54
kerohanian, gerak badan dan lain-lain. Ibu selalu berusaha meresapkan ke dalam hati sanubari anak-anaknya tentang bushido. Bushido adalah jiwasemangat cinta
tanah air dan bangsa yang penuh dengan pengorbanan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, kehormatan kesetiaan Sayidiman Suryohadiprojo 1982:
49. Itulah sebabnya keluhuran budi dan keyakinan serta ketulusan ibu menjadi syarat yang sangat penting untuk menyelenggarakan pendidikan dalam keluarga
sehingga anak-anak menjadi orang yang memiliki semangat dan jiwa bushido yang tangguh Chie Nakane 1981:35.
Wanita tidak diajarkan untuk mandiri. Sebaliknya, ia harus bergantung pada laki-laki suaminya. Kegiatan sosialisasi di luar rumah dibatasi karena telah
menjadi tugas dari pria sebagai suami dan kepala rumah tangga untuk bekerja di luar rumah. Semua kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh wanita bertujuan
untuk mendukung peranan suami sebagai pencari nafkah dan bukan untuk menunjukkan eksistensi wanita.
3.2 Peran Wanita Jepang Setelah Restorasi Meiji
Seorang antropolog wanita Jepang, Kazuko Tsurumi dalam bukunya “Women In Japan: A Paradox Of Modernization”, mengemukakan bahwa ahli
folklore Jepang yang paling terkemuka, Yanagita Kunio 1875-1962, pernah mengatakan bahwa justru pada saat Jepang memasuki zaman modernnya yaitu
permulaan zaman Meiji, ketika para samurai dihapuskan sebagai suatu kelas feodal, beberapa kebiasaan dan norma samurai diterapkan kepada semua kelas
sosial lainnya, termasuk para petani, pedagang dan pengrajin. Dari segi ini bisa dikatakan bahwa modernisasi berarti samuraisasi dari semua orang Jepang.
Universitas Sumatera Utara
55
Akibatnya terhadap kaum wanita adalah bahwa bagi mereka diberlalukan pula kebiasaan para samurai mengenai pernikahan yang diatur oleh keluarga dan
sistem keluarga berdasarkan konsep ie. Pada kenyataannya sistem ie yang telah ada di masa pemerintahan
Tokugawa ini makin berkembang di zaman Meiji. Eksistensi ie mengalami penguatan. Sebelum zaman Meiji, pemikiran sistem ie terbatas pada kelompok
kehidupan sehari-hari, pada zaman Edo juga pemikiran sistem ie cakupannya yang paling luas adalah wilayah Han wilayah Tuan. Tetapi pada zaman Meiji
sistem ie dibuat menjadi ideologi negara. Maksudnya adalah bahwa negara adalah satu keluarga. Atau dapat diartikan juga bahwa negara adalah suatu keluarga.
Dalam hal ini yang bertindak sebagai kepala keluarga adalah Kaisar. Menurut Marioka, “Kazokukokkakan pandangan negara keluarga adalah
negara sebagai kelompok keluarga besar, hubungan di dalamnya Kaisar dan rakyat sama dengan orangtua dan anak, rumah Kaisar sama dengan rumah
seluruh rakyat, sebagai etika dasar adalah Chu dan Ko adalah satu pengabdian kepada orang tua dan pengabdian kepada pemimpin adala
h satu”. Semenjak zaman Meiji ie ditafsirkan secara luas sebagai sistem masyarakat. Hubungan
antara Tenno dan rakyat adalah seperti hubungan Honke dan Bunke, atau Tenno sebagai kepala ie besar daikacho dan rakyat sebagai anak akashi.
Restorasi Meiji berhasil mengubah masyarakat Jepang yang agraris menjadi masyarakat industri. Sejak itu perkembangan ekonomi maju dengan pesatnya,
hingga menjadikan Jepang sebagai suatu negara industri yang berteknologi tinggi. Semua itu berkat impor ilmu dan teknologi dari negara-negara maju di dunia.
Universitas Sumatera Utara
56
Sejarawan Ann Wasuro mengidentifikasi, tanda yang pertama dari tiga periode penting dalam modernisasi di sejarah baru Jepang adalah tahun 1880 dan awal
1900, periode setelah Restorasi Meiji di tahun 1868, ketika Jepang membuka hubungan perdagangan dengan Barat setelah dua abad mengisolasi diri dari dunia
luar. Dengan ini maka perlahan-lahan berakhirlah feodalisme digantikan oleh sistem kapitalis dan arus modernisasi. Masa tahun 1867 sampai Perang Dunia II
merupakan masa yang proses modernisasi dan westernisasinya berlangsung pada kecepatan yang begitu tinggi.
Dalam kaitan inilah perubahan-perubahan sosial dan ekonomi telah menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap kehidupan keluarga. Tingkat
kehidupan telah meningkat dan kondisi ekonomi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Jumlah waktu senggang pun banyak dinikmati oleh kebanyakan
wanitaistri Jepang. Kondisi-kondisi ini telah mempengaruhi posisi dan fungsi
wanita di masyarakat. Pandangan yang menganggap kedudukan wanita lebih rendah memang masih berlaku, terutama di kalangan mereka yang masih kolot.
Namun diumumkannya Konstitusi Meiji pada tahun 1889 dan hukum perdata pada tahun 1898 membuat kepatuhan wanita kepada kepala rumah tangga, dan
lelaki secara umum, diberi justifikasi secara legal. Wanita mulai dihargai dalam kelas sosial dimana ia berada.
Undang-Undang Meiji 1889 大日本帝国憲法
dainipponteikokukenpou dibuat oleh Ito Hirobumi pada tahun 1889 dan mulai berlaku pada tanggal 16 Juli
1889. Undang-Undang pertama Jepang ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Kaisar bagi setiap warga negara. Undang-Undang ini dibuat dengan meniru
Universitas Sumatera Utara
57
Undang-Undang Prussia 1850. Meskipun di dalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan liberal dan demokrasi namun hal ini tidak diakui oleh
pemerintah Jepang. Sebaliknya mereka lebih menekankan pada hubungan yang harmonis antara pihak penguasa dengan rakyatnya di bawah kekuasaan Kaisar
yang dianggap sebagai penguasa tertinggi yang suci dan tidak dapat dilangar perintahnya.
Memang bila melihat dari isi Undang-Undang Meiji ini hak-hak individu kurang mendapatkan perhatian. Meskipun terdapat beberapa pasal yang memuat
tentang jaminan terhadap hak-hak individu tetapi hak-hak ini lebih dianggap sebagai hadiah yang diberikan oleh Kaisar dan buka merupakan hak yang dimiliki
manusia sejak ia dilahirkan. Di dalam Undang-Undang Meiji 1889 ditekankan tentang pemikiran
男尊女卑 dansonjohi yang berarti pria memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada wanita sehingga akibatnya kedudukan wanita menjadi terpojok, dalam arti wanita tidak memiliki hak apapun. Berdasarkan pada
pemikiran ini maka dalam Undang-Undang Perdata yang ditetapkan pada tahun 1898, kehidupan masyarakat pada masa itu diatur dengan berdasarkan pada sistem
keluarga yang disebut dengan sistem Ie yang menjadikan kepala keluarga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga. Isi Undang-Undang tersebut
dianggap sebagai ketentuan yang tidak menguntungkan bagi wanita karena merupakan sistem yang didasarkan pada anak laki-laki tertua sebagai ahli waris
dan sistem hak kepala keluarga sehingga istri dianggap tidak memiliki kemampuan dan hak apapun dalam keluarga.
Universitas Sumatera Utara
58
Sampai tahun 1948 seorang wanita menurut Undang-Undang tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada masa tuanya kepada
putranya. Seorang istri tidak dapat bertindak tanpa persetujuan suaminya. Menurut Undang-Undang tiap pernikahan memperoleh legalitas dengan
pencatatan pada petugas yang ditentukan. Namun pada kenyataannya di masa ini masih tetap diberlakukan pernikahan hanya dengan upacara agama atau menurut
adat yang secara sosial dianggap sah, maka sering terjadi jangka waktu yang cukup lama antara pernikahan dengan upacara dan pencatatan resmi. Selama
jangka waktu ini sang istri tidak ada perlindungan hukum, dan sering terjadi selama masa ini sang istri disingkirkan oleh suaminya atau keluarga suaminya.
Hukum Sipil tentang „Keluarga dan Warisan‟ di Jepang pun berubah mengikuti hukum Barat. Tujuan hukum ini adalah untuk memberikan landasan
penghormatan hak perorangan serta persamaan hak diantara suami dan istri. Namun sejak berakhirnya periode feodal hingga selesai Perang Dunia II, menjadi
hal yang dianggap wajar dan bernilai tinggi apabila seorang wanita mengabdi dengan setia kepada kepala rumah tangganya seumur hidupnya. Masyarakat
Jepang pada waktu itu masih beranggapan bahwa seorang wanita harus tunduk kepada ayahnya, kemudian suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-
lakinya yang menduduki posisi kepala keluarga meskipun pada tahun 1948 hukum telah memberikan kaum wanita jaminan persamaan hak dengan kaum pria
di lingkungan kehidupan keluarga. Perceraian atas dasar persetujuan bersama telah mendapat pengakuan sejak
tahun 1898 dan lebih dari 90 perceraian di masa ini termasuk dalam jenis perceraian atas persetujuan bersama. Proses perceraian sangat mudah hanya
Universitas Sumatera Utara
59
seseorang harus mengajukam formulir resmi yang sesuai kepada pejabat sensus. Akan tetapi, meskipun prosedur ini disebut “perceraian dengan persetujuan
bersama”, dalam kenyataannya seorang suami atau keluarganya sering menempuhnya untuk menyingkirkan seorang istri. Ketetapan-ketetapan sistem ini
pun kurang memberikan perlindungan bagi kepentingan seorang istri. Dalam sebuah masyarakat dimana kedudukan pria dan wanita amatlah berbeda,
kebebasan untuk bercerai menjadi tak lebih daripada kebebasan bagi seorang istri yang tak berdaya untuk disingkirkan.
Pada kenyataannya meskipun sistem feodalisme di era Tokugawa telah digantikan oleh sistem kapitalis dan arus modernisasi di zaman Meiji. Ajaran-
ajaran yang telah melekat dalam pikiran masyarakat Jepang sulit untuk ditinggalkan. Hukum tentang pernikahan, perceraian dan peran wanita dalam
rumah tangga telah diberi justifikasi secara legal, namun dalam prakteknya wanita tetap harus mengikuti konsep Ie dan menjadi Ryousaikenbo.
Bagi seorang wanita Jepang yang masih tradisional, kebahagiaan bagi mereka adalah berada di antara keluarga dan rumah. Pada era Meiji konsep
Ryousaikenbo semakin berkembang, wanita Jepang diharapkan menjadi seorang istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Ryousaikenbo merupakan sebutan bagi
wanita Jepang yang mampu mengurus dan menjaga serta merawat keluarga, anak serta suami mereka dengan baik. Mereka akan bekerja hingga mereka menikah,
namun pada kenyataannya mereka didorong untuk segera menikah dan memberikan keturunan yang merupakan penambahan sumber daya manusia bagi
Jepang. Sejak perang pasifik terdapat slogan “Beri kelahiran, menaikkan populasi,
Universitas Sumatera Utara
60
lima anak dalam satu keluarga,” namun ketika buruh dengan penghasilan rendah dibutuhkan, maka wanita yang sudah menikah ini kembali ke pekerjaan mereka.
Sebelum Perang Dunia II pekerjaan sampingan biasanya dilakukan oleh golongan miskin. Banyak kaum wanita di Jepang, baik golongan setengah umur
maupun lanjut usia, dan yang tidak terampil serta memiliki tanggung jawab kekeluargaan, yang ternyata masih mempunyai waktu dan sekedar kemampuan
fisik wajar sebagian besar kaum wanita ini telah mengambil pekerjaan sampingan. Mereka melakukan hal itu dengan keinginan yang kuat untuk meningkatkan
kehidupannya, yakni dengan mengusahakan tambahan terhadap upah rendah yang dibawa pulang oleh suaminya. Para wanita ini biasanya melakukan pekerjaan
sampingan diluar rumah seperti di pabrik sutra, tekstil, tenun dan juga dalam proses perakitan barang-barang plastik dan komponen-komponen listrik yang
kecil di industri televisi atau alat-alat elektronik lainnya. Pada tahun 1872, atas keputusan Kaisar Jepang dimulailah suatu sistem
pendidikan modern di Jepang. Undang-Undang 1889 secara resmi menyebutkan bahwa pendidikan di Jepang terbuka untuk wanita dan pria. Pada saat itu suatu
sistim pendidikan nasional yang modern diintrodusir, ketika pemerintah mendirikan sekolah-sekolah Dasar dan Menengah di seluruh Jepang. Pada tahun
1886 setiap anak diharuskan memasuki SD selama 3 atau 4 tahun. Pada tahun 1900 diadakan kewajiban belajar cuma-cuma selama 6 tahun.
Konsep pokok pendidikan Jepang pada saat itu adalah menghasilkan warga negara yang percaya pada diri sendiri dari negara yang damai dan demokratis
serta masyarakat yang menghormati hak-hak manusia dan mencintai kebenaran
Universitas Sumatera Utara
61
dan perdamaian. Prinsip pokok lainnya yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok ialah persamaan dalam kesempatan pendidikan untuk semua orang.
Undang-undang itu melarang diskriminasi, karena suku, kepercayaan, jenis kelarnin, kedudukan sosial, kedudukan ekonomi dan latar-belakang keluarga.
Kementerian Luar Negeri Jepang 1972:93.
Pada pasal lain ditetapkan tentang ko-edukasi bagi pria dan wanita, yang berbunyi sebagai berikut: Pria dan wanita haras saling menghargai dan bekerja
sama satu sama lain. Masu Okamura 1983:55. Bagi pria dan wanita akan dilaksanakan ko-edukasi. Menurut ketetapan ini pendidikan wajib bagi anak-anak
selama 6 tahun untuk sekolah dasar serta 3 tahun untuk sekolah menengah.
Universitas-universitas tidak lagi menutup pintu bagi wanita seperti pada zaman sebelumnya. Namun demikian dalam kenyataannya masih menunjukkan
bahwa banyak wanita yang hanya bersekolah sampai tingkat sekolah lanjutan lalu berguguran. Pendidikan tinggi dinilai kurang bermanfaat bagi wanita Jepang yang
diharapkan pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga. Hanya kira-kira 2 dari seluruh wanita Jepang waktu itu memperoleh pendidikan E.O.Reishauer
1957:276. Agaknya kasus diskriminasi pra-modern yang berkelanjutan sebagai kebiasaan masyarakat dan yang memiliki kedudukan kuat sebagai hukum tak
tertulis.
Dalam konsep Ryousaikenbo diterangkan bahwa ibu berperan besar dalam pendidikan anak-anak. Sebaliknya ayah mempunyai peranan sebagai pencari
nafkah yang banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur anak-anak dapat berakrab dengan ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
62
Pada saat ayah pulang kerja pada larut malam anak-anak sudah tidur lelap. Tatkala anak-anak bangun dan pergi ke sekolah, ayah masih lelap. Keadaan seperti itu
anak-anak lebih akrab dengan ibu, bahkan anak laki-laki bermanja-manja dengannya. Di zaman Meiji, wanita bertanggungjawab untuk memastikan bahwa
anak-anak mereka memiliki pendidikan yang baik agar mencetak sumber daya manusia yang berkualitas bagi Jepang dan juga dinilai memiliki kontribusi besar
terhadap pertumbuhan industrialisasi Jepang yang luar biasa.
3.3 Peran Wanita Jepang Setelah Perang Dunia II