15
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI
SINGKAT BAPAK J BADU PURBA SIBORO Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah
penelitian dan biografi singkat bapak Martuah Saragih sebagai seniman alat musik tradisional Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi
penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Pematangsiantar secara umum. Namun sebelum membahas
topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Desa Lestari Indah Kecamatan Siantar Kebupaten Simalungun.
2.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Lestari Indah yang
merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan tulila instrument bapak, J Badu Purba yang bertempat tinggal di Jalan Nangka I no.18 , Kecamatan
Siantar Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Lurah Desa Lestari Indah, secara geografis Desa Lestari Indah adalah terletak antara 02,56
o
LU- 80,03
o
BT. Dengan suhu maksimum rata-rata 30
o
C, dan suhu minimum rata-rata 21
o
C. Adapun luas wilayah Kecamatan siantar adalah 14.536 Ha. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan Luas Wilayah 23.476 km
2
1. Sebelah timur berbatasan dengan Kebun Adapun batas-batas wilayah Desa Lestari Indah adalah sebagai berikut :
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Dolok Hataran 3. Sebelah barat berbatasan dengan Sitalasari
4. Sebelah timur brebatasan dengan Husa Harapan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
2.2 Keadaan penduduk Pada awalnya penduduk asli Desa Lestari Indah didominasi oleh suku
Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Desa Lestari Indah menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu
Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang kabau, Melayu dan WNI Warga Negara Indonesia keturunan asing seperti China, India, dan
Pakistan. Pada tahun 2009 penduduk Desa Lestari Indah mencapai 243.768 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per km
2
. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Desa Lestari Indah pada tahun 2010 sebesar 0,53 persen. Penduduk
perempuan di Desa Lestari Indah lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2009 penduduk Desa Lestari Indah yang berjenis kelamin perempuan berjumlah
117.516 jiwa dan penduduk laki-laki 127.381 jiwa. Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata
yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun
berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian.
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut
Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang
Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba. Hal yang
senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali,
tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di
Pematangsiantar mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong
STM, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat. Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siantar, Jalan nangka I ,
Pematangsiantar, pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan bapak J Badu pekerjaan
beliau adalah pengurus museum siantar. Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan sampingan bagi beliau. Membuat tulila Simalungun dilakukan beliau apabila adanya
pesanan untuk membuat alat musik tersebut.
2.3
Sistem Bahasa
Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda untuk
memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah temtu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat di dalamnya. Menurut informasi dari informan saya dengan terkaitnya lokasi penelitian penulis bahwa keragaman seuku yang berada di daerah tersebut
menggunakan bahasa simalungun untuk komunikasi bahasa sehari-harinya.
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam
pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa
tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga dengan bahasa Simalungun. Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
aksara yang sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937,
mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-
bahasa di Nusantara. Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata
bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat simalungun adalah memiliki
tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:
1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh
kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya
adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut. 3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina
seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat
menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah tangan bahasa kasarnya tiput.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
2.4 Sistem Kesenian