinggi mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur, atau remuk. Nilai viskositas setback yang tinggi akan menghasilkan sifat kohesif dan kekerasanyang tinggi. Suhu gelatinisasi yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama dan energi termal yang lebih besar selama proses. Suhu gelatinisasi yang tinggi mengindikasikan stabilitas kristal molekul pati (Moorthy 2002). Lin et al. (2011) ,melaporkan tepung beramilosa tinggi memiliki gel tepung yang lebih keras, adesif, dan kompak dibandingkan tepung beramilosa rendah dan sedang.

C.

KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP

KERENYAHAN DAN KEKERASAN

1.

Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran

Tepung Beras dan Ketan

Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras IR64 dan tepung beras ketan Ciasem sehingga diperoleh beberapa sampel yang mewakili berbagai rasio amilosa-amilopektin. Empat perlakuan rasio amilosa-amilopektin yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 13.


(32)

Tabel 13. Hasil rasio amilosa-amilopektin berdasarkan pencampuran tepung beras dan ketan

Jumlah Tepung Beras (gram)

Jumlah Tepung Ketan (gram)

Rasio Amilosa-Amilopektin

100 0 0.58

67 33 0.40

30 70 0.20

0 100 0.04

2.

Formulasi Adonan

Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan campuran tepung beras IR64-tepung beras ketan Ciasem dengan air. Pembuatan adonan ini dilakukan dengan metode trial and error. Perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan yang digunakan adalah 50:50. Perbandingan tepung dan air yang diujikan sebanyak 4 formula, yaitu formula A = 1:0.5, formula B = 1:0.6, formula C = 1:0.7, dan formula D = 1:0.8. Berdasarkan perlakuan trial and error yang telah dilakukan, perbandingan tepung beras-tepung beras ketan dan air yang memiliki konsistensi dan campuran adonan terbaik adalah 1:0.7 (Gambar 9). Pada formula A (1:0.5) dan formula B (1:0.6), adonan yang terbentuk mudah hancur sehingga tidak bisa dicetak. Formula C (1:0.7) menghasilkan konsistensi dan campuran adonan terbaik ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk, dicetak, dan tidak mudah hancur. Formula D (1:0.8) menghasilkan adonan yang cair, lengket, dan sulit dicetak.

1:0.5 1:0.6 1:0.7 1:0.8 Perbandingan tepung : air

Gambar 9. Adonan hasil pencampuran tepung dan air pada empat rasio berbeda

3.

Pembuatan Model Produk Gorengan

Pembuatan model produk gorengan dilakukan pada setiap rasio amilosa-amilopektin. Tahapan pembuatan model produk gorengan terdiri dari pembuatan adonan, pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air. Perbandingan tepung dan air yang digunakan adalah 1:0.7 berdasarkan uji sebelumnya. Adonan diaduk dengan menggunakan tangan sehingga diperoleh konsistensi dan pencampuran antara tepung dan air yang rata. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan


(1)

Lampiran 32. Data analisis profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan (lanjutan)

Panelis 0.04 (2 jam) Rata-rata SD 0.04 (2 jam) Rata-rata SD

U1 U2 U3 U1 U2 U3

1 5.9 8.6 6.5 7.00 1.42 39.33 57.33 43.33 46.67 9.45 2 9.7 8.1 7.4 8.40 1.18 64.67 54.00 49.33 56.00 7.86 3 8.3 11.4 9.1 9.60 1.61 55.33 76.00 60.67 64.00 10.73 4 7.4 6.3 7.1 6.93 0.57 49.33 42.00 47.33 46.22 3.79 5 10.2 11.6 9.4 10.40 1.11 68.00 77.33 62.67 69.33 7.42 6 10.2 8.6 7.4 8.73 1.40 68.00 57.33 49.33 58.22 9.37 7 9.7 9.4 8.1 9.07 0.85 64.67 62.67 54.00 60.44 5.67 8 9 6.7 7.6 7.77 1.16 60.00 44.67 50.67 51.78 7.73 Rata-rata 8.80 8.84 7.83 8.49 0.57 58.67 58.92 39.39 56.58 11.20

SD 1.52 1.93 0.99 10.14 12.89 6.61

Panelis 0.04 (4 jam) Rata-rata SD 0.04 (4 jam) Rata-rata SD

U1 U2 U3 U1 U2 U3

1 5.8 5.5 4.9 5.40 0.46 38.67 36.67 32.67 36.00 3.06 2 9.1 7.8 6.5 7.80 1.30 60.67 52.00 43.33 52.00 8.67 3 9.6 9.7 7.5 8.93 1.24 64.00 64.67 50.00 59.56 8.28 4 6.5 6 5.4 5.97 0.55 43.33 40.00 36.00 39.78 3.67 5 9.2 9.7 8.3 9.07 0.71 61.33 64.67 55.33 60.44 4.73 6 8.1 8.2 5.4 7.23 1.59 54.00 54.67 36.00 48.22 10.59 7 7.7 9.5 7.5 8.23 1.10 51.33 63.33 50.00 54.89 7.34 8 6.7 4.3 5.7 5.57 1.21 44.67 28.67 38.00 37.11 8.04 Rata-rata 7.84 7.59 6.40 7.28 0.77 52.25 50.58 34.53 48.50 9.78


(2)

Lampiran 32. Data analisis profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan (lanjutan)

Panelis 0.04 (6 jam) Rata-rata SD 0.04 (6 jam) Rata-rata SD

U1 U2 U3 U1 U2 U3

1 7.3 5.45 4.6 5.78 1.38 48.67 36.33 30.67 38.56 9.20 2 6.3 7.5 6.5 6.77 0.64 42.00 50.00 43.33 45.11 4.29 3 6.3 9.2 4.4 6.63 2.42 42.00 61.33 29.33 44.22 16.12 4 5.4 3.6 4.1 4.37 0.93 36.00 24.00 27.33 29.11 6.19 5 6.9 6.3 4.3 5.83 1.36 46.00 42.00 28.67 38.89 9.08 6 5.4 3.1 4.1 4.20 1.15 36.00 20.67 27.33 28.00 7.69 7 4 9.4 3.6 5.67 3.24 26.67 62.67 24.00 37.78 21.60 8 3.5 1.25 3.1 2.62 1.20 23.33 8.33 20.67 17.44 8.00 Rata-rata 5.64 5.73 4.34 5.23 0.78 37.58 38.17 25.51 34.89 7.15


(3)

Lampiran 33. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan

Between-Subjects Factors

Value Label N

Lama_penyimpanan 1 0.58_2 24

2 0.58_4 24

3 0.58_6 24

4 0.04_2 24

5 0.04_4 24

6 0.04_6 24

Panelis 1 18

2 18

3 18

4 18

5 18

6 18

7 18

8 18

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kerenyahan

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Model 283722.418a 13 21824.801 202.321 .000

Lama_penyimpanan 8165.074 5 1633.015 15.138 .000

panelis 4026.899 7 575.271 5.333 .000

Error 14131.223 131 107.872

Total 297853.641 144


(4)

Lampiran33. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan (lanjutan)

Post Hoc Tests

Lama_penyimpanan

Homogeneous Subsets

Kerenyahan Duncan

Lama_pe nyimpana

n N

Subset

1 2 3 4

0.04_6 24 34.8887

0.58_6 24 36.0283

0.58_4 24 39.9175 39.9175

0.58_2 24 44.6250 44.6250

0.04_4 24 48.5004

0.04_2 24 56.5829

Sig. .116 .119 .198 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(5)

Lampiran 34. Data analisis kadar air pada perlakuan lama penyimpanan Lama penyimpanan W sampel (g) Wkering (g) Wcawan (g) KA (%bb) x (%bb) SD RSD H RSD A

0.04 (2 jam) 4.9238 6.4481 6.3412 7.0131 7.01 0.0

1 1.49 0.07 4.5817 6.0391 5.937 7.0056

0.04 (4 jam) 4.3413 5.8598 5.7278 8.6928 8.63 0.0

9 1.45 0.99 5.1611 6.8911 6.7428 8.5723

0.04 (6 jam) 4.6054 5.9418 5.815 9.4882 9.53 0.0

5 1.42 0.57 5.0907 6.4133 6.2868 9.5645

0.58 (2 jam) 4.5238 5.8028 5.7399 4.9179 4.95 0.0

4 1.57 0.86 6.7199 8.7366 8.6362 4.9784

0.58 (4 jam) 4.712 6.0532 5.9782 5.5920 5.62 0.0

4 1.54 0.74 4.9635 6.9668 6.8536 5.6507

0.58 (6 jam) 4.5414 6.3045 6.1963 6.1369 6.20 0.0

9 1.52 1.39 4.3993 5.7335 5.65 6.2584

Lampiran 35. Analisis ragam kadar air pada perlakuan lama penyimpanan

ANOVA Kadar_air

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 31.603 5 6.321 1.795E3 .000

Within Groups .021 6 .004


(6)

Lampiran 35. Analisis ragam kadar air pada perlakuan lama penyimpanan (lanjutan)

Post Hoc Tests

Kadar_air Duncan

rasio_ami losa_amil

opektin N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6

0.58_2 2 4.9482

0.58_4 2 5.6214

0.58_6 2 6.1976

0.04_2 2 7.0093

0.04_4 2 8.6326

0.04_6 2 9.5264

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000