Hasil Pengamatan dan Wawancara

Hari selanjutnya kebetulan objek yang peneliti tentukan berada disebuah kedai kopi saat sarapan pagi hari. Pada saat bersamaan peneliti melintas dari sana dan secara spontan peneliti menghampirinya. karena peneliti telah mengenal objek tersebut, peneliti langsung saja menyampaikan maksut dan tujuan peneliti kepadanya, kemudian wawancara pun dilakukan secara spontan mengenai komunikasi antaratutur besan pada suku Simalungun. Demikan selanjutnya penelitian dilakukukan sampai data yang dibutuhkan peneliti dirasa cukup dengan indikator data sudah jenuh dimana jawaban yang dilontarkan para informan hampis semuanya sama.

4.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara

Brikut hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap delapan masyarakat kelurahan Pematang Raya sebagai subjek penelitian : Informan I Nama : Rabana Saragih Garingging Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Status : Menikah Usia : 58 tahun Wawancara dilakukan di sebuah kedai kopi pada tangal 25 November 2012 di kampung tersebut sekitar pukul 09.00 wib, karena secara kebetulan informan yang peneliti tentukan sesuai kriteria, yaitu Raban Saragih Garingging. Beliau adalah salah satu dari keturunan raja Raja yang pada zaman dahulu berkuasa didaerah ini. Sembari ia sarapan, peneliti mewawancarai bapak tersebut dan beliau pun menjelaskan dengan senang hati dan dibarengi selingan humor. Bapak yang berkumis uban dan murah tersenyum ini menjelaskan mulai dari awal bahwa besan itu adalah istri dari tulang anaknya. Jadi tidak bisa sembarangan terhadap besan tersebut. Ketika sembarangan kepada besan itu berarti dia sudah sembarangan juga terhadap todong kita sendiri. Adat-istiadat suku Simalungun dahulu, tidak membenarkan orang yang berstatus tutur besan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara itu duduk bersama atau bicara sembarangan bersama. Bahkan Dahulu seandainya berkunjung kerumah tondong, tapi yang berada disana hanya besanya, seandainya seseorang itu haus, maka dia hanya bisa berbicara kepada tiang atau dinding dengan harapan didengar besannya, kemudian si besan pun memberi tetapi tidak bisa berhadapa langsung, melainkan hanya ditaruhkan begitu saja. Atau misalnya ada anaknya disana maka anaknyalah sebagai perantara. Karena mereka tidak boleh berbicra langsung berdua. Proses komunikasi yang terdapat dalam hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aturan adat. Secara sederhana dapat dikatakan komunikasinya tidak berjalan dengan baik. Terdapat hambatan yang membatasi proses komunikasi diantara mereka. Hambatan komunikasi yang terjadi adalah hambatan yang bersumber dari budaya. Aturan budayalah yang telah mengatur pola komunikasi antara tutur besan tersebut. “Besan itu adalah istri tulangnya anak kita, atau bisa dibilang botounya istri kita. Kenapa kita tidak bisa sembarangan sama besan? karena kalo kita sembarangan sama besan itu berarti kita telah sembarangan sama tondong kita sendiri, tulangnya anak kita sendiri. Makanya kalo di simalungun itu yang marbesan itu duduk bareng aja gak bisa atau cakap kotor ga bisa. Makanya kalo disimalungun dulu ada istilah seumpanya situtur yang besan ini datng kerumah, trus tondongnya ga disitu, trus seumpamanya dia itu haus, dibilangnya “diambil tiang rumah ini lah teh samaku, trus diambilah... dikasilah, itupun mengasinya gak boleh berhadapan gitu, ditarokan aja diatas meja, kalo misalnya ada anaknya dibilanglah “suruh kelamu minum” gak boleh mereka berbicara langsung, ga bisa.” Dalam tradisi adat-istiadat suku Simalungun terdapat istilah “hormat martondong” yang memiliki arti harus hormat, santun dan tidak bisa sembarangan terhadap tondong. Berdasarkan hal itulah tutur besan ini merupakan sebuah penghormatan, dimana besan dan tondong itu merupakan sebuah kesatuan dalam keluarga yang harus dihormati. Ketika seseorang telah menghormati dan menghargai besannya dan tidak sembarangan terhadap besannya, berarti secara bersamaan pada saat yang sama dia juga telah menghormati tondongnya. Hal ini sebenarnya menekankan pada bagaimana cara berkomunikasi apabila kepada besan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Itu hanya sekedar penghormatan, karna kalo disimalungun itu kan harus hormat martondong, karna botonya adalah istri kita, jadi istrinya tondong itu lah besan kita itu, jadi kalo kita menghargai besan kita itu, berartikita menghargai tulang atau tondong tadi. Selain itu, terdapat juga hal lain yang berkaitan dengan mengapa harus ada pantangan dalam hal komunikasi diantara tutur besan tersebut. Adanya larangan atau pantangan yang menjadi penghambat komunikasi adalah kareana pada zaman dahulu biasanya orang-orang hidup dalam satu kampung yang terkumpul, dan bisa aja yang berbesan itu bertetangga dan dahulu kalau satu kampung itu biasanya adalah yang satu keturunan saoppung atau secara sederhana dapat dikatakan dalam sebuah perkampungan itu merupakan satu keluarga besar. Dari situ ada gejala hal yang negatif yang timbul, dan untuk menjaga agar supaya tidak terjadi hal tersebut dibuatlah sebuah aturan berupa pantangan atau larangan. Karena yang berbesan ini sebelumnya adalah orang lain, tetapi menjadi sebuah tutur yang masuk ke sebuah keluarga karena pernikahan dengan anggota keluarga tersebut. Jadi karena hal ini mungkin saja terjadi perselingkuhan diantara mereka, jadi timbullah aturan adat yang membatasi ruang gerak diantara mereka. Dengan adanya pembatasan komunikasi tersebut maka hal negatif tersebut tidak akan terjadi diantara mereka. Secara sederhana dapat diuraikan hal tersebut membuktikan bahwa dengan terbatas atau terhambatnya komunikasi maka efek yang dihasilkan pun akan semakin kecil atau bahkan tidak ada. “Karna zaman dulu di pantangkan karena, biasanya kalau zaman dulu satu kampung atau mungkin berendeng rumah, jadi supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya biarjangan terjadi perselingkuhan karena mereka adalah orang luar yang datang kekeluarga kita.. dan hidup di satu kampung.. karna kalo dulu dalam satu kampung Cuma mereka satu keluaga aja... “satu oppung” gitu... itu sebenarnya itu... seperti cerita dulu ada orang yang kerjanya hana berburu ke hutan yang mau berharihari dan istrinya hanya dirumah saja... ternyata berendeng rumag mereka denga besanya apalgi siapa tau besan ini lagi masak.. yah... ga taulah gimana... jadi karena itu ada patokan yang dibuat oppung dulu untuk memantangkan ini...” Seiring perkembangan zaman, tutur besan sekarang ini sudah agak kabur, dimana tidak nampak jelas lagi siapa sebenarnya yang berbesan kandung dan tidak. karena kalau dahulu apabila berkunjung ke rumah besanya, makan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pakeanya harus menggunaka sarung, sehingga dengan atribut yang digunakan akan menampakan jelas siapa yang berbesan sebenarnya. Kalau sekarang proses komunikasi yang bertutur besan ini sudah biasa atau hampir sempurna, dimana berbicara langsung kepada besan sudah bisa dilakukan. Berkomunikasi atau kontak langsung telah dilakukan tetapi batasan norma-norma adat yang bertutur besan itu masih tetap ada, hanya saja cara penyampaianya bukan seperti yang dahulu lagi yang sangat tertutup dan cenderung dipantangkan atau menhindari kontak langsung. hal itu terlihan dari cara berkomunikasi sekarang sudah mulai terbuka dan tidak tertutup lagi seperti aturan yang dahulu. Namun demikian proses komunikasinya tetap berdasarkan nilai-nilai adat yang masih utuh. “Sekarang sebenarnya itu sudah agak kabur, ga nampak jelas lagi yang mana besan, siapa yang marbesan atau martondong. Karena kalo dulu, kalo yang marbesan itu datang kerumah besannya, dia pakeannya harus pake sarung sehingga jelas siapa yang marbesan, kalo sekarang nggak, kita ga tau siapa yang marbesan ini, karna samanya itu, marbesan kesini, kesana, dan kita ga ngerti lagi siapa sebenarnya marbesan asli” Kalo sekarang sudah biasa, dia langsung berbicara sama besannya sudah bisa, mungkin itu pengaruh kemajuanlah. Tapi saya lihat norma norma yang marnasi besan itu masih utuh... cuman cara penyampaian bukan seperti yang dulu lagi yang tertutup sekali... sekarang sudah aga terbukalah... makanya kalo dia menyampaikan sesuatu pada besannya ngak masalah, tapi kalo nilai luhurnya masih utuhlah... Menurut beliau Apabiala diperhatikan bagaiman interaksi yang dahulu ada dibandingkan dengan sekarang justru komunikasi yang lebih baik itu adalah yang terjadi sekarang. Sebagai contoh misanya besan itu tiba-tiba sakit sementara tondong itu tidak berada disana, karena ada larangan tadi maka harus menunggu orang lain datang menolong dan seandainya orang lain tidak ada kemungkinan besan tersebut semakin parah dan bisa mati. tetapi kalau sekarang sudah lebih baik, walaupun itu besannya, apabial terjadi hal tersebut, kalau itu yang patut ditolong maka harus ditolong. Dari contoh diatas dapat dilihat, untuk hal yang mungkin sangat urgen komunikasi dan interaksi tetap akan mereka lakukuan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara walau tehalang oleh aturan adat. Tetapi apabila dalam hal yang masih tabu, itu masih jarang misalnya duduk bersamaan, cerita bersamaan. “Sebenarnya kalo kita lihat bagamana dulu sama sekarang itu, ya ada baiknya juga sekarang itu... karna kalo dulu seumpamanya terpaksalah tiba-tiba sakit besan kita tapi tondong kita ga disana, yah ditungguin lah dulu orang lain, dan kalo uda parah kan bisa mati, tapi kalo sekarang kan ada baiknya, biar besannya kalo patut ditolong ya ditolong, tapi kalo memang tabu sepertu duduk bareng, ngobrol bareng itu sampe sekarang juga masih jarang apalagi kalo mereka Cuma berdua itu masih jarang lah.. kalo pun ada, ya mungkin ntah yang marboru tulang gitu lah.. jadi misalnya yang marbesan itu bukan berasal dari keuarga atau bukan marboru tulang , biasanya itu masih susah lah kalo mau duduk dan ngobrol bareng... “ Dalam situasi yang mungkin tanpa disengaja, apabila pihak yang bertutur besan tersebut bertemu, untuk kondisi sekarang itu sudah saling sapa. Komunikasi diantaranya sudah sudah berlangsung secara spontan. Proses transfer informasi sudah berjalan dengan baik. Namundemikian komunikasi yang ada bukan dalam artian bebas secara luas, melainka masih tetap dipengaruhi atau dikontrol oleh aturan adat dan norma yang berlaku di tengah masyarakat. Sedangkan dibandingkan dengan proses komunikasi yang terjadi dahulu, seandainya bertemu biasanya langsung mengindar salah satu diantara mereka dan bersembunyi sejenak, kemudian setelah lewat baru dilajutkan. Komunikasi yang terjadi hampir dapat dikatakan tidak terjadi atau bahkan dihindari komunikasi yang kontak langsung. Ya kalo sekarang itu ya biasa saja, saling sapa, kalo dulu itu misalnya bertemu besanya langsung menghindar itu satu atau salah satu lah.. tapi kalo sekarang nggak, tapi udah tegur sapa... tapi bukan berarti sekarang udah bebas... tapi ada batasan norma adat yang kita pegang.. kalau dulu misalanya bertemu mau keladang, sementara jalan hanya satu ini, mundurlah bersembunyi sebentar... dan itu biasanya sudah dipahami besan itu.. dan lewat lah dia... dan biasanya dulu kalo seperti itu dibuat tanda dibengkokkan ranting atau daun- daun bukti saya menghindar... Kesimpulan Berdasarkan wawancara dengan bapak Rabana Saragih Garingging tutur besan di Simalungun dahulunya memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, dimana diantara mereka tidak boleh terjadi kontak langsung. bahkan ketika Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tertekanpun yang bersangkutan tidak dapat berinteraksi langsung. tetapi menggunak perantara atau pun media sebagai penyambung komunikasi mereka. Namun sekarang, semakin berkembangnya pola pikir masyrakat maka hal- hal yang sudah dianggap tidak sesuai sudah mulai ditinggalkan. Antara tutur besan di Simalungun sekarang sudah bisa berkomunikasi secara langsung tetapi tetap dalam konteks memegang nilai dan norma adat yang berlaku. Misalnya hal yang buruk seperti tidak mau menolong karena ada larangan adat, hal itu sudah tidak berlaku lagi. Interaksi orang yang bertutur besan pada suku simalungun sudah terbuka demi kelancaran berkomunikasi. Hambatan komunkiasi yang terjadi dahulu merupakan hambatan yang bersumber dari aturan budaya. pengaruh budaya yang begitu mendominasi menjadi faktor utuma terhambatnya komunikasi diantara tutur besan tersebut. Namun sekarang hambatan tersebut sudah beangsur berubah menyesesuaikan kemajuan zaman. Namun pada dasarnya itu adalah sebuah tutur kehormatan yang sesuai dengan adat di Simalungun. Informan II Nama : Rawalden Sitopu Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : tukan urut Status : menikah Usia : 57 tahun Wawancara dengan informan kedua yaitu bapak Rawalden Sitopu yang dilakukan pada hari berikutnya di rumah informan tersebut. Secara Kebetulan informan yang dicari peneliti sedang berada ditempat. Beliau sebenarnya berpropesi sebagai tukang urut, tetapi beliau juga merupakan majelis jemaat parhanger di salah satu gereja GKPS di Pematang Raya. Selain itu informan ini sangat paham masalah budaya Simalungun. Hal tersebut membuat wawancara yang dilakukan peneliti berjalan dengan baik dan lancar sebagaimana yang diharapkan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Dengan nada yang sedikit mendayu dan suara yang agak serak, Beliau menjelaskan bahwa besan merupakan tutur yang harus dihormati atau disegani parmalangan. Apabila sesuatu terjadi diantara misalnya mereka sama-sama duda dan janda mereka dipantangkan untuk bersatu, itu sebabnya hal tersebut dikatakan malang segan. Menurut cerita-cerita orang tua dahulu, dalam tradisi Simalungun antara yang berbesan, duduk satu papan atau dapat dikatakan duduk pada posisi satu garis lurus merupakan hal yang dilarang. “Besan adalah parmalangan kita... misalnya apapun yang terjadi, kalau besanku itu tetaplah parmalangan... tidak bisa misalnya menduda aku, janda dia... itu ga bisa itu... itulah salah satu yang pertama dahulu itu makanya disebut malang segan. Dan kalau menurut dulu duduk satu papan pun tidak bisa yang berbesan.. artinya satu papan dirumah, duduk diujung sana besan itu dan aku disini itu ga bisa itulah sangki hebatnya” Apabila berkunjung kerumah tondong, sementara dia tidak disana melainkan hanya besan tesebut yang disana, maka tidak bisa berbicara langsung terhadap besan tersebut. Untuk berkomunikasi akan dilakukan dengan menggunakan media pintu, atau dinding, atau secara sederhana dapat dikatakan berbicara kepada pintu. Jika sudah begitu, biasanya si besan tersebut juga sudah mengerti dan paham akan hal itu. Dan sebaliknya, ia pun akan mananggapi dengan berkomunikasi menggunakan media pintu atau dinding tersebut. Hal itu berlangsung karena tidak bisa berhadapan, langsung apalagi hanya berdua. Ada semacam patokan yang membatasi komunikasi diantara mereka. Yang kedua misalnya datanglah aku ketempat tondongku sementara lawei itu tidak disitu hanya besan itu disana, ini dulu ya.. gak bisa asal sembarangan “horas besan” gak bisa itu... tapi berbicaralah kepada pintu “o pintu dimana lawei dirumah ini” tapi besan itu udah ngerti itu... ia udah langsung ngerti itu, dan berbicara baliklah besan itu “diladangnya dia”, ha.. kira-kira gitu.. Kemudian selaku majelis jemaat, beliau menjelaskan dengan landasan agama yang dianutnya. Sekarang sudah tidak seperti dahulu lagi, hal itu disebabkan oleh pengaruh agama, dimana ada paham yang menyebutkan bahwa “di dalam Tuhan kita adalah satu”, sehingga aturan adat tadi yang tidak sesuai dengan norma agama mulai berangsur. Agama juga tidak membenarkan apabila sesama manusia tidak saling menolong. Walaupun besan, apabila mengalami Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kesusahan maka harus ditolong, walaupun adal larangan atau pantangan dari aturan adat. Namun walapun demikian, sifat marmalang itu harus tetap dipegang teguh. Yang pasti kalau sekarang sudah jauh berbeda. Hal-hal buruk itu tidak lagi dianut, karena semaua manusia sudah beragama dan harus salaing tolong menolong. Seperti ada cerita disebuah desa, ketiak besanya hanyut sungai, dia hanya memanjat kayu dan minta tolong pada orang lain, sementara sebenarnya dia juga masih bisa menolong, tetapi karena ada hambatan itu akhirnya dibiarkan hanyut dan mati. Hal seperti itu sudah dinilai tidak wajar lagi dilakukan sekarang. karena seakan tidak berperikemanusiaan yang tentunya melanggar aturan norma agama. Jadi komunikasi diantara mereka tetap saling nenjaga jarak tetapi juga tidak tertutup interaksi, dalam artian ada hal negatif dan ada hal yang positif, dimana hal negatifnya dihapus dan positifnya lah yang dilaksanakan, sehingga tidak terhambat jalinan komunikasi. Komunikasi sudah terjadi dimana proses tranfer informasi telah berjalan baik hanya saja untuk hal yang dikatang penting. “Tapi kalo sekarang ini gak lagi seperti itu karena pengaruh agama ini, artinya memang secara dunia, secara adat, bisa berbeda kedudukan atau posisinya seseorang ditengah-tengah perkumpulan tapi jusrtu gara-gara agama dimana didalam Tuhan itu kita adalah satu... sehingga malang itu tetap harus marmalang tapi ngak pala kaya dulu itu lagi... dan juga kalo sekarang agama juga marah kalau misalnya tengah malam besanya nunggun motor.. dan ngak ada lagi motor, ya ngak apa-apa diboncengkan besanya... hanya harus tetap diingan peraturan tadi bawa yang berbesan itu harus tetap marmalang... itulah yang ku tahu tentang yang berbesan dari cerita- cerita opung-opung dulu” Yang pasti kalau sekarang marmalang itu ya tetap marmalang tapi jangan juga karena udah marmalang dibiarkan besannya kenapa- kenapa... seperti cerita itu di sebuah kampung di Sindar Raya katanya hanyut besanya, tapi karena malangnya naik dia memanjat keatas kayu, “Tolong-tolong” katanya sehingga makin jauh dan akhirnya mati, andaikan tadi, okelah marmalang, diambil kayu “tangkap besan” katanya, kan uda selamat kian itu.. itulah akibatnya terlalu dipakai budaya yang dulukala itu Secara pribadi beliau apabila berkomunikasi dengan besanya, beliau masih memakai dan menjalankan hal tersebut. Tatapi tidak lagi seperti aturan yang dahulu, melainkan dalam hal yang positif, sesuai dengan profesinya sebagai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara majelis jemaat gereja. Beliau mengatakan bahwa dia juga sudah pernah mengkusuk besany. tetapi dengan catatan besanya tersebut tidak sendirian, tetapi didampingi oleh suaminya. beliau menganggap bahwa itu adalah perbuatan yang menolong walau pun sebenarnya bertentangan dengan adat yang dahulu tadi. Tetapi sebagai umat manusia maka harus saling mengasihi tetapi bukan kasih yang merusak atau negatif. Untuk perbuatan yang baik, pasti akan dilakukan selagi tidak bertentangan denga adat dan agama. Dapat dilihat juga beliau hampir memadukan antara adat dan agama. Dengan adanya penyatuan dari kedua paham tersebut maka hal yang buruk tidak lagi digunakan. Komunikasi yang dahulunya terhambat oleh aturan adat-istiadat telah berubah sesuai kebutuhan saat ini. Berinteraksi secara langsung untuk hal yang dikatakan penting sudah kerap dilakukan demi kelancaran komunikasi. “Kalau aku ya masih kupake juga yang dulu itu artinya yang marmalang itu.. karna kalo aku besanku juga udah ada berkusuk samaku... jadi gimanalah itu? Kan itunya... tapi karena yang agama ininya itu.. kalo dulu walaupun mati itu dibiarkan itu, seperti cerita tadilah, bisanya ditolong itu, kan selamatlah.. karena malang. Tapi kalo ini tidak, dan itulah harus sama dengan lawei itu dia.. kalo ngak, gak mau juga aku... itu lah tadi itu. Bahwa itu didasari holong kasih yang dari Tuhan.. tidak holong yang dibuat-buat” kesimpulan Berdasarkan hasil wawancara tersebut sebagai orang yang bergelut dibidang keagamaan bapak Rawalden Sitopu ini selalu mengeluarkan jawaban yang berdasarkan landasan agama. Dan hampir memadukan antara adat dan agama dimana hal yang sesuai itulah yang akan dia laksanakan. Contohnya beliau masih melaksanakan hal marmalang segan kepada besanya itu tetapi tidak lagi menutup diri terhadap besannya. Dalam hal berkomunikasi beliau tetap memakai adat kesopanan terhadap besanya, dimana ada batasan yang harus diperhatikan dalam berkomuikasi dengan besannya. Misalnya tidak sembarangan berbicara, tidak mau bercerita berduaan walaupun penting melaikan ada pendampingnya. Artinya beliau membuat keseimbangan dari hal tersebut. Proses komunikasi diantara tutur besan yang sangat terhambat oleh aturan adat, dirasa tidak cocok lagi. Berkomunikasi secara terbuka dan langsung, bukan berarti sembarangan atau bebas, melainkan kontrol budaya masih ada tatapi dalam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara hal yang tidak bertentangan. Proses transfer informasi dapat berlangsung secara spontan. Hambatan sudah semakin berkurang. Faktor yang menghambat komunikasi diantara tutur besan tersebut adalah foktor ketetapan adat budaya yang telah turun termurun diwariskan oleh nenek moyang. Adanya larangan larangan dan pantangan yang telah diatur dalam hukum adat, membuat komunikasi atau interaksi terhalang. Namun dengan adannya pengaruh doktrinasi agama dalam hal ini agama kristen, hambatan itu sudah semakin berkurang,dan bahkan hampir tidak terlihat lagi. Informan III Nama : Kalkedon Saragih Sumbayak Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : PNS Status : Menikah Usia : 56 tahun Wawancara dengan informan ke tiga yaitu denga bapak Kalkedon Sumbayak tepat dirumahnya. Setelah seharian menungu karena pada waktu siang harinya beliau tidak berada dirumah, akhirnya wawancara dilakukan pada malam hari sekitar pukul 19.00 wib. Bapak yang mahir dalam olah nada ini sebenarnya hendak akan melatih koor di gereja. Tetapi dengan senang hati dia meluangkan waktunya untuk peneliti wawancarai. Sama halnya dengan informan ke dua bapak yang berkumis dan mahir dalam mengolah nada ini juga menjawab setiap pertanyaan sesuai dengan profesinya yakni sebagai seorang pegawai negeri sipil, dia menjelaskan bahwa tutur besan itu sebenarnya hanyalah tutur biasa yang sama halnya dengan tulang, amboru, makela. Tetapi dalam hal ini terdapat sifat yang sopan terhadap besan. Karena besan itu adalah istri dari tondong, jadi kepada tondong saja sudah harus hormat dan sopan, alagi kepada istrinya. Dalam hal ini tutur besan merupakan sebuah tutur yang terhormat, tidak bisa sembarangan, karena hal itu diikat oleh adat tradisi Simalungun, dimana besan itu harus porman terhormat. Selanjutnya beliau mengatakan karena tutur besan ini hanya sebagai tutur saja, jadi banyak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara yang lupa akan makna kehormatan itu, artinya tidak seperti dulu lagi yang duduk satu papan adalah pantang. Dalam setiap acara adat pada suku Simalungun, akan ada yang disebut tondong dan boru. Biasanya todong mengambil posisi duduk di luluantempat terhormat dan boru duduk di talaga tempat biasa dari sinilah dapat dilihat bahwa ada jarak pemisah dari tutur tersebut, yang dalam arti bukan ada jarak karena harus ditakuti melainkan harus dihormati dan tidak boleh berbicara sembarangan kepadanya. Dalam hal ini beliau menjelaskan jarak itu bukan merupakan hambatan tetapi aturan sepaya terjalin hubungan yang saling sopan santun dan menghorati. Komunikasi diantara tutur besan terdapat batasan dan aturan yang berlaku sesuai adat Simalungun. “ Besan itu pada dasarnya adalah tutur biasa, sama seperti tulang lawei, makkela, tapi kalau istri dari tondong itu lah besan kita. Kepada tondong pun kita sudah marmalang, apalagi kepada istri tondong kita haruslah lebih malang... tutur besan pada dasarnya merupakan tutur yang sangat terhormat, dan tidah bisa lah sembarangan berbicara padanya... itulah sesuai tradisi simalungun. Tidak bisa berbicara bebas...itulah kalau dulu, artinya dia diikat oleh adat karena dia adalah istri dari tondong yang harus “porman, sopan”. Tapi karena hanya sebuah tutur, perbedaan yang saya lihat besan yang dulu dengan yang sekarang yaitu sepertinya ada yang terlupakan sifat yang sopan dan hormat itu.. tidak seperti dulu lagi, artinya kalau dulu satu papan pun kita duduk, misalnya kita disini dan besan kita disan lurusan laintai ini berhadap duduk, itu adalah pantang... itu maknya antara todong kepada boru, kalau tondong iluluan boru harus italaga, itulah jarak pemisah dari tutur itu. Karen bukan harus ditakuti, tapi memang sebuat tutur yang harus sopan santun porman, hormat. Jadi kalau udah dikatang hormat berarti ga boleh sembarangan... gitu lah itu” Ketika dikonfirmasi tentang mengapa ada larangan atau dipantangkan yang bertutur besan berkomunikasi, hal tersebut dikarenakan mereka adalah pendatang dalam keluarga tersebut. Beliau menjelaskan dahulu masih ada dalam sebuah rumah yang mendiaminya bisa jadi beberapa kepala rumah tangga, dan dahulu belum ada agama seperti sekarang ini semua masih menganut pahan animisme, yang dikhawatirkan terjadi hal-hal yang negatif dan karena itu maka dibuat suatu pengikat sesuai hukum adat, supaya tidak sesuka hati saja. Jadi peraturan adatlah sebagai kontrol bagi berbesan tersebut supaya tidak terjadi hal negatif. Adat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara budaya yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, sehingga komunikasi diantaranya terbatas. “Memang dilarang... karena dulu masih ada beberapa keluarga dalam sebuah serumah... jadi agar tidak terjadi perselingkuhan, dan dahulu belum ada ibadah agama, sipalabegu animisme nya semua...karena dulu belum ada agama, jadi dibuat sesuatu pengikat sesuai adat, jadi peraturan diikat melalui hukum adat... supaya tidak suka-suka hati... jadi misalnya serumah aku dengan besan, karena sudah diikat hukum adat itu aku sehingga adalah penahanan diri, sehingga tidak terjadi... jadi dulu belum ada agama jadi beluam ada yang mengikat untuk jangan begini jangan begitu... hanya peraturan adat lah sehingga dipantangkan... karena itu tadi, masih mau serumah tiga keluarga, ekonomi juga masih lemah, pikiran juga masih primitif” Sekarang apabila diperhatikan, orang-orang Simalungun sudah banyak mengangap bahwa tutur besan itu hanyalah tutur biasa. Masyarakat tersebut tidak lagi memperhatikah makna kesopanan yang dahulu ada, sehingga berkurang rasa hormat tersebut. Saat ini masyarakat Simalungun sudah banyak berkomunikasi secara biasa dengan tutur besannya misalnya “bes.. bes...”. Bentuk komunikasi seperti ini sudah tidak sesuai lagi dengan adat yangsopan dan hormat tersebut. Pada dasarnya semua adalah tutur tetapi ada tingkatannya dan harus didasarkan pada adat kehormatanya. Kembali beliau kecerita besan yang hanyut tidak ditolong, hal tersebut menurutnya tidak sesuai lagi saat ini, bisa saja berjarak tapi tidak juga harus seperti itu, dan itu tidak mencerminkan kehormatan tersebut. Komunikasi yang terbentuk saat ini sudah terbuka dimana tidak lagi terbeban oleh hambatan adat yang melarang hal itu. Secara adat yang dipertahankan adalah makna dari persepsi tutur kehormatan tersebut. Komunikasi diantara tutur besan tersebut akan berlangsung secara lancar tetapi masih ada pengaruh dan kontrol dari adat. misalnya berkomunikasi secara biasa bisa saja, namun dalam tatanan nilai dan norma yang berlaku. “Jadi kalu sekarang saya perhatikan, misalnya seperti saya kepada besan saya, ya gitu lah... kalu dulu hanya bila perlu aja... seperti cerita, hanyut lah besanya tapi dia Cuma melihat saja dan akhirnya tidak di tolong yang akhirnya mati.... ya sekarang kan sifat seperti itu tidak cocok lagi... bisa hormat tapi kalau dibiarkan begitu kan tidak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara hormat lagi, karna ga bisa disentuh besanya... jadi kalau sekarang misalnya lakau sudah daruratkan langsung aja ditangkap dan di tolong... tapi berawal dari situ kalo menurut saya pribadi berkuranglah nilai kesopanan dan kehormatan itu... karna saya lihat banyak orang sudah menganggap itu serupa saja dengan tutur biasa... memang semua adalah tutur, tapi sebenarnya ada tingkatanya berdasarkan adat kehormataanya.... kalo sekarang bicara “mau kemana besan?” Atau bahkan “bes.. bes...” katanya memanggil besanya... Jadi sekarang, demi kelacaran komunikasi, semua digunakan sesuai kebutuhanya atau kedudukan ipakei manurut partibalni” Ketika peneliti bertanya tentang bagaimana seharusnya jika ingin berkomunikasi dengan besan kita, beliau menjelaskan Komunikasi antar yang bertutur besan itu harus sopan dan hormat, jadi apabila yang bertutur besan berkomunikasi harus menggunak kata nai atau nassibesan. Misalnya “tabi besan” sebaiknya yang diucapkan adalah “tabi nai besan”. Penggunaan kata nai pada tutur ini menandakan hormat terhadap besan tersebut, dan itu menunjukaan adat yang sopan. Pemakaian kata panggil nai digunakan secara timbal balik antara perempuan kepada besannya laki-laki dan laki-laki kepada besanya perempuan. Untuk menjaga nilai dan norma budaya saling menghormati demi kelancaran komunikasi, penggunaan bahasa atau pemilihan kata juga telah ditentukan. Seperti yang diuraikan diatas, kata nai atau nassibesan juga memiliki andil untuk kelancaran komunikasi diantara tutur besan. Penggunaan kata tersebut telah menandakan bahwa komunikasi yang dilakukukan tidak sembarangan. Komunikasi tersebut berlangsung spontan sesuai norma adat yang ada. Dengan demikian tidah terasa lagi adanya hambatan terhadap komunikasi mereka. Itulah kalau yang berbesan itu dipake kata nai.. misalnya tabi nai nassi besan.. itu lah tanda hormat itu.. menggunakan kata nai. Kalau sekarang paling “tabi besan” harusnya “tabi nai besan”. Nai itu artinya hanya kata panggilan untuk rasa hormat aja itu... dan itu digunakan oleh laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya. Artinya kata nai itu adalah panggila yang mengatakan bahwa itu ga sembarangan... itu lah salah satu untuk mengatakan rasa hormat... Kesimpulan Dari hasil wawancara dengan bapak Kalkedon Saragih Sumbyak menegaskan bahwa tutur besan itu adalah tutur kehormatan sehingga komunikasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara diantaranya harus diatur sedemikian rupa, sesuai adat yang berlaku di Simalungun. Dalam berkomunikasi diatara yang bertutur besan menggunakan kata nai atau nassi yang menjelaskan bahwa itu sebuah kehormatan. Penggunaan kata tersebut telah menandakan bahwa komunikasi yang dilakukukan tidak sembarangan. Komunikasi tersebut berlangsung spontan sesuai norma adat yang ada. Dengan demikian tidah terasa lagi adanya hambatan terhadap komunikasi mereka. Faktor Penghambat komunkiasi diantara tutur besan tersebut hanyalah masalah adat yang mempantangkan karena pada zaman dahulu masih adatlah yang mengatur segala kelakuan manusia. Namun sekarang seiring masuknya agama dan kemajuan pola pandang dan cara berpikir masyarakat, semua telah dapat disaring antara mana yang masih relevan dam tidak. Sehingga komunikasi diantara mereka tidak seekstrim dahulu lagi, yang begitu sangat terbatas dan tertutup bagi yang bertutur besan. Secara umum di daerah tersebut komunikasi antar tutur besan sudah mulai dapat berkomunikasi secara langsung. Namun demikian proses komunikasinya tetap dipengaruhi dan dikontrol adat yaitu norma kesopanan dan kehormatan tanpa ada sesuatu yang dianggap sebagai jarak pemisah. Informan IV Nama : Jabiden Saragih Simarmata Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pensiun PNS Status : Menikah Usia : 59 tahun Wawancara dengan infoman keempat ini dilakukan pada waktu malam hari sekitar pukul 19.00 disebuah warung kopi di Pematang Raya, karena ketika ditemui dirumah istrinya mengatakan dia sedang di warung dan peneliti bergegas langsung menuju warung yang dimaksut. Informan tersebut bersedia untuk diwawancara, walaupun dengan kondisi berada di warung kopi. Bapak Jabiden Saragih Simarmata merupakan salah satu pemangku adat di kampung tersebut dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sering sebagai protokol dalah acara-acara adat, Sehingga peneliti merasa beliau cocok untuk memberikan keterangan mengenai topik yang sedang diangkat peneliti. Bapak yang berkulit hitam ini sebenarnya bermarga Simarmata yang berasal dari suku Toba. Namun karena merupakan kelahiran daerah tersebut membuat ia juga paham betul adat dan budaya Simalungun. Sambil merokok dan minum segelas kopi beliau menjelaskan bahwa seseorang pantang untuk sembarangan kepada besannya, artinya harus sopan terhadap besan. Jadi setiap orang yang berbesan antara laki-laki dan perempuan atau sebaliknya harus saling menjaga, baik dari cara berbicara dan tatakrama. Sama seperti uraian informan sebelunnya, beliau juga menjelaskan besan itu adalah istri dari tondong kita. Dimana dalam kekerabatan pada suku Simalungun pihak tondong adalah pihak yang harus dihormati dan harus sopan terhadap mereka. Menurut penuturan informan tersebut kalau dahulu apabila besan kita terhantuk atau terjatuh dan butuh pertolongan walaupun kita disana, maka kita tidak bisa langsung menolongnya, melainkan memanggila kawan atau orang dan menyuruh orang tersebut menolongnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk komunikasi yang terhambat oleh aturan adat. komunikasi tidak dapat berlangsung secara baik dengan kondisi yang seperti ini. Bahkan hampir tidak akan terjadi interaksi dan komunikasi dengan batsan seperti tradisi yang ada pada suku Simalungun. “kalau yang berbesan berarti semuanya harus serba pantang yaitu harus menjaga tatakrama, cara berbicara. Karena kalau besanku adalah istri dari tondongku kan begitu Jadi perlulah itu harus marmalang, karna tidak bisa semberona bicara sama besan. Dulu kalo misalnya ada besan kita terhantuk, kita tidak bisa langsung menolongnya, tapi kita harus panggil kawan, kareana kita tidak bisa mengentuh langsung besan kita... jadi harus hormat lah kita kepada besan kita” Selanjutnya informan tersebut menjelasaka adapun pantangan yang ada dalam teradisi berbesan pada suku Simalungun, semua itu disebabkan karena pihak yang berbesan ini merupakan orang-orang yang masuk ke dalam sebuah keluarga besar karena ada proses pernikahan. Jadi seperti yang telah diuraikan informan tersebut, hal itulah yang membuat adanya pantangan tersebut. Apabila terbentuk komunikasi diantara mereka maka dikhawatirkan ada hal yang negatif Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara atau hal-hal yang tidak dinginkan yang akan terjadi apabila tidak dibuat pantangan. Pantangan itu dibuat merupakan sebagai penjaga, karena pada zaman dahulu hanya hukum adatlah yang dapat membatasi atau mengatur pola hidup masyarakat. “Dipantangkan karena untuk menghilangkan hal hal yang tidak diinginkan... karena kalo orang yang berbesan ini adalah orang yang berasal dari luar kluarga tersebut... karena besan kita itukan istrinya tondong kita dan kita pun adalah suami dari saudara perempuannya tondong kita jadi kita adalah orang baru yang masuk kekeluarga tondong kita dan besan kita itu pun juga merupakan orang lain yang masuk kepada keluarga tondong kita karena pernikahan... jadi harus dipantangkan supaya tidak negatif nanti jadi mulai dari dulu ituh harus dilestarikan” Untuk berkomunikasi dalam setiap acara adat apabila ada hal yang penting untuk disampaikan kepada besan tersebut, maka tidak dapat langsung berkata ai aha ai besan? ada apa besan? tetapi harus menggunakan kata nai atau nassi misalnya ai aha ai nai?atau ai aha ai nassibesan? Ada apa besan. Kedua kalimat tersebut memiliki arti yang sama yaitu “ada apa besan?” tetapi kalimat yang menggunakan kata nai atau nassi memiliki arti yang lebih menyatakan kesopanan dan kehormatan terhadap besan. Dari situlah terlihat ada rasa marmalang itu dalam komunikasi terhadap besan. Jadi tidak bisa sembarangan asal berbicara apa saja semau diri sendiri terhadap besan tersebut. “Jadi kalau didalam horja adat, kita harus berbicara dengan menggunakan kata nai yang artinya kata hormat terhadap besan kita. Misalnya “ai aha ai nai?” ada apa besan, jadi kita tidak boleh langsung berkata “ai aha ai besan” , jadi kata nai itu menerangkan kata ganti nassibesan yang maknanya adalah kata ganti kehormatan untuk tutur yang di “malangkan” segani. Jadi harus begutulah caranya berinteraksi dernga besan kita” Beliau juga sebagai seorang yang masih menjunjung tinggi adat-istiada Simalungun masih melakukan tradisi menghormati besan atau disebut marmalang terhadap besannya. Walaupun tidak seutuh aturan yang dahulu kala ada, namun dia masih menggunakannya, misalnya untuk berkomuniasi kepada besannya beliau masih menggunaan kata nai atau nassi. Kemudian masih menunjukkan sikap menghindar apabila hanya berdua dengan besannya, tetapi harus memiliki teman pendamping misalnya istrinya atau anaknya. Tetapi sebagai manusia yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara memiliki jiwa sosial dan pola pikir modern beliau juga mengatakan apabila dalam keadaan terpaksa dia tidak akan segan untuk memegang besannya, dalam artian menolong untuk kebaikan. Beliau tidak lagi seutuhnya menjalankan pantangan itu. Hal-hal yang dianggap negatif tidak lagi digunakan, walaupun dahulunya itu dilarang, Seperti memangku besanya sewaktu sakit untuk membawa ke rumah sakit karena kebetulan dalam keadaan darurat. Menurut peneliti apa yang dipaparkan informa mengenai bagaimana dia dengan besannya, dia telah lebih selektif menjalankan adat tersebut. Jadi kalau aku ambia... ada beberapa besan ku, aku ga pernah “aha... besan” ga gitu ku bilang, tapi “aha ai nai” aku, ku pake pun semua itu... aku ga mau menghilangkan itu... itu makanya kalau kerumah tondongku aku, misalnya disitulah besan itu, kalo ngak sama dengan istriku, aku gak mau masuk... kalau masih dalam kondisi yang sempurna atau normal... dan kalau misalnya saya duluan kesana dn istriku menyusul, dan besan itu disitu, kutunggunya istriku ini datang... atau misalnya dengan anakkita ya saya bilang lah “andai atturang mu bah” jadi tidk langsung saya... tapi kalau misanya sudah disitu semua keluarga maka disitulah saya masuk... Jadi kalo aku masih q biasakan lah hal itu....Tapi kalau misalnya dalam keadaan terpaksa sekali, misalnya dalam keadaan darurat, kaya aku... besanku pernah kupangku daru rumah keatas mobil menuju kerumahsakit, kupangku bagus karena situasi kritis...ya kan saya harus tolong” Semakin hari semakin banyak pernikahan antara sesama yang sesuku yaitu sesama orang Simalungun, mengakibatkan banyak yang berbesan adalah orang yang memilik marga yang sama, misalnya saragih dengan saragih. Secara adat mereka adalah marbotou saudara walaupun tidak kandung, tetapi karena menikah dengan saudara laki-laki istri kita atau tondong kita sehingga kita harus berubah tutur lagi menjadi berbesan. Menaggapi hal tersebut beliau mengatakan bahwa dia melakukan hal demikina, dimana dia juga mengalami hal yang sama, dimana dia memiliki besan yang semarga dengan dia. Beliau juga merubah tuturnya, dari botou menjadi besan. Karena hal itu dia merupakan istri tondong yang harus dihormati. Dan adat itu adalah warisan dari nenek moyang yang ahrus dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Kalau itu ya harus berobah lah, harus digunakanlah tetap tutur itu, beginilah, kan banyak nya botou kita yang menjadi besankita? Seperti aku, aku punya besan saragih... tapi karena tutur itu terpasaklah saya harus berbesan say, marmalang. Ya namanyala adat kan adat adalah yangharus kita ikutinya ”naipukkah naparlobei ihutkononni naparpudi” yang dimulai nenekmoyang awal dan diikuti generasinya. Itu makanya saya masih kupakaiitu... makanya sekarang kalau saya lihat yang berbesan saya bilang “ai nassibesan mu dai ai ambia, mase lang dong malangmu?” ya pakeon lalap hasaparihon ai? Jadi misanya kalian dengan anak muda inilah... ya ternyata bisanya gitu rupanya? Kita buat aja gini..., capek kita, langsung aja kenapa?” langsung bisa tapi adatnya itu Inassibesan ini” Kesimpulan Hasil wawancara dengan informan keempat yaitu bapak Jabiden Saragih Simarmata yaitu beliau menuturkan bahwa diantara orang-orang yang bertutur besan terdapat sebuah jarak. Dalam tradisi simalungun jarak yang ada itu adalah malang yang berarti tidak dapat sembarangan dalam berbicara, bertindak dan harus hormat dan santun terhadap besan. Proses komunikasi tutur besan saat ini tidak lagi menggunakan media seperti dinding, pintu yang sebenarnya tidak dapat debagai penyampai pesan. Penyampaian pesan dari komunikan kepada komunikator sadah dapat berlangsung spontan. Kondisi tutur besan saat ini dibandingkan dengan bagaimana dahulu sebenarnya sudah banyak mengalami perubahan. Hal-hal yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini sudah tidak digunakan lagi. Denagan kemajuan pola pikir dan pandangan yang tidak sempit, hal negatif yang dimiliki budaya dapat berubah. Masyarakat telah dapat memilih dan menjalankan mana yang masih sejalan dan mana yang sudah tidak sejalan lagi. Hambatan komunikasi diantara tutur besan pada suku simalungun pada saat ini sudah tidak terasa lagi, karena seperti penuturan beliau apabila dalam hal yang urgen maka interaksi dan komunikasi bisa langsung dilakukan dengan besannya. Tetapi cara berkomunikasi kepada besan tersebut harus tetap dengan landasan adat yang sopan dan hormat. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Informan V Nama : Japiten saragih Sumbayak Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pensiun PNS Status : Menikah Usia : 77 tahun Wawancara dengan informan ke liam yaitu dengan bapak Japiten Saragih Sumbayak dilakukan dirumah beliau sekitar pukul 08.30 wib. Bapak yang telah menulis buku tentang budaya Simalungun ini merupakan seorang pensiunan pns. Selain itu beliau juga seorang pengetua adat yang tergabung dalam PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN sebagai ketua bidang adat budaya. Sebelum menjelaskan bagaimana proses komunikasi antar tutur besan kepada peneliti, bapak yang berusia 77 tahun ini terlebih dahulu menjelaskan bahwa tutur besan itu adalah istri dari saudara laki-laki istri kita. Dalam tradisi adat suku Simalungun saudara laki-laki dari istri kita disebut tondong, dimana tondong ini harus dihormati dan tidak boleh kasar atau sembarangan kepadanya. Dari hal tersebut maka, kepada besan kita pun kita haruslah hormat. karena dalam adat Simalungun ada istilah tondong pangalopan podah yang memiliki arti tondong itu adalah sumber nasehat. Inilah menurut beliau yang menjadi dasarnya kenapa ada jarak diantara yang berbesan itu. Sama seperti informan yang sudah diwawancarai beliau juga mengatakan bahwa orang yang berbesan dipantangkan untuk duduk berdua atau berhadapan. karena sebagai yang harus dihormati maka tidak bisa sembrono, karena dapat menimbulkan hal yang negatif menurut beliau. Tutur besan itu, misalnya si A dia memanggil besan kepada istri dari tondongnya,misalnya kau sudah kawin sadara laki-lakinya, istrinya lah besanmu.... ada satu syarat yaitu harus hormat saling menghormati, dia panggil besan samamu, kamu juga panggil besan samanya... yang kedua, kalo dalam pesta, besan itu juga dihormati secara khusus... jadi kalo botou istrimu ialah tondongmu, maka istri tondongmu itulah besan mu.. intinya yang berbesan ini harus hormat menghormati damaisejahtera... karena suami besan kita itu adalah tondong kita jadi harus dihormati karena ada istilah “tondong pangalopan podah”todong sumber nasehat inilah dasarnya... Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Kemudian duduk sepapan tidak bisa karena begini, biasanya kalo duduk berhadapan ada mungkin dalam pemikiran yang negatif. karena cara duduk itu bisa membuat kita berpikir yang tidak baik.. dan kalo kita ngomong berdua denga besan itu apalagi sambil senyum-senyum itu sudah bahaya jadi tidak boleh... Untuk berkomunikasi, biasanya yang berbesan menggunakan perantara, misalnya ada orang yang bersama dengan kita maka kita semapaikan lebih dahulu pada orang tersebut dan orang itulah yang akan menyampaikan kepada besan kita nantinya. Proses komunikasi diantara mereka tidak dapat secara langsung mengutarakan apa yang akan disampaikan. Dalam hal ini harus menggunakan perantara orang ketiga diantara mereka. Atau dengan menggunakan media seperti benda yang ada didekatnya seperti dinding, pintu, kursi. Initinya berkomunikasi kepada besan kita harus penuh dengan kesopanan dan rasa hormat. beda dengan tutur yang lain. “Kalo berkomunikasi yang berbesan ini harus menggunakan perantara, artinya tidak bisa mereka Cuma berdua kalo untuk berkomunikasi, karena ada tanggapan yang negatif dari pihak lain... tapi kalo sama boru tulang kita ngomong-ngomong itu ngak apa- apa... Alasan mengapa harus tidak bisa berbicara bebas atau sembarangan terhadap besan kita, dikarenakan dalam tatanan adat budaya Simalungun apabiala kita laki-laki maka besan kita adalah pihak tondong yang harus dohormati. Maka apabila kita terlalu bebas berbicara atau cara berkomunikasi kita yang sembarangan terhadap besan kita, hal itu akan dapat menyinggung tondong kita. Berawal darisitu maka ada batasan larangan untuk tidak sembarangan terhadap besan. Proses komunikasi disini berlangsung dengan penuh aturan adat. Selain itu untuk berkomunikasi secara pribadi, sangat dilarang. Karena hanya melibatkan dua oarang saja. Hal itu dilarang karena dianggap menyalahi dan dipandang dapat menimbulkan hal yang negatif. Adanya pandangan negatif inilah yang mendasari adanaya aturan adat yang membatasi kontak diantara mereka. Begitulah karena kalo ternyata kita ngomong seperti bebas dengan besan kita pasti tersinggung todong kita yaitu suaminya... misalnya aku dengan besanku ngomong berdua dengan besanku apalagi tidak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ada orang disitu.. bahaya, tidak boleh itu.. karena itu sudah peraturan adat budaya simalungun karena besan itu harus dihormati.... Kondisi komunikasi yang bertutur besan saat ini menurutnya sudah tidak seperti dulu lagi, sudah jauh berbeda dengan aslinya. Yang pasti masih tetap saling menghormati diantara mereka yang berbesan. Perbedaan adalah terletak pada cara berkomunikasinya. Sudah tidak nampak lagi adanya hambatan. Secara langsung sudah dapat berkomunikasi. Tidak seperti dahulu lagi yang harus melalui perantara. Sekarang itu sudah ada perobahan, dan kalou kita lihat itu karna perkembangan jaman.. ya tidak lagi terlalu seperti yang dulu itu, tapi masih hormatlah... Kesimpulan Informan tersebut menjelaskan tutur yang berbesan itu merupakan tutur kehormatan, dan semua pantangan-pantangan yang ada itu itu dititikberatkan palsapah simalungun mengenai tondong pangalopan podah yang memiliki arti tondong sumber nasehat. Jadi hormat kepada tondong dan hormat kepada istrinya yaitu besan kita. Proses komunikasi antara tutur besan semula harus menggunaka perantara sebagai media perantara. Dimana kominkasi pribadi tidak akan terjadi. Namun sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Bekomunikasi secara langsung dapat dilakukan pihak-pihak yang berbesan tersebut. Walaupun komunikasi telah dapat berlangsung spontan namun dalam konteks komunikasinya harus sesuai dengan nilai dan norma adat Simalungun yaitu harus sopan dan hormat. Hambatan komunikasi yang sebenarnya terdapat pada proses komunikasi tutur besan ini adalah hambatan budaya. Adanya larangan untuk kontak langsung dengan besan merupakan penghambat dalam lacarnya sebuah penyampaian informasi. Sehingga komunikasi tidak dapat berjalan sempurna. Informan VI Nama : kocu saragih sumbayak Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Status : Menikah Lama menikah : 40 tahun Wawancara dengan informan keenam yaitu dengan bapak kocu saragih sumbayak dilaksanakan dirumah yang bersangkutan pada waktu pagi hari sekitar pukul 08.00 wib. Wawancara berjalan dengan lancara karena beliau juga cukup konpeten dalam memahami topik yang diangkat oleh peneliti. Beliau menjelaskan bahwa tutur besan itu hanyalah sebagai sebuah tutur yang memiliki jarak diantaranya. Terdapat pantangan untuk berkomunikasi diantara tutur besan tersebut. Hal yang menjadi acuan mengapa ada pantangan itu adalah dikarenakan dahulu orang-orang yang berbesan ini sebenarnya tidak saling mengenal sebelum masuk kedalam keluarga. Dan mereka adalah orang luar yang menjadi sebuah keluarga besar karena proses pernikahan. Berawal dari hal tersebut dibuatlah sebuah aturan adat untuk mengatur dan membatasi komunikasi diantara mereka berdua. Sebagai orang yang tidak saling mengenal dari awal, dikahawatirkan ada semacam penyimpangan atau hal negatif yang akan terjadi diantara mereka. Jadi beliau berpendapat bahwa hal yang terjadi sebenarnya hanya etika hidup yang telah ditetapkan oleh nenekmoyang untuk menghindari hal negatif tersebut. Tutur besan itu hanyalah sebuah tutur tapi ada semacam jarak... karena namanyalah mereka yang ga berkenalan dari dulu, kalau ngak ada dibikin jarang, dari adatlah katang dulu... mungkin-mungki mereka lah nanti yang jadi, karena ngak mengenal pribadi masing- masing dari awal, berkenalan di sananya mereka, di keluarga itu... apalagi misalnya pandangan pertama ada sesuatu, kan itunya itu... itulah makanya oppung kita dulu, aih.. kalau jadi bikin malunya ini jadi dibikinlah sebuah aturan... itu aja sebenarnya itu.. itulah semuanya dasarnya ga lebih dari itu... bukan dongeng itu, etikanya kehidupannya itu untuk menghindari yang pantang atau hal negatif.. Adanya pantangan tersebut, sehingga untuk berkomunikasi antara orang yang bertutur besan tersebut dahulunya harus menggunakan media orang lain sebagai penyambung lidah untuk meyampaikan pesan yang ingin disampaikan dan itu pun tidak boleh didengar oleh besan tersebut. Sedangkan apabila dalam kondisi tertentu, misalnya mereka cuma berdua maka proses komunikasinya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara harus menggunakan media dinding, pintu atau benda lain. Untuk berkomunikasi dalam konteks ini dapat dikatakan sangat terbatas dan hampir tidak ada kontak langsung. Apalagi dalam hal komunikasi yang bersifat pribadi, hal itu sangat dipantangkan secara aturan adat. Ya, kalau berkomunikasi, contohnya kalau dulu ini ya, satu kursilah misalnya dari ujung ke ujung pun ngak bisa... dan berhadapan juga tidak boleh, jadi kalau mau berbicara aku samanya ya kubilang lah sama istriku “bilang dulu sama besan itu begini-begini” dan itu pun ngak bisa didengarnya, tapi kalo Cuma mereka berdua, harus didengarnya kan? makanya harus bicara kepada dindingnya yang marbesan... atau misalnya sama-sama diladang mereka, itu harus dihindari itu, karena ngak bisa mereka sama berdua, tapi kalau misalnya terpaksalah makanya dia bicara sama dinding “o.. dinding bilang dulu sama sianu itu begini-begini” harus adalah tetap perantara, ngak bisa ngak... Pandangan beliau terhadap komunikasi yang bertutur besan saat ini sudah berbada, tidak lagi seperti dulu yang masih menggunakan media seperti benda yang ada dihadapanya ketika berbicara. Berbicara dengan besan itu sudah biasa, hanya saja dalam koridor adat yang sekarang ada. Maksudnya adalah komunikasi berlangsung dengan spontan dalam ranah aturan adat yang juga sudah berubah. Hal itu menurut beliau disebabkan karena adanya akulturasi budaya atau percampuran budaya, Misalnya orang jawa yang menikah dengan orang Simalungun. dari pernikahan ini akan secara otomatis membuat budaya itu tergerus, karena tidak saling memahami budaya masing-masing, melainkan setelah menikahlah baru mereka saling menyesuaikan satu dengan yang lain. Sehingga aturan dalam budaya itu mereka jalankan sebagaimana yang cocok mereka rasa. “Kalau sekarang udah beda, karena apa? Karena sekarang sudah terjadi percampuran budaya, ya masuklah budaya jawa, yang tidak mengenal itu, contohnya misalnya lah adalah boru jawa atau sunda parumaen menantun nya, dan kalau dikawinkan kan jadi kan diborukanlah dulu dia, jadi belum ada ketetapan adat samanya, belajar disananya dia, akhirnya biasa dia berbicara dengan siapapun, bukan karna takut, tapi karna menghormatinya sesuai budayanya... gitu lagi jadinya... ya itu aja yang saya tahu masalh itu...” Kesimpulan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Informan tersebut yaitu bapak kocu saragih sumbayak menjelaskan bahwa penyebab adanya pantangan itu adalah akibat adanya penetapan yang dibuat nenek moyang suku Simalungun dahulu sebagai peraturan adat untuk membatasi kontak interaksi diantara yang berbesan tersebut. Komunikasi diantara yang berbesan tersebut untuk saat ini sudah beruabah dari aturan yang dahulu ada. Sekarang untuk berbicara langsung sudah bisa dilakukan. Tetapi tetap saling menghormati dan sopan santun diantara mereka. Menurut beliau perubahan itu disebabkan percampuran budaya, akibat pernikahan. Dimana budaya luar yang masuk akan menyesuaikan semua aturan itu setelah ia bergabung denga keluarga yang didatangin atu dinikahi. Dari sinilah dinilai semakin lunturlah tradisi tersebut, bahkan hampir dilupakan. Informan VII Nama : Tuahman Sinaga Jemis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Status : Menikah Lama menikah : 60 tahun Wawancara dengan informan ketujuh yaitu dengan bapak Tuahman Sinaga. Wawancara ini dilakukan pada malam hari dikediamannya pada malam hari sekitar pukul 20.00 wib. Bapak dari 4 orang anak ini merupakan pengetua adat di daerah tersebut dan sehari-hari selalu sering dipercarayakan masyarakat menjadi pemandu adat pada setiap acara yang berkenaan dengan adat Simalungun. Sebagai orang yang begelut di bidanng adat-istiadat, tentunya beliau memahami dan mengerti mengenai topik yang sedang peneliti angkat untuk dimintai keterangan. Menurut beliau, sejak dahulu itu memang sudah ada yang telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sebagai suku Simalungun. Hal tersebut merupakan sebuah aturan yang diberlakukan supaya tidak bisa sembarangan terhadap besan. Karena besan kita misalnya kita laki-laki, maka besannya adalah istri dari tondongny, Sehingga harus dihormati dan disegani. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Sama seperti penuturan beberapa informan sebelumnya beliau juga menegaskan kalau tutur ini merupakan tutur kehormatan. Untuk berkomunikasi diantara tutur besan tersebut, tidak diperbolehkan sembarangan atau asal bicara saja. Bahkan kalau zaman dahulu menurutnya duduk berhadapan saja itu sangat tidak diperbolehkan, apabila ingin mengatakan sesuatu harus diampaikan dengan media lain misalnya tiang rumah, dinding,dan lainya atau berkomunikasi kepadan siapa yang ada disekitarnya. Komunikasi yang terbentuk itu sangant tertutup dan dibatasi oleh pantangan yang ditetapkan oleh aturan adat. “Ya kalo yang berbesan sejarahnya karena memang sudah ditetapkan oppung dulu supanya ngak bisa jappakbebas kepada istri tondong kita, maknya dibuat aturang yang berbesan itu... besan maksutnya kalo duduk bersama itu tidak bisa, berhadap-hadapanpung ngak bisa, berbicara langsung pun kepada besan kita ngak bisa.. harus ke yang lainnya kita ngomongkan kalo ada yang mau kita bicarakan sama besan, itulah karena hormatnya yang berbesan itu... itu memang sebuah talenta yang dimiliki simalungun ini dimana norma-norma dari adat itu, meninggikan martabat dan yang kedua adat kesopanan.” Sekarang akibat kemajuan zaman dan canggihnya teknologi, cara berkomunikasi yang bertutur besan tersebut sudah semakin modern, intinya yang masyarakat yang bertutur berbesan saat ini sudah berubah. Untuk berkomunikasi mereka sudah bisa langsung saja seperti biasa saja, misalnya pembicaraan lewat media telepon sudah sering terjadi, apalagi dalam hal yang sangat penting. Dan beliaupun mengalami hal yang sama yaitu berbicara dengan besanya menggunkan media telepon sudah dilakukanya. “Sekarang... karena sudah ada kemajuan jaman dan teknologi sekarang ini, ya memanggil besannya pun “ bes..” aja dibilang.. jadi apaboleh buat karena kemajuan zaman ini, ya dari telepon pun bisalah karena penting misalnya sebuah horja acara adat dan boru ininya yang harus menerjakan itu sesuai adat ya terpaksalah “ya tolong ham besan, roh ham” langsung lah besan itu bicara karena suaminya sudah sibuk, jadi karena suaminya sudah sibuk menyiapkan semau ya terpaksalah besan kita itu yang menghubungin semuanya, termasuk lah besannya itu..”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Ketika dikonfirmasi mengenai pantangan diantara mereka, beliau menjawab pantangan itu dikarenakan besan itu adalah istri dari saudara laki-laki istri kita, yaitu disebut istri tondong kita, jadi dengan demikian karena tondong harus dihormati dan beliau berpendapat kalau besan itu dianggap sebagai inang orang tua. Berangkat dari hal itu sehingga tidak diperbolehkan sembarangan terhadapnya, dan dia harus dihormati sebagaimana menghormati orang tua sendiri. Kemudian beliau menjelaskan lagi seperti isi titah keliam menurut agama yang dia anut “ maningon pasangap ma namatoras mu” hormatilah orang tua jadi besan itu dianggap sebagai orang tua karena dialah nanti yang kan menggantikan mertua perempuannya nantinya. Dan dalam hal ini pantangan itu dianggap sebagai hal yang positif. “Pantangnya itu karena istri tondong kitalah besan itu dan besan itu sudah dianggap sebanga inang orang tua jadi kalo dianggap sebagai inang berarti ngka bisalah sembarangan samanya... itu lah itu.. supaya hormat, jadi kalo dihormat dia berarti termasuk istimewalah karena seperti titah kelima itu, “maningon pasangapon namatorasmu” harus hormati orang tua mu karena sudah termasuk orang tua dia disitu, jadi kalo sudah sopan dan kita tidak sembarangan... ya termasuk yang menghormatilah itu... karena besan kita itu adalah generasi penerusnya mertuakita... makanya dianggap sebagai inang... tapi pantang disini maksutnya dalam arti yang positif” Kesimpulan Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan denga bapak Tuahman Sinaga dapat disimpulkan penuturan beliau bahwa tutur besan ini merupakan tutur yang menunjukkan kehormatan, dimana tidak bisa sembarangan asal berkomunikasi. Cara berkomunikasi diantara mereka telah diatur sesuaiadat yang berlaku. komunikasi diantara tutur besan dahulunya mempunyai hambatan yaitu hambatan yang bersumber dari aturan budaya yang dimiliki sejak dahulu kala. Dimana komunikasi diantara mereka sanagt terbatas dan ada pantangan yang telah ditentukan. Kondisi komunikasi yang bertutur besan saat ini sudah berubah dan tidak lagi seperti dahulu lagi yang terlalu banyak larangan dan aturan adat. Dengan kemajuan zaman dan teknologi yang sanat canggih dan pentingnya informasi yang cepat dan tepat sehingga masyarakat tidak lagi menghiraukan hal tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Misalnya dengan menggunakan media telepon yang berbesan tersebut dapat berkomunikasi secara langsung. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara diatas, untuk mempermudah dalam menganalisis data yang telah didapat, maka peneliti mengklasifikasikan jawaban-jawaban para informan berdasarkan tujuan penelitian yang diberikan ketika wawancara. Tabel 1. Klasifikasi Sesuai Tujuan Penelitian No Informan Tujuan Penelitian Hasil 1. Rabana Saragih Garingging • Proses komunikasi bertutur besan • Media penyampaian pesan atau informasi • Hambatan komunikasi antara tutur besan • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan • Menggunakan orang ketiga orang lain, menggunakan dinding, pintu atau benda lain. • Hambatan budaya, aturan adat 2. Rawalden sitopu • Proses komunikasi bertutur besan • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara • Media penyampaian pesan atau informasi • Hambatan komunikasi antara tutur besan • Menggunakan orang ketiga orang lain, menggunakan dinding, pintu atau benda lain. • Hambatan budaya. Aturan adat 3. Kalkedon saragih sumbayak • Proses komunikasi bertutur besan • Media penyampaian pesan atau informasi • Hambatan komunikasi antara tutur besan • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan • Menggunakan orang ketiga orang lain, menggunakan dinding, pintu atau benda lain. • Hambatan budaya, aturan adat 4. Jabiden Saragih • Proses komunikasi bertutur besan • Media penyampaian • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan • Menggunakan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pesan atau informasi • Hambatan komunikasi antara tutur besan orang ketiga orang lain, menggunakan dinding, pintu atau benda lain. • Hambatan budaya, aturan adat 5. Japiten saragih sumbayak • Proses komunikasi bertutur besan • Media penyampaian pesan atau informasi • Hambatan komunikasi antara tutur besan • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan • Menggunakan orang ketiga orang lain, menggunakan dinding, pintu atau benda lain. • Hambatan budaya, aturan adat 6 Kocu saragih sumbayak • Proses komunikasi bertutur besan • Media penyampaian pesan atau informasi • Tidak boleh sembarangan, harus sopan, terdapat jarak pemisah atau pantangan • Menggunakan orang ketiga orang lain, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

4.2 Pembahasan